TIGA WASIAT RASULULLAH


Normal
0

false
false
false

EN-US
X-NONE
X-NONE

/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:”Table Normal”;
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-parent:””;
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin-top:0cm;
mso-para-margin-right:0cm;
mso-para-margin-bottom:8.0pt;
mso-para-margin-left:0cm;
line-height:107%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:”Calibri”,sans-serif;
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;}

TIGA WASIAT
RASULULLAH

Para ulama dalam agama kita menyebutkan sebuah
istilah jawami’ul kalim yang bermakna bahasa yang singkat namun memiliki
kandungan yang sangat mendalam.
عَنْ أَبِيْ ذَرٍّ جُنْدُبِ بنِ جُنَادَةَ وَأَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ مُعَاذِ
بْنِ جَبَلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: (اتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ
الحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ) رَوَاهُ التِّرْمِذِي
وَقَالَ: حَدِيْثٌ حَسَنٌ. وَفِي بَعْضِ النُّسَخِ: حَسَنٌ صَحِيْحٌ
.

Dari Abu Dzarr Jundub bin Junadah dan Abu ‘Abdirrahman Mu’adz bin
Jabal radhiyallahu ‘anhuma, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
beliau bersabda,
“Bertakwalah kepada Allah di mana pun engkau berada; iringilah
perbuatan buruk dengan perbuatan baik, maka kebaikan akan menghapuskan
keburukan itu; dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik.” (HR. Tirmidzi,
ia mengatakan haditsnya itu hasan dalam sebagian naskah disebutkan bahwa hadits
ini hasan shahih) [HR. Tirmidzi, no. 1987 dan Ahmad, 5:153. Al-Hafizh Abu
Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan]
Pertama: Takwa
Hadits ini adalah hadits yang agung, di dalamnya
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menyebutkan hak-hak Allah dan hak-hak
hamba. Hak Allah yang disebutkan adalah bertaqwa kepada-Nya dengan taqwa yang
sejati. Yaitu menjaga diri dari murka dan adzab Allah, dengan menjauhi
larangan-Nya dan menjalankan perintah-Nya.
Wasiat taqwa ini adalah wasiat dari Allah untuk
hamba-Nya dari yang paling awal hingga akhir, ini juga merupakan wasiat para
Rasul kepada kaumnya, mereka berkata:
اعبدوا الله واتقوه
“Sembahlah Allah saja dan bertaqwalah kepada-Nya”
Allah Ta’ala membahas masalah taqwa dalam firman-Nya:
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ
قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَالْمَلائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى
الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ
السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلاةَ وَآتَى
الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ
وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ
الْمُتَّقُونَ
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu
kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah,
hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta
yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan
(memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat; dan
orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang
sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah
orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa”
(QS. Al Baqarah: 177)
juga dalam firman-Nya:
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ
وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga
yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang
bertakwa” (QS. Al Imran: 133)
kemudian Allah melanjutkan:
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ
وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ
يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang
maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan)
orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” (QS. Al Imran: 134)
Allah Ta’ala mensifati orang-orang bertaqwa dengan iman yaitu pokok
keimanan dan aqidahnya, dengan amal-amal zhahir dan amal-amal batin yang
dilakukannya, juga dengan ibadah badan, ibadah maliyah (harta), kesabaran
ketika mendapati dan menghadapi musibah. Juga dengan sifat pemaaf kepada orang
lain, menghilangkan gangguan, berbuat baik kepada sesama. Juga dengan semangat
untuk bertaubat ketika melakukan perbuatan maksiat atau berbuat zhalim kepada
diri sendiri. Lalu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pun memerintahkan dan
mewasiatkan untuk konsisten dalam bertaqwa, dimana pun berada, kapan pun dan
dalam keadaan apapun. Karena seorang hamba senantiasa sangat-sangat dituntut
untuk bertaqwa, tidak ada satu kesempatan pun ia boleh melepaskan taqwa itu.
Definisi Takwa
Menurut bahasa, takwa berarti menjaga diri atau berhati-hati.
Dikatakan:
اِتَّقَيْتُ الشَّيْءَ وَتَقَيْتُهُ أَتَّقِيْهِ
وَأَتْقِيْهِ تُقًى وَتَقِيَّةً وَتِقَاءً
Artinya: aku menjaga diri dari sesuatu atau aku berhati-hati terhadapnya.
Allah Ta’ala berfirman,
هُوَ أَهْلُ
التَّقْوَىٰ وَأَهْلُ الْمَغْفِرَةِ
“…Dialah (Allah) yang patut (kita) 
bertakwa kepada-Nya dan Dia-lah yang berhak memberi ampunan.”
[Al-Muddatstsir/74: 56]
Maksud ayat di atas adalah hanya Allah Azza wa Jalla sajalah yang
berhak untuk ditakuti siksa-Nya dan hanya Allah Azza wa Jalla sajalah yang
berhak untuk diperlakukan dengan apa yang mendatangkan ampunan-Nya.[1]
Inti takwa ialah seorang hamba meletakkan pelindung antara dirinya
dengan sesuatu yang ia takutkan dan khawatirkan. Jadi, takwa seseorang kepada
Rabb-nya ialah ia meletakkan antara dirinya dan apa yang ia takutkan dari
Rabb-nya berupa kemarahan dan hukuman-Nya, sebuah pelindung yang melindungi dirinya
dari itu semua yang dia takutkan itu. Pelindung tersebut ialah mengerjakan
ketaatan dan menjauhi larangan.[2]
Allah Azza wa Jalla berfirman,
اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ
 “…Bertakwalah kalian kepada
Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya….” [Ali ‘Imrân/3:102]
‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata, “Hendaklah Allah Azza
wa Jalla itu ditaati dan tidak dimaksiati, diingat dan tidak dilupakan, serta
disyukuri dan tidak diingkari.”[3]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Hakikat takwa ialah melakukan
ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla dilandasi keimanan dan mengharap pahala-Nya
karena ada perintah dan larangan sehingga seseorang melakukan perintah Allah
Azza wa Jalla dengan mengimani Dzat yang memerintah dan membenarkan janji-Nya,
dan ia meninggalkan apa yang Allah larang baginya dengan mengimani Dzat yang
melarangnya dan takut terhadap ancaman-Nya.
Sebagaimana dikatakan Thalq bin Habib rahimahullah : ‘Apabila terjadi
fitnah, padamkanlah fitnah itu dengan takwa.’ Orang-orang bertanya, ‘Apakah
takwa itu?’ Ia menjawab, ‘Takwa adalah engkau melakukan ketaatan kepada Allah
berdasarkan cahaya[4] dari Allah karena mengharap pahala dari-Nya, dan engkau
meninggalkan segala bentuk kemaksiatan kepada-Nya berdasarkan cahaya dari-Nya
karena takut terhadap siksa-Nya.’
Ini adalah sebaik-baik definisi bagi kalimat takwa. Sebab, seluruh
amal mesti memiliki permulaan dan tujuan akhir. Suatu amal tidak dikatakan
sebagai ketaatan dan qurbah (amalan yang mendekatkan diri kepada Allah) sampai
ia bersumber dari keimanan. Dengan demikian, yang menjadi pendorong ia
melakukan suatu amal adalah keimanan semata, bukan adat (kebiasaan), hawa
nafsu, mengharap pujian dan kedudukan, dan lainnya. Amal tersebut harus diawali
dengan keimanan, sedang tujuan akhirnya adalah mengharap pahala dari Allah dan
keridhaan-Nya, inilah yang disebut dengan al-ihtisâb (mengharapkan pahala).
