Lelaki Andalus dan Gajah


Nama lelaki itu mudah dikenal, Yahya ibnu Yahya. Nun jauh dari Andalusia ia berasal. Ia pergi menuntut ilmu ke Madinah.Berguru pada Imam Malik. Andalusia-Madinah adalah jarak yang teramat jauh. Terlebih dengan sarana transportasi apa adanya di masa itu.Tetapi Yahya bin Yahya adalah salah satu contoh terbaik tentang bagaimana kehendak seorang muslim untuk tidak pernah berhenti menjadi berarti.

Hari-hari menimba ilmu pun ia lalui di Madinahyang tenang. Di hadapan sang guru Imam Malik. Hingga suatu hari, saat tengah berada di majelis bersama murid-murid yang lain, tiba-tiba ada rombongan orang-orang entah dari mana. Mereka datang sambil membawa gajah. Para murid-murid Imam Malik berhamburan keluar ingin melihat gajah. Di jazirah Arab, makhluk besar berbelalai itu saat itu memang tergolong asing. Maka orang-orang pun keluar ingin melihat lebih dekat.Begitu pun murid-murid Imam Malik. Semua beranjak, kecuali Yahya bin Yahya. Hingga semua keluar Yahya tetap duduk di majelis itu. Melihat itu Imam Malik mendekat. “Mengapa engkau tidak keluar juga untuk melihat gajah?” tanya Imam Malik. Yahya menjawab, “Aku jauh-jauh datang dari Andalusia untuk menuntut ilmu, bukan untuk melihat gajah.” ImamMalik sangat kagum dengan keteguhan Yahya. Setelah itu Imam Malik pun menggelarinya dengan ‘aqilu Andalus (lelaki berakal dari Andalusia).

Lelaki berakal, Yahya bin Yahya telah meletakkan prinsip mendasar di atas jalan hidupnya. Ia mengerti sedang di jalan apa berlalu dan ke arahmana menuju. Ia seperti tengah menegaskan, betapa ia tidak bolehberhenti, di jalur kehendak dan cita-citanya, oleh sesuatu yang sederhana. Sekiranya ia sejenak keluar, melihat gajah bersama teman-temannya, itu pun tak jadi soal besar. Toh Imam Malik sejenak tidak melanjutkan pelajarannya, sebab semua murid-muridnya keluar.Tetapi filosofi luhur di balik sikapnya itu, mencerminkan sebuah kecerdasan, tentang bagaimana seorang muslim memahami godaan-godaan konsistensi, yang kadang menghentikan dan menghempaskan. Betapa ia tidak boleh terhenti oleh godaan-godaan itu. Maka lelaki itu benar-benar layak disebut ‘aqilu Andalus.

Betapasering perjalan hidup kita terhenti. Bahkan oleh hal-hal yang tidak terlalu serius. Betapa banyak orang berhenti dari mengejar cita-cita,kehendak mulia, mimpi-mimpi fantastik dalam capaian prestasi, hanya lantaran keteledoran, hanya karena ulah menyimpang yang mulanya hanyaiseng-iseng belaka, atau mental ‘nanti dulu’, atau sikap ‘sebentardulu’. Akhirnya lama kelamaan jiwanya mulai layu, semangatnya mulairedup. Gairah berkaryanya semakin kering. Akhirnya ia pun terhenti dari segala harapan yang telah menanti di ujung kerja kerasnya.

Gelar ‘aqilu Andalus,lelaki berakal dari Andalus menegaskan soal lain, bahwa kehendak kuat untuk tidak berhenti, atau terhenti, membutuhkan kalkulasi keyakinanyang kuat. Ini tidak sekadar ukuran rasional untung atau rugi. Ini jugabenar-benar bukan soal selera suka atau tidak suka melihat gajah. Tapi ini sungguh-sungguh benar soal pemahaman kemengertian, kesadaran dan juga kedalaman penghayatan tentang keputusan apa yang harus diambil seorang muslim di saat-saat ia tergoda.

Begitulah seorang muslim semestinya menata jalan cita-citanya. Semua orang punyaharapan-harapannya. Tinggi atau rendah. Jauh atau dekat. Serius ataumain-main. Tetapi menjadi seorang muslim yang tak mengenal kata henti dalam berjalan, berusaha, berkarya, adalah pilihan keimanan untuktujuan nun jauh di akhirat sana. Sebab di atas arah jalan itu hidupseorang muslim menjadi punya arti.

Dalam kehidupan para salafussalih, keberartian tidak diperoleh dalam waktu yang singkat. Tidak pula dengan usaha yang setengah-setengah.Orang-orang besar di dalam tarikh umat Islam yang gemilang, menjadibesar karena mereka tidak pernah lelah menabung untuk investasi keberartiannya, hari demi hari, waktu demi waktu, detik demi detik.Imam Bukhari setiap malam bisa terbangun hingga dua puluh kali, untukmenuliskan hadits-hadits yang dihafalnya. Ia tidak pernah berhenti untuk menjadi berarti. Maka kini ia memetik jerih payah itu. Ia menjadi maha guru ahli hadits sepanjang masa.

