𝐏𝐄𝐍𝐘𝐄𝐒𝐀𝐋𝐀𝐍 𝐈𝐁𝐍𝐔 𝐇𝐀𝐉𝐀𝐑 𝐀𝐋-‘𝐀𝐒𝐐𝐀𝐋𝐀𝐍𝐈


[Menyambung postingan lalu, masih terkait biografi Ibn Hajar al-‘Asqalani.]

Salah satu penyesalan yang dirasakan oleh Syaikhul Islam al-Hâfizh Ibn Hajar al-‘Asqalani selama hidupnya adalah karena beliau pernah menerima jabatan sebagai hakim! Penyesalan yang mendalam ini beliau utarakan langsung kepada muridnya, Imam al-Sakhâwi, dan sang murid pun mengabadikan kisah itu dalam kitab biografi sang guru yang berjudul 𝑎𝑙-𝐽𝑎𝑤𝑎̂ℎ𝑖𝑟 𝑤𝑎 𝑎𝑙-𝐷𝑢𝑟𝑎𝑟 𝑓𝑖̂ 𝑇𝑎𝑟𝑗𝑎𝑚𝑎ℎ 𝑆𝑦𝑎𝑖𝑘ℎ 𝑎𝑙-𝐼𝑠𝑙𝑎̂𝑚 𝐼𝑏𝑛 𝐻𝑎𝑗𝑎𝑟.

Pada Juz II hlm. 620, beliau menulis:

وقد ندم شيخنا رحمه الله على قبوله وظيفة القضاء…

“𝐺𝑢𝑟𝑢 𝑘𝑎𝑚𝑖 -𝑟𝑎ℎ𝑖𝑚𝑎ℎ𝑢𝑙𝑙𝑎ℎ- 𝑠𝑢𝑛𝑔𝑔𝑢ℎ 𝑚𝑒𝑛𝑦𝑒𝑠𝑎𝑙 𝑘𝑎𝑟𝑒𝑛𝑎 𝑡𝑒𝑙𝑎ℎ 𝑏𝑒𝑟𝑠𝑒𝑑𝑖𝑎 𝑚𝑒𝑛𝑒𝑟𝑖𝑚𝑎 𝑗𝑎𝑏𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑠𝑒𝑏𝑎𝑔𝑎𝑖 ℎ𝑎𝑘𝑖𝑚…”.

Bahkan, pada halamn 621, Imam al-Sakhawi menulis:

وصرح بأنه جني على نفسه بتقليد أمرهم…

“𝐵𝑒𝑙𝑖𝑎𝑢 𝑚𝑒𝑛𝑒𝑔𝑎𝑠𝑘𝑎𝑛 𝑏𝑎ℎ𝑤𝑎 𝑏𝑒𝑙𝑖𝑎𝑢 𝑚𝑒𝑟𝑎𝑠𝑎 𝑧𝑎𝑙𝑖𝑚/𝑘𝑒𝑗𝑎𝑚 𝑘𝑒𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑑𝑖𝑟𝑖𝑛𝑦𝑎 𝑠𝑒𝑛𝑑𝑖𝑟𝑖 𝑘𝑎𝑟𝑒𝑛𝑎 𝑚𝑎𝑢 𝑠𝑎𝑗𝑎 𝑚𝑒𝑛𝑒𝑟𝑖𝑚𝑎 𝑡𝑎𝑤𝑎𝑟𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑢𝑎𝑠𝑎 𝑖𝑡𝑢 (𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑚𝑒𝑛𝑗𝑎𝑑𝑖 ℎ𝑎𝑘𝑖𝑚)…”.

Menurut al-Sakhâwi, ada beberapa faktor yang menjadi latar belakang penyesalan beliau:

𝑃𝑒𝑟𝑡𝑎𝑚𝑎, karena jabatan hakim berada dekat dengan lingkaran elit kekuasaan.

𝐾𝑒𝑑𝑢𝑎, Ada kalanya penguasa mengintervensi pengadilan, bahkan mencela ketika petunjuk mereka tidak diterima

𝐾𝑒𝑡𝑖𝑔𝑎, Jabatan hakim membuat beliau dijauhi oleh beberapa ulama dan penuntut ilmu, dan faktor inilah kiranya yang paling berkesan bagi beliau. Beliau bercerita, bahwa ada seorang ulama bernama Shafiyyuddîn al-Iji datang jauh-jauh dari Persia ke Mesir untuk bertemu dan belajar dengan beliau. Namun begitu sampai di Baitul Maqdis, ia mendapat kabar bahwa Ibn Hajar telah menjabat sebagai hakim. Mendengar itu, Shafiyyuddin tidak jadi melanjutkan perjalanan ke Mesir, dan memilih putar balik pulang ke negerinya!

Imam al-Sakhawi menuturkan, bahwa apa yang dialami oleh Ibn Hajar ini persis dialami juga oleh banyak ulama yang pernah menjabat sebagai hakim. Mereka dijauhi oleh rekannya sesama ulama karena dianggap telah melenceng dari jalur. Seperti Ibnu al-Mubarak yang menjauhi Imam Ibnu ‘Ulayyah. Ibnu al-Mubarak berkata:

“Aku berdagang agar bisa bepergian dan berguru kepada 5 orang ulama: 2 orang Sufyan (Sufyan al-Tsauri dan Sufyan bin Uyaynah), Fudhail bin ‘Iyadh, Ibn Sammak dan Ibn ‘Ulayyah”.

Namun ketika Ibn al-Mubarak mendengar bahwa Ibn ‘Ulayyah telah menjadi hakim, Ibn al-Mubarak pun tidak jadi datang berguru kepadanya. Bahkan ketika Ibn ‘Ulayyah berkunjung ke Ibn al-Mubarak, Ibn al-Mubarak tak mengacuhkannya.

Pengalaman serupa kiranya juga dirasakan oleh Imam Umar bin Khaldah al-Zuraqi. Setelah diangkat menjadi hakim di kota Madinah pada masa kepemimpinan Abdul Malik bin Marwan, ia ditanya:

“Apa yang engkau rasakan setelah menjadi hakim?”.

Beliau menjawab:

“Dulu aku punya banyak sahabat, sekarang aku jauh dari mereka!”.

***

Kisah ini, dan berbagai romantika kehidupan para hakim lainnya sepanjang sejarah Islam banyak tertuang dalam buku “𝑹𝒂𝒔𝒖𝒍, 𝑯𝒂𝒌𝒊𝒎 𝒅𝒂𝒏 𝑲𝒉𝒂𝒍𝒊𝒇𝒂𝒉

Leave a comment