Archives

KISAH TRAGIS SANTRI YANG HAFAL KITAB TUHFATUL MUHTAJ YANG JADI PENJUAL ARANG


KISAH TRAGIS SANTRI YANG HAFAL KITAB TUHFATUL MUHTAJ YANG JADI PENJUAL ARANG

Cps.ust abiya jeuneib

الأدب قبل العلم

Dahulukan ahlak sebelum ilmu

بالأدب تفهم العلم

Dengan ahlaklah kamu bisa memahami ilmu

Pada kesempatan kali ini kita akan menceritakan tentang kisah tragis dari seorang santri yang sangat pandai namun ia tidak memiliki Etika kepada gurunya sendiri.

Kisah ini kita dapatkan dari guru kita Syidi Syeikh Muhammad bin Ali Ba’atiyah beliau dari gurunya Al Allamah Al Habib Abdullah bin Shodiq Al Habsyi, beliau dari gurunya Al Allamah Al Habib Abdullah bin Umar As Syatiri sekaligus beliau tokoh yang dimaksud dalam cerita ini.

Dikisahkan di Tarim Yaman terdapat suatu pesantren yang bernama “Rubath Tarim”, pesantren ini telah melahirkan puluhan ribu Ulama’ yang tersebar diseluruh dunia. disana para santri diajarkan berbagai macam ilmu, khususnya spesifikasi Ilmu Fiqh sebagai keunggulannya.

Di pesantren itu pula ada seorang santri anggap saja namanya “Fulan”, si Fulan ini merupakan seorang santri yang menetab 13 tahun bersama habib abdullah bin umar as syatiri dan sangat cerdas, kuat hafalannya, tangkas dan rajin hingga dikatakan bahwa ia menjadi santri yang sudah mencapai derajat Mufti saking pintarnya. ia juga hafal semua mas’alah fiqhiyah yang terdapat dalam kitab “Tuhtatul Muhtaj” sebuah kitab yang tebalnya 10 jilid cetakan darud diyak atau 4 jilid cetakan darul kutub ilmiyah.

Kesehariannya di pesantren, si Fulan ini disukai oleh teman temannya sebab ia dibutuhkan oleh rekannya untuk menjelaskan pelajaran yang belum difahami serta mengajar kitab kitab lainnya. 13 tahun menjadi santri Rubath Tarim tentu saja hampir dipastikan kapasitasnya ia termasuk Ulama’ besar. Namanya pun tersohor hingga keluar pesantren bahwa ia termasuk calon Ulama besar yang akan muncul berikutnya.

Hingga akhirnya Syetan mengelabuhi si fulan, iapun merasa orang yang paling Alim, bahkan ia merasa kualitas dirinya sejajar dengan kealiman guru besarnya. Tidak cukup sampai disitu, kesombongan itu berlanjut hingga ia berani memanggil gurunya dengan namanya saja; “Ya Abdullah / Duhai Abdullah”!!!. Dimata para Ahli ilmu hal ini sungguh ini tindakan yang sangat sangat tercela dan kesombongan yang nyata.

قال سيدي الشيخ محمد بن علي باعطية الدوعني:

من نادى شيخه باسمه لم يمت حتى يذوق الفقر المعنوي من العلم

Barang siapa ya memangil gurunya dengan sebutan namanya langsung (tidak mengagungkannya ketika memanggil ) maka dia tak akan meninggal kecuali sudah merasakan hidup yang faqir baik dalam ilmu maupun material.

Melihat kesombongan si fulan, Al Habib Abdullah As Syatiri sabar dan memilih diam saja. Syidi Syeikh Muhammad bin Ali Ba’atiyah mengatakan; “Diamnya seorang guru saat muridnya tidak sopan pada gurunya tetap akan mendapatkan Adzab dari Allah s.w.t.”

Kesombongan itupun berlanjut, si fulan pada suatu hari akan keluar dari Rubath Tarim untuk menuju kota Mukalla untuk berdakwah. Iapun keluar dari pesantren begitu saja tanpa izin kepada Al Habib Abdullah As Syatiri, hingga pada saat “Madras Ribath” sebutan untuk pengajian rutinan di rubath tarim, Habib Abdullah menanyakan perihal keberadaan si fulan yang biasanya duduk di depan namun tidak Nampak kelihatan;

“kemanakah si fulan???”, sebagian murid yang mengetahui menjawab “si fulan sedang berdakwah ke kota Mukalla”, habib berkata “apakah dia izin kepadaku??”, sontak murid yang lain diam saja. Dan Habib Abdullah kemudian berkata “baiklah, kalau begitu biarkan si fulan pergi akan tetapi ilmunya tetap disini!!!.”

