Imam Ibnul Qayyim mengamalkan hadis dhaif (lemah)


Imam Ibnul Qayyim mengamalkan hadis dhaif (lemah)

Ketika menjelaskan masalah redaksi takbiran hari raya, Imam Ibnul Qayyim (w. 751 H) rahimahullah menyebutkan bahwa ada beberapa redaksi yang bisa dipakai. Dan semua itu bagus. Beliau rahimahullah berkata ;

ويُذكر عنه أنَّه كان يكبِّر من صلاة الفجر يومَ عرفة إلى العصر من آخر أيَّام التَّشريق، فيقول: «اللَّه أكبر الله أكبر، لا إله إلا اللَّه، والله أكبر الله أكبر، وللَّه الحمد». وهذا وإن كان لا يصحُّ إسناده فالعمل عليه، ولفظه هكذا بشَفْعِ التَّكبير، وأمَّا كونُه ثلاثًا فإنَّما رُوي عن جابر وابن عبَّاسٍ فعلُهما ثلاثًا نَسقًا فقط، وكلاهما حسنٌ. قال الشافعيُّ: وإن زاد فقال: «الله أكبر كبيرًا، والحمد لله كثيرًا وسبحان الله بكرةً وأصيلًا، لا إله إلا اللَّه، ولا نعبد إلا إيَّاه، مخلصين له الدِّين ولو كره الكافرون، لا إله إلا الله وحده، صدَقَ وعدَه، ونَصرَ عبدَه، وهَزَم الأحزابَ وحده، لا إله إلا الله والله أكبر» كان حسنًا.

“Disebutkan dari beliau (Nabi saw) sesungguhnya beliau bertakbir dari semenjak shalat Subuh di hari Arafah sampai Ashar dari akhir hari Tasyriq. Lalu beliau bertakbir dengan redaksi (Allahu Akbar, Allahu akbar, laa ilaaha illallah wallahu akbar, Allahu akbar, wa lillahil hamd). Walaupun riwayat ini tidak shahih (tidak valid) sanadnya, namun diamalkan atasnya. Dan lafadznya demikian dengan bilangan genap (dua kali) pada lafadz takbir. Adapun yang dengan redaksi tiga kali takbir, diriwayatkan dari amaliah susunan sahabat Jabir dan Ibnu Abbas. Dan keduanya adalah hal yang bagus. Imam Syafi’i menyatakan ; Jika seorang menambah dengan redaksi (Allahu akbar kabira, wal hamdulillahi katsira, wa subhanallahi bukratan wa ashila, laa ilaaha illlah, walaa na’budu illaa iyyah, mukhlishina lahud diin wa lau karihal kafirun, laa ilaaha illallah wahda, shadaqa ‘abdah, wa nahara ‘abdah, wa hazamal ahzab wahdah, laa ilaaha illallah wallahu akbar), maka itu hal yang bagus.” (Zadul Ma’ad fii hady khairil ‘ibad ; 2/468)

Dari pernyataan beliau di atas dapat kita simpulkan beberapa hal, diantaranya ;

(Pertama) Beliau mengamalkan kandungan hadis yang statusnya secara riwayat tidak valid (lemah). Ini sebagai tambahan bukti bahwa para ulama pendahulu kita mengamalkan hadis-hadis lemah dalam fadhailul a’mal (keutamaan amalan). Bahkan Imam Nawawi rahimahullah menukil ittifaq (kesepakatan) ulama akan bolehnya hal ini. Kondisi ini berbanding terbalik dengan segelintir orang di zaman ini yang menolak dan membuang hadis lemah secara mutlak dan memperlakukannya seperti hadis palsu.

(Kedua) Bahwa redaksi takbiran dengan tiga kali tabir yang merupakan susunan sahabat Jabir dan Ibnu Abbas, serta susunan takbir Imam Syafi’i, bisa juga diamalkan dan merupakan sesuatu yang bagus. Ini berbeda dengan segelintir orang di zaman ini yang menyatakan bahwa satu-satunya redaksi takbir yang sesuai sunah (menurut mereka) hanya yang dengan dua kali takbir saja.

(ketiga) Beliau (imam Ibnul Qayyim) menukil dari Imam Syafi’i yang ini menjadi bukti bahwa beliau tsiqah (percaya) kepada keilmuanya, tanpa menanyakan “dalilnya mana” kendati di nukilan tersebut imam Syafi’i tidak menyertakan dalilnya (bukan tidak ada dalilnya). Ini sangat berbeda dengan segelintir orang di zaman ini yang menolak pernyataan para imam mazhab yang empat (khusunya mazhab syafi’i) dengan bungkus anti taqlid dan tuduhan terdapat pendapat mereka yang katanya “kering dari dalil”.

(keempat) Redaksi takbiran sifatnya ada keluasan. Boleh dengan berbagai redaksi yang telah disebutkan dan yang belum disebutkan, asalkan sudah terpenuhi adanya unsur takbir (pengagungan) kepada Allah Ta’ala. Perintah di sini sifatnya mutlak, maka diamalkan sesuai dengan kemutlakannya.

Kami sengaja menukil pendapat beliau dalam masalah ini, harapannya agar mudah diterima oleh segelintir orang di zaman ini yang antipati dengan pendapat ulama di luar komunitasnya. Itupun, pendapat ulama mereka juga sering mereka ditolak kalau berbeda dengan pendapat ustadnya. Semoga bermanfaat. Barakallahu fiikum.

(Abdullah Al-Jirani)

Leave a comment