Begitupun orang-orang lain seperti Imam Nawawi. Bila seluruh usianya dibagi dengan karya tulisnya, maka setiap hari ia akan menulis tidak kurangdari enam belas halaman manuskrip. Bila diurai menjadi buku-buku masakini setiap halaman manuskrip itu bisa menjadi berlembar-lembarhalaman. Begitu juga Ibnu Hajar Al-Asqalani, ulama besar penguraiShahih Bukhari, ia menghabiskan seperempat abad usianya untuk menuliskarya monumentalnya, Fathul Bari.

Begitulah orang-orang besar menjadi besar karena ia tidak pernah berhenti menginvestasikan untuk dirinya karya kebajikan. Sebagaimana orang-orangjahat, orang-orang kejam, akan terkenang sepanjang masa, karena ia juga menginvestaikan untuk dirinya kekejian dan kekejaman.

Jangan pernah berhenti, sebelum hidup kita punya arti. Sepanjang perjalanan,sejak kita beranjak dewasa, sejujurnya kita telah mengerti apa itutujuan akhir, cita-cita puncak, dan mimpi-mimpi terjauh kita untukmenjadi sesuatu. Tetapi tidak jarang kita terhempas, kita terlena, dan kemudian berhenti di tengah jalan. Padahal hidup bagi seorang mukmin,semestinya adalah proses menjadi baik tanpa kenal putus.

Didalam Al-Qur’an, sebuah siklus menjadi baik dijelaskan dengan indaholeh Allah dengan pendekatan usia. Bahwa pada mulanya manusia hanyalahseorang bayi. Lalu tumbuh dewasa, lalu bila Allah memberi umur panjang,ia bisa melewati umur empat puluh tahun. Tetapi semua tahapan usia ituharus menjadi sebuah siklus keshalihan.

Allah swt berfirman, “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baikkepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah,dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampaimenyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasadan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdo’a, ‘Ya Tuhanku,tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikankepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yangshalih yang Engkau ridhai, berilah kebaikan kepadaku dengan (memberikebaikan) kepada anak-anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepadaEngkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.”(QS. Al-Ahqaf: 17).

Ayat di atas dengan jelas mengisyaratkan tentang siklus kehendak menjadi baik yang tak pernah berhenti, tidak pernah putus. Waktu kecil dibawah asuhan kebaikan orang tua. Begitu beranjak dewasa, ia menyambungnya denganberbakti. Lalu disebutnya umur empat puluh tahun, menandakan kematangan yang berkelanjutan. Saat itu ia teringat lagi kebajikan kedua orangtuanya. Maka ketika ia memohon untuk bisa bersyukur, atas karunia untuk dirinya dan orang tuanya.

Selain itu, tentusaja, di dalamnya bersyukur atas kebajikan yang bisa ia lakukan. Ituartinya ia tidak memutus jalan hidupnya untuk selalu dalam rantai kebajikan. Begitupun, ketika ia memohon hal yang sama untuk anak-anakdan cucunya. Begitu dahsyat alur siklus keshalihan itu berjalan. Nyaris tak ada yang terputus. Dari seorang bayi, hingga kelak anak cucu bagi bayi tersebut. Begitu seterusnya.

Cita-cita luhur, kehendak kuat, mimpi-mimpi untuk menjadi seorang muslim yangpunya arti, tidak boleh terhenti oleh apapun. Apalagi hanya sekada rkarena seekor gajah. Hiburan dan rehat ada tempatnya sendiri yangproporsional. Kita harus terus mengejar. Jangan berhenti. Jadilah seperti lelaki berakal dari Andalusia itu.Wallahu a’lam

http://beranda.blogsome.com/2008/10/09/lelaki-andalus-dan-gajah/


2 thoughts on “Lelaki Andalus dan Gajah

  1. subhanallah… Dapet inspirasi di pagi hari nih. Untuk bisa fokus itu banyak ujiannya yaa. Tapi menjadi berarti itu memang menjadi tuntutan..Izin share yaa pak. :)btw, penulisan yg lebih tepat itu wallahu alam

    Like

  2. akuai said: subhanallah… Dapet inspirasi di pagi hari nih. Untuk bisa fokus itu banyak ujiannya yaa. Tapi menjadi berarti itu memang menjadi tuntutan..Izin share yaa pak. :)btw, penulisan yg lebih tepat itu wallahu alam

    anda betul saya teledor…insyaAllah di edit

    Like

Leave a comment