“Pembunuh Sayyidina Ali Bin Abu Thalib, Ibnu Muljam dan Cikal-Bakal Khawarij”


“Pembunuh Sayyidina Ali Bin Abu Thalib, Ibnu Muljam dan Cikal-Bakal Khawarij”

Oleh : Musa Muhammad

Pembunuh sayyidina Ali radiyallahu’anhu, Ibnu Muljam al Muradi bukti orang² yg merasa paling benar dalam memahami tafsir dengan nafsu kelompoknya ?

Abdurahman bin Amr atau lebih dikenal sebagai Ibnu Muljam al Muradi sejatinya adalah figur lelaki yg shalih dan bertaqwa. Bukan lelaki yg buta terhadap ilmu agama. Di wajahnya terlihat dengan nyata jidat hitam jejak sujud. Ia juga hapal al Qur’an dan sekaligus sebagai guru yg berusaha mendorong orang lain untuk menghapalkannya.

Dimasa amirul mukminin Umar bin Khatthab pernah menugaskan-nya ke Mesir demi mengabulkan permohonan gubernur ‘Amr bin ‘Ash yg memohon kepada beliau untuk mengirim ke Mesir figur yg hafal al Qur’an untuk mengajarkannya kepada penduduk Mesir.

Tatkala ‘Amr bin ‘Ash meminta :
“Wahai amirulmukminin, kirimkanlah kepadaku lelaki yg hafal Al Qur’an.
Sayyidina Umar menjawab: “Saya mengirimkan untukmu seorang lelaki bernama Abdurrahman bin Amr (Ibn Muljam al Muradi), salah seorang ahli al Qur’an yg aku prioritaskan untukmu dari pada untuk diriku sendiri. Jika ia telah datang kepadamu maka siapkan rumah untuknya untuk mengajarkan al Qur’an kepada kaum muslimin dan muliakanlah ia…!”.

Peristiwa ini begitu memilukan dan tercatat sebagai salah satu pembunuhan paling keji dalam sejarah Islam. Betapa tidak, sosok Khalifah Ali bin Abi Thalib, seorang yang menantu dari Rasulullah dan pemimpin umat Islam dibunuh hanya karena berbeda “tafsir politik dan keagamaan”.

Ibnu Muljam al Muradi sebenarnya adalah sosok pendukung khalifah Ali bin Abi Thalib. Berawal dari Perang Shiffin, perang antara pasukan Khalifah Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah pada tahun 37 H/ 648 M. Perang ini terjadi lantaran tuntutan Bani Ummayah terkait pembunuhan Khalifah ketiga, Usman bin Affan untuk segera di slesaikan, Ali ber-ijtihad agar kindisi negara kondusif baru krmuduan penyelesaian masalah pembunuhan Sayyidina Utsman. Apalagi ada perpindahan pusat pemerintahan dari Madinah ke Kuffah oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib yg bermaksud untuk menjaga ke-sucian Madinah dari masalah politik. Singkatnya “Ketika kelompok Ali hampir menang, pihak Muawiyah menawarkan perundingan (tahkim) sebagai penyelesaian permusuhan”.

Ali menerima tawaran Muawiyah, sehingga menyebabkan 12.000 pengikutnya memisahkan diri, keluar dari barisan. Mereka merasa, baik Ali maupun Muawiyah tidak benar dan dicap sebagai kafir. Sejarah mencatat, kelompok ini nantinya disebut sebagai kelompok khawarij. Khawarij berasal dari kata kharaja artinya keluar/membelot, termasuk di dalamnya adalah Ibnu Muljam al Muradi.

Khawarij menyatakan, permusuhan harus diselesaikan dengan kehendak Tuhan, bukan perundingan (arbitrase). Ali bin Abi Thalib dianggap bersalah karena telah setuju arbitrase, padahal sejatinya Ali cuma ingin perdamaian antar umat Islam. Peperangan antara saudara tidak akan menyelesaikan masalah, maka ia menawarkan perundingan dan dialog.

Meskipun Ibnu Muljam hapal Al Qur’an, bertaqwa dan rajin beribadah namun semua itu tidak bermanfaat baginya. Ia mati dalam kondisi su’ul khatimah, tidak membawa iman dan Islam akibat kedangkalan ilmu agama yg dimilikinya sehingga melakukan aksi² yg bertentangan dengan nilai-nilai luhur agama.

Setelah peristiwa Daumatul Jandal (Abitrase) antara pihak Ali bin Abi Thalib dan Muawiyyah, hal tersebut tdk memuaskan “sebagian kelompok Sayyidina Ali”. Sekitar 12 ribu orang dari pihak Ali menyempal dan mendirikan semacam markas di Lembah Ray pingir sungai Eufrat. Kelompok ini disebut Khawarij (orang² yg menyempal).

