Punya Kerjaan Menjadi Syarat Sebelum Menikah?


                        




Apakah punya kerjaan itu menjadi syarat sebelum menikah?

DIASUH OLEH USTAZ DR ONI SAHRONI;

Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Assalamu’alaikum wr. wb. Saya seorang mahasiswi dan diajak kenalan untuk menikah oleh seorang laki-laki yang juga seorang mahasiswa di kampus yang sama, belum punya pekerjaan tetapi orangnya baik. Dia mengatakan bahwa pekerjaan nanti dipikirkan setelah menikah. Apakah pernyataan seperti itu benar menurut syariah? Apakah punya kerjaan itu menjadi syarat sebelum menikah? Mohon penjelasan Ustaz. — Indah, Bandung Wa’alaikumussalam wr. wb.

Jawaban atas pertanyaan ini bisa dijelaskan dalam poin-poin berikut. Pertama, di antara beberapa realitasnya adalah;

(1) Mungkin terjadi menikah saat kuliah dengan teman satu kampus. Ia menikah saat skripsi dalam proses penyelesaian, tugas-tugas kuliah menumpuk, pekerjaan belum ada, bermodal nekat dan keyakinan.

(2) Di sisi lain, beberapa mahasiswa yang masih kuliah memilih untuk menikah, tetapi sudah punya kerjaan (berpenghasilan) walaupun pekerjaan tidak tetap, bahkan saat menikah menjadi panutan di kampus. Studi jalan, organisasi jalan, keluarga juga baik. Kedua, kesimpulannya bisa dijelaskan sebagai berikut.

(1) Yang harus dipenuhi suami adalah kesalehan personal dan kepribadian tanggung jawab (mas’uliyah) untuk memenuhi hak-hak keluarga lahir dan batin. Di antaranya menyediakan biaya keluarga selama berumah tangga, termasuk di awal-awal pernikahan. Karena tanggung jawab bagian dari agama yang menjadi induk dari nafkah dan lainnya. Rasulullah SAW bersabda, “Jika seseorang datang melamar (anak perempuan dan kerabat) kalian, sedangkan kalian ridha pada agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Jika tidak kalian lakukan, niscaya akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan.” (HR Tirmidzi).

Syeikh Athiyah Saqr menulis, “Sesungguhnya, kebahagiaan keluarga menuntut banyak hal, bukan hanya nafkah dan harta. Semoga Allah merahmati Said bin al-‘Ash yang menolak menikahkan anaknya dengan Ziyad bin Abi, saat ia hadir meminang putri Said bin al-‘Ash dan membawa hadiah. Kemudian Said mengambil hadiah tersebut dan memberikannya kepada masyarakat…. (Mausu’atu al-Usrah, ‘Athiyyah Saqr, 1/230). Sebagaimana hadis Rasulullah SAW. Ada tiga yang mendapatkan pertolongan Allah SWT, ‘….orang yang menikah karena ingin iffah-nya terjaga’.

(2) Dalam konteks keluarga, tanggung jawab yang dimaksud adalah memenuhi nafkah keluarga. Keluarga membutuhkan tempat tinggal, makan minum sehari-hari, biaya transportasi dan komunikasi, dan kebutuhan mendasar lainnya (bagaimana biaya tersebut tersedia, setiap kebutuhan biaya rumah tangga itu tersedia) baik bersumber dari pekerjaan tetapnya atau tidak tetap, atau sumber lain seperti bantuan orang tua, beasiswa yang mencukupi kebutuhan berkeluarga, atau sumber lain yang halal dan mencukupi. Pada dasarnya, nafkah keluarga menjadi tanggung jawab suami (ayah) selama berstatus suami istri (sebagaimana pendapat Zhahiriyah).

Karena selain kapasitas suami sebagai pemimpin, tanggung jawab itu juga adalah amanah Alquran, “…Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara makruf…” (QS al-Baqarah [2]: 233).

Karena seseorang tidak mungkin mendapatkan nafkah dengan tiba-tiba tanpa dipersiapkan terlebih dahulu.

(3) Walaupun ketersediaan biaya dapat bersumber dari tiga sumber tersebut, tetapi dari sisi maslahat keluarga dan risiko kepastian dana, memiliki pekerjaan yang bisa diandalkan sebagai sumber ma’isyah sebelum bekerja itu menjadi prioritas dan adabnya. Karena seseorang tidak mungkin mendapatkan nafkah dengan tiba-tiba tanpa dipersiapkan terlebih dahulu. Jika memberi nafkah setelah menikah itu baru terwujud setelah ia punya sumber nafkah, maka tersedia sumber nafkah itu menjadi adab yang laiknya dipenuhi sebelum menikah. Hal ini karena akan banyak kesulitan, saat pekerjaan baru dicari setelah nikah sementara kebutuhan finansial di depan mata. Oleh karena itu, bukan bagian dari tanggung jawab, menikah dan belum memiliki sumber nafkah, baik dari pribadi atau dari pihak lain. Hal ini sebagaimana kaidah: “Jika sebuah kewajiban tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya.” (al-Syaukani, Irsyad al-Fuhul, 1/411).

Penjelasan tersebut ingin menghadirkan sikap seimbang dan proporsional.

Penjelasan tersebut ingin menghadirkan sikap seimbang dan proporsional (tawazun) agar terhindar dari sikap dan realita hanya bermodalkan tawakkal tanpa ikhtiar hingga merugikan keluarga, juga terhindar dari sikap materialistis. Sebagaimana dijelaskan Syeikh Athiyah Saqr, “Jika harta dan keperibadian/akhlak berhimpun maka menjadi nikmat yang sangat besar.” (Mausu’atu al-Usrah, ‘Athiyyah Saqr, 1/231).

‘;

Leave a comment