Mashadi; Cermin Kesederhanaan Hidup Wakil Rakyat


Apakah menjadi anggota DPR ibarat tiket untuk bisa hidup mewah? Bila banyak anggota DPR bertingkah seperti itu, maka seorang Mashadi tergolong langka.

JABATAN adalah amanat. Ketika seseorang menjadi wakil rakyat, barangkali, dia tetap sadar atas jabatannya itu. Namun, tidak sedikit pula yang tak sadar -bahkan berpura-pura tidak sadar- bahwa sejatinya rakyat telah mengembankan amanat ke pundak mereka.

Dengan demikian, amanat rakyat itu pun dipersepsi tak ubahnya peluang untuk mengubah hidup secara ekonomi. Mereka yang dulu “tidak punya apa-apa”, setelah menjadi anggota DPR, kekayaannya pun berlimpah-limpah. Asal-muasalnya juga samar-samar. Tapi, logika awam bisa membaca, dengan gaji anggota DPR yang umumnya tidak sampai Rp 20 juta, mungkinkah mereka bisa membeli kemewahan yang kadang bernilai miliaran?

Seorang Mashadi ibarat sebuah jarum langka yang ditemui di tumpukan jerami. Anggota DPR dari Partai Keadilan, yang kini tergabung dalam Fraksi Reformasi, itu sangat jauh dari pola hidup sebagian besar wakil rakyat di Senayan.

Boro-boro mobil mewah dan pakaian mentereng. Orang yang datang ke kediaman lelaki kelahiran Bojonegoro, Jawa Timur, 12 November 1953, itu sangat mungkin tidak akan percaya bahwa dia anggota DPR. Menerima Jawa Pos di kediamannya, Blok C1 Kompleks Perumahan Anggota DPR di Kalibata, penampilan Mashadi sangat bersahaja. Dia cuma pakai oblong dan sarung.

Tidak ada yang tampak beda dalam kehidupan bapak 10 anak itu, antara sebelum dan sesudah jadi anggota DPR. Di rumah tersebut memang ada garasi laiknya rumah sebagian besar anggota DPR yang kadang terisi lebih dari satu mobil.

Tapi, di rumah Mashadi yang tertata rapi itu, garasinya tidak diisi mobil. Biasanya, garasi itu hanya diisi sepeda motor Kymco Jet-Matic 125 cc warna merah. Sepeda motor ini kemarin tampak diparkir di depan garasi. “Ya, inilah motor saya. Kendaraan yang kadang saya pakai untuk pergi-pergi,” tuturnya.

Karena tak bermobil pribadi itulah, saat menuju kantornya di Senayan, hampir tiap hari Mashadi memakai jasa angkutan umum. Bila waktunya dirasa mendesak, kadang suami Ratna Mulyana itu menggunakan jasa taksi. Kalau bukan angkutan umum dan taksi, Mashadi pun memilih memacu sendiri gas sepeda motornya itu ke gedung DPR.

Padahal, kalau diukur, jarak antara kediaman Mashadi di Kalibata dan gedung DPR terbilang lumayan jauh, sekitar 7 km. “Tapi, kadang kadang saya juga bareng teman yang menggunakan mobil. Itu pun kalau memang pas bareng ke kantor,” sambungnya.

Satu catatan langka soal kendaraan pribadi telah didapat. Tapi, sejatinya, ada catatan lain yang -untuk ukuran sekarang- tak kalah langka. Dalam keseharian, ternyata sosok Mashadi juga tidak melengkapi dirinya dengan handphone. Untuk peranti komunikasi itu, terus terang, Mashadi bukannya tidak sanggup membeli. Dengan gaji Rp 12 juta sebulan, dia jelas mampu membeli handphone yang berteknologi tinggi sekalipun.

Mengapa Mashadi tidak memakai handphone? Bukankah peranti itu bisa dikatakan mampu mempermudah kinerja seorang anggota DPR seperti dirinya?

“Kadang handphone membuat hidup saya jadi susah. He… he… he…,” ujarnya.

Laiknya anggota lain di DPR, gaji Mashadi juga tidak luput dari pangkasan gunting kepentingan partai dan kepentingan daerah asal pemilihannya. Untuk urusan ini, Mashadi menjelaskan, dari gaji Rp 12 juta per bulan itu, dia menerima 70 persen. Berarti, sekitar Rp 8,4 juta. Toh, bagi Mashadi, uang itu lebih dari cukup untuk menafkahi seorang istri dan sepuluh anaknya.

