Mengapa Kesaksian Hilal di Cakung dan Jepara ditolak ?



Oleh Hatta Syamsuddin, Lc

Permasalahan berikutnya yang sering ditanyakan adalah mengapa kesaksian rukyah di Cakung dan Jakarta ditolak pada sidang itsbat 29 agustus, bukankah itu menyalahi ketentuan rukyat sesuai hadits nabi yang cukup hanya dengan disumpah maka sudah bisa untuk dijalankan ? Lalu mengapa juga di Saudi kesaksian yang melihat hilal begitu mudah diterima tidak sebagaimana di Indonesia ? Maka dalam hal ini pemerintah dianggap menyelisihi syariat dan mendahulukan kepentingannya.

Benar bahwa pada Senin 29 Agustus adalah laporan penglihatan hilal yang dilakukan Tim Rukyat du dua titik, masing-masing Cakung Jaktim dan Jepara Jateng. Situs Voa-islam menyebutkan bahwa : Tim Rukyat di Cakung, Jakarta Timur telah melihat hilal antara jam 17.57 sampai 18.02 WIB dengan tinggi hilal hakiki 04’03’26,06″, dilihat oleh tiga orang saksi: H Maulana Latif SPdI, Nabil Ss dan Rian Apriano. Sementara persaksian lain berasal Tim Rukyat di Pantai Kartini, Kabupaten Jepara Jawa Tengah, yang memberikan kesaksian di bahwa sumpah bahwa mereka telah melihat hilal berada di sebelah kiri matahari pada pukul 17.39 selama 5 detik. Anggota tim yang melihat hilal adalah Saiful Mujab, yang merupakan tim rukyat dari akademisi dan juga dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus. Kedua laporan rukyatul hilal di atas di tolak dalam sidang itsbat, sementara hilal yang terlihat di Saudi dengan mudah diterima.

Pertama perlu kita ketahui bahwa pemerintah Indonesia melalui sidang itsbat menggunakan metode hisab rukyat, yaitu gabungan antara keduanya, sebagaimana disebutkan dan difatwakan oleh MUI dalam fatwa no 2 tahun 2004. Jadi hisab juga menjadi metode yang hasilnya harus dipertimbangkan dengan baik. Hisab yang digunakan oleh pemerintah sesuai dengan kesepakatan kriteria Mentri-mentri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura (MABIMS) adalah dua derajat, begitu pula yang pernah disepakati ormas-ormas selain Muhammadiyah sebesar dua derajat. Ini metode hisab dengan kriteria imkanur rukyah ( visibilitas hilal).

Perkembangan ilmu hisab astronomi begitu maju saat ini, dengan tingkat ketelitian yang sangat-sangat kecil. Berbeda dengan pada jaman dahulu dimana hisab belum dianggap oleh jumhur ulama pada madzahibul arba’ah, maka penggunaan metode hisab saat ini telah banyak digalakkan oleh ulama-ulama kontemporer sebagaimana Yusuf Qardhawi, Ahmad Syakir, Mustafa Zarqo sebagai solusi terkini. Rasanya pembahasan soal ini telah banyak diangkat oleh Muhammadiyah dan Persis yang dikenal dengan metode hisabnya.
Namun permasalahannya adalah sebagian besar kaum muslimin dan ulama-ulamanya hari ini masih memegang metode rukyatul hilal dalam penetapan ramadhan dan idul fitri. Karenanya keduanya tidak harus dipertentangkan tetapi bisa bersinergi dan hisab membantu pelaksanaan rukyat. Inilah jalan tengah transisi saat ini yang disampaikan Dr. Yusuf Qardhawi dalam kitab fiqh Syiam, dimana Hisab bisa digunakan untuk “ li nafyi wa laa li istbat”, yaitu hisab bisa digunakan untuk mengingkari penglihatan hilal, tapi untuk menegaskan penglihatan hilal tetap harus dengan rukyah. Memang terdengar agak nanggung, tapi inilah kenyataan hari ini yang paling mendekati ke arah persatuan umat.

