JAWABAN “PERTANYAAN SALAFI”


JAWABAN “PERTANYAAN SALAFI”

Sebagian Salafi mempertanyakan, mengapa orang-orang bermadzhab Syafi’i di Indonesia jarang mengadakan kajian kitab Syarhus-Sunnah karangan Imam al-Muzani, murid terdekat Imam as-Syafi’i? Kemudian Salafi tersebut berasumsi, orang-orang yang mengaku bermadzhab Syafi’i enggan karena mereka lebih memilih akidah Asy’ariyyah dan sufiyah yang meyakini “Allah wujud tanpa tempat dan arah” atau “Allah ada di mana-mana” ketimbang akidah Ahlussunnah yang dijabarkan Imam al-Muzani dalam kitab tersebut, karena beliau tegas menetapkan “ketinggian Allah” dan meyakini “Allah bersemayam di atas arsy”.

Jawaban saya:

  1. Kitab Syarhus Sunnah penisbatannya kepada Imam al-Muzani masih meragukan, karena dalam sanad riwayat kitabnya terdapat beberapa perawi yang majhul [tidak diketahui biografinya], seperti Syamsuddin Abul Izz Yusuf al-Hakkari, Hasan bin Ali al-Yazuri, dan Ali bin Abdillah al-Halwani.
  2. “Allah ada di mana-mana” bukan akidah Ahlussunnah. Sama seperti “Allah bersemayam [bermakna menempati] di atas arsy-Nya” juga bukan akidah Ahlussunnah. Akidah Ahlussunnah adalah “Allah wujud tanpa tempat dan arah” atau “Allah tinggi derajat dan kedudukannya” atau “Allah tinggi [uluw derajat dan kekuasaannya] di atas arsy”.
  3. Dari pembacaan saya atas kitab Syarhus Sunnah yang sangat ringkas tersebut, yang hanya ditulis dalam beberapa lembar saja, [ditelaah dan ditahqiq oleh Jamal Azzun], tidak ditemukan kalimat yang aneh atau menyelisihi akidah Ahlussunnah Asy’ariyyah atau Maturidiyyah secara umum. Hanya ada beberapa kalimat yang membutuhkan penjelasan atau syarah:

PERTAMA:
Pada pasal pertama, Imam al-Muzani memulai dengan pembahasan:

العلو : العالي [عال] على عرشه

Kalimat ini bukan masalah dalam akidah Ahlussunnah Asy’ariyyah, karena uluw Allah memang terdapat nash-nya. Dan Ahlussunnah telah menyepakati methode tafwidh [serahkan makna yang dikehendaki kepada Allah] dan ta’wil sebagai pilihan manhaj interaksinya dengan mutasyabihat. Ta’wilnya adalah uluw makanah [ketinggian derajat, kekuasan dan kedudukan Allah] bukan uluw jihah atas atau tempat [arah dan tempat atas], karena Allah bersih dari tempat dan arah.

Allah bersih dari tempat adalah ijma’ ulama’:

واجمعوا على انه لايحويه مكان

“Ulama’ Ahlussunnah ijma’ bahwa Allah tidak diliputi tempat” [Al-Farq Bainal Firaq]

Allah bersih dari arah adalah akidah salaf:

ولاتحويه الجهات الست

“Allah tidak diliputi arah enam [termasuk atas]” [Akidah Thahawiyah]

Dalam naskah [manuskrip] Syarhus Sunnah yang lain, kata muhaqqiqnya Jamal Azzun, terdapat tambahan berikut:

العالي [عال] على عرشه في مجده بذاته

Lafazh ini populer juga diucapkan oleh Imam Ibn Abi Zaid al-Qairuwani. Tetapi Imam adz-Dzahabi dalam al-Uluw tegas memberikan kritik atas penambahan kalimat tersebut dan menganggap fudhul [tidak semestinya], karena ijma’ ulama’ tentang tidak bolehnya menambah-nambahi sifat yang datang dari Allah dan Rasul-Nya tanpa tambahan. Selain juga, penambahan tersebut masih meragukan [masykuk fih], karena dalam dua manuskrip yang lain tidak ditemukan.

KEDUA:
Pada pertengahan pembahasan, Imam al-Muzani menyebut:

بائن من خلقه

Ucapan ini memang datang dari sebagian ulama’ salaf [tabi’it tabi’in] dan maknanya adalah “Allah tidak masuk ke dalam alam dan alam tidak masuk pada Allah” [al-Asma was Shifat, al-Baihaqi]. Walaupun menisbatkan kalimat “bain” kepada Allah ini sedikit kontroversial, tetapi pengertiannya tidak bersilang dengan akidah Ahlussunnah wal Jama’ah Asy’ariyyah.

  1. Isu Imam al-Muzani menentang ilmu kalam. Issu ini sebenarnya berada di luar topik pembahasan kitab Syarhus-Sunnah. Ringkasnya, ilmu kalam ada dua [2], mamduh [terpuji] dan madzmum [tercela]. Ketika disebutkan celaan ulama’ salaf terhadap ilmu kalam, maka maksudnya adalah ilmu kalam yang madzmum, karena data sejarah menyebutkan, ulama’-ulama’ salaf seperti Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan lain-lain juga menggunakan hujjah kalamiyyah. Dan sudah banyak jawaban ulama’ Ahlussunnah tentang ini.

Wallahu A’lam

Leave a comment