Bantahan Terhadap Muhammad Abduh Tuasikal


BANTAHAN TERHADAP WAHABI
(Bantahan Terhadap Muhammad Abduh Tuasikal)
https://rumaysho.com/11958-sepakat-ulama-tentang-di-mana-allah.html

Muhammad Abduh Tuasikal berkata :
Barangkali ada yang bertanya, di mana Allah? Allah di atas sana, di atas langit, di atas seluruh makhluk-Nya. Jawaban di atas menjadi kata sepakat ulama.

Jawaban :
Faktanya tidak ada satupun ulama Ahlussunnah yang mengajarkan dan berkata : “Jika ditanya dimana Allah maka jawablah di atas langit !”. Karena para ulama Ahlussunnah tidak memahami pertanyaan Nabi ﷺ untuk budak wanita secara tekstualis, mereka menetapkan dzohir sifat fauqiyah (fauqo dan ‘ala) atau Istawa bukan sebagai jawaban untuk pertanyaan dimana Allah, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Baihaqi rahimahullah :
لَكِنَّهُ مُسْتَوٍ عَلَى عَرْشِهِ كَمَا أَخْبَرَ بِلَا كَيْفٍ بِلَا أَيْنَ
Akan tetapi Allah adalah yang beristiwa di atas Arsy Nya sebagaimana Allah telah mengabarkan dengan tidak ada kaif dan tidak ada pertanyaan dimana.
Kitab Al I’tiqod ‘ala Madzhab As Salaf. 116/1.

Dimana adalah pertanyaan untuk menanyakan tempat sedangkan Allah ada tanpa tempat. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Baihaqi rahimahullah :
وَأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَا مَكَانَ لَهُ
Sesungguhnya Allah ta’ala (ada) dan tidak ada tempat baginya.
Kitab Al Asma Wa Shifat. 370/2.

Maka para ulama Ahlussunnah sesungguhnya menetapkan sifat fauqiyah dan istawa disertai diam dari menjelaskan yang dimaksud dan menyerahkan maksudnya kepada Allah ﷻ. Yang demikian paling selamat daripada mentakwil, karena sepakat para ulama ahlussunnah menetapkan takwil tidak wajib. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah yang menukil dari Imam Baihaqi rahimahullah :
قَالَ الْبَيْهَقِيُّ وَأَسْلَمُهَا الْإِيمَانُ بِلَا كَيْفٍ وَالسُّكُوتُ عَنِ الْمُرَادِ إِلَّا أَنْ يَرِدَ ذَلِك عَن الصَّادِق فيصار إِلَيْهِ وَمن الدَّلِيلَ عَلَى ذَلِكَ اتِّفَاقُهُمْ عَلَى أَنَّ التَّأْوِيلَ الْمُعَيَّنَ غَيْرُ وَاجِبٍ فَحِينَئِذٍ التَّفْوِيضُ أَسْلَمُ
Imam Baihaqi berkata : Paling selamat adalah beriman dengan tidak ada kaif dan diam dari menjelaskan apa yang dimaksud kecuali ada keterangan dari Ash Shadiq (Nabi ﷺ) maka dijadikan keterangan itu penjelasan maksudnya. Dan sebagian dari dalil di atas pendapat demikian adalah kesepakatan mereka di atas pendapat menetapkan takwil yang ditentukan bukan yang wajib, maka seketika itu tafwidh (menyerahkan maksudnya kepada Allah) adalah paling selamat.
Kitab Fathul Baari. 30/3.

Muhammad Abduh Tuasikal berkata :
Para ulama telah sepakat bahwa Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy-Nya. Allah berada di ketinggian di atas langit sana, bukan berada di muka bumi. Allah berada di atas seluruh makhluk-Nya, bukan di mana-mana.

Jawaban :
Fakta yang sebenarnya adalah tidak ada satupun ulama Ahlussunnah yang menetapkan sifat fauqiyah dan sifat Istawa disertai meyakini maknanya menetap tinggi di atas ‘Arsy Nya, berada di ketinggian di atas langit. Yang demikian hanyalah sangkaan Muhammad Abduh Tuasikal yang mendapatkan perkataan para ulama salaf atau ulama ahlussunnah hanya dari membaca kitab, bukan dengan sanad lalu difahami secara otodidak, sehingga penjelasannya berbeda dengan orang yang mendapatkan perkataan salaf dengan sanad seperti Imam Baihaqi dan selainnya. Segera akan kami jelaskan kesalahan Muhammad Abduh Tuasikal secara terperinci pada jawaban bagi perkataan – perkataannya yang keliru selanjutnya.