Di sisi lain di kota Mukalla Yaman, para ahli ilmu dan tholib ilim dan para pecinta habib abdullah as syatiri yang mendengar bahwa si fulan santri senior rubath tarim akan mengisi ceramah di Masjid Baumar mukalla kodim merekapun berbondong-bondong datang, mereka pun mempersilahkan si fulan untuk memberikan ceramahnya.

Si fulan naik kemimbar dan memulai isi ceramahnya, ia memulai dengan basmalah, hamdalah, sholawat kepada nabi amma ba’du. Kemudian ia membaca sebuah ayat

وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون(٥٦) وما أريد منهم من رزق وما أريد أن يطعمون (٥٧) إن الله هو الرزاق ذو القوت المتين (٥٨) سورة الذاريات

dan ingin menjelaskan ayat ini. namun ternyata dia terdiam seperti kayu yang berdiri tegak dan kebingungan tak mampu berbicara menjelaskan ayat tersebut . Hingga dia duduk lima menit dia terdiam dihadapan jama’ah di hadapannya dia menoleh ke jama’ah dan mereka juga memandang si fulan . Hingga akhirnya dia duduk menangis karena semua ilmu yang pernah ia hafal hilang seketika. Bahkan kitab kecil safinatun najah tak hafal satu kalimat pun apa lagi kitab tuhfah yg awalnya telah di hafal .

Ketika di ribat bagaikan unta yg sangat bagus mahal hargaya karena mempunyai keistimewaan dan kelebihan sendiri .

Jama’ah yang melihatnya kaget melihat hal itu, salah satu ahli ilmu di kota Mukalla yaitu habib abdullah sodiq al habsyi yg mana beliau pernah mondok mencari ilmu d ribat tarim slama 9tahun beliau mengerti bahwa pasti ada sesuatu yang tidak beres dari si fulan. Kemudian datanglah khobar bahwasanya si fulan telah isa’atul adab ( berbuat kurang baik terhadab gurunya ) Ia pun bertanya pada si fulan, setelah mendengar penjelasannya, si ahli ilmu menasehati agar ia (si fulan) minta maaf pada sang maha guru.

Memang sudah dikuasai oleh syetan, iapun enggan untuk tawadlu’ dan minta maaf pada sang guru.

Hidupnya pun bertambah tragis, ilmunya sudah hilang dan tanpa ada keluarga yang mau menerimanya tanpa teman yang peduli pada nasibnya. Hingga ia hidup dalam keadaan sangat miskin di pinggiran kota Mukalla dan sehari hari menjadi penjual Arang di toko area pasar.

Hingga akhir hayatnya ia hidup dalam keadaan miskin bahkan untuk sebuah kafan pun ia tak punya dan di beri sedekah oleh ahlul khoir yang dermawan. Innalillahi wa inna ilaihi roji’un.

Dan salah satu yang merawat jenazahnya dan memberi sumbangan kain kaffan dan pengurusan jenazah beliau habib abdullah sodiq al habsyi .

Dari kisah ini mari kita semua perbaiki etika kita kepada guru kita dan kepada siapapun disekitar kita meskipun kita sudah memiliki ilmu yang banyak. Begitu pula mari kita saling Tawadlu’, merendahkan diri dan menjaga dari kesombongan yang bisa menghancurkan diri kita sendiri.

PESAN HIKMAH DARI CERITA DI ATAS :

Sayyid Muhammad bin ‘Alawi al-Maliki berkata :

أغضب من الطالب الذی لا یحترم أستاذه ولوکان الأستاذ صاحبه

“Aku murka terhadap penuntut (ilmu) yang tidak menghormati ustadznya, meskipun ustadz tersebut adalah temannya sendiri”.

