Kenapa Bermazhab, Kenapa Salafi Wahabi Menolak Mazhab?


Musa Muhammad

  ·

Mazhab adalah sebuah metodologi / methode ilmiah dalam mengambil kesimpulan hukum dari Kitabullah dan Sunnah Nabawiyah. Mazhab yg kita bahas di sini adalah mazhab fiqih.

Adapula yg memberikan pengertian mazhab fiqih adalah sebuah methode fiqih khusus yg dijalani oleh seorang ahli fiqih mujtahid, yg berbeda dengan ahli fiqih lain, yg “menghantarkannya” memilih sejumlah hukum dalam kawasan ilmu furu’ (masalah² cabang).

Dengan bermadzhab kita jadi mengetahui hukum², batal haram, tata cara ibadah, perkara² yg menjadikan kita beribadah secara benar.

Misal dalam Al Qur’an kita diperintahkan ber- zakat. “Dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang² yg rukuk.”

(Qs Al-Baqarah: 43).

Dari ayat diatas tidak disebutkan rinci, materi apa yg digunakan untuk menunaikan zakat.

Materi apa yg dijadikan zakat disebutkan dalam hadist, Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Kami menyerahkan zakat pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan satu sho’ makanan, satu sha’ kurma, satu sha’ gandum, atau satu sho’ anggur (kering).” Muttafaqun ‘alaih.

(Hr Bukhari, Muslim).

Lantas bagaimana dengan daerah yg tidak tumbuh qurma, gandum, anggur?. Bagaimana mereka yg makanan pokoknya bukan dari materi² yg disebut di hadist?.

Tentu dalam hal tersebut diperlukan “methode” ijtihad ulama,yg mana mengikuti methode tersebut adalah dengan bermadzhab.

Imam Syafe’i berijtihad zakat boleh dengan makanan pokok sebuah negeri.

Imam Abu Hanifah membolehkan zakat diganti dengan uang sebesar nilai zakat, selain dari materi² yg disebutkan.

Contoh ke dua pendapat diatas tentu hasil pemikiran mendalam,dengan melihat kemaslahatan agar kemudahan umat muslim untuk menjalakan perintah syariat.

Pendapat imam Syafe’i tentu relevan tidak memberatkan umat, pendapat imam Abu Hanifah juga selaras dengan perkembangan zaman mengigat uang tentu lebih besar manfaat pengunaanya sebagai penganti zakat.

Lanjut..

Tokoh wahabisme Nashiruddan Albani ketika membahas ikhtilah umah dlm buku nya Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah, serta orang² yg sefaham dengannya melontarkan kritik kepada orang² yg bertaqlid dan menyatakan bahwa taqlid dalam agama adalah haram. Mereka juga mengkategorikan pemikiran madzhab Abu Hanifah, madzhab asy-Syafi’i dan madzhab² lain yg berbeda-beda dalam mencetuskan hukum setara dengan ta’addud asy-syari’ah (syariat yg berbilangan) yg terlarang dalam agama.

Mereka para wahabisme juga tidak segan² lagi mengatakan bahwa madzhab empat adalah bid’ah yg di munculkan dalam agama dan hasil pemikiran madzhab bukan termasuk dari bagian agama. Bahkan ada juga yang mengatakan dengan lebih ekstrim bahwa kitab para imam² (kitab salaf) adalah kitab yg menjadi tembok penghalang kuat untuk memahami al-Qur’an maupun Sunnah dan menjadikan penyebab mundur dan bodohnya umat.

Namun yg aneh dan lucu, justru mereka kerap kali mengutip pendapat² ulama yg bertaqlid seperti : Izzuddin bin Abdis Salam, Ibnu Shalah, al-Bulqini, as-Subki, Ibnu Daqiq al-Id, al-Iraqi, Ibnu Hazm, Qadhi Husain, Ibnu Hajar al Haitami, Ibnu Hajar al-Asqalani, adz-Dzahabi, an-Nasa’i, Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, as-Suyuthi, an-Nawawi, Ibnu Rusyd, Bukhari dan lain-lain. Padahal diri mereka berkeyakinan bahwa ulama² di atas adalah orang yg salah memilih jalan karena telah bertaqlid dan menghalalkannya.