Muhammad Abduh Tuasikal berkata :
Berikut kami buktikan keyakinan di atas berdasarkan kata sepakat para ulama.
1- Kata Ijma’ Ulama
‘Abdurrahman bin Abi Hatim berkata, ayahku menceritakan kepada kami, ia berkata aku diceritakan dari Sa’id bin ‘Amir Adh Dhuba’i bahwa ia berbicara mengenai Jahmiyah. Beliau berkata,
الجهمية فقال هم شر قولا من اليهود والنصارى قد إجتمع اليهود والنصارى وأهل الأديان مع المسلمين على أن الله عزوجل على العرش وقالوا هم ليس على شيء
“Jahmiyah lebih jelek dari Yahudi dan Nashrani. Telah diketahui bahwa Yahudi dan Nashrani serta agama lainnya bersama kaum muslimin bersepakat bahwa Allah ‘azza wa jalla menetap tinggi di atas ‘Arsy. Sedangkan Jahmiyah, mereka katakan bahwa Allah tidak di atas sesuatu pun.” (Lihat Al-‘Uluw li Al-‘Aliyyi Al- Ghaffar, hlm. 157 dan Mukhtashor Al ‘Uluw, hlm. 168)

Jawaban :
Muhammad Abduh Tuasikal menukil perkataan ‘Abdurrahman bin Abi Hatim dari kitab Al ‘Uluw li Al ‘Aliyyi Al Ghaffar karya Imam Adz Dzahabi rahimahullah, namun ia tidak menukil seluruh kitab tersebut, terutama bagian penting dari penjelasan Imam Adz Dzahabi. Padahal Imam Adz Dzahabi sudah menjelaskan bahwa menetapkan sifat fauqiyah dan istawa itu disertai meyakini dzat Allah suci dari tanda – tanda baru. Sebagaimana yang dinukil oleh Imam Adz Dzahabi dari Imam Al Baghowi rahimahullah :
الأولى فِي هَذِه الْآيَة وَمَا شاكلها أَن يُؤمن الْإِنْسَان بظاهرها ويكل علمهَا إِلَى الله ويعتقد أَن الله منزه عَن سمات الْحَدث على ذَلِك مَضَت أَئِمَّة السّلف وعلماء السّنة
Yang paling utama di dalam ayat ini dan ayat ayat – ayat yang menyerupainya adalah seorang manusia beriman dengan dzohirnya dan menyerahkan ilmunya kepada Allah, meyakini sesungguhnya Allah adalah yang disucikan dari tanda – tanda baru. Di atas madzhab yang demikian telah berlalu aqidah para Imam salaf dan para ulama Sunnah.
Kitab Al ‘Uluw li Al ‘Aliyyi Al Ghaffar. 262/1.

Apa yang dinukilkan oleh Imam Adz Dzahabi dari Imam Al Baghowi sangat jelas dan mudah difahami. Dzat Allah ta’ala suci dari tanda – tanda baru maka mustahil meyakini dzat Allah ta’ala berada pada satu arah atau berada di atas sesuatu yang mewajibkan dzat Allah memiliki batas dan ada ujungnya. Itu semua adalah tanda – tanda baru bagi dzat Allah ta’ala. Karena ketika mahluk belum diciptakan dzat Allah ta’ala tidak memiliki tanda – tanda itu semua. Oleh sebab itulah seseorang harus menyerahkan ilmunya kepada Allah, yaitu makna dan maksud dari sifat fauqiyah atau sifat istawa yang disifatkan kepada Allah ta’ala. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Adz Dzahabi rahimahullah dengan menukil perkataan Imam Haramain yang merupakan ulama pembesar madzhab Asy’ariah tanpa ada pengingkaran sedikit pun :
وَذهب أَئِمَّة السّلف إِلَى الانكفاف عَن التَّأْوِيل وإجراء الظَّوَاهِر على مواردها وتفويض مَعَانِيهَا إِلَى الرب عزوجل
Para Imam salaf menempuh madzhab tidak mentakwil dan memberlakukan dzohir – dzohir ayat sesuai letak waridnya dan mentafwidh makna – maknanya kepada Rabb ‘azza wa jalla.
Kitab Al ‘Uluw li Al ‘Aliyyi Al Ghaffar. 257/1.

