Prof Thaha Jabir dan cerita tentang Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyahrof Thaha Jabir dan cerita tentang Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah


Prof Thaha Jabir dan cerita tentang Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah

Ust Yendri Junaidi

Prof Thaha terlahir di Irak. Tapi kuliahnya dari Diploma sampai Doktoral adalah di Al-Azhar. Syekh Ali Jumah ketika memberikan pengantar pada salah satu bukunya menyebutnya dengan: Ustadzuna. Prof Thaha adalah tokoh penting di balik berdirinya International Institute of Islamic Thought (IIIT) dan pernah menjadi salah seorang Direkturnya.

Ada kisah menarik yang ia sampaikan di salah satu bukunya. Kisah ini berkaitan dengan sosok yang sangat terkenal ; Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.


Dulu, sekitar tahun 50-an, guru-guru kami di Irak mewanti-wanti murid-muridnya agar tidak terpengaruh dengan pemikiran wahabi. Diantara sebabnya adalah karena akar sejarah dan pemikirannya terhubung dengan Ibnu Taimiyyah dan Ibnu al-Qayyim.

Diantara mereka ada yang tidak cukup sekedar men-tahdzir saja, tapi juga meminta murid-muridnya membaca buku-buku bantahan terhadap Ibnu Taimiyyah dan para pengikutnya.

Saya masih ingat, seorang guru mendesak saya untuk membaca kitab ash-Shawa’iq al-Ilahiyyah fi ar-Radd ‘ala al-Wahhabiyyah yang dinisbahkan kepada Syekh Sulaiman bin Abdul Wahab, saudara kandung Syekh Muhammad bin Abdul Wahab. Buku ini berisi bantahan terhadap pemikiran dan ajaran Syekh Muhammad bin Abdul Wahab yang tentunya terpengaruh dengan ajaran Ibnu Taimiyyah.

Orang yang tidak pernah membaca buku yang ditulis oleh Syekh Muhammad, lalu langsung membaca buku saudaranya ini tentu saja tidak akan mau mendekati apalagi mengkaji pemikiran Syekh Muhammad bin Abdul Wahab.

Tapi hal ini tidak terjadi pada saya. Tahdzir dari sebagian guru dan ‘desakan’ untuk membaca buku-buku bantahan terhadap Syekh Muhammad, justeru merangsang saya untuk membaca buku-buku Ibnu Taimiyyah langsung. Tapi sayangnya, di Fallujah (Irak) saat itu tidak mudah mendapatkan buku-bukunya.

Ketika pindah ke Baghdad, saya belajar dengan ulama-ulama terkemuka saat itu seperti Syekh Amjad Afandi az-Zahawi, Syekh Muhammad Fuad al-Alusi, Syekh Qasim al-Qisi dan lain-lain.

Saya mulai membaca buku-buku Ibnu Taimiyyah seperti al-Jawab ash-Shahih, al-Qawa’id an-Nuraniyyah, ash-Sharim al-Maslul dan lain-lain. Di buku yang terakhir ini saya menemukan Ibnu Taimiyah sangat mengagungkan Rasulullah Saw. Ini sangat berbeda dengan apa yang pernah di-tahdzir-kan oleh sebagian guru saya waktu itu bahwa Ibnu Taimiyyah tidak memuliakan Nabi. Bahkan saya melihat Ibnu Taimiyyah lebih memuliakan Nabi dibandingkan sebagian orang yang melakukan tawassul dan ziarah ke maqam Nabi, lalu menganggap itu sebagai tanda cinta tertinggi kepada Rasulullah Saw.

Hal ini menimbulkan tanda-tanya dalam diri saya. Apakah para ulama yang men-tahdzir Ibnu Taimiyah itu tidak membaca buku ini?

Suatu hari saya menghadiri dars Syekh Muhammad Fuad al-Alusi. Dalam dars itu, ia menyinggung Ibnu Taimiyah dan menyebutnya secara negatif. Saya tidak diam saja. Saya berusaha me-munaqasyah penilaiannya terhadap Syaikhul Islam. Syekh Fuad tampak marah. Lalu ia berkata:

هل أنت وهابي ؟ إذا كنت كذلك فيمكنك أن تدرس على سواي

“Apakah engkau seorang wahabi? Kalau iya maka silahkan belajar pada orang selain saya.”

