Adamul ‘Inad (Tidak Membangkang)


Definisi Al-Inad

Dalam Mu’jam Ma’anil Jami’ dan Qamus Mu’jam Al-Wasith disebutkan makna al-‘Inad adalah katsirul khilaf, yakni banyak berbeda pendapat, berselisih, bertentangan, dan melakukan kontroversi. Sedangkan dalam Kamus Mutarjim, al-Inad diartikan sikap keras kepala dan keras hati.

Dalam konteks pembahasan kita saat ini yang dimaksud al-‘inad adalah sebuah sikap dan ucapan seseorang untuk mengungkapkan penolakannya—langsung atau tidak langsung—terhadap apa yang diinginkan atasan nya. Al-‘inad bisa pula dilakukan seorang anak terhadap orang tuanya, seorang istri terhadap suaminya, seorang murid kepada gurunya, atau seorang jundi (prajurit) kepada qiyadah (komandan)-nya.

Namun adakalanya al-Inad itu bermakna positif jika dibangun di atas kaidah yang benar dan didukung dalil yang kuat yang tidak ada keraguan di dalamnya serta tidak ada syubuhat, juga tidak didorong oleh hawa nafsu. Itulah sikap yang di dalam syariah disebut ats-tsabat alal-haq (tegar dan teguh pendirian dalam kebenaran).

Jadi, al-‘inad (sikap berselisih, menyimpang, atau membangkang) bermakna negatif serta tercela manakala didorong oleh hawa nafsu, kesombongan, dan sikap tidak mau tahu terhadap dalil-dalil yang jelas, serta tidak memiliki ruang dalam pikirannya tentang kemungkinan benarnya argumen qiyadah-nya serta kesalahan argumen yang dipilihnya.

Kisah Pembangkangan Pertama dalam Jama’ah Al-Ikhwan Al-Muslimun

Jama’ah Al-Ikhwan adalah organisasi dakwah di Mesir yang didirikan oleh Imam As-Syahid Hasan Al-Banna rahimahullah, yang disebut-sebut sebagai organisasi Islam terbesar abad ini. Jama’ah ini memiliki sejarah panjang di medan dakwah. Mereka telah melewati berbagai macam dinamika perjuangan dakwah, serta merasakan jatuh bangun di dalamnya. Banyak sekali pengalaman-pengalaman dakwah mereka yang bisa kita ambil ibrah-nya.

Suatu saat ketika Imam As-Syahid Hasan Al-Banna rahimahullah akan meninggalkan Ismailiyyah, para ikhwah mendesak beliau agar dipilih seorang Na’ib Mursyid (wakil mursyid) yang akan menggantikan memimpin mereka dalam melaksanakan aktivitas  jama’ah. Beliau kemudian mengajukan Al-Akh Ali Jadawa, karena dua alasan:

  • Ali Jadawa adalah salah seorang Ikhwan yang paling mulia akhlak dan agamanya, mempunyai kadar ilmu dan pengetahuan yang memadai, fasih dalam membaca Al-Qur’an, pandai berdiskusi, serta tekun belajar dan membaca.
  • Beliau juga termasuk seseorang yang paling awal menyambut dakwah, paling dekat di hati para ikhwan, dan paling dicintai oleh mereka.

Akhirnya Syaikh Ali Jadawa terpilih secara aklamasi, meski ia hanyalah seorang tukang kayu. Namun ada seorang Syaikh yang merasa lebih mampu dari Ali Jadawa karena ia sarjana, pandai menggubah syair, jago pidato dan berbicara, serta mengerti bagaimana cara menyebarkan dakwah dan berhubungan dengan masyarakat. Semua itu tidak ada pada di diri Ali Jadawa.

Maka terjadilah konspirasi pertama untuk melawan Jama’ah dengan dilakukannya kasak-kusuk oleh Syaikh Fulan ini ke berbagai ikhwah dibantu oleh ikhwah yang dekat dengannya. Saat itu ikhwah terbagi menjadi dua: kelompok yang menasihatinya dan kelompok kecil yang bersimpati dan terpengaruh oleh ucapan Syaikh.