Maka para ulama terdahulu juga membahas hal seperti ini, dimana disebutkan pula saat sidang itsbat tentang qoul yang menyatakan bahwa jika ada ijmak para ahli tentang tidak dimungkinkannya melihat hilal, maka kesaksian yang melihatnya harus di tolak. Dr. Yusuf Qardhawi bahkan sebenarnya lebih tegas lagi menyatakan : jika secara hisab hilal tidak dimungkinkan terlihat, maka tidak perlu lagi diadakan rukyat pada hari tersebut, dan bagi mahkamah dan dewan fatwa harus menutup pintu bagi mereka yang memberi kesaksian melihat hilal pada saat itu.

Mari kita kembali ke konteks tanggal 29 agustus 2011, secara penghitungan astronomi hisab baik di Indonesia maupun Saudi ada dibawah dua derajat, artinya menurut kriteria imkanur rukyat tidak bisa dilihat. Bahkan kriteria astronomi justru menunjukkan angka yang lebih tinggi, hasil pengamatan berpuluh tahun menyatakan setidaknya hilal yang dengan ketinggian 6-7 derajat lah yang memungkinkan untuk dilihat. Maka dengan metode hisab dan pendapat fikih yang dijelaskan di atas, pemerintah (dan beberapa ormas-ormas) melalui sidang itsbat pun menolak kesaksian penglihatan hilal di Cakung dan di Jepara. Jadi penolakan ini pun sah secara tinjauan fiqih. Lalu apa yang terlihat di cakung dan jepara ? dan Bagaimana dengan Saudi ?

Di Saudi kesaksian hilal diterima setelah disumpah, karena memang di sana metode yang digunakan adalah rukyat ansich, maka pertimbangan astronomi tidak menjadi prioritas lagi disana. Inilah yang terjadi dan membedakan yang terjadi di Indonesia dan di Saudi. Akibatnya ? di Saudi hingga saat ini pun ada perdebatan antara ahli astronomi yang menganggap hilal tidak mungkin terlihat saat itu dan yang dilihat adalah benda langit yang lain, sementara ulama syariah ada juga yang berkomentar keras, menuduh astronomi hendak melecehkan syariat bahkan menggugat mereka ke pengadilan. Namun perlu di catat, secara tinjauan fiqh dengan metode rukyat yang dilakukan Saudi pun telah benar adanya sebagai sebuah produk ijtihad juga.

Adapun secara tinjauan astronomi, maka klaim melihat hilal di Saudi sebenarnya sudah dipermasalahkan para ahli astronomi di sana secara bertahun-tahun. Situs Rukyatul Hilal menyebutkan : “ Pada prinsipnya para pakar (astronomi Saudi) tersebut menyayangkan sikap otoritas Saudi yang hanya mendasarkan pada pengakuan seorang saksi apalagi saksi tersebut ternyata hanya orang awam (badui) yang notebene bukan petugas resmi dari kerajaan yang memiliki kompetensi dalam bidangnya. Bahkan setiap laporan saksi tanpa pernah dilakukan klarifikasi dan uji materi tentang validitas laporan tersebut.

Para pakar tersebut juga sempat membuat Petisi yang disampaikan langsung kepada pihak kerajaan mengenai kejanggalan tersebut. Lucunya lagi tim resmi yang telah dibentuk oleh kerajaan yang melakukan rukyat di beberapa lokasi dan dilengkapi teleskop canggih yang mampu melakukan tracking secara akurat terhadap posisi Bulan dan perlengkapan pencitraan hilal menggunakan CCD itu justru tidak pernah dipercaya laporannya yang menyatakan hilal tidak terlihat. Menurut data yang dikumpulkan oleh lembaga tersebut, setidaknya selama 30 tahun terakhir, khusus untuk Zulhijjah saja dari 30 kali laporan rukyat ternyata sekitar 75% nya atau 23 laporan rukyat dinyatakan mustahil secara ilmiah dan 7 laporan rukyat diterima.

Semoga bermanfaat dan salam optimis.