Tak bermobil pribadi dan tak ber-handphone. Apakah Mashadi sekadar bergaya nyentrik untuk bisa tampil beda? Ataukah dia memang tidak punya cukup uang -sebuah hal yang sangat ironis di tengah kabar bahwa di DPR, uang, entah dari mana asalnya, bisa begitu bertebaran bak laron?

Tanpa ditutup-tutupi, Mashadi menuturkan, awalnya memang sempat tebersit di pikirannya untuk membeli sebuah mobil. Itu terjadi kala dia mendapat uang tunjangan dari DPR Rp 70 juta. Tapi, karena belum mempunyai rumah dan tanah sendiri, niat beli mobil itu pun diurungkan.

Menerima saran teman-temannya, akhirnya dia putuskan membeli sebuah rumah sekaligus tanahnya di kawasan Kelapa Dua secara tunai. Semula, dengan uang itu, Mashadi hanya ingin membeli sepetak tanah. Tapi, setelah meminta pertimbangan teman dan keluarga, dia berketetapan membeli rumah dan tanahnya. Sebab, kenangnya, kalau hanya membeli tanah, nanti biaya membangun rumah toh juga cukup besar.

Dengan bangga, Mashadi lantas menunjukkan sertifikat tanah dan sebuah kuitansi jual beli rumah itu kepada wartawan koran ini. Rumah di atas tanah seluas 200 meter persegi itu dibelinya dengan nilai Rp 117 juta. Lantas, kalau tunjangan dari DPR yang besarnya cuma Rp 70 juta itu, dari mana Mashadi mendapatkan uang tambahannya? “Saya mengambil kredit di Bank Mandiri Rp 50 juta,” akunya, polos.

Dengan tunjangan dan kredit itu, baru pada 17 September 2001, Mashadi bisa memenuhi cita-cita membeli rumah sendiri. Hal yang begitu disyukurinya. Sebab, setelah menikahi Ratna pada 1982, dia tinggal di rumah mertuanya. Dia dan sang istri menempati sebuah kamar di rumah mertuanya itu.

“Dari menikah hingga mau menjadi anggota DPR, saya ya tinggal di rumah mertua. Sekitar 18 tahun, saya tinggal di daerah Utan Kayu, Jakarta Timur,” jelasnya. Baru setelah jadi anggota DPR, Mashadi memilih tinggal di Kompleks Perumahan Anggota DPR di Kalibata.

Perbedaan kehidupan Mashadi dengan kebanyakan anggota DPR tak berhenti di situ. Soal berpakaian, dia juga tampak beda. Biasanya, anggota DPR akan mengenakan jas lengkap saat sidang berlangsung plus pin DPR di dada. Sebuah simbol status.

Tapi, penampilan Mashadi tampak lain. Saat sidang, biasanya dia hanya memakai baju hem dan tanpa pin di dadanya. Kakinya hampir selalu dibalut sepatu sandal. Soal pakaian ini, demikian Mashadi, dilakukan karena dia ingin sesuatu yang simpel saat sidang. Berpikir dan tetap fokus ke sidang, tanpa pakewuh dengan pakaian.

Karena kebiasaan berpakaian itu, kenang Mashadi, seorang anggota Paspampres (Pasukan Pengamanan Presiden) sempat mengira dia bukan anggota DPR. Peristiwa itu terjadi setahun lalu saat berlangsungnya sidang tahunan. Seperti biasa, saat itu Mashadi cuma memakai hem dan sepatu sandal. Tiba-tiba seorang Paspampres menghardiknya.

Ketika anggota Paspampres tersebut bertanya apakah Mashadi itu anggota DPR, sambil menunjukkan kartu anggotanya, lelaki kelahiran Bojonegoro ini pun langsung menjawab, “Kalau bukan anggota DPR, saya tidak akan masuk gedung ini.”

Baru setelah itu, si Paspamres pun pergi. Selain itu, seperti umumnya anggota DPR, Mashadi juga mendapat jatah beras. Dia tidak tahu pasti apakah rekan-rekannya yang juga sesama anggota DPR mengambil jatah itu atau tidak.

Namun, bagi Mashadi, jatah beras tersebut selalu diambil dan dibawa sendiri saat pulang. Karena tak mempunyai mobil, dia kadang membawa sendiri jatah beras yang diterima itu dengan naik angkutan umum atau taksi.