Mereka kemudian bersiasat untuk menegakkan “hukum Allah” versi pemahaman mereka. Dari hasil kesepakatan terpilih 3 orang Khawarij :
Abdurrahman bin ’Amr (terkenal dengan sebutan Ibn Muljam al Muradi), ’Amr bin Bakr at-Tamimi dan Al Bark bin Abdullah at-Tamimi.
Tiga orang ini ditugasi untuk membunuh tiga sahabat Nabi yg sangat terpandang kala itu : Ali bin Abu Thalib, ’Amr bin ’Ash, dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan, dengan anggapan ke 3 sahabat Nabi saw tersebut “biyang kerusakan hukum Allah” karena Abitrase.

Al Muradi (Ibnu Mujam) berkata pada teman-temannya, “Aku yg akan membunuh Ali.”

“Biar aku saja yg akan membunuh Mu’awiyah”, susul Al-Bark.

“Jadi, aku akan membunuh ’Amr bin ’Ash”, kata ’Amr bin Bakr.

Mereka bertiga lalu mempersiapkan apa yg mereka butuhkan. Meraka pasangi racun pada pedang yg bakal digunakan untuk membunuh tiga sahabat Nabi itu. Hari yg mereka sepakati untuk melakukan pembunuhan adalah tanggal 17 Ramadan.
Masing² dari tiga orang Khawarij itu pun pergi menuju kota masing² target.
Muradi ke Kufah untuk membunuh Ali.
Al-Bark ke Damaskus untuk membunuh Mu’awiyah.
’Amr bin Bakr ke Mesir untuk membunuh ’Amr bin ’Ash.
Dimasa itu tinggkat “intelegent” masih berpatokan pada hal umum, misal kebiasaan pemimpin Islam di suatu wilayah menjadi imam sholat. Berbekal hal tersebut ke 3 khawarij di atas bersepakat akan menghabisi targetnya saat sholat di tgl 17 ramdhan.

Sesampainya di Kufah al Muradi (Ibnu Muljam), dia berjumpa seorang wanita cantik yg menarik perhatiannya yg bernama Qatham. Saat Al Muradi mengutarakan niatnya untuk mempersuntingnya, secara kebetulan Qatham memberi syarat agar Muradi mau membunuh Ali.
Kenapa wanita tadi meminta hal tersebut?.
Karena keluarga besarnya dibunuh oleh pasukan perang Ali pada peristiwa Nahrawan dimana Ali dengan pasukanya memporak porandakan Khawarij setelah mereka membunuh seorang Sahabat yg mulia, ‘Abdullah bin Khabbab dan istrinya yg ketika itu sedang hamil tua.
Ketika kasus ini sampai kepada ‘Ali, ia mengirimkan surat kepada mereka para Khawarij, isinya :
“Siapa yg membunuh Khabbab?”
Mereka menjawab: “Kamilah semua yg membunuhnya.”
Maka, ‘Ali- pun kemudian keluar menuju tempat mereka dengan pasukan berjumlah 10.000 prajurit, dan menyerang mereka di daerah Nahrawan, yg mengakibatkan tersisa sedikit khawarij dari sebelumnya 12 ribu. Mereka yg tercerai berai dari perang Nahrawan kemudia berkumpul untuk melakukan konsphiracy (rencana jahat).

Ibnu Muljam al Muradi jelas setuju dengan syarat yg di minta Qatham, “Sekali dayung dua tiga pulau terlampaui”, mungkin itu yg ada di benaknya.
Para ulama ahli tarikh membuat syair perihal mahar yg al Muradi tunaikan :
Aku tidak melihat mahar yg dibawa oleh orang yg punya kehormatan
Seperti mahar Qatham yg sedemikian jelas tidak samar
Mahar 3000 dinar, hamba sahaya, biduanita, dan membunuh Ali dengan pedang yg tajam.
Tidak ada mahar yg lebih mahal dari Ali meskipun berlebihan.
Tidak ada kebengisan yg Melebihi kebengisan Ibnu Muljam.

Pada hari ke-17 bulan Ramadan, al Muradi (Ibnu Muljam) berhasil menikam Ali saat memimpin jamaah salat Subuh. Beliau ditikam kepalanya dengan pedang yg sudah diolesi racun.
Ali tidak langsung meninggal saat itu juga. Orang² masih sempat membawa beliau ke kediamannya.
Di sela-sela sakit menjelang kematiannya, Ali masih mengasihani Ibnu Muljam al Muradi. Beliau berkata: “Beri dia makan dari makananku. Beri dia minum dari minumanku. Nyawa akan dibayar dengan nyawa.”

Orang² ingin sekali memasung Al Muradi. Tapi Ali melarangnya. “Kalau aku mati, maka bunuhlah dia sebagaimana dia membunuhku. Kalau aku bertahan hidup, maka akan aku pikirkan langkah selanjutnya.” Kata Ali.

Uniknya Abdurrahman bin Muljam al Muradi melakukan aksinya sambil berkata:

“لا حكم إلا لله، ليس لك يا علي ولا لأصحابك”

“Hukum itu hanya milik Allah bukan milikmu wahai Ali dan bukan milik para sahabatmu”

Tidak berhenti sampai di situ, saat melakukan aksi bejadnya ini Ibnu Muljam juga tidak berhenti mulutnya mengulang-ulang ayat 207 surat Al Baqarah :
“Dan di antara manusia ada orang yg mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya”.

