𝐅𝐮𝐧𝐝𝐚𝐦𝐞𝐧𝐭𝐚𝐥 𝐀𝐭𝐭𝐫𝐢𝐛𝐮𝐭𝐢𝐨𝐧 𝐄𝐫𝐫𝐨𝐫 (𝐅𝐀𝐄)


𝐅𝐮𝐧𝐝𝐚𝐦𝐞𝐧𝐭𝐚𝐥 𝐀𝐭𝐭𝐫𝐢𝐛𝐮𝐭𝐢𝐨𝐧 𝐄𝐫𝐫𝐨𝐫 (𝐅𝐀𝐄)


Di tol Jakarta yang padat, sebuah mobil tiba-tiba menyalip kendaraan kita dengan kecepatan tinggi dan nyaris saja menyerempet. Dalam hati, mungkin kita langsung berpikir pengemudi itu orang yang br*ngsek bin semberono.

Sekarang kita ubah keadaannya. Di jalan yang sama, kita berkendara menyalip mobil lain, misalnya karena terburu-buru ke rumah sakit, atau terburu-buru mengejar rapat penting di kantor, terlambat menghadiri wisuda, dll.
**

Di perkuliahan, saat teman kita mendapat nilai rendah, kita berfikir itu karena dia orang yang malas belajar, atau bodoh ga bisa nangkap pelajaran.

Tapi, kalau kita yang dapat nilai C atau D, pikiran kita mengatakan itu karena dosennya yang gak becus mengajar, atau soal ujiannya terlalu sulit.


Ketika rekan sekantor terlambat datang, mungkin kita berpikir kalau dia 𝑛𝑔𝑔𝑎𝑘 disiplin, kurang menghargai aturan.

Tapi, besoknya, ketika kita yang terlambat, oh itu karena motor saya kehabisan bensin dan harus antre di SPBU.


Ini sebuah gejala sosial. “Ketika yang teman kita yang melakukan hal buruk, kita mengaitkan itu dengan 𝐤𝐞𝐩𝐫𝐢𝐛𝐚𝐝𝐢𝐚𝐧nya:

  • Dia menyalip, itu karena dia memang br*ngsek dan semberono.
  • Dia dapat nilai rendah, itu karena dia memang telmi
  • Dia terlambat, itu karena dia memang 𝑛𝑔𝑔𝑎𝑘 disiplin.
    1 atau 2 kali kejadian sudah cukup bagi kita untuk memberi stigma.

Tapi kalau hal buruk itu yang melakukannya adalah kita, kita akan mengaitkannya pada 𝐬𝐢𝐭𝐮𝐚𝐬𝐢 𝐝𝐢 𝐥𝐮𝐚𝐫 𝐤𝐞𝐧𝐝𝐚𝐥𝐢 kita, sama sekali tidak mengaitkannya pada kepribadian seperti yang kita cap-kan pada orang lain.

Lee Rose, seorang psikolog sosial Amerika menyebut gejala ini sebagai 𝐹𝑢𝑛𝑑𝑎𝑚𝑒𝑛𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑡𝑡𝑟𝑖𝑏𝑢𝑡𝑖𝑜𝑛 𝐸𝑟𝑟𝑜𝑟 (FAE) atau Kesalahan Atribusi Mendasar, atau kerap juga disebut sebagai “𝐛𝐢𝐚𝐬 𝐤𝐨𝐫𝐞𝐬𝐩𝐨𝐧𝐝𝐞𝐧𝐬𝐢” atau “𝐞𝐟𝐞𝐤 𝐚𝐭𝐫𝐢𝐛𝐮𝐬𝐢”, yaitu kecenderungan manusia untuk mengabaikan penjelasan situasional dan lingkungan dalam menilai perilaku seseorang dan melebih-lebihkan penjelasan disposisional serta berbasis kepribadian. (𝑇ℎ𝑒 𝑡𝑒𝑛𝑑𝑒𝑛𝑐𝑦 𝑓𝑜𝑟 𝑎𝑡𝑡𝑟𝑖𝑏𝑢𝑡𝑒𝑟𝑠 𝑡𝑜 𝑢𝑛𝑑𝑒𝑟𝑒𝑠𝑡𝑖𝑚𝑎𝑡𝑒 𝑡ℎ𝑒 𝑖𝑚𝑝𝑎𝑐𝑡 𝑜𝑓 𝑠𝑖𝑡𝑢𝑎𝑡𝑖𝑜𝑛𝑎𝑙 𝑓𝑎𝑐𝑡𝑜𝑟𝑠 𝑎𝑛𝑑 𝑡𝑜 𝑜𝑣𝑒𝑟𝑒𝑠𝑡𝑖𝑚𝑎𝑡𝑒 𝑡ℎ𝑒 𝑟𝑜𝑙𝑒 𝑜𝑓 𝑑𝑖𝑠𝑝𝑜𝑠𝑖𝑡𝑖𝑜𝑛𝑎𝑙 𝑓𝑎𝑐𝑡𝑜𝑟𝑠 𝑖𝑛 𝑐𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙𝑙𝑖𝑛𝑔 𝑏𝑒ℎ𝑎𝑣𝑖𝑜𝑟).