Imam Nawawi berkata :

ینبغی للمتعلم ان یتواضع لمعلمه ویتأدب معه وإن کان أصغر منه سنا وأقل شھرة ونسبا وصلاحا ؛ لتواضعه یدرک العلم

“Seyogyanya bagi seorang pelajar tawadlu’ (rendah hati) kepada gurunya dan menjaga tata krama ketika bersamanya, meskipun gurunya tersebut lebih muda, tidak begitu terkenal, nasabnya lebih rendah dan (mungkin) keshalehannya kalah dengan muridnya. Dengan tawadlu’ (rendah hati), niscaya ilmu akan ia dapatkan”.

Beliau juga berkata :

عقوق الوالدین تمحوه التوبة وعقوق الأستاذین لا یمحوه شیئ ألبتة

“Dosa durhaka kepada kedua orang tua bisa dihapus dengan bertaubat, sedangkan dosa durhaka kepada guru sedikitpun tidak akan bisa dihapus”

Al-habib ‘Abdullah bin ‘Alawi al-Haddad berkata :

وأضر شیئ علی المرید تغیر قلب الشیخ علیه، ولو اجتمع علی إصلاحه بعد ذلك مشایخ المشرق والمغرب لم یستطیعه إلا أن یرضي عنه شیخه

“Yang paling berbahaya bagi seorang murid adalah berubahnya hati guru kepada muridnya (dari yang semula ridlo menjadi murka). Andai saja semua guru dari timur dan barat berkumpul untuk memperbaiki keadaan si murid tersebut, maka mereka tidak akan mampu kecuali gurunya tersebut telah ridho kepadanya”.

Perkataan-perkataan di atas sebagai bahan renungan bagi kita semua yang notabene masih berstatus murid. Jika kebetulan kita sebagai guru, maka jangan sekali-kali kita berharap untuk dihormati.

Semoga kita semua bisa benar-benar berbakti kepada guru-guru kita dan semoga kita mendapatkan ilmu yang berkah dan bermanfaat, baik di dunia maupun di akhirat.

MASUK MASJID SAAT ADZAN BERKUMANDANG


MASUK MASJID SAAT ADZAN BERKUMANDANG
Oleh: Irsyad Syafar

Bila kita masuk ke dalam masjid, sedangkan muadzin tengah mengumandangkan adzan, manakah yang akan kita lakukan dari 2 ibadah yang sangat penting dan sunnah? Apakah kita berdiri menunggu adzan selesai dan menjawab kalimat-kalimat adzan dari muadzin, ataukah kita langsung melaksanakan shalat sunat tahiyatul masjid?
Dalam kondisi seperti ini mayoritas ulama sepakat bahwa yang kita lakukan adalah berdiri menjawab kalimat-kalimat adzan sampai selesai, kemudian baru melaksanakan shalat sunat tahiyatul masjid. Dengan cara demikian kita akan mendapatkan dua kebaikan sekaligus. Yaitu menjawab adzan dan shalat sunat tahiyatul masjid.

Adapun dalil perintah menjawab kalimat-kalimat adzan adalah perintah Rasulullah Saw dalam hadits yang shahih:
إذا سمعتم المؤذن فقولوا مثل ما يقول.
Artinya: “Jika kalian mendengar muadzin (mengumandangkan adzan), maka ucapkanlah seperti yang dia ucapkan.” (HR Bukhari dan Muslim).
Sedangkan dalil perintah shalat tahiyatul masjid adalah dari sabda Rasulullah:
إذا دخل أحدكم المسجد فلا يجلس حتى يصلي ركعتين
Artinya: “Jika salah seorang kalian masuk ke dalam masjid, maka janganlah dia duduk sebelum shalat dua rakaat.” (HR Bukhari).
***
Namun kemudian timbul pertanyaan, bagaimana kalau itu terjadi di hari Jum’at? Dimana khatib sudah di atas mimbar sedangkan muadzin tengah mengumandangkan adzan. Manakah yang akan kita lakukan, apakah berdiri menjawab adzan ataukah segera melaksanakan shalat sunat tahiyatul masjid?

