Penyesalan


‘Kalau abi gak bisa kek ummi po?’, tanya gadis kecilku. Aku menunggu di mulut gang dan menunggu lalu lintas sepi untuk menyeberangkan kendaraanku ke kanan. aku memang harus sabar menunggu, karena aku akan memotong jalur kendaraan dari kiri dan kananku yang melaju kencang. Aku memang melihat banyak motor memilih untuk belok kanan menyisir sisi kanan dan sedikit demi sedikit menyeberangkan kendaraannya. Kata orang Jogja, teknik ini disebut mlipir.
‘Cara itu tidak aman, nduk’. ‘Tapi ummi biasanya getu, bi’. ‘Sampaikan ke ummi, kalau itu berbahaya’, pintaku. Dan pertanyaan pamungkas gadis kecil usia SD itu adalah, ‘Kalau abi gak bisa kek ummi po?’. Aku menarik nafasku agak dalam.

Anakku sedang mengalami konflik. Aku sedang menghadapi problem. Peristiwa ini memang bisa dilihat tak signifikan. Ini soal kecil. Bukan soal hebat yang mengundang decak kagum dan perasaan iri. Tapi ini penting bagi anak anakku.
Di jalanan, ada banyak orang yang melakukan sesuatu baru memikirkan apa akibatnya. Ada yang memundurkan kendaraan sambil kemudian memikirkan apa yang harus dilakukannya di tengah jalan. Ada yang menyeberang sambil kemudian memikirkan apa yang akan dia lakukan di tengah ruas jalan. Ada yang asyik mengendarai kendaraan sambil telepon atau sms, sambil menunda apa yang akan dilakukan jika ada peristiwa mendadak.

Kecerobohan bukan tipikal orang tua. Dan bukan cuma di jalanan.

Saya pernah menyusul sebuah kijang. Saya dan istri terpaksa menambah kecepatan untuk menyusulnya. Pasalnya, kami melihat pintu kiri depan terbuka. Maksud saya tertutup tapi terbuka. Jika ada yang menyandarkan badannya, pasti orang itu akan terlempar ke luar. Kecuali Allah berkehendak lain. Aku sejajarkan motorku untuk memastikan kondisi pintu kiri depan itu. Kami berkesimpulan, pintu itu memang tak tertutup. Kami coba melihat kondisi penumpang dan sopir. Mengejutkan. Di belakang kemudi, ada ibu ibu tua. Saya sebut tua, karena kerudung, kaca mata, caranya mengikatkan rambut dan beberapa pernik menunjukkan pilihan style orang tua. Pilihan nenek nenek. Di sebelahnya, ibu yang lebih tua. Bungkuh dan lemah. Di barisan bangku tengah, ada 3 orang. Dua perempuan dan satu laki laki. Semuanya tua. Mereka tak pedulikan kode kami. Kami mualai main kasar. Bel dan melambai lambaikan tangan. Akhirnya mereka tahu. Dan pintupun ditutup dengan sempat kami dengar kata kata saling menyalahkan.

Sebenarnya kecerobohan ini bukan tipikal orang tua. Dan bukan cuma di jalanan. 

Ada banyak kecerobohan yang kita lakukan. Semuanya berpangkal dari ketidakmengertian. Ada banyak kebodohan dalam hidup keseharian ini. Ada kemalasan karena dipicu kebodohan. Ada kesombongan yang saham terbesarnya adalah kebodohan. Ada kecerobohan yang penyebab utamanya adalah kebodohan. Ada banyak hal bodoh kita lakukan karena kebebalan kita.

Tentu cahaya ilmu adalah kebutuhan. 
Ekspresi Penyesalan
Ada suka melihat wajah penyesalan? Saya suka belajar dari wajah wajah penuh penyesalan. Saya hafal ekspresi penyesalan anak saya yang meletakkan buku gambarnya di lantai dan karyanya menjadi bulan bulanan adik kecilnya. Ada wajah penyesalan kakak yang khas ketika gelas dia terjatuh karena candaannya di meja makan. Ada wajah penyesalan Aisyah ketika dia menggoda adik sampai menyinggung harga diri adik dan adik marah besar. Aku bahkan hafal ekspresi mereka. Aku juga hafal ekspresi penyesalan istriku. Mereka punya wajah penyesalan yang khas. Mereka juga hafal ekspresi penyesalanku.

Agak sulit melukiskan wajah penyesalan itu. Tapi ada campuran bodoh, ada unsure sedang berpikir, ada unsure sedang mencoba memperbaiki keadaan, ada sedikit campuran optimism yang dicampurkan dan sebagian besarnya adalah ekspresi yang tak terlukiskan.

Aku kerap mengingatkan mereka pada ekspresi penyesalan meraka jika peringatan peringatanku mereka abaikan. ‘Nduk, apa aku harus melihat ekspresi begini?’, sergahku sambil menirukan ekspresi mereka. Biasanya kami menertawakan ekspresi itu. 

Selama masih ada nafas di badan…….

Selama masih ada nafas di badan, selama itu penyesalan masih bersifat relative dan tak permanen. Masih ada kesempatan memperbaiki diri. Yang tak terbayang adalah ekspresi penyesalan di sana kelak. Di saat tak ada kesempatan untuk memperbaiki diri dan di saat tak ada lagi yang membantu kita.

Penyesalan itu pasti khas dan akan sangat ekstrem. Pasti ada campuran kebodohan yang ekstrem. Entah masih akan adakah unsur berpikir di sana? Entah masihkah ada unsur upaya memperbaiki keadaan. Entah dimana optimisme dan pasti aka nada ekspresi yang tak terlukiskan.

Selama masih ada kesempatan, penyesalan bukanlah sarana untuk membunuh semangat dan mengabaikan peluang perbaikan. Ia adalah sarana untuk belajar. Maka, cahaya ilmu adalah kebutuhan kita semua. 

Penutup…
Tentu kita tak ingin tampil bodoh di sana kelak. Tentu kita tak ingin menyesal. Karena di sana bukan sekadar soal gelas yang pecah karena kita tak sedang sungguh sungguh berpikir. Penyesalan di sana bukan selevel dengan pecahnya kaca spion karena kecerobohan memundurkan mobil. Di sana, penyesalan tentu lebih dahsyat dibandingkan penyesalan karena seseorang marah karena guyonan keterlaluan kita. Pasti lebih dahsyat dari semua penyesalan di dunia ini. Agar tak salah tingkah di sana, belajar adalah kata kuncinya. Semoga Allah mudahkan urusan urusan kita. Amin. 
 Taujih Ustad Ekonov

4 thoughts on “Penyesalan

Leave a comment