Karena itulah, dua pokok ini sering disebutkan secara  bergandengan, seperti dalam sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْـمَـانًا
وَاحْتِسَابًا
“Barangsiapa puasa di bulan Ramadhan atas dasar keimanan dan mengharap
pahala…”
مَن قَامَ لَيْلَةَ الْقَدَرِ إِيْـمَـانًا
وَاحْتِسَابًا
“Barangsiapa menghidupkan malam Lailatul Qadar atas dasar keimanan dan
mengharap pahala…”
Dan hadits-hadits yang semisalnya.
Perkataannya (maksudnya Thalq bin Habîb-red), ‘Berdasarkan cahaya dari
Allah,’ sebagai isyarat pada pokok yang pertama, yaitu keimanan yang menjadi
awal (permulaan) dari amal sekaligus pendorongnya.
Sedang perkataannya, ‘Karena mengharap pahala dari Allah Azza wa Jalla
,’ sebagai isyarat pada pokok yang kedua, yaitu al-ihtisâb sebagai tujuan
akhirnya, dimana karenanyalah amal tersebut diwujudkan dan dimaksudkan.”[5]
Wasiat Takwa Adalah Wasiat Yang Paling Agung
Takwa adalah wasiat Allah Azza wa Jalla untuk generasi terdahulu dan
yang terakhir. Allah Azza wa Jalla berfirman,
وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُوا
الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُوا اللَّهَ
“… Dan sungguh, Kami telah memerintahkan kepada orang yang diberi
kitab suci sebelummu dan (juga) kepadamu agar bertakwa kepada Allah…”
[an-Nisâ’/4: 131]
Takwa adalah wasiat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada
umatnya. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah pada haji
Wada’ di hari penyembelihan hewan kurban, beliau berwasiat kepada manusia agar
mereka bertakwa kepada Allah dan mendengar serta taat kepada pemimpin
mereka.[6]
Takwa adalah wasiat para generasi Salaf. Abu Bakar ash-Shiddiq
Radhiyallahu anhu berkata dalam khutbahnya, “Amma ba’du. Aku wasiatkan kepada
kalian, hendaklah kalian bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla , menyanjung-Nya
dengan sesuatu yang layak diterima-Nya, memadukan keinginan dengan takut, dan
menghimpun permintaan mendesak dengan permintaan, karena Allah Ta’ala
menyanjung Nabi Zakariya dan keluarganya dengan berfirman, ‘Sungguh, mereka
selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan, dan mereka berdo’a kepada Kami
dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.’
[al-Anbiyâ’/21: 90]”[7]
‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu menulis surat kepada anaknya,
‘Abdullah, “Amma ba’du. Aku berwasiat kepadamu, hendaklah engkau bertakwa
kepada Allah Azza wa Jalla , karena barangsiapa bertakwa kepada-Nya, Dia akan
melindunginya. Barangsiapa bersyukur kepada-Nya, Dia menambahkan nikmat-Nya
kepadanya. Jadikanlah takwa di kedua pelupuk matamu dan hatimu.”[8]
Dan dalam sebuah hadits shahih, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berdo’a,
اَللَّـهُمَّ إِنِّيْ أَسْـأَلُكَ الْهُدَى ،
وَالتُّـقَى ، وَالْعَفَافَ ، وَالْغِنَى
.
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu petunjuk, ketakwaan,
kesucian (dijauhkan dari hal-hal yang tidak baik), dan kecukupan.”[9]
Penyandaran Kata Takwa Dan Maknanya
Apabila kata takwa digandengkan dengan nama Allah Subhanahu wa Ta’ala
, seperti dalam firmanNya,
وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي إِلَيْهِ
تُحْشَرُونَ
 “… Dan bertakwalah kepada Allah
yang kepada-Nya kamu akan dikumpulkan (kembali).” (al Mâ-idah/5: 96) maka
maksudnya ialah takutlah kepada kemurkaan dan kemarahan-Nya karena itu adalah
hal paling besar yang harus ditakuti. Hukuman dari Allah di dunia dan akhirat
ada karena kemurkaan dan kemarahan-Nya.
Terkadang kata takwa digandengkan dengan hukuman Allah Azza wa Jalla
dan tempat hukuman tersebut, seperti Neraka atau waktunya seperti hari Kiamat,
sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي أُعِدَّتْ
لِلْكَافِرِينَ
 “Dan periharalah dirimu dari
api Neraka, yang disediakan bagi orang-orang kafir.” [Ali ‘Imrân/3: 131][10]
وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى
اللَّهِ
“Dan takutlah pada hari (ketika) kamu semua dikembalikan kepada
Allah…” [al-Baqarah/2: 281]
Bertakwa Kepada Allah Azza wa Jalla Di Saat Sendirian Maupun Ramai
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bertakwalah kepada
Allah di mana saja engkau berada.” Maksudnya ialah bertakwalah kepada-Nya di
saat sepi maupun ramai, atau ketika dilihat manusia maupun tidak dilihat
manusia.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan dalam do’anya,
أَسْـأَلُكَ خَشْيَتَكَ فِى الْغَيْبِ
وَالشَّهَادَةِ
“Aku memohon kepada-Mu rasa takut kepada-Mu di kala sendirian dan
disaksikan orang lain.”[11]
Makna ini diisyaratkan Al-Qur-an, yaitu firman Allah Ta’ala,
وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ
وَالْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
 “… Bertakwalah kepada Allah
yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan
kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” [an-Nisâ’/4:
1]
Imam asy-Syâfi’i rahimahullah berkata, “Sesuatu yang paling berharga
ada tiga : dermawan meskipun miskin, wara’ (takwa) pada saat sendirian, dan
berkata benar di depan orang yang diharapkan dan ditakuti.”[12]
Sulaiman at-Taimi rahimahullah berkata, “Jika seseorang mengerjakan
dosa pada saat sendirian, maka pada pagi harinya kehinaan terlihat
padanya.”[13]
Orang yang bahagia ialah orang yang memperbaiki diri saat ia
sendirian, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala 
memperbaiki kondisi dirinya ketika bersama manusia. Barangsiapa mencari
pujian manusia dengan kemurkaan Allah Azza wa Jalla , maka orang yang memujinya
akan menjadi penghina baginya.
Kesimpulannya, bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla dikala sendirian
adalah pertanda kesempurnaan iman dan mempunyai pengaruh positif, yaitu Allah
Azza wa Jalla membuat orang tersebut disanjung oleh orang-orang beriman.
Kiat-Kiat Untuk Meraih Takwa
  • Menuntut ilmu syar’i.[14]
  • Melaksanakan perintah
    Allah Azza wa Jalla dan menjauhkan larangan-Nya. Perintah yang paling
    besar adalah tauhid (mentauhidkan Allah) dan larangan yang paling besar
    adalah syirik (mempersekutukan Allah).
  • Bergaul dengan
    orang-orang yang shalih.