Dalam masalah ini, ada perbedaan pendapat dikalangan ulama. Setidaknya ada dua pendapat yang sama kuat:

Pendapat pertama, tidak usah menunggu adzan dan menjawabnya. Akan tetapi langsung melaksanakan shalat sunat tahiyatul masjid.
Alasan pendapat ini adalah karena menjawab adzan itu sunat, sedangkan mendengarkan khutbah itu wajib. Maka yang wajib didahulukan atas yang sunat. Ini adalah pendapat madzhab Imam Hambali, dan ini juga yang difatwakan oleh Syeikh Utsaimin rahimahullah.

Pendapat kedua, adalah tetap berdiri menunggu adzan dan menjawab kalimat-kalimatnya. Baru kemudian shalat tahiyatul masjid dua rakaat yang ringan. Alasan pendapat ini adalah agar kita tetap mendapatkan 2 kebaikan sekaligus. Adapun shalat sunat tahiyatul masjid disaat khatib berkhutbah itu dibolehkan dan tidak mengurangi keutamaannya.

Sebagaimana yang pernah terjadi di masa Rasulullah Saw, dari hadits yang shahih riwayat Jabir bin Abdullah:
جاء رجل والنبي ﷺ يخطب الناس يوم الجمعة فقال: أصليت يا فلان ؟ قال : لا ، قال : قم فاركع ركعتين . رواه البخاري ومسلم.
Artinya: “Seorang lelaki masuk masjid ketika Nabi Saw sedang berkhutbah. Rasulullah bertanya: “Apakah kamu sudah shalat wahai fulan?” Ia menjawab, “Belum.” Rasulullah berkata: “Berdirilah, shalatlah dua rakaat.” (HR Bukhari dan Muslim).

Ini merupakan pendapat madzhab Imam Syafi’i. Dan Syekh Bin Baz juga pernah berfatwa dalam masalah ini, bahwa tidak mengapa shalat tahiyatul masjid dua rakaat disaat khatib baru memulai khutbah. Shalat sunat dua rakaat itu hanya 2 atau 3 menit saja, dan khutbah masih dalam mukaddimahnya, belum kepada isinya.

Begitu juga, Syeikh Muhammad Shaleh Al Munajjid juga memfatwakan tetapnya wajib shalat tahiyatul masjid bagi yang masuk masjid disaat khutbah berlangsung. Ini menunjukkan bahwa shalat tahiyatul masjid disaat khutbah pada prinsipnya tidak mengurangi keutamaan mendengarkan khutbah.
Syeikh ‘Athiyah Shaqar (salah seorang Ulama besar Al Azhar) menyatakan bahwa masalah ini memang sudah khilafiyah semenjak dahulu. Maka silakan mengambil pilihan pendapat yang ada tanpa rasa fanatisme atau menyalahkan (merendahkan) pendapat yang berbeda. Sebab, kedua pendapat berdasarkan dalil dan argumen yang sama-sama kuat.
Wallahu A’laa wa A’lam.

ANTARA SYAIKH HASAN HITOU DAN SYAIKH AL-ALBANI DALAM ISSU TARAWIH


ANTARA SYAIKH HASAN HITOU DAN SYAIKH AL-ALBANI DALAM ISSU TARAWIH

Apakah tarawih 20 raka’at adalah ijma’ sahabat Nabi Muhammad ﷺ? Jawabnya benar dengan argumentasi bahwa riwayat tarawih masa Sayyidina Umar bin Khathab yang berjumlah 20 raka’at adalah shahih, bukan lemah seperti dakwaan sebagian orang.

Huffaz hadits yang menshahihkan riwayat tersebut adalah Imam an-Nawawi, Imam az-Zaila’i, Imam as-Subki, Imam Abu Zur’ah al-Iraqi, Imam Badruddin al-‘Aini, Imam Jalaluddin as-Suyuthi, Imam Mula Ali al-Qari dan lain-lain. Dan penerimaan semua ulama’ baik salaf atau khalaf atas riwayat tersebut dalam amal dan fatwa (talaqqi bil qabul) sudah lebih dari cukup sebagai klaim diatas jika kita memahami kaidah penerimaan hadits dalam disiplin ilmu hadits dan usul fikih. Ulama’ juga telah menulis jawaban khusus untuk Syaikh al-Albani yang melemahkan riwayat diatas.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kebolehan tarawih 20 raka’at merupakan kesepakatan sahabat Nabi Muhammad ﷺ saat itu tanpa ada pengingkaran sama sekali. Karena itu, sebagian ulama’ menyatakan, dalil tarawih 20 raka’at adalah didasarkan atas hadits marfu’ yang dhaif yang dikuatkan ijma’ sahabat Nabi.