Perkataan Imam Haramain tersebut diulang kembali oleh Imam Adz Dzahabi rahimahullah dan dijadikan sebagai pendapatnya dengan perkataannya :
فَقَولُنَا فِي ذَلِكَ وَبَابِهِ: الإِقرَارُ، وَالإِمْرَارُ، وَتَفْويضُ مَعْنَاهُ إِلَى قَائِلِه الصَّادِقِ المَعْصُومِ
Pendapat kami di dalam sifat demikian dan di dalam bab nya adalah berikrar, membiarkan (tanpa takwil) dan mentafwidh maknanya kepada yang mengatakannya yang memiliki sifat shadiq lagi ma’shum.
Kitab Siyar A’lam An Nubala. 105/8.

Apa yang dilakukan Muhammad Abduh Tuasikal sangat ceroboh sekali. Karena dia menukil perkataan ulama dalam satu kitab lalu difahami secara otodidak tanpa menukil penjelasan ulama yang menulis kitab tersebut, sehingga semua perkataan Muhammad Abduh Tuasikal bukan menjadi ilmu melainkan menjadi fitnah terhadap ulama yang dinukil perkataannya dan ulama yang menulis kitab yang dinukil olehnya. Semoga Allah memberi taufik dan hidayah kepadanya.

Muhammad Abduh Tuasikal berkata :
Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad semuanya bersepakat bahwa Allah menetap tinggi di atas seluruh makhluk-Nya.
Imam Abu Hanifah mengatakan dalam Fiqh Al-Akbar,
مَنْ اَنْكَرَ اَنَّ اللهَ تَعَالَى فِي السَّمَاءِ فَقَدْ كَفَرَ
“Barangsiapa yang mengingkari keberadaan Allah di atas langit, maka ia kafir.” (Lihat Itsbatu Shifat Al- ‘Uluw, Ibnu Qudamah Al Maqdisi, hlm. 116-117)

Imam Malik bin Anas mengatakan,
اللهُ فِي السَّمَاءِ وَعِلْمُهُ فِي كُلِّ مَكَانٍ لاَ يَخْلُوْ مِنْهُ شَيْءٌ
“Allah berada di atas langit. Sedangkan ilmu-Nya berada di mana-mana, segala sesuatu tidaklah lepas dari ilmu-Nya.” (Lihat Al-‘Uluw li Al-‘Aliyyi Al- Ghaffar, hlm. 138)
Diriwayatkan dari Yahya bin Yahya At Taimi, Ja’far bin ‘Abdillah, dan sekelompok ulama lainnya, mereka berkata, “Suatu saat ada yang mendatangi Imam Malik, ia berkata: “Wahai Abu ‘Abdillah (Imam Malik), Allah Ta’ala berfirman,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy.” (QS. Thaha: 5). Lalu bagaimana Allah beristiwa’ (menetap tinggi)?” Dikatakan, “Aku tidak pernah melihat Imam Malik melakukan sesuatu (artinya beliau marah) sebagaimana yang ditemui pada orang tersebut. Urat beliau pun naik dan orang tersebut pun terdiam.” Kecemasan beliau pun pudar, lalu beliau berkata,
الكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُوْلٍ وَالإِسْتِوَاءُ مِنْهُ غَيْرُ مَجْهُوْلٍ وَالإِيْمَانُ بِهِ وَاجِبٌ وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ وَإِنِّي أَخَافُ أَنْ تَكُوْنَ ضَالاًّ
“Hakekat dari istiwa’ tidak mungkin digambarkan, namun istiwa’ Allah diketahui maknanya. Beriman terhadap sifat istiwa’ adalah suatu kewajiban. Bertanya mengenai (hakekat) istiwa’ adalah bid’ah. Aku khawatir engkau termasuk orang sesat.” Kemudian orang tersebut diperintah untuk keluar. (Lihat Al-‘Uluw li Al-‘Aliyyi Al-Ghaffar, hlm. 378)
Inilah perkataan yang shahih dari Imam Malik. Perkataan beliau sama dengan robi’ah yang pernah kami sebutkan. Itulah keyakinan Ahlus Sunnah.