  • Selalu merasa diawasi
    oleh Allah Azza wa Jalla .
Keutamaan-Keutamaan Takwa
Banyak sekali nash-nash dari al-Qur-an dan As-Sunnah yang menjelaskan
tentang keutamaan-keutamaan takwa, di antaranya sebagai berikut:
  • Surga diwariskan bagi
    orang-orang yang bertakwa [Maryam/19: 63].
  • Takwa sebagai sebab
    seorang hamba dicintai oleh Allah [Ali ‘Imrân/3: 76].
  • Dibukakannya keberkahan
    dari langit dan bumi bagi orang yang bertakwa [al-A’râf/7: 96]
  • Allah Ta’ala bersama
    orang-orang yang bertakwa [an-Nahl/16: 128].
  • Dimudahkannya urusan di
    dunia dan akhirat serta dimudahkan rizkinya bagi orang yang bertakwa
    [ath-Thalâq/65: 4]
  • Takwa adalah sebaik-baik
    bekal seorang hamba di dunia dan di akhirat [al-Baqarah/2:197]
  • Kesudahan yang baik di
    dunia dan akhirat adalah bagi orang-orang yang bertakwa [al-A’râf/7: 128].
    Dan yang lainnya.[15]
Ciri-Ciri Orang Yang Bertakwa:
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya):“Dan bersegeralah
kamu mencari ampunan dari Rabb-mu dan mendapatkan Surga yang luasnya seluas
langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (Yaitu)
orang-orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang
yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah
mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan dan juga orang-orang yang apabila
mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri (segera) mengingat
Allah, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya, dan siapa (lagi) yang dapat
mengampuni dosa-dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan
dosanya itu, sedang mereka mengetahui. Balasan bagi mereka ialah ampunan dan
Rabb mereka dan Surga-Surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka
kekal di dalamnya. Dan (itulah) sebaik-baik pahala bagi orang-orang yang
beramal.” [Ali ‘Imrân/3:133-136]
Bertakwa dan berakhlak mulia, itulah yang paling menyebabkan banyak
yang masuk surga.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ الْجَنَّةَ فَقَالَ « تَقْوَى اللَّهِ
وَحُسْنُ الْخُلُقِ ». وَسُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ
فَقَالَ « الْفَمُ وَالْفَرْجُ
»
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengenai perkara
yang banyak memasukkan seseorang ke dalam surga, beliau menjawab, “Takwa kepada
Allah dan berakhlak yang baik.” Beliau ditanya pula mengenai perkara yang banyak
memasukkan orang dalam neraka, jawab beliau, “Perkara yang disebabkan karena
mulut dan kemaluan.” (HR. Tirmidzi no. 2004 dan Ibnu Majah no. 4246. Al-Hafizh
Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).
Takwa asalnya adalah menjadikan antara seorang hamba dan seseutu yang
ditakuti suatu penghalang. Sehingga takwa kepada Allah berarti menjadikan
antara hamba dan Allah suatu benteng yang dapat menghalangi dari kemarahan,
murka dan siksa Allah. Takwa ini dilakukan dengan melaksanakan perintah dan
menjauhi maksiat.
Namun takwa yang sempurna kata Ibnu Rajab Al Hambali adalah dengan
mengerjakan kewajiban, meninggalkan keharaman dan perkara syubhat, juga
mengerjakan perkara sunnah, dan meninggalkan yang makruh. Inilah derajat takwa
yang paling tinggi.
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata,
المُتَّقُوْنَ اتَّقَوا مَا حُرِّمَ عَلَيْهِمْ
، وَأدَّوْا مَا افْتُرِضَ عَلَيْهِمْ
“Orang yang bertakwa adalah mereka yang menjauhi hal-hal yang
diharamkan dan menunaikan berbagai kewajiban.”
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz rahimahullah berkata,
لَيْسَ تَقْوَى اللهِ بِصِيَامِ النَّهَارِ ،
وَلاَ بِقِيَامِ اللَّيْلِ ، وَالتَّخْلِيْطِ فِيْمَا بَيْنَ ذَلِكَ ، وَلَكِنْ
تَقْوَى اللهِ تَرْكُ مَا حَرَّمَ اللهُ ، وَأَدَاءُ مَا افْتَرَضَ اللهُ ،فَمَنْ
رُزِقَ بَعْدَ ذَلِكَ خَيْراً ، فَهُوَ خَيْرٌ إِلَى خَيْرٍ
“Takwa bukanlah hanya dengan puasa di siang hari atau mendirikan
shalat malam, atau melakukan kedua-duanya. Namun takwa adalah meninggalkan yang
Allah haramkan dan menunaikan yang Allah wajibkan. Siapa yang setelah itu dianugerahkan
kebaikan, maka itu adalah kebaikan pada kebaikan.”
Thalq bin Habib rahimahullah mengatakan,
التَّقْوَى أَنْ تَعْمَلَ بِطَاعَةِ اللهِ ،
عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ ، تَرْجُوْ ثَوَابَ اللهِ ، وَأَنْ تَتْرُكَ مَعْصِيَةَ
اللهِ عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ تَخَافُ عِقَابَ اللهِ
“Takwa berarti engkau menjalankan ketaatan pada Allah atas petunjuk
cahaya dari Allah dan engkau mengharap pahala dari-Nya. Termasuk dalam takwa
pula adalah menjauhi maksiat atas petunjuk cahaya dari Allah dan engkau takut
akan siksa-Nya.”
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ketika menafsirkan ayat “bertakwalah
pada Allah dengan sebenar-benarnya takwa” yang terdapat dalam surah Ali Imran
ayat 102, beliau berkata,
أَنْ يُطَاعَ فَلاَ يُعْصَى ، وَيُذْكَرُ فَلاَ
يُنْسَى ، وَأَنْ يُشْكَرَ فَلاَ يُكَفَّرُ
“Maksud ayat tersebut adalah Allah itu ditaati, tidak bermaksiat
pada-Nya. Allah itu terus diingat, tidak melupakan-Nya. Nikmat Allah itu
disyukuri, tidak diingkari.” (HR. Al-Hakim secara marfu’, namun mauquf lebih
shahih, berarti hanya perkataan Ibnu Mas’ud). Yang dimaksud bersyukur kepada
Allah di sini adalah dengan melakukan segala ketaatan pada-Nya.
Adapun maksud mengingat Allah dan tidak melupakan-Nya adalah selalu
mengingat Allah dengan hati pada setiap gerakan dan diamnya, begitu saat berucap.
Semuanya dilakukan hanya untuk meraih pahala dari Allah. Begitu pula
larangan-Nya pun dijauhi. (LihatJami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:397-402)
Kedua: Mengikutkan kejelekan dengan kebaikan
Lalu ketika seorang hamba tidak menunaikan dengan baik apa-apa yang
menjadi hak dan kewajiban taqwa, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan
untuk melakukan hal yang dapat membayar dan menghapus kesalahan itu. Yaitu
melakukan kebaikan (al hasanah) atas keburukan yang telah ia lakukan.