Adapun riwayat Imam Malik dalam al-Muwaththa’ bahwa jama’ah tarawih masa Sayyidina Umar bin Khattab adalah 11 raka’at (plus witir) tidak bisa dimaknai berlawanan dengan riwayat 20 raka’at, sebab ada kemungkinan hal itu terjadi pada awal sebelum menjadi 20 raka’at atau kesalah fahaman (wahm) saja. Demikian tegas dinyatakan oleh Imam Ibn Abdil Bar al-Maliki. Jadi, klaim mudthorib dalam riwayat tarawih Sayyidina Umar bin Khattab 20 raka’at telah terjawab.

Menguatkan hal itu adalah kesepakatan resmi para imam dan ulama’ madzhab empat bahwa jumlah raka’at tarawih adalah 20 atau lebih menurut Malikiyah.

Memang benar ada sebagian kecil ulama’ Malikiyah yang memilih tarawih 11 raka’at, bukan 20 raka’at, tetapi hal tersebut tidak berarti menggugat atau bahkan membid’ahkan tarawih 20 raka’at yang pernah dilakukan di masa sahabat Rasulullah ﷺ. Faham?

Jadi apakah anda bisa menemukan ulama’ terdahulu yang membid’ahkan tarawih 20 raka’at? Jawabnya tidak ada. Yang pertama kali membid’ahkan tarawih 20 raka’at adalah Syaikh Nashiruddin al-Albani. Dan Salafi yang inshof menulis dalam websitenya:

أولاً: قول الألباني بوجوب الإحدى عشرة ركعة وتبديع المخالف لم يسبقه إليه أحد وليس له فيه سلف كما تبين من مذاهب العلماء التي سبق ذكرها.

“Ucapan al-Albani tentang wajibnya 11 raka’at serta tuduhan bid’ahnya kepada pihak yang menyelisihinya adalah tak satupun yang mendahului itu dan tidak pula ada ulama’ salaf yang bersikap begitu sebagaimana yang telah terang dari pernyataan madzhab ulama’ yang telah disebutkan”.

Clear ya?! Boleh tarawih kurang dari 20 raka’at dan bahkan ada beberapa nama ulama’ yang melakukan itu, tetapi tak satupun ada nama ulama’ yang membid’ahkan tarawih 20 raka’at kecuali setelah munculnya Syaikh Nashiruddin al-Albani.

Setelah itu, jika kemudian Syaikh Hasan Hitou mengklaim bahwa hanya Syaikh Nashiruddin al-Albani seorang yang membid’ahkan tarawih 20 raka’at dan melanggar kesepakatan bolehnya tarawih 20 raka’at apakah beliau dianggap tidak inshof dan berbohong? Yang jujur mudah sekali menjawabnya.

Pernyataan Syaikh Hasan Hitou dan ulama’ lain bahwa Syaikh al-Albani memvonis bid’ah sesat tarawih lebih dari 11 raka’at, bahkan bisa berkonotasi kufur, sepenuhnya tidak salah, sebab dalam risalah Syaikh al-Albani sendiri memang tegas tertulis “tarawih lebih dari 11 raka’at adalah sama dengan shalat zhuhur 5 rakaat atau sunat shubuh 3 raka’at”. Teks ini berdasarkan terbitan naskah Zuher Syawis (murid dekat Syaikh al-Albani) yang kemudian diralat Syaikh al-Albani sendiri bahwa yang benar “sholat sunat zhuhur”, bukan “sholat zhuhur”. Pun Syaikh al-Albani dalam kitabnya “Qiyam Ramadhan” melabrak pengkritiknya dengan umpatan sebagai ahli bid’ah.

Dan ini adalah teks revisi Syaikh al-Albani:

وما مثل من يفعل ذلك إلا كمن يصلي صلاة يخالف بها صلاة النبي صلى الله عليه وسلم كما وكيفا محتجا بتلك المطلقات كمن يصلي مثلا سنة الظهر خمسا وسنة الفجر أربعا وكمن يصلى بركوعين وسجدات وفساد هذا لا يخفى على عاقل

Yang menyedihkan, mereka pun menganggap Syaikh Hasan Hitou tidak inshof dan tidak jujur dalam pernyataannya. Sementara mereka menutup mata dari bagaimana sepak terjang Syaikh al-Albani yang memfitnah beberapa ulama’ Ahlussunnah terkemuka seperti Syaikh Abdul Fattah Abu Ghuddah, Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, ulama’ Azhar dan lain-lain.