Imam As-Syahid Hasan Al-Banna rahimahullah mencoba memanggil ikhwah yang terpengaruh dan menasihatinya tetapi tidak mempan. Setan telah menghiasi persepsi mereka sehingga tindakan pembangkangan ini terlihat indah karena dibungkus dengan slogan: “Demi Kemaslahatan Da’wah”. Mereka menuntut dilakukan pemilihan ulang na’ib mursyid dengan alasan saat pemilihan yang dilakukan sebelumnya belum memenuhi kuorum. Selain itu, undangan proses pemilihan yang disebar pun dianggap terlalu mendadak dan tidak jelas tujuannya sehingga tidak banyak yang hadir.

Akhirnya Imam As-Syahid menyetujui pemilihan ulang, dimana hal ini merupakan kejadian baru dan asing bagi Ikhwan yang tidak mengenal kecuali kebulatan pendapat dan persatuan yang sempurna.

Pemilihan ulang naib mursyid pun dilakukan. Saat itu banyak sekali ikhwah hadir hingga lebih dari 500 orang, dan hasilnya mencengangkan: Selain empat orang pendukung Syaikh Fulan yang membangkang, para ikhwah secara aklamasi tetap memilih Al-Akh Ali Jadawa. Empat orang pembangkang itu ternyata tetap tidak terima dan memaksakan kehendak melawan 500 orang ikhwah lainnya. Mereka tetap merasa benar dalam sikapnya.

Sebelum pemilihan ulang, Imam As-Syahid sudah berpesan kepada Ali Jadawa, jika ia terpilih lagi, ia diminta untuk  mengumumkan bahwa ia akan bekerja secara sukarela—tidak digaji, meski ia harus meninggalkan pekerjaannya. Maka setelah terpilih kembali ia pun mengumumkan hal tersebut. Setelah pemilihan selesai ternyata para ikhwah banyak mendatangi Imam As-Syahid untuk menawarkan hartanya sebagai modal usaha bagi Ali Jadawa. Beliau berterima kasih kepada mereka, tetapi Jamaah sudah menyiapkan toko di samping masjid milik jama’ah, untuk dikelola Ali Jadawa sementara ia tetap berada di dekat masjid dan rumah.

Sementara itu setelah pemilihan, empat orang pembangkang menemui Syaikh Fulan. Mereka mulai mempelajari apa yang baru saja terjadi. Mereka kemudian bersepakat menyebarkan keburukan dakwah dan Jama’ah ini dengan kemasan ‘nasihat dan keprihatinan’. Mereka menyebarluaskan opini: Penyerahan tugas kepada salah seorang Al-Akh di masa seperti ini adalah bahaya bagi dakwah! Mereka kemudian mengangkat kasus adanya hutang jama’ah kepada pengusaha material ketika membangun masjid dan kantor sekretariat Ikhwan. Mereka menebarkan opini, seharusnya kepemimpinan diserahkan kepada orang yang berpunya (Syaikh mereka) bukan kepada yang tidak berpunya, yakni Ali Jadawa. Maka Imam As-Syahid Hasan Al-Banna rahimahullah merespon hal itu dengan berusaha menyelesaikan masalah hutang ini sendiri.

Mendengar keadaan seperti itu, Syaikh Muhammad Husain Zamalut mengundang para ikhwah ke rumahnya, mereka kemudian berlomba-lomba mengumpulkan uang lebih dari 400 junaih sehingga bisa melunasi hutang Jama’ah sebesar 350 junaih, dan sisanya dimasukkan kedalam kas Jama’ah. Setelah itu berturut-turut muncul berbagai sumbangan sehingga kas Jama’ah menjadi besar.

Hal ini ternyata malah meningkatkan permusuhan dari pihak pembangkang. Bukannya tersentuh dengan sikap ikhwah yang berlomba-lomba menolong Jama’ah, tapi mereka malah bertambah sengit permusuhannya kepada Jama’ah. Mereka mengirim surat pernyataan kepada pimpinan cabang Ismailiyah berisi tuduhan bahwa Syaikh Hasan Al-Banna telah menghambur-hamburkan dana Jamaah dan dikirimkannya kepada saudaranya yang menjadi Naib Ikhwan di Kairo, juga ke Port Said dan Abu Shuwair. Mereka menuntut kepada kepala bagian yang bertanggung jawab melindungi harta, untuk turun tangan dan mencegah ‘penghamburan dana’ tersebut.