Imam Syafi’i berkata,
القول في السنة التي أنا عليها ورأيت اصحابنا عليها اصحاب الحديث الذين رأيتهم فأخذت عنهم مثل سفيان ومالك وغيرهما الإقرار بشهادة ان لااله الا الله وان محمدا رسول الله وذكر شيئا ثم قال وان الله على عرشه في سمائه يقرب من خلقه كيف شاء وان الله تعالى ينزل الى السماء الدنيا كيف شاء وذكر سائر الاعتقاد
“Perkataan dalam As Sunnah yang aku dan pengikutku serta pakar hadits meyakininya, juga hal ini diyakini oleh Sufyan, Malik dan selainnya : “Kami mengakui bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah. Kami pun mengakui bahwa Muhammad adalah utusan Allah.” Lalu Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Sesungguhnya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya yang berada di atas langit-Nya, namun walaupun begitu Allah pun dekat dengan makhluk-Nya sesuai yang Dia kehendaki. Allah Ta’ala turun ke langit dunia sesuai dengan kehendak-Nya.” Kemudian beliau rahimahullah menyebutkan beberapa keyakinan (i’tiqod) lainnya. (Lihat Itsbatu Shifat Al-‘Uluw, hlm. 123-124)

Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanya, “Apa makna firman Allah,
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ
“Dan Allah bersama kamu di mana saja kamu berada.” (QS. Al-Hadid: 4)
مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ
“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya.” (QS. Al-Mujadilah: 7)
Yang dimaksud dengan kebersamaan tersebut adalah ilmu Allah. Allah mengetahui yang ghoib dan yang nampak. Ilmu Allah meliputi segala sesuatu yang nampak dan yang tersembunyi. Namun Rabb kita tetap menetap tinggi di atas ‘Arsy, tanpa dibatasi dengan ruang, tanpa dibatasi dengan bentuk. Kursi-Nya meliputi langit dan bumi. Kursi-Nya pun meliputi langit dan bumi.”

Diriwayatkan dari Yusuf bin Musa Al Ghadadiy, beliau berkata,
قيل لأبي عبد الله احمد بن حنبل الله عز و جل فوق السمآء السابعة على عرشه بائن من خلقه وقدرته وعلمه بكل مكان قال نعم على العرش و لايخلو منه مكان
Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanyakan, “Apakah Allah ‘azza wa jalla berada di atas langit ketujuh, di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya, sedangkan kemampuan dan ilmu-Nya di setiap tempat (di mana-mana)?” Imam Ahmad pun menjawab, “Betul sekali. Allah berada di atas ‘Arsy-Nya, setiap tempat tidaklah lepas dari ilmu-Nya.” (Lihat Itsbatu Shifat Al-‘Uluw, hlm. 116).