Al hasanah adalah istilah yang mencakup segala hal yang mendekatkan
diri hamba kepada Allah Ta’ala. Al hasanah yang paling utama yang dapat
membayar sebuah kesalahan adalah taubat nasuha, disertai istighfar dan kembali
kepada Allah. Dengan berdzikir kepada-Nya, mencintai-Nya, takut kepada-Nya,
mengharap rahmat dan karunia-Nya setiap waktu. Dan diantara caranya adalah
dengan membayar kafarah baik berupa harta atau amalan badaniyah yang telah
ditentukan oleh syariat.
Selain itu, bentuk al hasanah yang dapat menebus kesalahan adalah
sikap pemaaf kepada orang lain, berakhlak yang baik kepada sesama manusia,
memberi solusi pada masalah mereka, memudahkan urusan-urusan mereka, mencegah
bahaya dan kesulitan dari mereka. Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ
“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa)
perbuatan-perbuatan yang buruk” (QS. Huud: 114)
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
الصلوات الخمس، والجمعة إلى الجمعة، ورمضان إلى
رمضان مكفرات لما بينهن ما اجتنبت الكبائر
“Shalat yang lima waktu, dari Jum’at ke Jum’at selanjutnya, dari
Ramadhan ke Ramadhan selanjutnya, semua itu menghapus dosa diantara rentang
waktu tersebut selama dosa besar dijauhi”
Dan betapa banyak nash yang menyebutkan bentuk-bentuk ketaatan sebagai
sebab datangnya ampunan Allah.
Dan yang dapat membuat Allah mengampuni kesalahan-kesalahan adalah
musibah. Karena tidaklah seorang mukmin ditimpa musibah berupa bencana,
gangguan, kesulitan, meskipun hanya berupa tusukan duri kecuali pasti jadikan
hal itu sebagai kafarah atas dosa-dosanya. Musibah dapat berupa luputnya
sesuatu yang disukai atau juga berupa mendapatkan sesuatu yang tidak disukai,
baik berupa pada jasad maupun pada hati, atau juga pada harta, baik yang
eksternal maupun internal. Namun musibah itu bukanlah perbuatan hamba, oleh
karena itu Nabi memerintahkan hal-hal yang berupa perbuatan hamba, yaitu
menebus kejelekan dengan kebaikan.
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Iringilah kesalahan
dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapus kesalahan tersebut.”
Seorang hamba diperintahkan bertakwa di kala sendirian dan ramai,
namun meskipun demikian, ia pasti terkadang lalai dalam  bertakwa, misalnya ia tidak mengerjakan
sebagian hal-hal yang diperintahkan atau mengerjakan sebagian hal-hal yang
dilarang. Oleh karena itu, ia diperintahkan mengerjakan perbuatan yang
menghapus kesalahan tersebut. Yaitu mengiringinya dengan perbuatan baik.
Allah Ta’ala berfirman,
وَأَقِمِ الصَّلَاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ
وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ ۚ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ
“Dan laksanakanlah shalat pada kedua ujung siang (pagi dan petang) dan
pada bagian permulaan malam. Perbuatan-perbuatan baik itu menghapus
kesalahan-kesalahan. [Hûd/11: 114]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا أَذْنَبَ عَبْدٌ ذَنْبًا ، فَقَالَ :
رَبِّ إِنِّيْ عَمِلْتُ ذَنْبًا ، فَاغْفِرْ لِيْ ، فَقَالَ اللهُ : «عَلِمَ
عَبْدِيْ أَنَّهُ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ ، وَيَأْخُذُ بِالذَّنْبِ ، قَدْ
غَفَرْتُ لِعَبْدِيْ» ، ثُمَّ إِذَا أَذْنَبَ ذَنْبًا آخَرَ إِلَى أَنْ قَالَ فِى
الرَّابِعَةِ : «فَلْيَعْمَلْ مَا شَاءَ
».
“Apabila seorang hamba mengerjakan dosa, kemudian ia berkata,
‘Rabb-ku, aku telah mengerjakan dosa maka ampunilah aku.’ Allah Ta’ala
berfirman, ‘Hamba-Ku mengetahui bahwa ia mempunyai Rabb yang bisa menganmpuni
dosa dan menghukum karena dosa. Sungguh, Aku telah mengampuni hamba-Ku
tersebut.’ Kemudian hamba itu mengerjakan dosa yang lain hingga pada kali
keempat, Allah Ta’ala berfirman, ‘Silakan ia berbuat apa saja yang ia
inginkan.’”[16]
Maksudnya, selagi hamba tersebut dalam kondisi seperti itu ketika ia
mengerjakan dosa, yaitu setiap kali ia mengerjakan dosa, ia beristighfar dari
dosa tersebut.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَا لَا ذَنْبَ
لَهُ
.
“Orang yang bertobat dari dosa seperti orang yang tidak ada
dosanya.”[17]
Ditanyakan kepada al-Hasan rahimahullah , “Kenapa salah seorang dari
kita tidak malu kepada Rabb-nya? Ia beristighfar atas dosa-dosanya, kemudian
berbuat dosa lagi lalu beristighfar lagi, kemudian berbuat dosa lagi?” Al-Hasan
berkata, “Setan ingin sekali mengalahkan kalian dengan dosa-dosa tersebut. Oleh
karena itu, kalian jangan bosan beristighfar.”[18]
Maknanya, bahwa manusia pasti mengerjakan perbuatan dosa yang telah
ditakdirkan baginya, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
كُتِبَ عَلَى بَنِيْ آدَمَ حَظُّهُ مِنَ
الزِّنَى ، فَهُوَ مُدْرِكٌ ذَلِكَ لَا مَحَالَةَ
….
“Telah ditetapkan bagi manusia bagiannya dari zina, ia pasti
menemuinya, tidak bisa dihindari….”[19]
Akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan jalan keluar bagi
seorang hamba dari perbuatan dosa yang dilakukannya, dan menghapuskannya dengan
tobat dan istighfar. Jika ia melakukan hal, itu maka ia telah terbebas dari
kejelekan dosa, tetapi jika ia terus-menerus melakukan dosa maka ia akan
binasa.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ِارْحَمُوا تُرْحَمُوْا ، وَاغْفِرُوا يُغْفَرْ
لَكُمْ ، وَيْلٌ  ِلأَقْمَاعِ الْقَوْلِ ،
وَيْلٌ لِلْمُصِرِّيْنَ الَّذِيْنَ يَصِرُّوْنَ عَلَى مَا فَعَلُوْا وَهُمْ
يَعْلَمُوْنَ
“Hendaklah kalian menyayangi, niscaya kalian akan disayangi,
maafkanlah niscaya kalian dimaafkan, celakalah bagi aqmâ’ul qaul (orang yang
mendengarkan perkataan namun tidak mengamalkannya), dan celak bagi orang yang
terus-menerus melakukan dosa padahal dia mengetahuinya.”[20]
Tafsir dari aqmâ’ul qaul ialah orang yang kedua telinganya seperti
corong; jika ia mendengar hikmah atau pelajaran yang baik dan itu semua masuk
ke telinganya lalu keluar dari telinganya yang lain. Ia tidak bisa mengambil
manfaat apa pun dari apa yang telah didengarnya.[21]
Makna Dari Perbuatan Baik Yang Mengiringi Kesalahan
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Iringilah kesalahan
dengan kebaikan.”
