Dakwah, Reputasi, Dan KemaslahatanAB


Dakwah, Reputasi, Dan KemaslahatanAB

Abu Syakir


Sewaktu kuliah dulu di LIPIA, saya dan kawan saya fachrudin dari Ponorogo (kami biasa menjulukinya “si akhi”, karena nada panggilan akhi-nya yang khas) memutuskan untuk tidak pulang saat liburan Idul Fitri, karena mukafaah yang ketika itu tidak turun. Kami berdua meminjam tape beserta kaset-kaset yang ada di asrama. Walhamdulillah, dalam kondisi yang sulit, liburan itu menjadi hari-hari yang sarat berkah.

Ada banyak nama penceramah yang kala itu kami menyimak ceramahnya diantaranya yang kami ingat ; Al-‘Arifi, Ibrahim Duwaisy, Shalih Aal Syaikh (dua nama pertama kemudian kami tahu bahwa banyak kawan-kawan kami menilainya sebagai sururi 😃🙏🏼).

Waktu itu kalau tidak salah kami mendengarkan ceramah Syaikh Shalih dengan judul “Manhaj Aimmah Dakwah fi-d Da’wah ila Allah” dan yang sampai saat ini saya ingat adalah penjelasan beliau tentang sikap Aimmah dakwah terhadap kesalahan beberapa tokoh Islam.

Alhamdulillah kami mendapatkan cupilkannya pada video yang ada di aplikasi Youtube.

Pada video ini Syaikh Shalih Aal Syaikh menjelaskan bagaimana sikap Aimmah Dakwah Ishlahiyyah (para tokoh pembaharu khususnya di jazirah Arab) menyikapi kesalahan para tokoh di luar lingkungan Dakwah syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab.

Ada tiga tokoh yang dibahas dalam cuplikan video ini, yang pertama Shiddiq Hasan Khan, kedua Imam Shan’ani dan yang ketiga adalah Asy-Syaukani (rahimahullah ta’aala).

Shiddiq Hasan Khan, meskipun dikenal sebagai tokoh pembaharuan di Negeri India dengan karya-karyanya yang berisi seruan kepada tauhid, kembali kepada sunnah dan memberantas syirik dan kebid’ahan, namun dalam beberapa karyanya ia mengkritisi dakwah reformis yang diusung oleh Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab.

Demikian halnya dengan Imam Ash-Shan’ani yang pada mulanya termasuk ulama pendukung dakwah Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab dan menyanjungnya melalui gubahan syair, namun setelah itu ia berbalik arah dan menyatakan ketidaksetujuannya yang juga ia sampaikan melalui bait syair.

Adapun Asy-Syaukani, beliau memiliki beberapa pandangan yang tidak sejalan dengan apa yang diyakini oleh para pengikut Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab, khususnya dalam masalah tawassul, takwil ayat-ayat sifat dan beberapa komentar miringnya tentang sahabat Umar bin Khattab dan Mu’awiyah (radhiyallahu ‘anhumaa).

Meski demikian, para Aimmah Dakwah sangat berhati-hati untuk menyanggah ketiga tokoh diatas. Pasalnya, ketiga tokoh tersebut menggaungkan dan memperjuangkan prinsip dan agenda dakwah yang sama yakni Kembali kepada tauhid dan sunnah serta membarantas kesyirikan dan bid’ah. Para Aimmah mengambil langkah untuk diam tidak meyanggah dengan tetap menyebarkan pandangan-pandangan mereka yang berisi kebenaran dan mendukung agenda dakwah. (Disarikan dari cuplikan video syaikh Shalih Aal Syaikh dibawah):
https://www.youtube.com/watch?v=yjJr7b-yR_4

Sikap yang sama juga menjadi pendirian Syaikh Al-Albani (rahimahullah) ketika membicarakan perihal kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh tokoh pembaharuan dari Negeri Mesir, yaitu Syaikh Muhammad Rasyid Ridho.

Syaikh Al-Albani tidak setuju dengan beberapa ulama yang menyematkan julukan sesat kepada beliau walaupun dengan alasan keikutsertaannya dalam kelompok freemasonry.