Baru tiga hari setelahnya jasad Ali sudah tidak bisa lagi menahan efek yg diberikan racun dari luka yg didapat dari penyerangan al Muradi. Beliau tutup usia tepat pada tanggal 20 Ramadan tahun 40H. Tatkala khalifah Ali bin ABi Thalib akhirnya gugur, Ibnu Muljam pun dieksekusi mati dengan cara diqishas.
Sayidina Hasan yg kemudian memerintahkan qishas. Proses qishasnya pun bisa membuat kita tercengang karena saat tubuhnya telah diikat untuk dipenggal kepalanya, ia masih sempat berpesan kepada algojo yg mendapat tugas melakukan eksekusi:

“لا تقتلني مرة واحدة (يعني لا تقطع رأسي) قطّع أطرافي شيئا فشيئا حتى أرى أطرافي تعذب في سبـيـل الله”

“Jangan penggal kepalaku sekaligus. Tapi potonglah anggota tubuhku sedikit demi sedikit hingga aku bisa menyaksikan anggota tubuhku disiksa di jalan Allah”

Demikianlah keyakinan Ibnu Muljam yg berpendapat bahwa membunuh Ali bin Abi Thalib yg nota bene salah satu sahabat yg dijamin masuk syurga, sebagai tindakan ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah, نعو ذبالله من ذلك

Sementara itu Khzwarij yg berangkat ke Mesir ’Amr bin Bakr at Tamimi juga memiliki rencana yg sama, menyerang saat target hendak berangkat ke masjid pada waktu Subuh. Di jalan yg biasa dilewati ’Amr bin ‘Ash.
Amr bin Bark At-Tamimi sudah bersiap-siap untuk menikam targetnya.
Begitu ada sosok yg berjalan menuju arah masjid, At-Tamimi langsung saja menikamnya. Ternyata orang yg baru saja ditikamnya bukanlah ‘Amr bin Ash , melainkan Kharijah bin Khudzafah.
Kebetulan pagi itu ‘Amr bin ‘Ash sedang sakit perut. Beliau tidak bisa berjamaah ke masjid dan digantikan oleh Kharijah. Nahas bagi Kharijah. Setelah tertangkap, At-Tamimi masih bersikap angkuh. Ia berkata : “Aku berkehendak membunuh ‘Amr, tapi ternyata Allah berkehendak pada Kharijah.”

Pada hari yg sama dengan dua aksi teror tersebut, di kota Damaskus, Al Bark juga melancarkan aksinya untuk membunuh Mu’awiyah. Kronologinya mirip penyerangan dilakukan saat Mu’awiyah hendak pergi ke masjid untuk berjamaah Subuh.
Untungnya Mu’awiyah berhasil melawan serangan al Bark dan pertarungan berakhir dengan kemenangan Mu’awiyah, al Bark pun tertangkap.
Sebelum dibunuh, Al-Bark sempat merayu Mu’awiyah. “Lepaskan aku, akan kuberikan kabar baik untukmu.” Katanya.
“Apa itu?” tanya Mu’awiyah.
“Hari ini, temanku membunuh Ali.”
“Dia tidak akan mampu melakukannya.” Mu’awiyah ragu.

Nyatanya Mu’awiyah tetap memerintahkan algojo untuk membunuh Al-Bark. Namun demikian, ternyata luka yg didapat oleh Mu’awiyah berdampak sangat buruk. Menurut tabib, untuk mengobati lukanya Mu’awiyah harus memilih antara mengeringkan lukanya dengan dipanaskan atau meminum obat-obatan yg bisa mengakibatkan kemandulan. Simalakama.

“Aku tak mampu menahan panasnya api. Kalau soal keturunan, aku sudah punya Yazid dan Abdullah yg sudah menjadi penenang hatiku.” Mu’awiyah memutuskan.
Setelah kejadian ini, Mu’awiyah pun selalu membawa pengawal. Dan ini menjadi asal mula pemimpin² Islam memiliki pengawal. Sebelumnya (dari era Rasulullah hingga Ali) tidak pernah ada pemimpin yg memiliki pengawal khusus.

Pasca wafatnya Ali, Mu’awiyah “menembangkan” sebait syair yg akan saya jadikan penutup tulisan ini :

نَجَوْتُ وَقَدْ بَلَّ المُرَادِيُّ سَيْفَهُ … مِنِ ابْنِ أبي شَيْخِ الأَبَاطِحِ طالِبِ

“Aku selamat, sementara Al Muradi telah berhasil membasahi pedangnya dari (darah) Ali, putra Abu Thalib sang tetua kota Mekah.”

(Bidayah wan Nihayah).

Khawarij adalah realitas sejarah pahit yg kita lihat pada kehidupan ummat Islam. Bercermin dari figur Ibnu Muljam tentu kita tidak perlu merasa aneh jika sekarang muncul kelompok² ekstrim yg mudah memvonis kafir terhadap sesama muslim.

Leave a comment