Bisa jadi yang dimaksud dengan kebaikan dalam hadits di atas ialah
tobat dari kesalahan tersebut. Seperti firman Allah Ta’ala,
إِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللَّهِ لِلَّذِينَ
يَعْمَلُونَ السُّوءَ بِجَهَالَةٍ ثُمَّ يَتُوبُونَ مِنْ قَرِيبٍ فَأُولَٰئِكَ
يَتُوبُ اللَّهُ عَلَيْهِمْ
“Sesungguhnya bertobat kepada Allah itu hanya pantas bagi mereka yang
melakukan kejahatan karena tidak mengerti, kemudian segera bertobat. Mereka
itulah yang diterima Allah tobatnya…” [an-Nisâ’/4: 17]
Ayat di atas menunjukkan bahwa barangsiapa bertobat kepada Allah
dengan tobat nasuha dan syarat-syarat tobatnya lengkap, Allah Azza wa Jalla
pasti menerima tobatnya sebagaimana keislaman orang kafir dapat dipastikan
diterima jika ia masuk Islam dengan keislaman yang benar. Ini pendapat jumhur
ulama.
Atau bisa jadi yang dimaksud dengan kebaikan pada sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Iringilah kesalahan dengan kebaikan, “ ialah
kebaikan yang lebih umum daripada tobat seperti terlihat dalam firman Allah
Ta’ala,
إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ
 “…Perbuatan-perbuatan baik itu
menghapus kesalahan-kesalahan…” [Hud/11: 114]
Diriwayatkan dari Abu HurairahRadhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
«أَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللهُ بِهِ الْخَطَايَا
وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ ؟» قَالُوْا : بَلَى يَا رَسُوْلَ اللهِ ، قَالَ : «إِسْبَاغُ
الْوُضُوْءِ عَلَى الْمَكَارِهِ ، وَكَثْرَةُ الْخُطَا إِلَى الْـمَسَاجِدِ ،
وَانْتِظَارُ الصَّلَاةِ ةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ ، فَذَلِكُمُ الرِّبَاطُ ،
فَذَلِكُمُ الرِّبَاطُ
».
“Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang menghapus
kesalahan-kesalahan dan meninggikat derajat-derajat?” Para Shahabat berkata,
“Mau, wahai Rasulullah.” Nabi bersabda, “Menyempurnakan wudhu’ pada saat-saat
sulit (misalnya pada saat cuaca sangat dingin dll.), banyak melangkah ke
masjid-masjid, dan menunggu shalat setelah shalat. Itulah ribath (menunggu di
pos penjagaan dengan melaksanakan ketaatan-ketaatan yang disyari’atkan), itulah
ribath.”[22]
Hadits-hadits yang semakna dengan ini sangat banyak.[23]
Dosa-Dosa Kecil Bisa Dihapus Dengan Melakukan Amal Shalih Disertai
Menjauhi Dosa-Dosa Besar.
Sebagian ulama mengatakan bahwa amal shalih hanya menghapuskan
dosa-dosa kecil. Ini pendapat yang diriwayatkan dari ‘Atha’ rahimahullah dan
selainnya dari generasi Salaf.
Kaum Muslimin bersepakat bahwa tobat adalah wajib, dan
kewajiban-kewajiban itu tidak boleh dilakukan kecuali dengan niat dan kemauan,
maka jika seandainya dosa-dosa besar itu bisa diampuni dengan wudhu’, shalat,
dan pelaksanaan rukun Islam lainnya, maka tobat tidak dibutuhkan lagi, dan ini
jelas bathil menurut ijma’ (kesepakatan). Juga, apabila dosa-dosa besar dapat
dihapuskan dengan melaksanakan kewajiban, maka tidak ada satu dosa pun bagi
oarang yang melakukan berbagai kewajiban syari’at yang akan memasukkannya ke
dalam Neraka. Ini menyerupai pendapat Murjiah, dan ini jelas bathil.[24]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اَلصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ ، وَالْجُمُعَةُ إِلَى
الْجُمُعَةِ ، وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ لِـمَـا بَيْنَهُنَّ مَا
اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرُ
“Shalat lima waktu, Jum’at ke Jum’at, dan Ramadhan ke Ramadhan adalah
penghapus dosa-dosa diantara keduanya selagi dosa-dosa besar dijauhi.”[25]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنِ امْرِئٍ مُسْلِمٍ تَحْضُرُهُ صَلَاةٌ
مَكْتُوْبَةٌ ، فَيُحْسِنُ وُضُوْءَهَا وَخُشُوْعَهَا وَرُكُوْعَهَا ؛ إِلَّا
كَانَتْ كَفَّارَةً لِـمَـا قَبْلَهَا مِنَ الذُّنُوْبِ ؛ مَا لَـمْ يُؤْتِ
كَبِيْرَةً ، وَذَلِكَ الدَّهْرَ كُلَّهُ
.
“Jika waktu shalat fardhu tiba pada seorang Muslim, kemudian ia
menyempurnakan wudhu’, khusyu’, dan ruku’nya, maka shalat wajib tersebut adalah
penghapus dosa-dosa sebelum shalat wajib tersebut selagi dosa besar tidak
dikerjakan. Itu selama setahun penuh.”[26]
Hadits di atas menunjukkan 
bahwa dosa-dosa besar tidak bisa dihapus dengan kewajiban-kewajiban
seperti di hadits tersebut. Akan tetapi dosa besar akan diampuni bila pelakunya
bertobat kepada Allah Ta’ala dengan tobat yang nasuh (ikhas, jujur, dan benar).
Dosa-Dosa Besar Hanya Bisa Dihapuskan Dengan Tobat Nasuha
Jumhur ulama berpendapat bahwa dosa-dosa besar tidak bisa dihapus
tanpa dengan tobat karena tobat perintah wajib kepada hamba-hamba Allah, dan
ini pendapat yang paling benar di antara dua pandapat para ulama. Allah Azza wa
Jalla berfirman,
وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ
الظَّالِمُونَ
“Dan  barangsiapa tidak
bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim.” [al-Hujuraat/49: 11]
Diantara dalil yang menunjukkan bahwa dosa-dosa besar tidak bisa
diampuni tanpa tobat atau hukuman karenanya ialah hadits ‘Ubadah bin ash-Shamit
Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Kami berada di samping Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam kemudian beliau bersabda,
تُبَايِعُوْنِيْ عَلَى أَنْ لَا تُشْرِكُوْا
بِاللهِ شَيْئًا ، وَلَا تَزْنُوْا ،وَلَا تَسْرِقُوْا ، وَلاَ تَقْتُلُوا
النَّفْسَ الَّتِيْ حَرَّمَ اللهُ إِلَّا بِالْـحَقِّ، فَمَنْ وَفَى مِنْكُمْ
فَأَجْرُهُ عَلَى اللهِ. وَمَنْ أَصَابَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ  فَعُوْقِبَ بِهِ ، فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ.
وَمَنْ أَصَابَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَسَتَرَهُ اللهُ عَلَيْهِ ، فَأَمْرُهُ إِلَى
اللهِ. إِنْ شَاءَ عَفَا عَنْهُ وَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ
.
