Belajar dari Kisah Imam Syafi’i dan Imam Sufyan ats Tsauri, Saling Mengikuti Pendapat Masing-Masing


Belajar dari Kisah Imam Syafi’i dan Imam Sufyan ats Tsauri, Saling Mengikuti Pendapat Masing-Masing

Adakalanya sebelum ngegas sana sini perlu diralat terlebih dahulu konsep berfikir akan suatu masalah serta mempelajarinya lebih mendalam agar tidak melakukan hal-hal diluar batas kemampuannya

Dalam rangka menumbuhkan sikap toleransi dan anti-fanatisme yang berlebihan, maka kiranya kita menyimak kisah inspiratif Imam asy-Syafi’i dan Sufyan ats-Tsauri rahimahumullaah

Dikutip melalui kitab syarah yaqut Nafis karya Sayyid Ahmad bin Umar asy Syatiri bahwa suatu ketika, kedua imam besar ini dipertemukan dalam perdebatan yang cukup sengit. Keduanya sama-sama mempertahankan pendapat masing-masing disertai argumentasi yang kuat.

Mereka berselisih tentang kulit bangkai apakah bisa disucikan dengan disamak atau tidak

Menurut Imam asy-Syafi’i, kulit bangkai selamanya tidak dapat disucikan dengan disamak berdasarkan sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam :

إنّي كنتُ رخّصتُ لكم في جلود الميتة فإذا جاءكم كتابي هذا فلا تنتفعوا من الميتة بإيهاب ولا عصب

Artinya, “Sungguh, aku memang telah beri dispensasi kepada kalian tentang kulit-kulit bangkai (yang suci dengan disamak). Maka, ketika suratku ini telah kalian terima, maka jangan sekali-kali memanfaatkan kulit dan urat bangkai lagi,” (HR Abu Daud dan Ahmad).

Imam Sufyan ats-Tsauri justru berpendapat sebaliknya berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam :

هلاّ أخذتم إهابها فدبغتموه فانتفعتم به؟ فقالوا: إنها ميتة. فقال: إنما حرم أكلها

Artinya, “Mengapa tidak kalian ambil kulitnya, lalu menyamaknya sehingga bisa dimanfaatkan? Para sahabat menjawab, ‘Ini sudah jadi bangkai’. Lalu, nabi bersabda, ‘Bangkai itu hanya haram dimakan’,” (HR Muslim).

Singkat cerita Imam Syafi’i dan Imam Sufyan ats-Tsauri yang tadinya kokoh dengan pendapatnya masing-masing malah rujuk akan pendapatnya. Menariknya, Imam Syafi’i malah rujuk dari pendapatnya dan lebih memilih pendapat Imam Sufyan ats-Tsauri. Secara bersamaan Imam Sufyan juga menarik pendapatnya dan berpindah kepada pendapat Imam Syafi’i yang pertama

Dari kisah ini dapat diambil hikmah bahwasannya perkara fiqih yang sifatnya dzonni ijtihadi bukan harga mati melainkan ia akan selalu berakhir pada sudut pandang seorang mujtahid. Adapun kebenaran disisi Allah tidak ada satupun yang tahu

Salah seorang Guru kami ketika mengajarkan mata kuliah Ushul Fiqih dengan kitab roudhotun Nadzir berkata : “Antum sekarang bisa saja selalu condong kepada Ibnu Qudamah dikarenakan antum membaca hujjah2nya dan bantahan-bantahannya kepada hanafiyyah, sekiranya antum mau kembali ke kitab-kitab ushul hanafiyyah serta membaca hujjah2nya dan bantahannya mungkin antum akan condong kesana

Demikianlah fiqih

Sehingga mawanti-wanti sikap fanatik madzhab atau fanatik siapapun dalam bab fiqih sangatlah tidak tepat jika diarahkan kepada pembelajar yang levelnya adalah muqollid. Sejatinya seorang muqollid akan selamanya mengikuti gurunya atau madrasahnya yang ia pelajari