1. Syaikh Albani menyebut tarawih lebih dari 11 seperti sholat sunat zhuhur 5 rakaat, shalat sunat shubuh 3 raka’at, atau ruku’ shalat dua kali atau sujud lebih dari 3 kali yang jelas sesat menyesatkan dan bid’ah berat. Apakah pernyataan ini sama dengan menuduh bid’ah pelaku tarawih 20 raka’at atau tidak? Mengapa? Jika kemudian beliau berkata, saya tidak menuduh bid’ah, maka ini tanaqudh atau tidak?

2. Sebelum munculnya Syaikh al-Albani apakah ada ulama’ yang menyalahkan praktek tarawih 20 raka’at? Jika ada siapa?

3. Jika ulama’ sepakat BOLEH tarawih 20 raka’at tanpa ada yang menyelisihi, terbukti ulama’ madzhab empat menyepakati itu, apakah hal ini boleh disebut ijma’? Jika tidak boleh apa alasannya?

4. Hadits tarawih Sayyidina Umar adalah shahih menurut banyak ulama’ (jauh sebelum al-Mubarakfuri dan al-Albani). Ulama’ madzhab empat juga menyepakati itu. Jika kemudian muncul pernyataan bahwa praktek seperti itu tidak boleh, maka apa hukum atas orang tersebut? Apakah boleh dikatakan bahwa orang tersebut telah menyalahkan ulama’ (salaf dan kholaf) Islam?

MEMAHAMI KAIDAH BID’AH ULAMA ASWAJA BUKAN WAHABI


MEMAHAMI KAIDAH BID’AH

1. Tidak ada kaidah bahwa “setiap yang tidak dilakukan oleh Nabi adalah bid’ah yang sesat (haram)”. Kaidah seperti itu hanya diciptakan oleh orang-orang jahil agama. Karena, selain tak satupun ulama’ salaf maupun khalaf yang mengucapkan kaidah tersebut, juga berimplikasi menyesatkan apa saja yang dilakukan sahabat tapi tidak dilakukan oleh Nabi. Sayangnya kejahilan ini terus menerus diyakini, disuarakan dan diwariskan secara turun temurun kepada pengikut mereka yang jahil ilmu agama.

2. Dalam memahami term bid’ah dalam hadits-hadits Nabi bisa kita maknai dengan dua makna atau pengertian, yaitu makna bahasa (makna umum) atau makna syara’ (makna khusus). Pengertian secara bahasa, bid’ah adalah setiap muhdats (perkara baru) yang tidak ada dizaman Nabi. Pengertian secara syara’ adalah setiap muhdats (perkara baru) yang tidak ada dizaman Nabi serta bertentangan dengan al-Qur’an, al-Hadits, dan ijma’.

3. Jika bid’ah kita maknai secara bahasa (makna umum), maka bid’ah terbagi menjadi dua, yaitu bid’ah hasanah (tidak ada dizaman Nabi, tapi tidak bertentangan dengan al-Qur’an, al-Hadits dan ijma’) dan bid’ah sayyi’ah (tidak ada dizaman Nabi dan bertentangan dengan al-Qur’an, al-Hadits dan ijma’). Tetapi jika kita maknai secara syara’, maka tidak ada istilah bid’ah hasanah, sebab kalimat bid’ah secara syara’ diberlakukan untuk perkara yang tidak baik dalam agama karena ia bertentangan dengan al-Qur’an, al-Hadits dan ijma’ dan tidak ada perkara buruk yang dibilang baik. Dan ulama’ menerima dua pemaknaan tersebut, karena tidak saling berlawanan atau saling menihilkan.