“Berbaitlah kepadaku untuk tidak mempersekutukan Allah dengan suatu
apa pun, dan tidak berzina, tidak mencuri, dan tidak membunuh jiwa yang
diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar. Barangsiapa diantara kalian
menepati (bai’at), pahalanya ada pada Allah. Dan barangsiapa mengerjakan salah
satu dari perbuatan-perbuatan tersebut kemudian ia dihukum karenanya, maka itu
penghapus dosa baginya. Barangsiapa mengerjakan salah satu dari
perbuatan-perbuatan tersebut kemudian Allah merahasiakannya baginya, maka ia
terserah kepada Allah; jika Dia berkehendak maka Dia memaafkannya dan jika Dia
berkehendak maka Dia mengadzabnya.”[27]
Ini menunjukkan bahwa hudûd (hukuman syar’i) adalah penghapus dosa.
Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Yang paling benar dalam
masalah ini – wallâhu a’alam– yaitu masalah penghapusan dosa-dosa besar dengan
amal-amal ialah: jika yang dimaksudkan bahwa dosa-dosa besar dapat dihapus
dengan mengerjakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dosa-dosa kecil dapat
dihapus dengan menjauhi dosa-dosa besar, maka itu batil. Namun jika yang
dimaksud bahwa dosa-dosa besar ditimbang dengan amal-amal pada hari Kiamat
kemudian dosa-dosa besar dihapus dengan amal-amal yang mengalahkannya hingga
amal-amal tersebut habis dan tidak tersisa pahala bagi pelakunya, maka itu bisa
saja terjadi.”[28]
Bertobat Dari Dosa-Dosa Kecil
Seorang Muslim sudah selayaknya bertobat dari dosa-dosa kecil,
berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla, yang maknanya :  Katakanlah kepada laki-laki yang
beriman:”Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya;
yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang mereka perbuat”.Katakanlah kepada wanita yang
beriman:”Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan
mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa)
nampak dari mereka.Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedada mereka,
dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka, atau
ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau
putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara mereka, atau putera-putera
saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau
wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki atau pelayan-pelayan
laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang
belum mengerti tentang aurat wanita.Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka
agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.Dan bertaubatlah kepada Allah,
hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. [an-Nûr: 30-31]
Orang yang berbuat baik adalah orang yang selalu bertobat dari dosa
besar dan dosa-dosa kecil dan ia selalu beramal kebajikan yang dapat
menghapuskan dosa-dosanya. Jika dosa-dosa kecil yang terus menerus dikerjakan
berubah menjadi dosa-dosa besar, maka muhsinûn (orang-orang yang berbuat baik)
harus menjauhi sikap terus menerus mengerjakan dosa kecil agar mereka bisa
menjauhi dosa-dosa besar. Sebagaimana dikatakan: tidak ada dosa kecil jika
terus menerus dikerjakan dan tidak ada dosa 
besar jika pelakunya beristighfar.
Yang dimaksud di sini adalah mengikuti kejelekan dengan taubat. Bisa
juga maksudnya adalah kebaikan di sini bukan hanya taubat saja yang mengikuti
kejelekan, namun lebih umum. Sebagaimana disebutkan dalam ayat,
وَأَقِمِ الصَّلَاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا
مِنَ اللَّيْلِ ۚإِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ
“Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang)
dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan
yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (QS. Hud:
114)
Ada hadits dari Mu’adz yang menyatakan bahwa ada orang yang ayat ini
turun karenanya, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan dia untuk
wudhu dan shalat. (HR. Tirmidzi, no. 3113. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan
bahwa sanad hadits ini dhaif).
Para ulama berselisih pendapat apakah amalan shalih bisa menghapuskan
dosa besar (al-kabair) dan dosa kecil (ash-shaghair) sekaligus atau amalan
shalih hanya menghapuskan dosa kecil saja.
Yang jelas jika itu dosa besar, maka menghapusnya mesti dengan taubat.
Karena Allah perintahkan untuk bertaubat kalau tidak masih berstatus orang yang
zalim. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ
الظَّالِمُونَ
“Dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang
yang zalim.” (QS. Al-Hujurat: 11). Yang menjadi pendapat jumhur ulama, dosa
besar hanya bisa dihapus dengan taubat.
Jadi amalan shalih seperti amalan wajib hanya khusus menghapus dosa
kecil saja. Dari Hudzaifah ibnul Yaman radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فِتْنَةُ الرَّجُلِ فِي أَهْلِهِ وَمَالِهِ
وَوَلَدِهِ تُكَفِّرُهَا الصَّلَاةُ وَالصِّيَامُ وَالصَّدَقَةُ وَالْأَمْرُ
بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنْ الْمُنْكَرِ
“Keluarga, harta, dan anak dapat menjerumuskan seseorang dalam maksiat
(fitnah). Namun fitnah itu akan terhapus dengan shalat, shaum, shadaqah, amr
ma’ruf (mengajak pada kebaikan) dan nahi mungkar (melarang dari kemungkaran).”
(HR. Bukhari, no. 525 dan Muslim, no. 144).
Kata Ibnu Baththol, hadits ini semakna dengan firman Allah Ta’ala,
إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ
فِتْنَةٌ ۚوَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di
sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. Ath-Taghabun: 15) (Lihat Syarh
Al-Bukhari karya Ibnu Baththal, 3:194, Asy-Syamilah)
Ketiga: Akhlak mulia
Kemudian, setelah Nabi menyebutkan haq Allah dalam wasiat taqwa yang
mencakup aqidah, amal batin dan amal zhahir, beliau menyebutkan:
وخالق الناس بخلق حسن
“Bergaulah dengan orang lain dengan akhlak yang baik”
Yang paling pertama dari akhlak yang baik adalah anda tidak mengganggu
orang lain dalam bentuk apapun, dan engkau pun terjaga dari gangguan dan
kejelekan mereka. Setelah itu anda bermuamalah dengan mereka dengan perkataan
dan perbuatan yang baik.
Lalu bentuk akhlak baik yang lebih khusus lagi adalah lemah lembut
kepada orang lain, sabar terhadap gangguan mereka, tidak bosan terhadap mereka,
memasang wajah yang cerah, tutur kata yang lembut, perkataan yang indah dan
enak didengar lawan bicara, memberikan rasa bahagia kepada lawan bicara, yang
dapat menghilangkan rasa kesepian dan kekakuan. Dan baik juga bila sesekali
bercanda jika memang ada maslahah-nya, namun tidak semestinya terlalu sering
melakukannya. Karena candaan dalam obrolan itu bagai garam dalam makanan, kalau
kurang atau kelebihan akan jadi tercela. Termasuk akhlak yang baik juga,
bermuamalah dengan orang lain sesuai yang layak baginya, dan cocok dengan
keadaannya, yaitu apakah ia orang kecil, orang besar, orang pandai, orang
bodoh, orang yang paham agama atau orang awam agama.
Maka, orang yang bertaqwa kepada Allah, dan menunaikan apa yang
menjadi hak Allah. Lalu berakhlak kepada orang lain yang berbeda-beda
tingkatannya itu dengan akhlak yang baik. Maka ia akan mendapatkan semua
kebaikan. Karena ia menunaikan hak Allah dan juga hak hamba. Dan karena ia
menjadi menjadi orang yang muhsinin dalam beribadah kepada Allah dan muhsinin
terhadap hamba Allah.