Jawaban :
Semua yang dikatakan Muhammad Abduh Tuasikal di dalam menjelaskan dan menterjemahkan perkataan Imam 4 Madzhab tersebut sama sekali bukan yang dikehendaki para Imam 4 Madzhab. Muhammad Abduh Tuasikal menjelaskan secara otodidak tanpa menukil penjelasan di dalam kitab yang dia kutip.
Untuk menjawab Muhammad Abduh Tuasikal cukup penjelasan salah satu Imam 4 madzhab yang dinukil perkataannya. Karena seluruh Imam tersebut tegak di atas aqidah yang sama, sehingga jika salah satu sudah menjawab maka mewakili aqidah para Imam lainnya.
Disana Muhammad Abduh Tuasikal menukil perkataan Imam Abu Hanifah dari kitab Al Fiqhul Akbar. Maka cukup bagi kami menjawab dengan penjelasan dari kitab yang sama, yaitu kitab Al Fiqhul akbar.
Perkataan Imam Abu Hanifah yang dinukil oleh Muhammad Abduh Tuasikal sama sekali tidak menunjukkan keyakinan Imam Abu Hanifah meyakini Allah berada di atas langit. Mahas suci Allah dari sifat demikian. Karena maksud yang dikehendaki oleh Imam Abu Hanifah adalah : Barang siapa mengingkari penetapan sifat di atas langit disertai aqidah tanzih dan menyerahkan maksudnya kepada Allah maka dia kafir.
Sebagaimana yang dikatakan Imam Adz Dzahabi rahimahullah :
قُلْتُ: مَنْ أَقَرَّ بِذَلِكَ تَصْدِيْقاً لِكِتَابِ اللهِ، وَلأَحَادِيْثِ رَسُوْلِ اللهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَآمَنَ بِهِ مُفَوِّضاً مَعْنَاهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَلَمْ يَخُضْ فِي التَّأْوِيْلِ وَلاَ عَمَّقَ، فَهُوَ المُسْلِمُ المُتَّبِعُ، وَمَنْ أَنْكَرَ ذَلِكَ، فَلَمْ يَدْرِ بِثُبُوْتِ ذَلِكَ فِي الكِتَابِ وَالسُّنَّةِ، فَهُوَ مُقَصِّرٌ وَاللهِ يَعْفُو عَنْهُ، إِذْ لَمْ يُوجِبِ اللهُ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ حِفظَ مَا وَرَدَ فِي ذَلِكَ، وَمَنْ أَنكَرَ ذَلِكَ بَعْدَ العِلْمِ، وَقَفَا غَيْرَ سَبِيْلِ السَّلَفِ الصَّالِحِ
Aku berkata : Barang siapa telah berikrar dengan sifat demikian karena membenarkan kitabullah dan hadits – hadits Rasulullah ﷺ, beriman dengannya, seraya yang mentafwidh maknanya kepada Allah dan Rasul Nya, dia tidak menetapkan dan mendalami takwil maka dia adalah seorang muslim yang ittiba’. Dan barang siapa yang mengingkari demikian, dia tidak tahu ketetapan yang demikian di dalam Al Qur’an dan sunnah maka dia adalah orang yang lalai, semoga Allah memaafkannya, karena Allah tidak mewajibkan kepada setiap umat muslim menghafal keterangan – keterangan di dalam hal demikian. Dan barang siapa mengingkari yang demikian sesudah mengetahui (karena diberi tahu), maka dia menetapi jalan selain jalan salafush shalih.
Kitab Siyar A’lam An Nubala. 374/14.

Kita bisa mengetahui bahwa Imam Abu Hanifah tidak meyakini sifat fauqiyah secara tekstualis dari dua hal. Pertama, Imam Abu Hanifah menetapkan semua sifat azaliyyah, sama saja apakah itu sifat dzat atau sifat perbuatan. Maka mustahil meyakini berada di atas langit karena sifat demikian adalah sifat muhdats.
Imam Abu Hanifah berkata :
اما الذاتية فالحياة وَالْقُدْرَة وَالْعلم وَالْكَلَام والسمع وَالْبَصَر والارادة وَأما الفعلية فالتخليق والترزيق والإنشاء والإبداع والصنع وَغير ذَلِك من صِفَات الْفِعْل لم يزل وَلَا يزَال بصفاته وأسمائه لم يحدث لَهُ صفة وَلَا اسْم
Sifat dzatiyah yaitu sifat hidup, kuasa, ilmu, berbicara, mendengar, melihat dan berkehendak. Dan adapun sifat fi’liyyah (perbuatan), yaitu menciptakan, memberi rizki, menumbuhkan, mengadakan, membuat dan selain yang demikian dari sifat-sifat perbuatan. Allah senantiasa dan tidak akan punah dengan sifat – sifat Nya dan asma – asma Nya, sifat dan asma bagi Nya bukan baru.
Kitab Al Fiqhul Akbar. 16/1.

Kedua, Imam Abu Hanifah memiliki keyakinan tanzih yang mensucikan dzat Allah dari tanda – tanda jisim seperti jarak. Sehingga Imam Abu Hanifah menjelaskan bahwa Allah adalah yang disucikan dari jarak dengan mahluknya. Imam Abu Hanifah berkata :
وَلَا يكون بَينه وَبَين خلقه مَسَافَة
Tidak ada jarak antara dzat Allah dengan ciptaan Nya.
Kitab Al Fiqhul Akbar. 53/1.