Lalu jika begitu, sebandingkah seorang Albani dengan ulama² di atas yg mau bertaqlid (bc : bermadzhab) dan membolehkanya sehingga para “wahabisme” mengharamkan taqlid?

Apakah ulama² di atas juga akan masuk neraka karena melakukan dosa bertaqlid?

Apakah ulama² di atas juga bodoh tentang al Qur’an dan Sunnah Rasulallah menurut mereka?

Sebuah pertanyaan yg tidak butuh jawaban, akan tetapi difikirkan dan direnungkan dengan fikiran jernih serta jauh dari syahwat dan sikap fanatik yg berlebihan.

Jika di amati dengan seksama, orang² yg menolak taqlid sebenarnya juga sering bertaqlid. Mereka mengambil hadits dari Shahih Bukhari & Muslim misalnya serta mengatakan bahwa haditsnya shahih karena telah di teliti dan di kritisi oleh ahli hadits terkenal yaitu Bukhari dan Muslim.

Bukankah hal tersebut juga bagian dari bertaqlid dalam bidang hadits?

Bukankah juga, Bukhari adalah salah satu ulama pengikut madzhab (asy-Syafi’i)?

Kenapa mereka ingkar sebagian dan percaya sebagian?

Lalu ketika para pngikut wahabisme mengikuti pemikiran tokoh² mereka Nashiruddin Albani, Utsaimin, bin baz, fauzan dan lain-lain dengan sangat fanatik dan sangat berlebihan, di namakan apa?

Menurut orang² yg anti taqlid bahwa orang Islam harus berijtihad dan mengambil hukum langsung dari al Qur’an dan Sunnah tanpa bertaqlid sama sekali kepada siapapun. Pemahaman seperti ini muncul akibat dari kebodohan mereka memahami dalil al-Qur’an dan Sunnah serta lupa dengan sejarah Islam terdahulu (zaman Shahabat).

Mereka juga tidak pernah berfikir bahwa mewajibkan umat Islam berijtihad sendiri sama dengan menghancurkan agama dari dalam, karena hal itu, tentu akan membuka pintu masuk memahami hukum dengan ngawur bagi orang yg tidak ahlinya (tidak memenuhi kriteria mujtahid).

Yang sangat lucu di zaman sekarang, terutama di Indonesia, banyak orang yg membaca dan mengetahui isi al-Qur’an dan Hadits hanya dari terjemah-terjemah, lalu mereka dengan lantang menentang hasil ijtihad ulama (mujtahid) dan ulama-ulama salaf terdahulu dan bahkan mengatakan juga, mereka semua sesat dan ahli neraka. Bukankan hal itu malah akan menjadi lelucon yang tidak lucu? Lagi-lagi bodoh menjadi faktor penyebab ingkar mereka.

Sedangakan menurut ulama, seseorang dapat menjadi seorang mujtahid (punya kapasitas memahami hukum dari teks al-Qur’an maupun Hadits secara langsung) harus memenuhi kriteria berikut: handal dibidang satu persatu (mufradat) lafazh bahasa Arab, mampu membedakan kata musytarak (sekutuan) dari yg tidak, mengetahui detail huruf jer (kalimah huruf dalam disiplin ilmu Nahwu), mengetahui ma’na-ma’na huruf istifham (kata tanya) dan huruf syarat, handal di bidang isi kandungan al-Qur’an, asbab nuzul (latar belakang di turunkannya ayat), nasikh mansukh (hukum atau lafazh al-Qur’an g dirubah atau di ganti), muhkam dan mutasyabih, umum dan khusus, muthlak dan muqayyad, fahwa al-Khithab, khithab at-Taklif dan mafhum muwafaqah serta mafhum mukhalafah. Serta juga handal di bidang hadits Rasulallah baik di bidang dirayah (mushthalah hadits atau kritik perawi hadits) dan riwayat, tanggap fikir terhadap bentuk mashlahah umum dan lain-lain.

Jika kriteria-kriteria di atas tidak terpenuhi, maka kewajibannya adalah bertaqlid mengikuti mujtahid.

