NASAB HABAIB, DIRAGUKAN?


NASAB HABAIB, DIRAGUKAN?

Oleh: Gr. DR. Miftah el-Banjary, Lc, MA

Akhir-akhir ini, sedang ramai dibicarakan, bahkan sampai pada level perdebatan soal “Nasab Habib” atau “Keturunan Nabi” di Nusantara ini.

Ada yang meragukan, bahkan menafikannya, termasuk ada pula yang tetap menerima mereka sebagai ahli keturunan Nabi, tanpa mau tahu soal keabhsahan dan keshahihan nasab mereka.

Dalam persoalan ini, dari jauh-jauh hari saya berusaha “menahan” untuk tidak berkomentar apalagi masuk terseret dalam perdebatan tersebut.

Namun, disebabkan adanya pertanyaan dari kawan, sahabat dan murid kami yang ingin mengetahui bagaimana harusnya menyikapi polemik dan perdebatan tersebut, akhirnya saya “memberanikan” diri untuk menulis sekedar menyampaikan “uneg-uneg” yang ada di dalam pikiran saya.

Berikut pandangan saya terkait persoalan Nasab Habaib:

  1. Nasab Habaib/Syaraif Telah Masuk Nusantara Abad ke- 11

Memang lembaga pencatat Nasab Alawiyyin di Nusantara baru ada di tahun 1928, akan tetapi soal keterjagaan nasab para golongan Alawiyyin memang lah telah terjaga semenjak al-Imam Muhajir Ilallah, bahkan semenjak cucu Nabi Sayyidina Hasan dan Husien radhiyallah anhumma.

Kedatangan para pendakwah ke Nusantara sudah ada semenjak abad ke-16 dan ke-17 M, bahkan lebih awal dari itu sudah ada sejak abad ke11 M.

Mengikuti pandangan Hamka bahwa masuknya Islam di Nusantara sedari awal di awal-awal abad pertama Hijriyyah, telah menegasikan bahwa para keturunan Alawiyyin telah ada yang masuk berdakwah di Nusantara telah tersambung nasab dan jalur keturunannya dengan Sayyidina Hasan atau Husien.

Termasuk hampir semua para pendakwah Islam pertama kali di Jawa dari pendakwah yang datang dari Timur Tengah atau sebagian Persia, India dan Iran atau pendakwah yang kemudian dikenal sebagai “Para Wali Songo” merupakan golongan Alawiyyin.

Nah, jadi jika pada hari ini ada orang yang meragukan keabsahan atau keshahihan zuriat Nabi secara ilmiah, ada baiknya perlu juga dipaparkan kajian rentetan fakta sejarah masuk golongan Alawiyyin di Nusantara.

  1. Nasab Habaib/Syaraif Lebih Terjaga Daripada Nasab Lainnya.

Golongan Alawiyyin hari ini yang terbanyak di Nusantara kebanyakan menisbahkan kepada datuk mereka al-Imam Ahmad bin Isa al-Muhajir ilallah. Dari sinilah al-Imam Muhajir melahirkan putranya beliau bernama Ubaidillah.

Polemik yang sedang dipermasalahkan hari ini tudingan bahwa Imam al-Muhajir tidak memiliki anak bernama Ubaidillah, melainkan Abdullah. Hal tersebut sebenarnya sudah terjawab dengan berbagai referensi, diantaranya disebutkan:

وكان من عظيم تواضعه ، وشدة خضوعه وخموله ، وكمال معرفته لنفسه واحتقاره لها لا يسمى بعبد الله ، بل يصغر نفسه إجلالاً لربه وتحقيراً لنفسه ، فيسمى نفسه : عبيد الله ، ولا يرضى بغيره .

Dan beliau dari besarnya kerendahan hatinya, dan khumulnya, dan sempurnya pengetahuannya terhadap dirinya dan perendahan dirinya beliau tidak mau menamai dirinya “Abdullah”, tetapi merendahkan dirinya demi memuliakan Tuhannya dan merendahkan dirinya, sehingga dia menyebut dirinya sendiri: ‘UbaidiLlah, dan tidak rela dengan selain ‘Ubaidillah.

Dari Abdullah/Ubaidillah ini kemudian melahirkan:

  1. Sayyid Alwi
  2. Sayyid Muhammad
  3. Sayyid Alwi Shahibu Sham’ah
  4. Ali Khalie Qassam
  5. Muhammad Shahib Mirbath
  6. Sayyid Ali Imam Alwi
  7. Sayyid Ali
  8. Muhammad Faqih Muqaddam
  9. Alwi al-Ghayyur
  10. Sayyid Ali
  11. Muhammad Mauladawilah
  12. Abdurrahman Asseqaf, dst.

Nasab yang dipaparkan di atas baru dari satu cabang jalur, sedangkan nasab dan jalur dari golongan Alawiyyin memiliki ribuan cabang jalurnya yang kembali pada anak keturunan Sayyidina Husien dan Hasan.

  1. Nasab Habaib/Syaraif Bukan Ranah Fiqhiyyah, Apalagi Akidah.

Nah di sini ini kunci utamanya dalam hal kita memahami setiap persoalan. Jika persoalan itu bukan persoalan Fiqhiyyah Asasiyyah (Fiqh Pokok), apalagi bukan persoalan Tauhid, maka sebenarnya tidak lah penting-penting amat untuk diperdebatkan.

Ya mau percaya, silahkan. Menolak, juga silahkan..!!

Namun hematnya, menurut saya pribadi, kita perlu kembali memahami serta menyadari betapa pentingnya peran mereka, baik dalam dakwah Islamiyyah di Nusantara ini, maupun dalam hal peran perjuangan mereka yang ikut membela dan membebaskan kita dari cengkeraman penjajahan kolonial Belanda dan Jepang.

Harusnya kita turut andil menghargai mereka, bukan justru mencari-cari persoalan, perdebatan yang tidak sama sekali memberikan kontribusi penting dalam agama maupun persatuan dalam bingkai persaudaraan NKRI.

Tidak perlu lah kita mendorong mereka untuk membuktikan, bahkan menantang mereka mesti melakukan cek DNA, emang siapa kita?!!

Jangankan dibandingkan nasab mereka, nasab kita saja belum tentu jelas sampai ke datuk generasi ke atas; 4 hingga 5 datuk.

Sebenarnya soal “keraguan” terhadap nasab ahli bayt ini pun telah pernah dilontarkan oleh pemuka Quraisy ketika itu ketika menuding Rasulullah telah “Abtar” atau terputus nasabnya, disebabkan putri beliau Fathimah sebagai anak keturunannya yang bertahan hidup.

Akan tetapi, justru dengan tuduhan itulah, turun pembelaan Allah Swt di dalam surah al-Kautsar yang menyatakan bahwa Allah yang akan menjadikan anak keturunan Rasulullah akan tetap tersambung hingga hari kiamat.

Maka, cukuplah adab kita dengan penuh etika dan sopan santun dalam membicarakan perihal persoalan “Ahli Bayt” Nabi Saw yang dimana Allah SWT sendiri telah menyatakan mereka di dalam al-Qur’an sebagai orang-orang yang yang dijagakan/disucikan dari segala kerusakan/keburukan.

إِنَّمَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ ٱلرِّجْسَ أَهْلَ ٱلْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”

Apalah yang disampaikan Rasulullah Saw:

قُل لَّآ أَسْـَٔلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلَّا ٱلْمَوَدَّةَ فِى ٱلْقُرْبَىٰ ۗ

Katakanlah: “Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan”.

Leave a comment