Imam Abu Hanifah juga menjelaskan bahwa dekat dan jauh yang disifatkan kepada Allah tidak boleh difahami dengan makna jarak pendek atau panjang. Imam Abu Hanifah berkata :
وَلَيْسَ قرب الله تَعَالَى وَلَا بعده من طَرِيق طول الْمسَافَة وقصرها وَلَكِن على معنى الْكَرَامَة والهوان والمطيع قريب مِنْهُ بِلَا كَيفَ والعاصي بعيد مِنْهُ بِلَا كَيفَ
Dekatnya Allah dan jauhnya bukan dari makna jarak panjang dan pendek, akan tetapi berdasarkan makna kemuliaan dan kehinaan. Orang yang ta’at adalah orang yang dekat dari Allah dengan tidak ada kaif, sedangkan orang yang maksiat adalah orang yang jauh dari Allah dengan tidak ada kaif.
Kitab Al Fiqhul Akbar. 67/1.

Jelas sekali Imam Abu Hanifah tidak meyakini Allah berada di atas langit, karena berada di atas langit artinya ada jarak antara dzat Allah dengan manusia di bumi.
Meniadakan jarak antara dzat Allah dengan mahluknya tidak melazimkan meyakini dzat Allah menyatu dengan mahluk, karena menyatu dengan mahluk adalah sifat yang muhdats, sedangkan Imam Abu Hanifah sudah mengatakan bahwa sifat – sifat Allah azaliyyah bukan yang muhdats. Tidak ada sifat muhdats bagi Allah ta’ala.
Dari paparan tersebut umat muslim bisa mengetahui bahwa Muhammad Abduh Tuasikal menukil kitab ulama bukan untuk mencari kebenaran, melainkan untuk membuat fitnah, karena dia menukil sebagian kitab dan meninggalkan bagian lain yang merupakan penjelasan dari penetapan sifat fauqiyah yang disifatkan kepada Allah ta’ala.

Muhammad Abduh Tuasikal berkata :
Ahmad bin Abdul Halim Al-Harani (yang dikenal dengan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah) berkata,
قَالَ بَعْضُ أَكَابِرِ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ : فِي الْقُرْآنِ ” أَلْفُ دَلِيلٍ ” أَوْ أَزْيَدُ : تَدُلُّ عَلَى أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى عَالٍ عَلَى الْخَلْقِ وَأَنَّهُ فَوْقَ عِبَادِهِ . وَقَالَ غَيْرُهُ : فِيهِ ” ثَلَاثُمِائَةِ ” دَلِيلٍ تَدُلُّ عَلَى ذَلِكَ
“Sebagian ulama besar Syafi’iyah mengatakan bahwa dalam Al-Qur’an ada 1000 dalil atau lebih yang menunjukkan Allah itu berada di ketinggian di atas seluruh makhluk-Nya. Sebagian mereka lagi mengatakan ada 300 dalil yang menunjukkan hal ini.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 5: 121)
Yang namanya ijma’ atau kata sepakat ulama seperti yang kami nukilkan sudah menjadi dalil kuat bahwa Allah berada di atas ‘Arsy-Nya, menetap tinggi di atas seluruh makhluk-Nya. Siapa yang menyelisihi akidah ini, dialah yang keliru.
Karena disebutkan dalam hadits,
إِنَّ أُمَّتِى لَا تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلاَلَةٍ
“Sesungguhnya umatku tidak akan mungkin bersepakat dalam kesesatan.” (HR. Ibnu Majah no. 3950)
Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.

Jawaban :
Diakhir tulisannya Muhammad Abduh Tuasikal menukil perkataan Ibnu Taimiyah yang merupakan ulama panutannya yang memang mengajarkan kepada para pengikutnya untuk menetapkan sifat fauqiyah dan sifat istawa secara indrawi dengan makna berada di atas sesuatu dan mewajibkan batas dan ujung bagi dzat Allah. Maha suci Allah dari sifat demikian. Tidak ada satupun ulama ahlussunnah wal jama’ah yang memahami secara tekstualis dalil – dalil yang disebutkan Ibnu Taimiyah. Adapun klaim ijma yang dikatakan Muhammad Abduh Tuasikal yang berada di atas keyakinannya adalah suatu kedustaan dan fitnah sebagaimana yang sudah kami paparkan sebelumnya.
Semoga Allah menjaga kaum muslimin dari fitnah yang ditebarkan Muhammad Abduh Tuasikal. Amin yaa rabbal ‘alamin.

Abdurrachman Asy Syafi’iy Al Bughuriy.

Leave a comment