4. Yang dilakukan oleh shahabat khulafa’ rasyidin, seperti tarawih berjama’ah 20 rakaat, adzan dua kali dalam jum’atan, menghimpun mushhaf, dan menciptakan teori dasar ilmu nahwu, bukan termasuk bid’ah walaupun tidak dilakukan oleh Nabi, tapi disebut dengan sunnah. Boleh disebut bid’ah secara bahasa, tapi harus ditambahi qayid “hasanah” (bid’ah hasanah). Dan Sayyidina Umar adalah orang pertama yang menggunakan istilah bid’ah hasanah dari sisi bahasa atau makna umum.

5. Jika kita memaknai bid’ah secara syara’ (makna khusus), maka hadits “kullu bid’ah dhalalatun” (setiap bid’ah adalah sesat) berlaku umum tanpa takhsis (am ghairu makhsus). Tetapi jika kita maknai bid’ah secara bahasa (makna umum), maka hadits tersebut berlaku umum tapi dibatasi cakupannya (‘am makhsus), yakni terbatas pada hal baru yang tidak ada dizaman Nabi serta bertentangan dengan al-Qur’an, al-Hadits dan ijma’ (bid’ah sayyiah). Adapun hal baru yang tidak demikian, maka tidak masuk cakupan hadits diatas. Di sini banyak orang yang salah faham.

6. Menurut penelitian, ulama’ Ahlussunnah wal Jama’ah ada yang memaknai term bid’ah dalam hadits-hadits Nabi melalui pendekatan bahasa (makna umum) seperti Imam Syafi’i, Imam Izzuddin bin Abdissalam, Imam an-Nawawi dan lain-lain. Dan imam Syafi’i adalah ulama’ salaf yang dengan tegas dan jelas membagi bid’ah menjadi dua. Tetapi juga ada yang memaknai bid’ah secara syara’. Tetapi sebagaimana diatas, khilaf pemaknaan ini hanya sebatas khilaf lafzhi saja (bukan khilaf sesungguhnya), sebab ulama’ dari dulu tidak ada yang mempermasalahkan dua makna tersebut.

7. Maulid Nabi dan tradisi selamatan kematian masyarakat adalah hal baru yang tidak ada dizaman Nabi, tetapi juga tidak bertentangan dengan al-Qur’an, al-Hadits dan ijma’. Karena itu, keduanya tidak boleh disebut bid’ah secara syara’ (makna khusus), tapi boleh disebut bid’ah hasanah secara bahasa (makna umum).

8. Ibadah adalah bentuk ritual penyembahan kepada Allah yang memerlukan niat, seperti shalat, haji, zakat dan lain-lain. Sementara qurbah adalah ritual penyembahan kepada Allah tetapi tidak memerlukan niat, seperti sedekah, baca Qur’an, dzikir dan lain-lain. Ibadah yang bersifat asal (mahdhah) tidak boleh dikreasikan melalui qiyas atau ijtihad, tetapi harus ada tauqif atau contoh langsung dari Rasulullah (dalil khusus). Adapun ibadah atau qurbah yang tidak bersifat asal (ghairu mahdhah) atau sebatas wasilah atau juz’iyah/far’iyah, maka boleh saja ditetapkan melalui qiyas dan ijtihad atau cukup dengan dalil umum (tidak perlu dalil khusus). Dan telah ada yang menulis thema khusus tentang qiyas dalam ibadah ini. Maulid Nabi dan selamatan kematian, jika kita masukkan dalam ibadah atau qurbah, maka ia masuk kategori wasilah atau juz’iyah/far’iyah (bukan asal/pokok ibadah), sehingga tidak perlu tauqif langsung dari Rasulullah ﷺ, tapi cukup dengan dalil umum.

9. Bukti atas bolehnya qiyas dan ijtihad dalam ibadah atau qurbah yang tidak mahdhah adalah banyaknya ritual yang dibuat oleh shahabat dan ulama’ salaf, misal shahabat Utsman bin Affan yang puasa bertahun-tahun, Tamim ad-Dari yang mengkhatamkan al-Qur’an dalam satu rakaat, Ibn Abbas yang melakukan tradisi ta’rif (berdoa di sore hari Arafah), beberapa sahabat yang menciptakan sighat sholawat kepada Nabi, Imam asy-Syafi’i yang melafalkan niat shalat dan lain-lain.

