Paradoks Aktivis Dakwah yang Serius ber Khidmah


Paradoks

Beberapa aktivis NU, yang sejak muda berkhidmah, baik di lembaga maupun Banom, di usia senja sakit-sakitan. Ekonomi mulai merosot. Mau berobat, atau sekadar kontrol ke RS bingung. Mau nyewa mobil, mahal. Mau pinjam tetangga, sungkan. Akhirnya memaksa diri diantar naik motor, dengan kondisi fisik yang kepayahan; atau naik becak motor yang kadang pengemudinya agak ngebut. Bisa ditebak: pulang kontrol masuk angin. Seringkali berdampak memperah sakitnya. Siapa yang bisa diharapkan membantu? Minimal meringankan bebannya. Embuh.

Beberapa aktivis Muslimat, yang sejak muda juga aktif di IPPNU hingga Fatayat, di usia senjanya stroke. Ekonomi juga nggak bagus. Suami juga telah wafat. Anak merantau. Bekerja di luar kota. Kondisi fisik merosot. Separuh tubuh lumpuh. Mau beli kursi roda mahal. Siapa yang peduli? Embuh. Mau kontrol berobat juga kerepotan.

Seorang pria saleh. Penggerak kegiatan mushola dan kegiatan kemasyarakatan. Guru ngaji pula. Sosok yang ikhlas. Wafat di usia belum tua. Meninggalkan beberapa anak dan seorang istri yang kini menjadi penopang ekonomi. Kerjanya serabutan. Anak-anaknya, yang diharapkan melanjutkan kiprah ayahnya, mulai oleng. Pendidikan juga morat-marit. Tanggungan berjibun. Akhirnya, ya begitulah. Siapa yang peduli? Yang bisa diharapkan membantu melunasi tunggakan di sekolahnya, atau di TPQ-nya? Ya embuh.

Masjid berdiri megah. Dibangun dengan sumbangan masyarakat. Saldo menumpuk. Hanya dipajang nominalnya. Semakin banyak saldo terpampang, semakin bangga. Paling banter kas buat ngganti keramik atau aksesoris masjid yang sebenarnya nggak perlu. Masjid yang dibangun miliaran pada akhirnya “cuma” buat shalat, notok jedok buat PHBI. Dana dari mana? Narik urunan warga. Selesai acara megah, warga nggak mendapatkan dampak jangka panjang, kecuali hanya tertawa mendengar ceramah mubaligh. Kegiatan mencerdaskan masyarakat ada, ngaji kitab misalnya? Nggak. Kegiatan sosial? Setahun sekali, kalau ingat. Alokasi dana sosial ada? Nggak. Nasib anak-anak yatim di sekitar masjid gimana? Embuh. Dipondokkan dengan dana kotak sosial agar kelak bisa diunduh menjadi kader takmir yang berkualitas? Nggak ada arah ke sana.

Nyelenggarakan PBHI. Megah. Gebyar. Mubaligh bertaraf dan bertarif nasional didatangkan. Sekian puluh juta buat nyangoni satu orang. Dana? Menarik urunan ke masyarakat. Acara selesai. Sukses gebyar-gebyarnya, yang bahkan seringkali tanpa LPJ. Kemudian warga yang partisipatif menyumbang kegiatan tersebut sakit, kena musibah, gimana responnya? Syukur lah jika dijenguk, dipedulikan, dan dibantu. Seringkali malah nggak ada umpan balik. Selalu bottom up, jarang yang top-down.

Anda menjumpai fenomena di atas? Jika iya. Kita sama. Hahahaha. Saya bosan dengan seremonial gebyar, walaupun sesekali perlu lah atas nama syiar atau apalah gitu. Kalau keseringan ya dana muspro. Acara gebyar anggaran ada yang sampai 100 juta. Buyar ya buyar. Wis. Andaikan duwit segitu buat beli ambulans bekas sudah dapat. Ada 8.576 desa di Jawa Timur. Tapi Ambulans berlogo NU, atau LAZISNU Care hanya 150 an saja.
Padahal Ambulans buat nolongin orang-orang sakit–khususnya veteran aktivis NU–yang nggak mampu itu lebih oke. Alokasi lain? Buanyak. Buat beli tanah untuk aset NU juga oke. Klinik kesehatan juga asyik. Wis pikiren dewe ae. Hahaha.

Yang penting, apa yang bisa kita lakukan untuk NU, dan melayani warga NU atau siapapun. Nggak usah ngomong program muluk-muluk. Nggak usah merancang program mercusuar elitis yang nggak bisa diwujudkan. Juga jangan kebanyakan rapat. Kakean sing usul, minim sing tandang gawe. Cukup program kecil tapi istiqomah dan benar-benar dirasakan umat. Itu lebih asyik dan apik.

Eling lan ndongakne wong sing wis mati iku apik, luwih apik maneh ngopeni wong urip.

Wis, ayo gerak. Ojo ngomong program duwur-duwur, mengko lambene kesampluk F-16.

Gus Rijal M

Leave a comment