𝐓𝐑𝐀𝐆𝐄𝐃𝐈 𝐒𝐀𝐇𝐀𝐁𝐀𝐓 𝐍𝐀𝐁𝐈, 𝐒𝐀𝐀𝐓 𝐊𝐇𝐀𝐖𝐀𝐑𝐈𝐉 𝐁𝐄𝐑𝐓𝐀𝐍𝐘𝐀 𝐇𝐀𝐃𝐈TS, SEKARANG DIIKUTI KAUM LETTERLIJK TEKSTUALIS


𝐓𝐑𝐀𝐆𝐄𝐃𝐈 𝐒𝐀𝐇𝐀𝐁𝐀𝐓 𝐍𝐀𝐁𝐈, 𝐒𝐀𝐀𝐓 𝐊𝐇𝐀𝐖𝐀𝐑𝐈𝐉 𝐁𝐄𝐑𝐓𝐀𝐍𝐘𝐀 𝐇𝐀𝐃𝐈𝐒

***

Kaum Khawarij. Mereka orang-orang yang “saleh”, 𝑤𝑎𝑟𝑎’-nya bukan main, hafal al-Qur’an luar kepala. Rajin sholat, gemar puasa. Kata Nabi, “kalau kamu melihat mereka sholat atau puasa, kamu bakal minder sama sholat dan puasamu, karena ternyata ibadahmu belum ada apa-apanya dibanding mereka”.

Atribut kesalehan melekat pada raga mereka. Lisan mereka tak henti-hentinya membaca al-Qur’an. Jargon yang keluar dari mulut mereka sungguh manis dan memukau: “𝑳𝒂̂ 𝒉𝒖𝒌𝒎𝒂 𝒊𝒍𝒍𝒂̂ 𝒍𝒊𝒍𝒍𝒂̂𝒉”, “𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑎𝑑𝑎 ℎ𝑢𝑘𝑢𝑚 𝑘𝑒𝑐𝑢𝑎𝑙𝑖 ℎ𝑢𝑘𝑢𝑚 𝐴𝑙𝑙𝑎ℎ”… narasinya benar, tapi isinya beracun. Jargon itu mereka ucapkan sebagai penolakan terhadap ijtihad Ali bin Abi Thalib saat ber-arbitrase (𝑡𝑎ℎ𝑘𝑖̂𝑚) dengan Mu’awiyah pada perang Shiffîn tahun 37 H. Tak jauh beda dengan doktrin-doktrin molek neo-khawarij hari ini: “kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah”… “kamu ikut Nabi atau ikut ulama?”… semua untuk mengelabui orang awam, seakan-akan ajaran para ulama itu bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah.

Begitulah. Nabi sudah mewanti-wanti kehadiran mereka sejak lama. Sebab kesalehan semu mereka membahayakan, merusak Islam dari dalam.

Mereka begitu fobia pada akal fikiran, sehingga al-Qur’an yang mereka baca tak sedikit pun masuk ke sanubari, bahkan melewati kerongkangan pun tidak. Akal sebagai anugerah Allah yang terbesar itu mereka tumpulkan. “Buang akalmu ketika berhadapan dengan al-Qur’an dan Sunnah…”, “akalmu tak mungkin lebih hebat dari al-Qur’an dan Sunnah…”, “Agama jangan diakal-akali…”… begitu doktrin penumpulan terselubung yang kerap mereka suntikkan, mulai sejak era khawarij tulen tempo dulu hingga neo-khawarij masa kini. Akhirnya, mereka begitu lugu dan “melugukan diri” memahami ajaran agama, lurus tabung: alergi takwil, anti majas, membaca teks tanpa konteks.

Dan pola ini pernah memakan korban.

Alkisah, Imam al-Thabari meriwayatkan dalam 𝑇𝑎̂𝑟𝑖̂𝑘ℎ-nya, pada tahun 37 Hijriyah, di kawasan Nahrawan, sekumpulan Khawarij mencegat sahabat Rasulullah Saw. bernama Abdullah bin Khabbab bin Arat r.a dan keluarganya di tengah jalan. Saat itu, sang Sahabat hendak berangkat ke Kufah menemui Khalifah Ali bin Abi Thalib r.a.

“Kalian membutku takut”. Kata Abdullah r.a.

“Jangan khawatir”, ujar para Khawarij.

“Demi Allah, kalian membuatku takut”. Ujar Abdullah kembali.

“Apakah engkau Abdullah bin Khabab, sahabat Rasulullah Saw?”. Tanya mereka.

“Benar!”.

Para khawarij itu senang. Ini kesempatan baik untuk mendengar hadits Rasul langsung dari lisan Sahabat Nabi.

“Kalau begitu, pernahkah engkau mendengar suatu hadis dari ayahmu yang ia dengar dari Rasulullah Saw? Sampaikanlah kepada kami”. tanya para Khawarij itu penuh antusias.