Sebagai Pimpinan Cabang,  Ustadz Mahmud Mujahid lalu memanggil pengirim surat untuk meluruskan sikap mereka. Tapi sang pembangkang malah makin menjadi-jadi hingga berkata, “Ya Tuhan! Seandainya ia (Hasan Al-Banna) mengatakan, ‘Saya mengambil uang ini untuk kepentinganku sendiri,’ mereka pun pasti menyetujuinya dengan senang hati. Demikian itu karena ia telah menyihir mereka,maka mereka selalu menyetujui apa saja yang dilakukannya, tanpa pikir panjang.”

Ustadz Mahmud Mujahid berkata, “Wahai Fulan! Kamu adalah pemuda yang tampak sebagai orang yang tulus, tetapi kamu telah melakukan kesalahan besar. Nasihatku kepadamu, kembalilah kepada Jamaah dan bekerjalah bersama merekajika kamumenghendaki, lalu tinggalkanlah pikiran-pikiran ini. Jika kamu tidak menyukai keadaan mereka, maka duduklah di rumah, berkonsentrasilah dengan pekerjaan kamu, dan biarkan saja mereka bekerja. Ini lebih baik bagi kamu jika menginginkan nasihat.” Sang pembangkang pun lalu pergi.

Mengetahui keadaan ini, Syaikh Askariah datang dari Syibrakhit dan berusaha menjadi penengah untuk mengembalikan mereka kepada  Jama’ah. Tetapi mereka ternyata tidak berkehendak kecuali membangkang. Maka beliau berkata kepada Hasan Al-Banna, “Tidak ada kebaikan lagi pada mereka. Mereka sudah tidak memiliki kesadaran tentang ketinggian nilai dakwah dan tidak memiliki keyakinan terhadap kewajiban untuk mentaati pemimpin. Barangsiapa kehilangan dua hal yang vital ini, maka tidak ada lagi kebaikan dalam dirinya jika ia berada dalam barisan kita. Biarkanlah mereka dan teruslah melanjutkan perjalanan Anda. Dan Allah adalah tempat memohon pertolongan.”

Petikan kisah nyata di atas mengandung ibrah tentang al-inad. Semoga kita dapat mengambil hikmahnya.

Sebab-sebab Munculnya Al-‘Inad

Pertama, merasa memiliki independensi atau kemandirian diri (as-syu’ur bi istiqlaliyyati adz-dzat), bisa jadi karena kelebihan ilmu, harta, kekuatan, dan kedudukan sosial serta ketokohan yang dimilikinya. Ia lalu melakukan tahyiin (menganggap enteng atau menyepelekan) terhadap jamaah dakwah yang diikutinya.

Marilah mengambil ibrah dari kisah anak Nabi Nuh ‘alaihis salam yang melakukan pembangkangan terhadap dakwah, bahkan sampai akhir hayatnya, karena merasa dirinya kuat. Allah Ta’ala menceritakan hal ini dalam Al-Qur’an,

وَهِيَ تَجْرِي بِهِمْ فِي مَوْجٍ كَالْجِبَالِ وَنَادَى نُوحٌ ابْنَهُ وَكَانَ فِي مَعْزِلٍ يَا بُنَيَّ ارْكَبْ مَعَنَا وَلَا تَكُنْ مَعَ الْكَافِرِينَ  قَالَ سَآَوِي إِلَى جَبَلٍ يَعْصِمُنِي مِنَ الْمَاءِ قَالَ لَا عَاصِمَ الْيَوْمَ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ إِلَّا مَنْ رَحِمَ وَحَالَ بَيْنَهُمَا الْمَوْجُ فَكَانَ مِنَ الْمُغْرَقِينَ 

“…dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung, dan Nuh memanggil anaknya,[1] sedang anak itu berada di tempat yang jauh terpencil: ‘Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir.’ Anaknya menjawab: ‘Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat menghindarkanku dari air bah!” Nuh berkata: ‘Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) yang Maha Penyayang’, lalu gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.” (QS. Huud, 11: 42 – 43)

Kedua, adanya persepsi yang salah yang terbangun dalam dirinya hingga mengharuskan orang lain mengikuti persepsi dan keinginannya.