Ibnu Rajab mengatakan bahwa berakhlak yang baik termasuk bagian dari
takwa. Akhlak disebutkan secara bersendirian karena ingin ditunjukkan
pentingnya akhlak. Sebab banyak yang menyangka bahwa takwa hanyalah menunaikan
hak Allah tanpa memperhatikan hak sesama. (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:454).
Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan akhlak yang baik
sebagai tanda kesempurnaan iman. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا
أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik
akhlaknya.” (HR. Abu Daud, no. 4682 dan Ibnu Majah, no. 1162. Al-Hafizh Abu
Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)
Akhlak yang baik (husnul khuluq) ditafsirkan oleh para salaf dengan
menyebutkan beberapa contoh.
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah mengatakan,
حُسْنُ الخُلُقِ : الكَرَمُ وَالبَذْلَةُ
وَالاِحْتِمَالُ
“Akhlak yang baik adalah ramah, dermawan, dan bisa menahan amarah.”
Asy-Sya’bi berkata bahwa akhlak yang baik adalah,
البَذْلَةُ وَالعَطِيَّةُ وَالبِشرُ الحَسَنُ ،
وَكَانَ الشَّعْبِي كَذَلِكَ
“Bersikap dermawan, suka memberi, dan memberi kegembiraan pada orang
lain.” Demikianlah Asy-Sya’bi, ia gemar melakukan hal itu.
Ibnul Mubarak mengatakan bahwa akhlak yang baik adalah,
هُوَ بَسْطُ الوَجْهِ ، وَبَذْلُ المَعْرُوْفِ
، وَكَفُّ الأَذَى
“Bermuka manis, gemar melakukan kebaikan, dan menahan diri dari
menyakiti orang lain.”
Imam Ahmad berkata,
حُسْنُ الخُلُقِ أَنْ لاَ تَغْضَبَ وَلاَ
تَحْتَدَّ ، وَعَنْهُ أنَّهُ قَالَ : حُسْنُ الخُلُقِ أَنْ تَحْتَمِلَ مَا
يَكُوْنُ مِنَ النَّاسِ
“Akhlak yang baik adalah tidak mudah marah dan cepat naik darah.”
Beliau juga berkata, “Berakhlak yang baik adalah bisa menahan amarah di hadapan
manusia.”
Ishaq bin Rohuwyah berkata tentang akhlak yang baik,
هُوَ بَسْطُ الوَجْهِ ، وَأَنْ لاَ تَغْضَبَ
“Bermuka manis dan tidak marah.” (Lihat Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam,
1:457-458)
 Sabda beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Dan bergaullah sesama manusia dengan akhlak yang baik.”
Berakhlak baik termasuk sifat takwa dan takwa tidak sempurna kecuali
dengannya. Beliau menjelaskan hal ini karena ada sebagian orang yang menduga
bahwa takwa ialah melaksanakan hak Allah tanpa melaksanakan hak
hamba-hamba-Nya. Allah Azza wa Jalla mengkategorikan akhlak yang baik terhadap
manusia sebagai bagian dari penguat ketakwaan.
Orang yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَكْمَلُ الْـمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا
أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ
.
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik
akhlaknya dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada isterinya.”[29]
Apa Yang Dimaksud Dengan Akhlak 
Yang Baik?
Sebagian ulama mengatakan bahwa akhlak yang baik itu berupa menahan
gangguan, menahan amarah, memberi bantuan, bersabar terhadap gangguan orang
lain, wajah yang berseri, tidak mengganggu orang lain, dan berkorban dalam
bentuk memberi bantuan kepada orang-orang yang membutuhkan. Demikian pula
dengan amar ma’ruf nahi munkar serta mengembalikan barang-barang yang dizhalimi
tanpa melewati batas.[30]
Kiat Meraih Akhlak Yang Baik
Akhlak yang dikatakan alami (bawaan) artinya bahwa sejak awal
seseorang telah dianugerahi akhlak yang baik tersebut. Dan adapula yang tadinya
seseorang tidak berakhlak baik, namun ia berusaha membiasakan dirinya berakhlak
baik hingga benar-benar memilikinya.[31]
Akhlak seorang hamba akan menjadi baik jika ia mengikuti Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena beliaulah orang yang mewujudkan kedudukan
ini dan sebagai teladannya. Allah Ta’ala berfirman,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ
أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ
اللَّهَ كَثِيرًا
“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan)
hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.” [al-Ahzâb/33: 21]
Setiap muslim wajib mempelajari jalan hidup beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dari semua sisi kehidupannya, bagaimana beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berakhlak terhadap Rabbnya? Bagaimana beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berakhlak terhadap kaum Muslimin? Bagaimana beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bergaul dengan keluarganya? Bagaimana beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bergaul dengan para Shahabatnya? Dan bagaimana beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam bergaul dengan manusia dan lainnya?
Diantara sebab untuk meraih akhlak yang baik ialah dengan duduk dan
bergaul bersama orang yang memiliki akhlak yang baik lagi bertakwa dan suci.
Karena seseorang akan terpengaruh dengan teman bergaulnya. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اَلرَّجُلُ عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ
فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُـخَالِلُ
“Seseorang dilihat dari agama temannya, maka hendaklah salah seorang
di antara kalian melihat dengan siapa ia berteman.”[32]
Demikian juga ia wajib menjauhkan dirinya dari teman-teman yang buruk
lagi jahat yang tidak berakhlak dengan akhlak yang terpuji yang diserukan agama
Islam yang lurus ini.[33]
Faedah Hadits
Kedua: Amalan kebaikan akan menghapus kejelekan. Bisa jadi yang
dimaksud dengan kebaikan adalah taubat, bisa pula yang dimaksud adalah amal
shalih lainnya.
Ketiga:
Hadits ini mengandung beberapa faedah, di antaranya adalah:
1. Perhatian yang besart dari Nabi terhadap umatnya dengan memberikan
arahan kepada mereka pada hal-hal yang mengandung kebaikan dan kemanfaatan.
2. Wajibnya bertakwa kepada Allah di manapun juga. Di antaranya adalah
wajibnya bertakwa baik dalam kesendirian maupun dalam keramaian, berdasarkan
sabdanya, “Bertakwalah kepada Allah di manapun engkau berada.”
Bahkan ada peringatan bagi yang tidak takut kepada Allah hingga
berbuat maksiat di kesepian. Dalam hadits dalam salah satu kitab sunan
disebutkan,
عَنْ ثَوْبَانَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه
وسلم- أَنَّهُ قَالَ : « لأَعْلَمَنَّ أَقْوَامًا مِنْ أُمَّتِى يَأْتُونَ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ جِبَالِ تِهَامَةَ بِيضًا فَيَجْعَلُهَا
اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ هَبَاءً مَنْثُورًا ». قَالَ ثَوْبَانُ : يَا رَسُولَ
اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا جَلِّهِمْ لَنَا أَنْ لاَ نَكُونَ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لاَ
نَعْلَمُ. قَالَ : « أَمَا إِنَّهُمْ إِخْوَانُكُمْ وَمِنْ جِلْدَتِكُمْ
وَيَأْخُذُونَ مِنَ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ وَلَكِنَّهُمْ أَقْوَامٌ إِذَا
خَلَوْا بِمَحَارِمِ اللَّهِ انْتَهَكُوهَا
»
Dari Tsauban, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata,
“Sungguh aku mengetahui suatu kaum dari umatku datang pada hari kiamat dengan
banyak kebaikan semisal Gunung Tihamah. Namun Allah menjadikan kebaikan
tersebut menjadi debu yang bertebaran.” Tsauban berkata, “Wahai Rasulullah,
coba sebutkan sifat-sifat mereka pada kami supaya kami tidak menjadi seperti
mereka sedangkan kami tidak mengetahuinya.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Adapun mereka
adalah saudara kalian. Kulit mereka sama dengan kulit kalian. Mereka
menghidupkan malam (dengan ibadah) seperti kalian. Akan tetapi mereka adalah
kaum yang jika bersepian mereka merobek tirai untuk bisa bermaksiat pada
Allah.” (HR. Ibnu Majah, no. 4245. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad
hadits ini hasan). Ibnu Majah membawakan hadits di atas dalam Bab “Mengingat
Dosa”.