10. Sebagian ulama’ menyebut untuk perkara baru yang tidak dilakukan Nabi, tapi dilakukan oleh sahabat atau yang lain seperti menghimpun al-Qur’an, mendirikan madrasah, pesantren dan lain-lain dengan istilah “maslahah mursalah”. Istilah ini digunakan oleh ulama’ Malikiyah. Bagi mayoritas ulama’, mau disebut “maslahah mursalah” atau “bid’ah hasanah” bukanlah persoalan besar, karena pada intinya keduanya sama-sama tidak dilakukan Nabi dan bukan sesat.

11. Imam as-Syathibi al-Maliki al-Asy’ari memiliki istilah khusus untuk perkara yang dari satu sisi dicontohkan, tapi sisi lain tidak dicontohkan sebab penentuan waktu, batasan, atau tempatnya yang tidak dicontohkan Nabi. Beliau menyebutnya dengan istilah “bid’ah idhofiyah”. Mungkin tahlilan bisa menjadi salah satu contohnya. Dari satu sisi, tahlilan adalah doa dan sedekah untuk mayit dan ini dicontohkan. Tetapi dari sisi menjadikan dalam satu komposisi dan dilakukan pada hari-hari tertentu ia tidak dicontohkan Nabi. Dan bid’ah idhofiyah bukan hal sesat menurut jumhur ulama’.

Wallahu A’lam

Hidayat Nur

MEMBUAT KOPI PANAS DAPAT MENGUSIR JIN DARI DALAM RUMAH


MEMBUAT KOPI PANAS DAPAT MENGUSIR JIN DARI DALAM RUMAH*

▫️Al Habib Ahmad bin Hasan Alattas :

وكان الحبيب أبو بكر بن عبد الله العطاس يقول : إن المكان الذي يُترك خالياً يسكنون فيه الجن ، والمكان الذي تفعل به القهوة لا يسكنونه الجن ولا يقربونه.

Bahwasannya Al Habib Abu Bakar bin Abdillah Alattas berkata : “Sesungguhnya tempat / rumah kalau ditinggalkan dalam keadaan sepi / kosong, maka para Jin akan menempatinya. Sedangkan rumah / suatu tempat yang mana disitu biasa membuat hidangan minuman kopi, maka para Jin tidak akan bisa menempatinya dan tidak akan bisa mendekat/mengganggu “.

📚Sumber :

Kitab : Tadzkirunnas, hal: 177.

Dalam Tarikh Ibnu Toyyib dikatakan :

يا قهوة تذهب هم الفتى # انت لحاوى العلم نعم المراد

شراب اهل الله فيه الشفا # لطالب الحكمة بين العباد

حرمها الله على جاهل # يقول بحرمتها بالعناد

“Kopi adalah penghilang kesusahan pemuda, senikmat-nikmatnya keinginan bagi engkau yang sedang mencari Ilmu”.

“Kopi adalah minuman Orang yang dekat pada Allah, didalamnya ada kesembuhan bagi pencari Hikmah diantara Manusia”.

“Kopi diharamkan bagi orang bodoh yang mengatakan keharamannya dengan keras kepala”.

Kita juga bisa melihat komentar Al Imam Ibnu Hajar Al Haitami :

ثم اعلم ايها القلب المكروب أن هذه القهوه قد جعلها اهل الصفاء مجلبة للأسرار مذهبة للأكدار وقد اختلف في حلها اولا وحاصل ما رجحه ابن حجر في شرح

العباب بعد ان ذكر أنها حدثت في اول قرن العاشر . ان للوسائل حكم المقاصد ،فمهما طبخت للخير كانت منه وبالعكس فافهم الأصل

Lalu ketahuilah duhai hati yang gelisah bahwa Kopi ini telah dijadikan oleh Ahli Shofwah (Orang-Orang yang bersih hatinya) sebagai pengundang akan datangnya Cahaya dan Rahasia Tuhan, penghapus kesusahan.

Alhasil, yang diunggulkan oleh Ibnu Hajar dalam “Kitab Syarhul Ubab” setelah penjelasan bahwa asal usul Kopi di awal abad kesepuluh hijriyah memandang dari Qoidah

للوسائل حكم المقاصد

maka selama kopi ini dimasak untuk kebaikan maka mendapat kebaikan juga.

Wallahu a´lam.

See translation

All reactions:

59Dafitri Rahayu, MA Faqoth and 57 others