“Baiklah…

سمعتُ أبي يُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ ذَكَرَ فِتْنَةً الْقَاعِدُ فِيهَا خَيْرٌ مِنْ الْقَائِمِ وَالْقَائِمُ فِيهَا خَيْرٌ مِنْ الْمَاشِي وَالْمَاشِي فِيهَا خَيْرٌ مِنْ السَّاعِي قَالَ فَإِنْ أَدْرَكْتَ ذَاكَ فَكُنْ عَبْدَ اللَّهِ الْمَقْتُولَ وَلَا تَكُنْ عَبْدَ اللَّهِ الْقَاتِلَ

“𝐴𝑘𝑢 𝑚𝑒𝑛𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑟 𝑎𝑦𝑎ℎ𝑘𝑢 𝑚𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑖𝑡𝑎𝑘𝑎𝑛 ℎ𝑎𝑑𝑖𝑠 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑅𝑎𝑠𝑢𝑙𝑢𝑙𝑙𝑎ℎ 𝑆𝑎𝑤, 𝑡𝑒𝑛𝑡𝑎𝑛𝑔 𝑓𝑖𝑡𝑛𝑎ℎ 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑘𝑒𝑙𝑎𝑘 𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑡𝑒𝑟𝑗𝑎𝑑𝑖. 𝑆𝑎𝑎𝑡 𝑖𝑡𝑢 𝑡𝑒𝑟𝑗𝑎𝑑𝑖, 𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑒𝑟𝑑𝑖𝑎𝑚 𝑑𝑖𝑟𝑖 𝑙𝑒𝑏𝑖ℎ 𝑏𝑎𝑖𝑘 𝑑𝑎𝑟𝑖𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑒𝑟𝑗𝑎𝑙𝑎𝑛, 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑒𝑟𝑗𝑎𝑙𝑎𝑛 𝑙𝑒𝑏𝑖ℎ 𝑏𝑎𝑖𝑘 𝑑𝑎𝑟𝑖𝑝𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑒𝑟𝑙𝑎𝑟𝑖. 𝐷𝑎𝑛 𝑗𝑖𝑘𝑎 𝑒𝑛𝑔𝑘𝑎𝑢 𝑚𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑖 𝑧𝑎𝑚𝑎𝑛 𝑖𝑡𝑢, 𝑚𝑎𝑘𝑎 𝑏𝑖𝑎𝑟𝑙𝑎ℎ 𝑑𝑖𝑟𝑖𝑚𝑢 𝑚𝑒𝑛𝑗𝑎𝑑𝑖 ℎ𝑎𝑚𝑏𝑎 𝐴𝑙𝑙𝑎ℎ 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑟𝑏𝑢𝑛𝑢ℎ, 𝑗𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑎𝑖 𝑒𝑛𝑔𝑘𝑎𝑢 𝑚𝑒𝑛𝑗𝑎𝑑𝑖 ℎ𝑎𝑚𝑏𝑎 𝐴𝑙𝑙𝑎ℎ 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑒𝑚𝑏𝑢𝑛𝑢ℎ”. (HR. Ahmad [No. 20164], Ibnu Abî Syaibah [No. 40706], Abû Ya’lâ [No. 7215] dll.)

Mendengar hadis itu, para Khawarij itu saling toleh. Akal tekstualis mereka meronta-ronta.

“Apa benar engkau mendengar hadits itu dari ayahmu, dan ayahmu mendengarnya dari Rasulullah Saw.?”.

“Benar”. Jawab Abdullah.

Tak disangka. Abdullah yang menyampaikan hadits itu dengan tujuan agar para Khawarij itu berhenti mengobarkan fitnah di tengah kaum muslimin, tapi dengan lugunya simpulkan bahwa hadits itu adalah dalil bahwa Abdullah bin Khabbab harus dibunuh, sebab Rasulullah secara 𝑙𝑒𝑡𝑡𝑒𝑟𝑙𝑖𝑗𝑘 mengatakan “𝑗𝑎𝑑𝑖𝑙𝑎ℎ 𝑒𝑛𝑔𝑘𝑎𝑢 ℎ𝑎𝑚𝑏𝑎 𝐴𝑙𝑙𝑎ℎ 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑟𝑏𝑢𝑛𝑢ℎ (كُنْ عَبْدَ اللَّهِ الْمَقْتُولَ)”!

Dengan segera, mereka mengikat tubuh sahabat Rasulullah itu, lalu menariknya ke pinggiran sungai Dajlah, dan dengan segera, mereka memenggal kepalanya, sehingga darah Sahabat itu mengalir seperti tali sandal yang tak terputus. Tak cukup sampai di situ, mereka kemudian membunuh istri Abdullah yang sedang hamil, tanpa belas kasih mereka membelah perutnya dan membunuh ibu beserta janinnya.

Ketika peristiwa itu tersiar, dan kabarnya sampai ke telinga Ali bin Abi Thalib, Ali sangat murka. Dan peristiwa itulah yang menjadi latar belakang Ali memerangi mereka sehingga terjadi Perang Nahrawan yang abadi dalam sejarah itu.

***

Hari ini, betapa banyak pewaris mereka terlahir kembali: orang-orang yang bertanya hadis, menyoal dalil, tanpa insyaf akan kapasitas diri, akhirnya mengobarkan fitnah di tengah umat. 𝑊𝑎𝑙𝑙𝑎ℎ𝑢𝑙 𝑚𝑢𝑠𝑡𝑎’𝑎̂𝑛

***.

Bacaan:

𝑇𝑎̂𝑟𝑖̂𝑘ℎ 𝑎𝑙-𝑇ℎ𝑎𝑏𝑎𝑟𝑖, Cet. Bait al-Afkâr al-Dauliyyah, hlm. 870.

Riwayat serupa juga dapat dilihat dalam 𝑎𝑙-𝐵𝑖𝑑𝑎̂𝑦𝑎ℎ 𝑤𝑎 𝑎𝑙-𝑁𝑖ℎ𝑎̂𝑦𝑎ℎ karangan Ibn Katsîr, 𝑀𝑢𝑠ℎ𝑎𝑛𝑛𝑎𝑓 Ibn Abi Syaibah, 𝑀𝑢𝑠𝑛𝑎𝑑 Ahmad bin Hanbal, dll]

Leave a comment