bahaya takhbib


Saya memang pernah menulis tentang bahaya takhbib tahun 2016 lalu. Ketika itu banyak terjadi, pulang reuni justru memicu keretakan rumah-tangga gara-gara CLBK (cinta lama belum kelar), padahal dulu sebenarnya bertepuk sebelah tangan. Bahkan ada yang bukan bertepuk sebelah tangan karena mau bilang saja takut. Jadi, tangan saja belum diangkat, bagaimana bisa disebut bertepuk sebelah tangan?

Mohammad Fauzil Adhim

Tetapi dari pertemuan yang sebentar itu, akhirnya diikuti oleh pertemuan-pertemuan berikutnya, secara fisik maupun virtual melalui media sosial. Dari sinilah ada yang kemudian terjatuh pada takhbib. Nah, urusan terakhir ini yang beberapa waktu terakhir banyak disampaikan kepada saya, meskipun saya membatasi hanya pada soal takhbib dan sedikit memberi contoh sebab.

Apa sih takhbib (تَخْبِيبٌ) itu? Secara ringkas Imam Adz-Dzahabi menerangkan dalam Al-Kabair tentang makna takhbib, yakni:

إِفْسَادُ قَلْبِ الْمَرْأَةِ عَلَى زَوْجِهَا⁣

”Merusak hati wanita terhadap suaminya.”

Secara lebih luas, takhbib adalah segala bentuk tindakan yang mendorong terjadinya keretakan rumah-tangga, termasuk memunculkan rasa saling tidak suka antara suami dan istri, meskipun hal tersebut muncul sebagai akibat dari empati yang kita berikan, kesediaan menerima curhat dan menunjukkan perhatian sehingga memunculkan rasa cinta kepada yang dicurhati atau mengobarkan rasa tidak suka kepada suami ataupun kepada istri. Itu sebabnya, seseorang yang menerima curhat maupun konseling hendaknya memiliki bekal memadai. Bukan sekedar memiliki pengetahuan mengenai aturan formal suami-istri. Tanpa bekal memadai, maksud hati membantu jama’ah, tetapi yang terjadi justru transferensi (istilah psikologinya untuk klien yang jatuh cinta pada konselor, terutama klien yang memiliki keruwetan psikologis).

Nah, pernikahan karena transferensi inilah yang rawan menimbulkan konflik besar yang merembet kemana-mana. Alhasil, yang awalnya ingin amal shalih menjadi bagian dari solusi, justru terjatuh menjadi bagian dari masalah. Lebih ruwet lagi jika justru menjadi bagian terbesar dari pusaran masalah.

Keruwetan dapat semakin bertambah manakala transferensi itu berujung poligami yang tergesa-gesa, sementara klien tak resmi yang sudah menjadi istri sebenarnya masih berada pada fase “puber hijrah”. Penampilan fisik “memang sudah hijrah”, tetapi lisan dan pola pikir masih belum.

Tetapi kembali pada soal takhbib. Apakah mungkin seorang perempuan melakukan takhbib? Jawabnya sederhana, takhbib alias merusak rumah-tangga orang itu dapat dilakukan oleh siapa saja, termasuk perempuan. Bahkan takhbib bisa terjadi pada orang yang memiliki maksud baik, tetapi ia tidak memiliki ilmunya untuk menunjukkan empati atau mendengar curhat. Awalnya empati, tetapi justru tergelincir pada tindakan yang sangat dibenci agama. Resiko ini lebih besar lagi manakala seorang perempuan menerima curhat dari teman laki-laki.

Bagaimana dengan seseorang yang menjadi istri kedua, ketiga atau keempat? Mungkinkah ia melakukan takhbib? Sangat mungkin. Amat sangat mungkin. Lebih runyam lagi kalau pada saat yang sama, ia terjatuh kepada apa yang telah diperingatkan oleh RasuluLlah ﷺ yang petunjuknya pasti benar.

Dari Abu Hurairah bahwa Nabi ﷺ bersabda:

لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تَسْأَلُ طَلاَقَ أُخْتِهَا لِتَسْتَفْرِغَ صَحْفَتَهَا فَإِنَّمَا لَهَا مَا قُدِّرَ لَهَا⁣

“Tidak dihalalkan bagi seorang wanita meminta (kepada suaminya) agar menceraikan saudara perempuannya (istrinya yang lain); untuk mengosongkan piringnya (memiliki suaminya sepenuhnya), akan tetapi dia memiliki apa yang sudah ditakdirkan kepadanya”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Apa yang dimaksud dengan saudara perempuan (أُخْت) di dalam hadis ini? Perempuan yang sama-sama menjadi istri dari suaminya, khususnya istri yang lebih awal. Sedangkan yang dimaksud dengan mengosongkan piring ialah agar dia menjadi istri satu-satunya dengan jalan memanas-manasi suami untuk menceraikan istrinya yang lain; semisal istri pertama.

Mari kita perhatikan hadis berikut. RasuluLlah ﷺ bersabda:

لَا تَسْأَل الْمَرْأَة طَلَاق أُخْتهَا لِتَسْتَفْرِغ صَحْفَتهَا فَإِنَّ الْمُسْلِمَة أُخْت الْمُسْلِمَة⁣

“Janganlah seorang wanita menuntut cerai (kepada calon suaminya) untuk mengosongkan piringnya (memiliki suaminya sepenuhnya), karena seorang muslimah itu saudara muslimah lainnya.” (HR. Ibnu Hibban).

22 comments

Rhiendra

izin share ya ustadz 🙏🏻

Leave a comment