Ketiga, adanya ketidak-jelasan dalam mafahim tarbawiyyah, misalnya terkait pemahaman tentang ats-tsawabit wal mutaghayyirat (mana perkara-perkara baku, dan mana perkara-perkarayang fleksibel), fiqhul-waqi’ (pemahaman terhadap realita), syura, ijtihad, ketaatan, tsiqah, dan lain-lain.

Keempat, adanya hasrat-hasrat pribadi (raghabat syakhsiyyah) di balik semua kerja-kerja dakwah yang dilakukannya, seperti adanya hasrat kekuasaan, harta, dan keinginan duniawi lainnya. Penyebab pembangkangan yang sebenarnya adalah keadaan jiwa. Jika jiwa telah dikuasai oleh hawa nafsu, mata akan menjadi buta, telinga akan menjadi tuli, serta tidak dapat mendengar kebenaran.

Kelima, tidak mempertimbangkan al-mitsaliyyah (idealita) dan al-waqi’iyyah (realita).

Gejala-gejala Al-’Inad

  • Gemar mengkritisi kebijakan qiyadah bukan pada forum yang tepat, sementara dia pun bukan orang yang memiliki kapasitas untuk melakukannya. Terkadang seseorang menyadari keterbatasan kapasitasnya, akan tetapi ia lebih cenderung percaya kepada berbagai opini negatif tentang kebijakan qiyadah.
  • Senang berkelompok bersama orang-orang yang membangkang lalu membuat kutlah-kutlah (kelompok-kelompok kecil) dalam jama’ah dakwah. Bahkan tidak jarang terjadi at-tha’nu ‘ala syakhsiyyah mu’ayyanah (serangan/tikaman kepada pribadi tertentu secara definitif) di luar konteks yang dipermasahkan dan syetan menghiasi amal mereka itu.
  • Lemah tsiqah (kepercayaan)-nya kepada orang-orang yang berseberangan pendapat dengannya.
  • Menganggap dirinya paling benar sedangkan yang berbeda pendapat dengannya salah.

Upaya memperbaiki Al-’Inad

Pertama, ilaj fikri (terapi pemikiran). Yakni dengan menyampaikan mafahim tarbawiyah shahihah melalui berbagai forum dan sarana; menugaskannya untuk membaca literatur tentang bahaya al-’inad dan keharusan menjaga soliditas shaf (barisan jama’ah); serta memberikan bayanat fikriyyah (penjelasan gagasan) yang disertai dengan dalil-dalil syar’i dan ‘aqli yang kuat.

Kedua, ‘Ilaj amali haraki (terapi amal haraki). Yakni dengan memperbaiki hubungan dengan orang yang memiliki gejala al-‘inad dengan upaya-upaya ta’liful qulub (yang dapat menautkan hati); menjauhkan orang yang terindikasi memiliki potensi al-‘inaddari komunitasnya; lalu melibatkannya dalam berbagai amal da’awi jama’i hingga ia merasakan indahnya ukhuwah dan manisnya berjama’ah; membangun komunikasi intensif dengannya melalui berbagai sarana hingga ketsiqahannya kembali kuat; serta sering mengajaknya dalam mu’ayasyah (interaksi) bersama para masyayikh dan orang-orang senior dalam dakwah dimana mereka tetap solid dan eksis.

Ketiga, ‘ilaj Rabbani (terapi rabbani), yakni dengan mendoakannya fi zhahril ghaib (dalam keadaan tidak diketahui oleh orang yang dido’akan) serta melibatkan ikhwah lain untuk bersama-sama mendo’akannya pula terutama memanfaatkan waktu-waktu dan tempat-tempat yang mustajab.

Wallahul Musta’an.

Catatan Kaki:

[1] Nama anak Nabi Nuh a.s. yang kafir itu Qanaan, sedang putra-putranya yang beriman Ialah: Sam, Ham dan Jafits.

Leave a comment