Dalam konteks tasawuf, para ulama telah menyinggung pola prilaku ini dalam ranah 𝑡𝑎𝑧𝑘𝑖𝑦𝑎𝑡𝑢𝑛 𝑛𝑎𝑓𝑠. “Bias korespondensi” itu dapat diistilahkan sebagai 𝑧ℎ𝑎𝑛𝑛 alias purba-sangka, dan, “situasi di luar kendali” itu disebut sebagai ‘𝑢𝑑𝑧𝑢𝑟.

Menilai orang lain berdasarkan 𝑧ℎ𝑎𝑛𝑛, seraya terus-menerus memberi ‘𝑢𝑑𝑧𝑢𝑟 atas kesalahan sendiri merupakan gejala hati yang berpenyakit. Allah Swt. mengingatkan dalam kalam-Nya:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ

“𝑊𝑎ℎ𝑎𝑖 𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔-𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑒𝑟𝑖𝑚𝑎𝑛, 𝑗𝑎𝑢ℎ𝑖𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑏𝑎𝑛𝑦𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑝𝑢𝑟𝑏𝑎-𝑠𝑎𝑛𝑔𝑘𝑎 (𝑧ℎ𝑎𝑛𝑛), 𝑘𝑎𝑟𝑒𝑛𝑎 𝑠𝑒𝑏𝑎𝑔𝑖𝑎𝑛 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑝𝑢𝑟𝑏𝑎-𝑠𝑎𝑛𝑔𝑘𝑎 𝑖𝑡𝑢 𝑑𝑜𝑠𝑎”. (Q.S. al-Hujurat: 12).

Mengedepankan 𝑧ℎ𝑎𝑛𝑛 adalah ibarat menduga samudera dengan kail yang sejengkal. Manusia memiliki keterbatasan pandangan, keterbatasan pengetahuan atas pengalaman orang lain, bagaimana mungkin yang terbatas itu dapat menjadi mistar untuk mengukur kepribadiannya.

Oleh karena itu, tasawuf mengajarkan untuk selalu 𝑖𝑙𝑡𝑖𝑚𝑎̂𝑠 𝑎𝑙-‘𝑢𝑑𝑧𝑟, yakni mengedepankan alasan situasional, serta menggali alasan pemaaf, agar lebih bijak memahami perilaku orang lain. Ibnu Sirin (w. 110 H) mengatakan:

إِذَا بَلَغَكَ عَنْ أخِيكَ شَيءُ فَالتَمِسْ لَهُ عُذْرًا، فَإنْ لَم تَجِدْ، فَقُلْ: لَعَلَّ لَهُ عُذرًا لاَ أَعْرِفُهُ

“𝐽𝑖𝑘𝑎 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑎𝑖 𝑘𝑒𝑝𝑎𝑑𝑎𝑚𝑢 𝑏𝑒𝑟𝑖𝑡𝑎 𝑡𝑒𝑛𝑡𝑎𝑛𝑔 𝑘𝑒𝑗𝑒𝑙𝑒𝑘𝑎𝑛 𝑠𝑎𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎𝑚𝑢, 𝑚𝑎𝑘𝑎 𝑐𝑎𝑟𝑖𝑙𝑎ℎ 𝑎𝑙𝑎𝑠𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑚𝑎𝑎𝑓 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘𝑛𝑦𝑎. 𝐽𝑖𝑘𝑎 𝑒𝑛𝑔𝑘𝑎𝑢 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑡𝑒𝑚𝑢𝑘𝑎𝑛, 𝑘𝑎𝑡𝑎𝑘𝑎𝑛𝑙𝑎ℎ: 𝑏𝑎𝑟𝑎𝑛𝑔𝑘𝑎𝑙𝑖 𝑎𝑑𝑎 𝑎𝑙𝑎𝑠𝑎𝑛𝑛𝑦𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑎𝑘𝑢 𝑘𝑒𝑡𝑎ℎ𝑢𝑖”.

Al-Imam Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali mengingatkan:

إنَّ الخَطَأَ فِي حُسْن الظَّنِّ بِالمُسْلِمِ، أَسْلَمُ منَ الصَّوَابِ بالطَّعْن فِيْهِمْ

“𝑆𝑒𝑠𝑢𝑛𝑔𝑔𝑢ℎ𝑛𝑦𝑎, 𝑡𝑒𝑟𝑠𝑎𝑙𝑎ℎ 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑏𝑒𝑟𝑏𝑎𝑖𝑘 𝑠𝑎𝑛𝑔𝑘𝑎 𝑘𝑒𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑠𝑒𝑠𝑎𝑚𝑎 𝑚𝑢𝑠𝑙𝑖𝑚, 𝑖𝑡𝑢 𝑙𝑒𝑏𝑖ℎ 𝑠𝑒𝑙𝑎𝑚𝑎𝑡 𝑑𝑎𝑟𝑖𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑏𝑒𝑛𝑎𝑟 𝑠𝑎𝑎𝑡 𝑚𝑒𝑙𝑒𝑚𝑝𝑎𝑟 𝑡𝑢𝑑𝑢ℎ𝑎𝑛 𝑏𝑢𝑟𝑢𝑘 𝑡𝑒𝑟ℎ𝑎𝑑𝑎𝑝𝑛𝑦𝑎”.


𝑊𝑎𝑙𝑙𝑎ℎ𝑢 𝐴’𝑙𝑎𝑚.

Leave a comment