Saya lalu minta izin pulang. Keesokan harinya saya datang membawa buku ash-Sharim al-Maslul. Saya minta izin pada Syekh Fuad untuk membacakan fihris (daftar isi) buku itu saja.

Setelah saya bacakan ia tampak menangis. Ia berkata: “Tinggalkan buku ini padaku untuk beberapa hari.” Saya lalu menyerahkan buku itu padanya.

Beberapa hari setelah itu saya kembali menghadiri dars-nya dalam ilmu Balaghah. Tiba-tiba ia datang menghampiriku dan mencium keningku. Tentu saja aku terkejut.

Lalu ia berkata: “Engkau telah menyelamatkanku dari kebencian terhadap sosok ini. Selama hidup aku pernah membaca kitab seperti kitab ini yang di dalamnya terdapat pengagungan dan rasa cinta terhadap Nabi Saw.” Ia juga menyesalkan orang-orang yang menukil perkataan yang dinisbahkan pada Ibnu Taimiyyah sebelum mencek kebenarannya dari sumber-sumber primer dan terpercaya.


Saat menulis tesis Doktoral (di Universitas al-Azhar) tentang Fakhruddin ar-Razi dan pandangan-pandangan Ushul-nya serta kajian kitab al-Mahshul, saya kembali mengkaji pemikiran Ibnu Taimiyah terutama yang berkaitan dengan pandangannya terhadap ar-Razi, dan Asya’irah secara umum.

Disini saya tidak hanya mengkritik orang-orang yang menentang Ibnu Taimiyah, saya juga mengkritik Ibnu Taimiyyah itu sendiri, khususnya pandangannya terhadap ar-Razi dan Asya’irah.

Ketika Universitas Imam Muhammad bin Su’ud berniat mencetak tesis saya ini, pihak kampus menunjuk dua orang untuk memeriksa tesis sebelum dicetak. Satu dari dua orang ini sangat marah ketika membaca bantahan saya terhadap Ibnu Taimiyah. Ia merekomendasikan pada kampus untuk membatalkan kontrak dengan saya dan bahkan mengusir saya dari Arab Saudi. Dalam surat yang ditulisnya pada Rektor ketika itu, ia mengatakan bahwa tidak ada seorang pun yang boleh mengkritik Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di negeri ini, apapun motivasi dan tujuannya.

Tapi untungnya pihak kampus tidak mengiyakan rekomendasi orang itu. Tesis itu tetap dicetak tapi bagian tahqiq-nya saja. Sementara bagian dirasah (kajiannya) dikembalikan padaku.

رحم الله شيخنا الأستاذ الدكتور طه جابر العلواني


Kita tentu punya pandangan masing-masing pada tokoh-tokoh tertentu, baik pro maupun kontra. Tapi, Prof Thaha mengajarkan kita, apapun penilaian itu, jangan sampai dibangun atas dasar kata si A atau kata si B. Temukan langsung dari karya tokoh itu. Tentu saja karya yang sudah dipastikan bahwa itu memang karyanya. Atau dari sumber yang dapat dipercaya; pendapat murid dekatnya, anak kandungnya dan sebagainya.

Adapun menilai seorang tokoh dari tulisan orang yang membantahnya maka ini sangat riskan. Kalau pendapat seorang muhib saja belum tentu benar apalagi seorang mubghidh.

Yang diajarkan Prof Thaha ini sesungguhnya adalah ajaran al-Quran :

ولا تقف ما ليس لك به علم إن السمع والبصر والفؤاد كل ألئك كان عنه مسؤولا

“Jangan ikuti sesuatu yang engkau tidak punya ilmu tentangnya. Sesungguhnya pendengar, penglihatan dan nurani, semua akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. al-Israa`: 36)

Dari sini lahir sebuah kaidah yang sangat penting dan mendasar :

إذا كنت ناقلا فالصحة وإذا كنت مدعيا فالدليل

“Kalau menukil maka pastikan benar. Kalau mengklaim maka berikan bukti.”

والله تعالى أعلم وأحكم

[YJ]

Leave a comment