Imtiyazat


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَقُولُواْ رَاعِنَا وَقُولُواْ انظُرْنَا وَاسْمَعُوا ْوَلِلكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ ﴿١٠٤

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): “Raa`ina”, tetapi katakanlah : “Unzhurna”, dan “dengarlah”. Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih. (QS. Al-Baqarah : 104)

Kaum Muslimin sebagai orang yang ditinggikan Allah dengan agamanya, semestinya memiliki imtiyazat (ciri khas yang menunjukkan keunggulan) jika dibandingkan dengan pemeluk agama lain. Diantara imtiyazat itu adalah sikap furqon sehingga orang-orang beriman itu memiliki perbedaan yang jelas di dalam keseharian dibandingkan dengan orang-orang non Muslim. Dalam hal muamalah memang kita diperintahkan untuk bergaul dengan seluruh manusia, tetapi dalam cara pandang menyangkut keyakinan tidak ada batas toleransi, terutama terhadap orang-orang Yahudi. Cara pandang dari sisi kemanusiaan berbeda dengan cara pandang dari sudut keyakinan. Keyakinan itu muatannya idiologis.

Oleh karena itu, Rasulullah mengarahkan ummat Islam untuk tidak tasyabbuh, bahkan pada aktivitas keseharian. Apalagi di Madinah. Kaum Muslimin sangat intens bergaul dengan orang-orang yahudi. Sehingga, mau tak mau bahasa keseharian orang Yahudi pun dikenal dengan baik oleh para sahabat. Karena inetraksi yang intens inilah kemudian ungkapan yang diungkapkan oleh orang Yahudi dianggap sebagai bahasa yang biasa saja, seperti dalam Surah Al-Baqarah ayat 104 tersebut.

Raa ‘ina dalam pengertian kaum Muslimin (Arab) tidak memiliki konotasi negatif, tetapi di dalam pergaulan orang Yahudi, kata Raa ‘ina memiliki konotasi negatif. Karena konotasi ini hanya berlaku di internal orang Yahudi semestinya tidak menjadi masalah, karena mustholahatnya internal. Tetapi ternyata tidak demikian. Allah justru memerintahkan orang-orang beriman untuk mengganti istilah tersebut.

Ini tentu menjadi pelajaran berharga bagi para du’at. Apalagi saat ini kita berinteraksi dengan berbagai kelompok manusia. Pergaulan kita saat ini tidak lagi sama dengan pergaulan kita pada mihwar tandzhimi. Pergaulan kita lebih luas lagi. Oleh karenanya imtiyazat tidak boleh berkurang.

Sehingga kalimat yang biasa digunakan oleh orang lain dengan konotasi dan makna yang negatif janganlah kita gunakan untuk ikhwah kita. Kalimatnya saja jangan, apalagi sikapnya. Dan inilah imtiyazat kita sebagai da’i.

Sungguh kita harus terusik jika ada berita yang berkaitan dengan ikhwah dengan bahasa yang biasa digunakan oleh masyarakat umum dengan pola pikir dan sudut pandang mereka.

Apalagi jika ada ikhwah yang mengomentari atau mensikapi ikhwah dengan sikap yang sama dengan sikap-sikap masyarakat pada umumnya, sungguh ini tidak berbeda dengan apa yang disebut di dalam Surah Al baqarah ayat 104 di atas.

Jauh-jauh hari Imam syahid Hasan al Banna mengatakan, jika memanggil ikhwah panggillah dengan sebutan yang enak didengar dan dirasakan.
Marilah kita biasakan bersikap terhadap ikhwah kita dengan stndar imtiyaz kita
Wallahu a’lam bishowab

Sebuah catatan ringkas dari taujih seorang ustadz dalam sebuah lingkaran yang penuh makna
Taujih Ustadz Ibnu Umar dengan sedikit perubahan

One thought on “Imtiyazat

Leave a comment