Hadits di atas semakna dengan ayat,
يَسْتَخْفُونَ مِنَ النَّاسِ وَلَا
يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللَّهِ وَهُوَ مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ مَا لَا يَرْضَى
مِنَ الْقَوْلِ وَكَانَ اللَّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطًا
“Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari
Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan
keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai. Dan adalah Allah Maha Meliputi
(ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS. An-Nisa’: 108). Walaupun
dalam ayat tidak disebutkan tentang hancurnya amalan.
3. Isyarat bahwa bila kejelekan itu diiringi dengan kebaikan, maka
kebaikan itu akan menghapuskannya dan menghilangkannya secara keseluruhan.
Hal ini sifatnya umum, dalam kebaikan dan
kejelekan, jika kebaikan itu berupa taubat. Karena taubat akan meruntuhkan
apa-apa yang sebelumnya. Adapun jika kebaikan itu selain taubat, (misalnya
saja) orang itu berbuat kejelekan, kemudian ia melakukan amalan shaleh, maka
amalannya akan ditimbang. Jika amalan baiknya lebih banyak dari amalan
jeleknya, maka akan hilanglah pengaruhnya, sebagaimana firman Allah subhanahu
wata’ala,
وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ
الْقِيَامَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا وَإِن كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ
خَرْدَلٍ أَتَيْنَا بِهَا وَكَفَى بِنَا حَاسِبِينَ
“Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka
tiadalah dirugikan seorang barang sedikit pun. Dan jika( amalan itu) hanya
seberat biji sawi pun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami
sebagai pembuat perhitungan.” (Al Anbiyaa’:47)
4. Kita diperintahkan untuk berakhlak mulia terhadap sesama. Namun hal
ini tidak menafikan pada suatu keadaan kita bersikap keras dan tegas.
Yaitu berinteraksilah dengan mereka dengan akhlak yang baik, baik
dengan ucapan maupun dengan perbuatan, karena hal itu adalah kebaikan. Perintah
di atas, bisa jadi hukumnya wajib, bisa jadi hanya merupakan perkara yang
dianjurkan saja, sehingga dapat ditarik faedah pula dari sini; disyari’atkannya
bergaul dengan manusia dengan akhlak yang baik. Nabi menyebutkan secara umum
bagaimana cara bergaul (dengan sesama). Dan hal itu bervariasi sesuai dengan
keadaan dan kondisi orang perorangan. Karena boleh jadi suatu hal baik bagi
seseorang, akan tetapi tidak baik bagi orang yang lainnya. Orang yang berakal
dapat mengetahui dan menimbangnya.
Contoh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti terlihat dalam
riwayat dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Ada seorang Yahudi
melewati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia mengucapkan
‘as-saamu ‘alaik’ (celaka engkau).” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
lantas membalas ‘wa ‘alaik’ (engkau yang celaka). Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Apakah kalian mengetahui bahwa Yahudi tadi
mengucapkan ‘assaamu ‘alaik’ (celaka engkau)?” Para sahabat lantas berkata,
“Wahai Rasulullah, bagaimana jika kami membunuhnya saja?” Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan. Jika mereka mengucapkan salam
pada kalian, maka ucapkanlah ‘wa ‘alaikum’.” (HR. Bukhari, no. 6926)
Namun kalau ada dua keadaan yaitu perintah bersikap lemah lembut
ataukah keras, kita tetap memilih lemah lembut. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah mengatakan kepada Aisyah,
يَا عَائِشَةُ إِنَّ اللَّهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ
الرِّفْقَ وَيُعْطِى عَلَى الرِّفْقِ مَا لاَ يُعْطِى عَلَى الْعُنْفِ وَمَا لاَ
يُعْطِى عَلَى مَا سِوَاهُ
“Wahai Aisyah, sesungguhnya Allah itu lemah lembut dan menyukai
kelemah lembutan. Allah memberi kepada kelembutan suatu kebaikan yang tidak
diberi pada sikap keras dan tidak diberi pada lainnya.” (HR. Bukhari, no. 6024
dan Muslim, no. 2593. Lafazhnya adalah lafazh Muslim)
5.     
Semangatnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam mengarahkan umatnya kepada setiap kebaikan.
6.     
Wajib bagi seseorang untuk memenuhi hak
Allah dengan bertakwa kepada-Nya.
7.     
Wajibnya bertakwa kepada Allah Azza wa
Jalla dimana pun seseorang berada. Yaitu dengan cara melaksanakan
perintah-perintah-Nya dan menjauhi seluruh larangan-Nya, baik saat bersama
orang lain maupun ketika sendirian.
8.     
Wasiat takwa adalah wasiat yang paling
agung.
9.     
Wajib seseorang memenuhi hak dirinya
dengan bertobat dan berbuat kebajikan.
10.  
Sesungguhnya kebaikan menghapuskan
kesalahan.
11.  
Dosa-dosa kecil dapat dihapus dengan
melakukan amal-amal yang wajib dan sunnah sesuai dengan syari’at Islam (ikhlas
dan ittiba’).
12.  
Dosa-dosa besar hanya bisa dihapus dengan
tobat yang nasuh (ikhlas, jujur, dan benar).
13.  
Anjuran bergaul bersama manusia dengan
akhlak yang baik.
14.  
Akhlak yang baik termasuk dari
kesempurnaan iman dan sifat orang-orang 
yang bertakwa, serta termasuk puncak dari agama Islam yang lurus.
15.  
Akhlak yang baik termasuk asas dari
peradaban hidup manusia, sebagai sebab bersatunya umat, tersebarnya rasa cinta,
dicintai Allah Ta’ala, dan diangkatnya derajat pada hari Kiamat.
16.  
Diantara kesempurnaan takwa ialah membenci
pelaku maksiat dan menjauhkan diri dari bermajlis dan bergaul dengan mereka
apabila tidak mau diajak kepada kebaikan atau tidak mau berhenti dari
kemungkaran.
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

GRIYA HILFAAZ
Busana Muslim Berkualitas
💈webinfo : www.griyahilfaaz.com
💈IG : griyahilfaaz
💈Shopee : griyahilfaaz
💈Facebook: griyahilfaaz
💈Tokopedia: griyahilfaaz
💈Bukalapak: griyahilfaaz

Toko Busana Keluarga Muslim



SHOPCARTSHOPCARTSHOPCART
SHOPCARTSHOPCARTSHOPCART

Leave a comment