Kami tidak pernah mengatakan bahwa pintu gerbang ijtihad telah tertutup, karena kesempatan menjadi mujtahid tetap terbuka sampai hari kiyamat. Namun secara realita, siapakah sekarang ini ulama yg mampu masuk derajat mujtahid seperti asy-Syafi’i, Abu Hanifah, Malik, Ahmad bin Hanbal.

Adakah doktor² syari’at zaman sekarang yg dapat di sejajarkan dengan ulama-ulama pengikut madzhab seperti Imam an-Nawawi, Ibnu Hajar dan lain-lain?

Jika tidak ada yg dapat di sejajar dengan mereka, lalu kenapa tiba-tiba mereka mendakwahkan diri berijtihad ?

Ketetapan wajib “bertaqlid” bagi orang yg belum sampai derajat mujtahid adalah berdasar dalil :

فاسْألوا أهْل الذّكْر إنْ كنْتمْ لا تعْلمون

“Bertanyalah kalian semua kepada orang yg mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui.”

(Qs an Nahl 43).

“Dan sudah menjadi IJMA” ulama bahwa ayat tersebut memerintahkan bagi orang yg tidak mengetahui hukum dan dalilnya untuk ittiba’ (mengikuti) orang yg tahu. Dan mayoritas ulama ushul fiqh berpendapat bahwa ayat tersebut adalah dalil pokok pertama tentang kewajiban orang awam, orang yg belum mempunyai kapasitas istinbath (menggali hukum) untuk mengikuti orang alim yg mujtahid.

Senada dengan ayat diatas didalam Qur`an surat At-Taubah ayat 122 :

“Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka Telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”.

Ijma’ maksudnya, sudah menjadi kesepakatan dan tanpa ada khilaf (perbedaan). Untuk di ketahui sahabat² Rasulullah berbeda-beda taraf tingkatan keilmuannya, dan tidak semua adalah ahli fatwa (mujtahid).

“Dan sudah nyata bahwa agama diambil dari semua sahabat, tapi mereka ada yg memiliki kapasitas ijtihad dan itu relatif sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah semua sahabat.

Di antaranya juga ada mustafti atau muqallid (sahabat yg tidak mempunyai kapasitas ijtihad atau istinbath) dan shahabat golongan ini jumlahnya sangat banyak”.

Setiap shahabat yg ahli ijtihad seperti Abu Bakar, ‘Umar, ‘Ustman, Ali, ‘Abdullah bin Mas’ud, ‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin ‘Umar dan lain-lain saat memberi fatwa pasti menyampaikan dalil fatwanya.

Logikanya orang yg bukan ahli ijtihad apabila menemui suatu masalah fiqhiyyah, pilihannya hanya ada 2, yaitu:

– Antara berfikir dan berijtihad sendiri sembari mencari dalil yg dapat menjawabnya atau bertaqlid mengikuti pendapat mujtahid.

Jika memilih yg awal, maka itu sangat tidak mungkin karena dia harus menggunakan semua waktunya untuk mencari, berfikir dan berijtihad dengan dalil yg ada untuk menjawab masalahnya dan mempelajari perangkat² ijtihad yg akan memakan waktu lama sehingga pekerjaan dan profesi ma’isyah (pekerjasn sehari²) pastinya akan terbengkalai. Klimaksnya dunia ini rusak.

“Tidak bermadzhab adalah bid’ah yg paling berbahaya yg dapat menghancurkan agama”.

Dan pilihan terakhir bagi orang awam yg harus ditempuh, yaitu taqlid.

Kesimpulannya dalam hal taqlid ini adalah :

1. Wajib bagi orang yg tidak mampu ber-istinbath dari Al-Qur’an dan Hadits.

2. Haram bagi orang yg mampu dan syaratnya tentu sangat ketat, sehingga mulai sekitar tahun 300 hijriah sudah tidak ada ulama yg memenuhi kriteria atau syarat mujtahid. Mereka adalah az Zuhri, Abu Hanifah, Malik, Uyainah, asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Sufyan ats-Tsauri, Dawud azh-Zhahiri dan lain-lain.

(Allamadzhabiyah Takhrij Ahadits al Luma’)

والله اعلم

Leave a comment