Pluralisme Menurut Buya Yahya


Islam dan Pluralisme
Oleh :Buya Yahya
http://www.buyayahya.org
Pluralisme
Sebelum kami berbicara tentang pluralisme terlebih dahulu kami akan
menyinggung istilah “pluralisme” dengan harapan agar tidak terjadi kesalah-pahaman
di antara semua di hadapan istilah tersebut.
Pluralisme sering di artikan oleh penyerunya sebagai sikap mengakui dan
menerima kenyataan bahwa masyarakat itu bersifat majemuk disertai dengan sikap
tulus menerima kenyataan kemajemukan sebagai sesuatu yang bernilai positif, dan
merupakan rahmat Allah kepada bangsa manusia. Pluralisme tidak sekedar
menyadari akan kemajemukan. Akan tetapi lebih dari itu harus ada keterlibatan aktif
terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Seorang pluralis adalah orang yang
menyadari kemajemukan sebagai sesuatu yang positif sekaligus dapat berinteraksi
aktif-positif dalam lingkungan kemajemukan .
Jika demikian adanya maka pluralisme adalah sesuatu yang telah ditetapkan
oleh Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin . Bahkan jika benar begitu makna
pluralisme maka ia adalah sesuatu yang sangat asasi dalam kehidupan beragama dan
bermasyarakat.
Namun yang harus dimengerti bahwa sebenarnya umat Islam tidak butuh
dengan istilah pluralisme sebab makna yang terkandung didalam Islam yang
rahmatan lilalamin jauh melampaui hakekat makna pluralisme. Kalau bukan karena
maraknya istilah pluralisme dan banyaknya kejanggalan perilaku penyeru pluralisme
niscaya tidak akan ada penggunakan istilah pluralisme dalam tulisan ini.
Apapun adanya amat bijak kalau ingin menjalin keindahan dalam kebersamaan
tanpa kita harus menggunakan istilah pluralisme, karena istilah tersebut bagi
sekelompok orang mempunyai konotasi yang berbeda dan jauh dari makna
kebersamaan yang indah dalam perbedaan yang di kukuhkan Islam .
2
Berinteraksi aktif-positif bukan berarti menyamakan agama dalam kebenaran
(menganggap semua agama benar). Anggapan semua agama itu benar adalah
anggapan yang salah, dan itu ungkapan yang tidak bermakna. Sebab agama tertuang
dalam sebuah keyakinan. Bagaimana dua yang bertentangan dalam masalah
keyakinan kita katakan benar semua. Pasti salah satunya salah atau dua-duanya harus
salah dan yang benar adalah di luar itu.
Dalam beragama harus ada keyakinan, yang tidak yakin dengan kebenaran
agama bukanlah orang yang beragama. Dalam beragama ada yang namanya
perubahan keyakinan sesuai dengan kuat-lemah dan benar-tidaknya sebuah hujjah
(argumentasi). Akan tetapi seseorang yang berubah keyakinanya tetap tidak keluar
dari yang namanya keyakinan.
Meyakini kebenaran agama yang dipeluknya lalu menganggap agama yang
lainya salah, tidak ada hubunganya dengan pluralisme dan juga tidak
bertentangan dengan pluralisme. Sebab pluralisme dalam arti berinteraksi aktif–
positif dalam kemajemukan, baik di saat adanya perbedaan keyakinan atau tidak.
Berbeda keyakinan bukan halangan untuk mewujudkan semangat kebersamaan.
Begitu juga di saat tidak adanya perbedaan bukan berarti pluralisme telah terwujud.
Orang yang menganggap semua agama benar adalah orang yang berkhianat
terhadap keyakinan dan agamanya. Itu sama artinya dengan orang yang tidak
beragama. Anggapan semua kitab-kitab (yang sering disebut kitab suci) yang
ada sekarang ini masih asli semua adalah bentuk yang lain lagi dari
penghianatan terhadap agama. Akan tetapi semua orang beragama harus
meyakini agamanya yang paling benar dan kitab sucinya yang paling benar dan
jika ada kitab suci yang bertentangan dengan kitab sucinya harus dianggap
sebagai kitab suci yang salah.
Yang tidak meyakini kebenaran kitab suci agama yang dipeluknya akan
menghasilkan pendustaan kepada agama kitab suci itu sendiri. Sebab seseorang yang
meyakini kebenaran kitab suci lalu menemukan kitab suci agama orang lain terdapat
beberapa hal yang sangat bertentangan dengan kitab sucinya, Apakah mungkin
dengan akal sehatnya bisa meyakini kebenaran kedua kitab suci tersebut . Perbedaan
3
yang kami maksud adalah perbedaan dalam prinsip-prinsip keimanan seperti
masalah ketuhanan, kenabian, hari akhir dll.
Bagi sebagian orang pluralisme tidak lebih dari sekedar basa-basi sosial tanpa
ada motivasi yang pasti yang mendorong seseorang untuk saling mengerti dalam
kemajemukan. Yang diharap di dalam melaksanakan tugas kemanusiaan yang agung
ini hanyalah imbalan dari manusia, atau agar diperlakukan sebagaimana ia
memperlakukan orang lain.
Hal itu amat jauh nilainya jika dibandingkan dengan kebersamaan orang
beragama. Orang beragama berkeyakinan bahwa imbalan yang sejati adalah imbalan
dari Tuhan. Imbalan dari manusia tidak masuk dalam perhitungannya. Artinya,
motivasi perbuatannya adalah perkenan Tuhan. Seorang yang beragama dituntut
untuk berbuat baik kepada sesama, baik di saat dia diperlakukan orang lain dengan
baik atau tidak. Hal ini teramat jelas terurai dalam ajaran Islam yang disebut dengan
istilah ikhlas, berbuat hanya karena Allah. Bahkan amal perbuatan tidak akan di
terima oleh Allah jika tidak dilakukan dengan ikhlas.
Islam Dan Kebersamaan
Masyarakat Madinah di zaman Nabi SAW adalah contoh paripurna masyarakat
madani yang mengagungkan makna kebersamaan. Harmoni kehidupan benar-benar
tercipta, mulai dari perbedaan tradisi antar suku yang beragama sama hingga yang
berbeda agama. Kesiagaan untuk berinteraksi aktif-positif benar-benar terjamin dan
tercipta saat itu. Padahal sebelumnya masyarakat ini amat sulit dipersatukan saat
tidak ada perbedaan, apalagi jika itu saat ada perbedaan lebih lagi jika perbedaan itu
di dalam berkeyakinan.
Hal yang demikian itu terbentuk karena adanya komando yang dipatuhi yang
menyeru kepada sikap menerima perbedaan pendapat sekaligus cara menjalani hidup
dengan perbedaan dengan cara yang sebaik-baiknya. Komando yang kami maksud
adalah ajaran agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Nabi yang diutus Allah
untuk menciptakan kasih sayang yang bukan hanya diantara pengikutNya, akan tetapi
kasih sayang diantara bangsa manusia semuanya (rahmatan lil’alamiin).

Leave a comment