Fanatik tersebut justru lebih tepatnya diarahkan kepada ulama-ulama yang pakar dibidangnya, karena mereka akan selalu mengagungkan dalil-dalil yang bersumber dari Al Qur’an As Sunnah dan lainnya. Mereka akan rujuk jika hasil ijtihadnya ia pandang menyelisihi dalil sebagaimana pada kisah Imam Syafi’i dan Imam Sufyan at Tsauri

Berkata Dr. Amir Bahjat Hafidzahullah :

لا يلزم المقلد أن يعمل بظن نفسه رجحان قول إنما يجب عمل الشخص بظن نفسه إذا كان مجتهدا

Tidak wajib bagi seorang muqollid untuk mengamalkan suatu pendapat yang menurutnya rajih, akan tetapi yang wajib mengamalkan demikian adalah mujtahid

Maka sudah sepatutnya bagi sesama muqollid untuk tidak menyalahkan amaliyah muqollid yang lain dengan membawa fatwa atau tarjihat dari seorang alim tertentu. Tugasnya cukup mengikuti (taklid) kepada alim tersebut tanpa menghakimi. Urusan menyalahkan dan merajihkan adalah ranahnya para ulama.Silahkan anda ambil pendapat qunut subuh itu bid’ah tanpa harus membid’ahkan mereka yang mengambil pendapat qunut subuh itu sunnah dan seterusnya

Berkata Ibnu Rajab Al Hambali :

لا تكن حاكما على جميع فرق المؤمنين كأنك أوتيت علما لم يؤتوه

Janganlah engkau menjadikan diri seperti hakim yang menilai semua kelompok (madzhab) kaum mukminin seolah-olah kamu diberi ilmu yang tidak diberikan kepada mereka (ar rad ‘ala man ittaba’a ghaira madzahbil arba’ah)

Selanjutnya dalam bentuk menjaga kejujuran serta amanah ilmiyyah dalam berilmu, maka saling kritik dan sanggahan sesama penuntut ilmu era sekarangpun harus diberikan ruang sesuai porsinya serta sesuai kadar ilmunya masing-masing

Dahulu ketika belajar, kami mendapatkan pelajaran yang sangat berharga dari guru kami Dr. Muhammad Hasan As Syinqithi hafidzahullah

Kami mengakaji kitab faraidhnya syaikh sholeh fauzan, dan dalam beberapa ibarah syaikh shalih mengutip pendapat malikiyyah yang menurutnya tidak tepat dan beliau berkata dengan penuh adab :

لعل هذا خطأ من الشيخ

“Barangkari ini adalah kekeliruan dari syaikh”

dalam sesi lain beliau mengatakan :

المالكية لا يقولون بهذا القول

“Malikiyyah tidak mengatakan sebagaimana yang dikutip”

Kami yang mendengar tidak baper apalagi fanatik dengan penulis kitab. Tidak pernah kami mengatakan anda siapa kok bisa-bisanya menyalahkan syaikh ?

Kami tahu bahwa beliau menyanggah berlandaskan ilmu. Beliau lahir dan besar dari madrasah malikiyyah sehingga atas dasar amanah ilmiyyah beliau mengkritik ketika ada yang tidak tepat dalam penukilan.

Hal ini berbeda dengan sebagian penuntut ilmu yang begitu baper tatkala guru-gurunya disanggah dan dikritik dan ini adalah bibit fanatisme buruk yang sesungguhnya

Kalau masing2 pembelajar dan pengajar fokus pada bahan belajar dan bahan ajar tanpa mengusik yang memilih berbeda maka kegaduhan seperti sekarang akan selesai

Alhamdulillah dengan tidak saling mengusik satu sama lain maka warga Muhammadyah dan NU selalu hidup damai meski berbeda dalam beberapa pandangan

Catatan : Ada yang bependapat kisah diskusi Imam Asy-Syafi’iy dg Imam Sufyan Ats-Tsauriy Pasalnya Ats-Tsauriy wafat th 161 H, tahun segitu Imam Asy-Syafi’iy msh usia 11 th belum terjun di munazharah…Kisah mirip dg itu sejatinya kisah diskusi antara Imam Asy-Syafi’iy dg Imam Ishaq bin Rahawaih ttg masalah yg sama, ini kiranya lebih valid, Wallahu a’lam (Faedah dari ustadz Varian)

Allahu A’lam

Leave a comment