IDEALNYA MEMPELAJARI MADZHAB MAYORITAS SETEMPAT


IDEALNYA MEMPELAJARI MADZHAB MAYORITAS SETEMPAT

Seringkali perbedaan pandangan dalam masalah fiqih menuai keributan bahkan dalam perkara yang sangat sepele.

Sebut saja masalah menjaharkan basmalah, qunut subuh, adzan 2 kali di hari jum’at yang terus menjadi perbincangan hangat khususnya ummat islam di nusantara.

Saya pernah mengalami teguran dari masyarakat ketika mengimami shalat fardhu di masjid kampung hanya karena tidak menjaharkan basmallah. Jika dikaji lebih lanjut, teguran tersebut ada benarnya karna masyarakat kampung rata-rata bermadzab syafi’i.

Memberikan informasi kepada masyarakat akan perbedaan pandangan dalam madzhab fiqih ada benarnya sebagai penambah wawasan, namun menguasai madzhab setempat tidak kalah penting terutama bagi para da’i yang sering menjadi panutan ummat. Hal ini agar memperkecil gesekan ditengah umat.

Jika membuka lembaran sejarah maka dapat kita temui bahwa madrasah fiqih berkembang dengan mengikuti para imam mujtahid setempat.

Madrasah Madinah dengan Ibnu umarnya, madrasah Mekkah dengan Ibnu Abbasnya dan Madrasah Irak dengan Ibnu Mas’udnya radhiyallaahu ‘anhum.

Bagi penuntut ilmu pada zaman itu akan selalu mempelajari fiqih menyesuaikan madzhab setempat dan tidak menyelisihinya hingga benar-benar ia telah sampai pada puncak level mujtahid kemudian berusaha berijtihad dengan mandiri.

Kenyataan diatas pernah dilakukan oleh imam Syafi’i rahimahullah ketika hendak menyebarkan madzhabnya.

Ia merasa sungkan untuk menetap di hijaz untuk menyebarkan madzhabnya sedang disana sudah ada madzhab guru-gurunya yang pernah ia pelajari sebelumnya. Ia pun merasa sungkan untuk menetap di irak untuk menyebarkan madzhabnya karena disana sudah ada madzhab guru-gurunya juga yang pernah ia pelajari sebelumnya. Akhirnya beliau memutuskan untuk hijrah ke mesir dan menyebarkan madzhabnya disana hingga wafat pada tahun 204 H.

Berkata Imam Dzahabi rahimahullah :

لو أراد الطالب اليوم أن يتمذهب في المغرب لأبي حنيفة لعسر عليه كما لو أراد أن يتمذهب لابن حنبل ببخارى وسمرقند لصعب عليه فلا يجيء منه حنبلي ولا من المغربي حنفي ولا من الهندي مالكي

(سير أعلام النبلاء ٩٢/٨)

Jika penuntut ilmu zaman sekarang (zaman imam dzahabi) ingin belajar madzhab Abu Hanifah di Maroko maka akan sulit baginya, sebagaimana akan sulit baginya jika ingin belajar madzhab hambali di Bukhara dan Samarkandi, karena disana tidaklah dijumpai hambali, begitu pula tidak akan dijumpai hanafi di Maroko dan maliki di India.

Perkataan imam Dzahabi rahimahullah diatas menunjukan urgensi mempelajari madzhab mayoritas setempat dikarenakan setiap daerah telah memilih salah satu madzhab dari madzhab yang ada yang dijadikan sandaran dalam bertafaqquh.

Adapun hukum mengamalkan madzhab yang dipelajari telah kami ulas pada status kami sebelumnya.

Antara bertafaqquh fiddin melalui salah satu madzhab dari madzhab yang empat dan mengamalkan madzhab yang dipelajari adalah dua hal yang berbeda.

Para ulama sepakat (ijmak) bahwa wajib bagi non mujtahid untuk taklid kepada mujtahid, dan mayoritas ulama menganjurkan untuk bertafaqquh fiddin melalui salah satu madzhab yang empat.