Al-Albani menyalahkan dengan tegas keikutsertaan tersebut, namun ia masih memberikan ruang udzur bagi Rasyid Ridha yang menurut Al-Albani mungkin ia lakukan atas pertimbangan ijtihad dan bukan untuk kemaslahatan pribadi.

Rasyid Ridha sendiri disamping memiliki kesalahan-kesalahan yang cukup mendasar sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Khalil Harras dalam bukunya “Jadaliyyat Syaikhi-l Islaam Ibni Taimiyyah fii-n Nubuwwaat wa-l Ghaiibiyyaat”, namun oleh Al-Albani dianggap memiliki jasa yang besar terhadap dakhwah salafiyyah.

Melalui tulisan-tulisannya di majalah Al-Manaar ia dianggap memberikan pencerahan-pencerahan yang menyokong lahirnya pembaharuan di banyak negeri kaum muslimin.

Al-Albaani sendiri pertama kali tertarik dengan dunia ilmu hadits karena membaca serial takhrij ihyaa` uluumu-d diin yang ada di majalah tersebut.

Dan tidak bisa dipungkiri bahwa Rasyid Ridha adalah Insparator utama pembaharuan Islam yang ada di bumi Nusantara yang ‘mengilhami’ tiga tokoh pembaharuan di Nusantara; Ahmad Surkati, Ahmad Dahlan, dan A.Hassan untuk melakukan pembaharuan yang kemudian diikuti lahirnya tiga Organisasi Islam besar di Indonesia; Muhammadiyah, PERSIS, Al-Irsyad.

Dari sikap-sikap ulama diatas kita bisa mengambil pelajaran tentang bagaimana para ulama menjaga reputasi (nama baik) dakwah, bagaimana para ulama menyikapi kesalahan, bagaimana keadilan, keinshofan, dan kebijaksanaan para ulama.
Sayang jika nama besar “Dakwah Salafiyah” harus tercoreng dengan sikap-sikap yang tidak mempertimbangkan kemaslahatan, hanya mengedepankan ‘sensasi’, menonjolkan sikap ketidaksetujuan dengan cara yang tidak elegan hanya untuk terlihat kokoh, tegas dan garang.

Sayang kalau kita sebagai salafi hanya mengulang-ulang julukan-julukan miring kepada orang yang berbeda dengan kita bahkan kepada sesama pendakwah salafi dengan julukan; “mumayyi’ (lembek), “bermanhaj muwazanah”, “hizbi”, dan lain sebagainya, tanpa membahasnya secara ilmiah, jauh dari caci maki.

Secara jujur, sampai saat ini saya sendiri masih sangat berhati-hati masuk ke dalam pembahasan “kapan seseorang keluar dari Ahli-s Sunnah ?” bukan berarti saya belum mengetahui apa yang diteorikan dan dikaidahkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan juga Imam Asy-Syathibi (rahimahumullah ta’aalaa) tentang masalah penyelisihan terhadap usul atau furu’, tapi karena apa yang diteorisasikan oleh kedua ulama tersebut (seolah) berbeda dengan apa yang diaplikasikan oleh para ulama-ulama khususnya ketika membicarakan pelaku kesalahan yang memilik jasa yang besar.

Hemat saya, neraca yang adil adalah neraca yang ditegakkan oleh Allah dalam firman-Nya :

﴿فَأَمَّا مَنْ ‌ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ (٦) فَهُوَ فِي عِيشَةٍ رَاضِيَةٍ (٧) وَأَمَّا مَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ (٨) فَأُمُّهُ هَاوِيَةٌ (٩) وَمَا أَدْرَاكَ مَا هِيَهْ (١٠) نَارٌ حَامِيَةٌ (١١) ﴾ [القارعة: 6-11]

“Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan. Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah. (Qs. Al-Qaari’ah : 6-9).

Boleh jadi kekokohan kita tidak bisa mengalahkan beratnya dosa-dosa kezaliman yang kita lakukan, apalagi jika kekokohan itu hampa dari ketulusan, keikhlasan dan kejujuran,

Allahul Musta’aan.

Leave a comment