UPDATE PENTING :
untuk lebih lengkap tentang penampakan ‘hilal’ di cakung, dan pengalaman NU Jatim dan Saudi pada tahun -tahun sebelumnya, silahkan baca link berikut : http://akmal.multiply.com/journal/item/839/Beberapa_Catatan_dari_Silaturrahim_INSISTS

Testimoni Ustad Suwito, Lc pakar hisab rukyat Dewan Dakwah Islam Indonesia yang dirangkum oleh Akmal dalam silaturahim INSISTS Sabtu 10 September 2011 , menyebutkan :

Ust. Suwito, yang telah makan asam dan garam selama bertahun-tahun dalam masalah hisab dan rukyat ini, memulai uraiannya dengan sebuah kisah tentang pengalamannya ketika berlebaran di Arab Saudi. Ketika itu, Pemerintah Arab Saudi telah menetapkan kapan jatuhnya tanggal 1 Syawal berdasarkan rukyat yang telah dilakukannya. Tidak berapa lama, pemerintah pun memberikan koreksi, karena ternyata ada kesalahan dalam proses rukyat tersebut. Maka Pemerintah Arab Saudi pun mengumumkan kesalahan tersebut dan menghimbau warganya untuk meng-qadha shaum sebanyak 1 hari. Masalah selesai, semua maklum. Tak ada yang protes, apalagi menghujat.

Hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat
Arab Saudi telah sadar betul siapa pemerintahnya; mereka tidak lain hanyalah manusia biasa sebagaimana diri mereka sendiri. Ruang untuk melakukan kesalahan sangatlah terbuka dan manusia memang wajar jika sesekali melakukan kekhilafan. Tidak ada juga yang bertanya-tanya, apakah mereka berdosa karena telah berbuka, padahal seharusnya masih shaum. Tidak ada yang berspekulasi bahwa semua dosa ditanggung oleh pemerintah. Pendeknya, retorika-retorika di Indonesia tidak muncul di sana. Bahkan tak ada yang bicara soal dosa, sebab menurut syariat memang tidak ada yang berdosa. Pemerintah yang khilaf tidaklah berdosa, dan masyarakat yang mengikuti ulil amri tidaklah berdosa. Cukup meng-qadha shaum 1 hari, selesai semua masalah.

Dalam pengalaman rukyat tahun ini, ada yang mengaku melihat hilal, namun kesaksiannya ditolak. Hal ini mengandung kontroversi, karena menurut contoh Rasulullah saw dahulu, jika ada yang mengaku melihat hilal, maka ia seharusnya disumpah, dan kesaksiannya pun diterima. Namun ada beberapa kasus yang dipaparkan oleh ust. Suwito untuk menggambarkan bahwa masalahnya tidak sesederhana itu.

Kesaksian di Cakung, misalnya, adalah kesaksian yang langsung ditolak. Alasan paling utama adalah karena menurut perhitungan astronomis – yang telah dapat dilakukan dengan sangat akurat kini – pada hari itu Bulan baru mencapai posisi kurang dari dua derajat. Tambahan lagi, posisi Bulan pada saat itu adalah ke arah Selatan. Artinya, dari titik pengamatan di Cakung, pengamat tidak melihat ke arah laut, melainkan ke arah Jakarta. Ust. Suwito mengingatkan bahwa pengamatan ke arah Laut Jawa di sekitar Jakarta pun sudah cukup menyulitkan, karena ada begitu banyak kapal laut yang hilir mudik, sedangkan lampu sorot dari kapal yang diarahkan ke awan kadang-kadang bisa salah dipahami sebagai hilal. Jika pengamatannya ke arah kota Jakarta, maka masalahnya akan semakin runyam, karena di Jakarta ada begitu banyak gedung tinggi dan sumber cahaya. Maka, tanpa mempertanyakan kejujuran para pengamat di Cakung, kesaksiannya tetap ditolak.

Bertahun-tahun yang lalu, ada sebuah kejadian yang mendapat catatan khusus dari ust. Suwito, yaitu ketika Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jatim memutuskan hari lebaran yang berbeda dengan pemerintah dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sendiri. Ketika itu, ada yang melapor telah melihat hilal di salah satu kota di Jawa Timur. Saksi tersebut kemudian disumpah, dan kesaksiannya diterima. Maka keesokan harinya, berlebaranlah warga NU Jatim, sementara warga NU di daerah-daerah lainnya tetap mengikuti PBNU yang menetapkan Hari Raya sama dengan pemerintah.