Meskipun mayoritas ulama menganjurkan untuk bertafaqquh melalui salah satu madzhab yang empat namun mereka tidak mewajibkan mengamalkan madzhab yang dipelajari secara keseluruhan.

Sebagian ulama mewajibkan mengamalkan madzhab yang dipelajari secara keseluruhan agar tidak jatuh pada tatabbu’ rukhos akan tetapi pendapat ini sangat sulit dilakukan di zaman ini sehingga pendapat jumhur menjadi solusi untuk diamalkan.

Olehnya itu, Jika hukum mengamalkan satu madzhab adalah boleh menurut mayoritas ulama maka mengajak awam untuk mempelajari satu madzhab tertentu dan mengamalkannya tidaklah terlarang selama tidak mewajibkan atau melazimkan sesuai pendapat jumhur, bahkan jika ada yang mau mengamalkan satu madzhab secara keseluruhan agar terhindar dari tatabu’ rukhos maka hal tersebut pun tidak terlarang.

Hal ini berbeda dengan pandangan sebagian kalangan yang memaksakan pendapatnya dengan pernyataan yang saklek; “kalau anda bermadzhab syafi’i kemudian ketika thawaf di ka’bah anda bersentuhan dengan wanita non mahram kemudian anda berpindah ke madzhab lain yang tidak membatalkan wudhu maka anda bukanlah syafi’i sejati”.

Opini ini digiring oleh mereka yang sama sekali tidak mendalami fiqih madzhab demi menguatkan pendapatnya.

Padahal ulama syafi’i mengatakan, seseorang yang bermadzhab syafi’i yang mengamalkan madzhab yang dipelajari kemudian dalam beberapa masail ia keluar dan taklid kepada imam yang lain maka hal tersebut sama sekali tidak mengeluarkan ia dari madzhab yang dianut. (Tentunya dengan memperhatikan tidak jatuh pada tatabu’ rukhos serta talfiq yang terlarang)

Yang demikian dikarenakan hukum asal bagi muqollid adalah ia boleh taklid kepada mujtahid manapun, sehingga ketika ada yang mengamalkan madzhab syafi’i dengan status sebagai muqollid kemudian ia pindah ke madzhab lain dengan status yang sama maka hal tersebut tidak ada bedanya.

Bahkan madzhab hambali lebih mempertegas lagi akan kehambalian seseorang meskipun ia intiqal dan taklid ke imam yang lain.

Berkata abul Ma’ali pengarang kitab Nihayah :

كل أقوال المذاهب الأربعة في مذهب أحمد. ولذلك فإن من ينتسب لمذهب الإمام أحمد لو أخذ بقول إبي حنيفة أو مالك أو شافعي فإنه لم يخرج عن قول أحمد، لأنه أخذ بأحد الأقوال في مذهبه، كل أقوال المذاهب موجودة في هذا المذهب.

Terjemahan ringkasnya; siapapun yang bermadzhab hambali ketika ia mengamalkan pendapat abu hanifah, malik syafi’i maka semua pendapat tersebut ada didalam riwayat imam ahmad sehingga yang demikian tidak mengeluarkan ia dari madzhab hambali.

Yang demikianpun bisa terjadi diluar madzhab hambali karena setiap madzhab memilki banyak riwayat dari imamnya.

Hambali tapi Qunut Subuh; ya tetap dianggap dan diakui kehambaliannya. Hambali tapi jahr basmallah, ya tetap diakui kehambaliannya.

Berbeda dengan orang sekarang yang menjadi kokoh dan sejati yang diakui adalah ketika ia tidak menyelisihi gurunya, atau fatwa yang ada dikomunitasnya.

Maka heran dengan sebagian penuntut ilmu yang mentahdzir Syaikh ‘Utsman al khamis hafidzahullah yang berpendapat sahnya puasa orang yang tidak shalat karena menyelisihi pendapatnya Syaikh Sholih Fauzan hafidzahullah.

Padahal apa yang beliau sampaikan adalah salah satu dari pendapat madzhab yang empat.

(Gambar hanyalah pemanis☺️)

Leave a comment