Papan Catur


“Bagaimana hukum bermain Catur, mas?”, tanyaku. ‘Boleh, bi. Asal…’, jawabnya mantap. ‘Baiklah. Aku harus berunding dulu dengan ibumu’, tegasku. ‘Berapa hari aku menunggu?’, tanyanya.

Anak lelakiku sedang kesengsem permainan catur. Ia baru beberapa saat yang lalu melihatnya di komputerku. Mencoba permainan itu, lalu kesengsem.

Secara bersamaan kawan sepermainannya juga sedang keranjingan catur. Kadang aku melihat gerombolan laki-laki kecil itu mengerumuni papan catur di tritisan rumah mbah Patah. Entah setaat apa mereka pada regulasi, yang pasti hasilnya damai.

Aku harus membuatnya berfikir. Acuan syariat adalah hal pertama. Jika jawabnya boleh, dia boleh melanjutkan hasratnya. Tentu dengan menjawab efektivitas, efisiensi dan substitusinya. Jika tidak, sesuka apa dia, dia harus bias hentikan sendiri hasratnya. Ini perlu referensi sederhana yang mudah dicerna laki laki kecilku.

Aku turunkan ‘Halal dan Haram’-nya Yusuf Qordhowy. Aku cari dahulu. Ada. Aku baca. Aku coba bayangkan jika Zaim harus membacanya. Sudah. Aku letakkan di meja belajarnya.

Benar saja. Sepulang dari sholat Magrib, Zaim menanyakan kembali nasib proposalnya. ‘Gimana, bi? Boleh aku beli Papan Catur?’, tanyanya. ‘Emang boleh main Catur?’, tanyaku balik. ‘Mas, di meja belajar kamu ada buku tentang halal dan haram. Kamu baca dulu hokum bermain catur. Ok?’, aku mengarahkan proses ini.

Dia ambil buku yang memang aku sudah sediakan. Dia bawa ke meja komputerku. ‘(Buku) ini, bi?’. ‘Ya’. ‘Mas Zaim bias lihat dari Daftar Isinya dulu, mas’. Dia cermat menelusuri daftar isi. Jari tangan kanannya mengalir di lembar lembar daftar isi, mulutnya komat kamit, sesekali terhenti, dan sesekali konsentrasinya tergoda topic lain.

Gagal. Ia gagal menemukan topic itu meski penelusurannya sudah berakhir. Aku turun tangan. Sedikit kesal sebenarnya. Mosok gak ketemu to, mas? Kamu mesti gak konsentrasi lagi nih! Dan kalimat sejenisnya sungguh menggoda untuk dilontarkan. Zaim juga sudah tampak siap menerima komentar itu. Tetapi tidak. Sesekali jadi ayah yang baiklah. Sesekali menjadi ayah yang seharusnya. Mumpung sadar. Moment ini sangat berharga.

Aku ikuti caranya. Jariku menelusuri daftar isi juga. Mulutku juga komat kamit membaca daftar isi. Aku Cuma mengkritik volume suaranya. Aku mengurangi volume. Selebihnya aku ikuti caranya. Termasuk sesekali berhenti dan nyureng nyureng-nya.

Ketemu. Di –hampir- bagian akhir soal itu ditulis Yusuf Qordhawy.

Dia lahap bagian itu. Dia coba untuk memahami. Aku lihat dia agak kesulitan memahami, tapi tampaknya ia tak ingin menyerah. Aku membiarkannya. Akhirnya dia selesai. Dengan masih sambil berjalan ke arahku, ia terus membacanya.

Bagaimana, mas?’. ‘Boleh, bi. Asal ga lupa sholat, ga judi dan ga berkata kotor’, simpulnya.

Ahad itu, aku antar ia membeli papan catur seharga enam belas ribuan.

Entahlah ini! Setidaknya aku mencoba mengajaknya memikirkan sebuah tindakan dengan langkah langkah yang aku diktekan. Setidaknya aku berusaha mengajarinya mencari referensi dan memecahkan masalahnya berdasarkan bukti otentik. Entahlah! Setidaknya aku mengajariku dan mengajarinya berpikir. Mengajarinya perencanaan. Mengajarinya efisiensi. Mumpung sadar. Mumpung ingat.

Allah… mudahkan urusan ini. Amin.

karya eko novianto pengarang sudahkah kita tarbiyah lewat diskusi di sebuah milis

Leave a comment