Sehari sesudahnya, MUI mengundang pihak PWNU, terutama saksi pelapor hilal tersebut, untuk melakukan rekonstruksi proses rukyat yang sudah dilakukannya. Sebelum matahari terbenam, alat-alat yang dibutuhkan telah dipasang mengikuti arah yang ditunjuk oleh saksi. Sebenarnya, ketika saksi menunjuk arahnya pun, para ahli rukyat telah menyadari kesalahannya. Alhasil, ketika Bulan benar-benar muncul terlihat jelas bahwa arahnya sangat berbeda dengan yang ditunjuk oleh saksi. Artinya, yang dilihatnya kemarin pastilah bukan hilal, karena Bulan takkan berpindah tempat secara drastis dari Utara ke Selatan atau sebaliknya dalam semalam saja.

Melihat hilal memang membutuhkan suatu keahlian tertentu. Sebab, ketika hilal baru muncul, bisa jadi tidak dalam bentuk sabit sempurna, melainkan hanya seberkas garis saja. Adakalanya cahaya dari planet-planet lain pun disangka hilal, jika kita tidak berhati-hati. Ust. Suwito juga menjelaskan bahwa para ahli astronomi sudah memiliki semacam peta yang dapat digunakan untuk memprediksi di arah mana Bulan akan muncul. Jika posisinya agak ke Selatan, maka semua teleskop sejak awal sudah diarahkan ke sana, sehingga pengamat hilal tak perlu mencari-cari terlalu jauh. Di sisi lain, sampai sekarang masih ada saja yang mencari hilal tanpa tahu di mana Bulan akan muncul. Hal-hal semacam itulah yang menciptakan kekeliruan sebagaimana pernah terjadi dalam kasus PWNU Jatim tersebut. Hal yang sama pun masih terjadi di masa kini, bahkan bahayanya semakin besar karena pertukaran informasi di jaman sekarang telah sedemikian cepat. Jika ada yang mengatakan bahwa hilal telah terlihat di suatu tempat, banyak orang yang akan dengan mudah percaya saja tanpa mengecek sumber informasinya, apalagi mengecek pengetahuan dan teknologi yang digunakan oleh mereka yang mengaku telah melihat hilal tersebut.

Wallahu a’lam bisshowab

tambahan referensi :

http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2011/08/31/15980/penetapan-lebaran-pemerintah-tidak-sah-dan-melecehkan-syariat-islam/

http://www.hidayatullah.com/read/18706/05/09/2011/perdebatan-1-syawal-berlanjut-di-arab.html

http://www.nu.or.id/page/id/dinamic_detil/14/33777/Teknologi/Hilal_Imajiner_1_Syawal_1432_dari_Cakung.html

sumber : http://www.indonesiaoptimis.com/2011/09/catatan-lebaran-1432-3-mengapa.html

12 thoughts on “Mengapa Kesaksian Hilal di Cakung dan Jepara ditolak ?

  1. hmm, saya orang awam, dan tambah bingung. Mnrt tulisan d atas, harusnya ulama2 yg menganut sistem hisab, d penentuan kmren tidak mengakui sudah pindah bulan, kan masih d bawah 2derajad. Lalu knp mereka menentukan bl sudah hari raya?.

    Like

  2. suci55 said: hmm, saya orang awam, dan tambah bingung. Mnrt tulisan d atas, harusnya ulama2 yg menganut sistem hisab, d penentuan kmren tidak mengakui sudah pindah bulan, kan masih d bawah 2derajad. Lalu knp mereka menentukan bl sudah hari raya?.

    wow bukan begitu….sebagian ulama kontemporer ada yg berpendapat menggunakan hisab…(bukan seperti ilmu hisab yg digunakan muhammadiyah karena ilmu hisab muhamadiyah menurut pakar astronomi sebenarnya udah kuno…)tetapi tetap hisab itu sebagai pendaping rukyat…jadi klo diutamakan rukyat…hisab hanya sebagai penguat…yang terutama sidang itsbat itu mewakili pemerintah…jadi wajib kita mentaatinya

    Like

  3. suci55 said: ah gk tau ah, pengin lebarané lain kali baréng terus, tp teteup ngikut ulama. Kl ulamané patuh ama pemerintah, umat sih manut waé

    semoga terjalin hub ulama dan umara’ yg baik

    Like

Leave a comment