Mengapa begitu? Tidak takut dicibir yang lain? Mashadi hanya tersenyum. Menurut dia, inti hidup adalah kesederhanaan. “Memang saya ingin mendambakan hidup yang sederhana itu,” tuturnya.

Langkah Mashadi mengapai karir di Senayan penuh dengan onak-berliku. Sesampai di gedung DPR, dia justru kecewa. Katanya, DPR sekarang sudah tak legitimate lagi menyebut diri sebagai lembaga wakil rakyat.

ADAKAH yang lebih berharga di dunia ini ketimbang karunia rasa syukur? Juga, adakah yang lebih berharga di dunia ini selain tetap menyadari bahwa sebaik-baik manusia adalah mereka yang tetap berusaha memberikan manfaat kepada sesamanya?

Barangkali, rona kehidupan Mashadi, anggota DPR dari Partai Keadilan (PK) yang tergabung di Fraksi Reformasi ini, cukup tepat -meski belum bisa dikatakan seratus persen- untuk menjawab dua persoalan prinsip hidup itu. Posisi sebagai anggota DPR toh tidak membuat lelaki kelahiran Bojonegoro, Jawa Timur, ini melakukan “balas dendam” dengan jurus aji mumpung. Yakn
i, menumpuk kekayaan selagi dia di Senayan.

Padahal, peluang terbuka lebar. Belum lagi menelisik perjuangan hidup bapak sepuluh anak ini di masa lalunya yang membuat orang mengelus dada karena, mungkin, iba sekaligus kagum atas kegigihannya.

Lulus SMA di Bojonegoro sekitar 1970, remaja Mashadi sangat ingin melanjutkan kuliah. Tapi, biaya mengandaskan cita-citanya untuk langsung merengkuhi status mahasiswa yang kala itu cukup mentereng. Tak ingin dilihat lontang-lantung di desanya, Mashadi lantas memilih merantau ke Bandung.

Meski tidak di bangku kuliah, di Kota Kembang itu Mashadi ingin menambah ilmu dan wawasan. Saat di Bojonegoro dia aktif di organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII). Karena itu, kepergian ke Bandung dimanfaatkannya untuk menemui rekan-rekannya sesama aktivis PII di kota itu.

Tanpa sanak saudara, Mashadi pun memilih tidur di Kantor PII Bandung. Di sini pula dia berusaha memenuhi keinginan untuk menambah ilmu dan mengembangkan wawasan keorganisasian. Saat itu cita-citanya masuk kuliah tetap menggebu, tetapi faktor biaya belum bisa diajak kompromi.

Bahkan, untuk menutupi biaya hidup sehari-hari, Mashadi kerja seadanya. Bisa bertahan hidup saja sudah sangat disyukuri. Sejuknya Kota Bandung ternyata tak membuat seorang Mashadi betah tinggal di sana. Terdorong keinginan terus menambah ilmu dan wawasan, pada akhir 1975, dia memutuskan pindah ke Jakarta.

Seperti yang dilakoni di Bandung, di ibu kota ini dia tinggal bersama rekan-rekannya di PII di Jakarta. “Saat itu saya tinggal di Pasar Senen,” tuturnya.

Untuk menutupi biaya hidup di ibu kota itu, Mashadi bekerja di Pasar Senen, Jakarta Pusat. Di pasar itu dia kerja serabutan. “Bahkan, menjadi tukang sapu pasar pun pernah saya lakukan. Pahit memang. Tapi, itulah yang terjadi saat itu,” kenangnya.

Enam bulan Mashadi menjalani rutinitas di Pasar Senen. Awal perubahan nasibnya terjadi di suatu sore, saat dia jalan-jalan di sekitar gedung bioskop di kawasan Pasar Senen itu. Atas kehendak Tuhan, tidak disengaja, sore itu Mashadi bertemu Nazir Subairi, instruktur kursus tingkat mahir (advanced training) di PII.

Setelah berkenalan, Nazir mengajak Mashadi tinggal di kantor pusat PII, di Menteng Raya, Jakarta Pusat. Di “markas” barunya itu, Mashadi tinggal dan tidur di Masjid Al Fatah yang terletak persis di sebelah kantor pusat PII itu. Selamat tinggal Pasar Senen. Mashadi lebih suka mengurusi kebersihan dan aneka kebutuhan di Masjid Al Fatah tersebut.

Di tempat barunya itu, sedikit demi sedikit, dia mampu memenuhi dahaga ilmu yang dirasakannya sejak meninggalkan kampung halaman. Dari kegiatan masjid itu pula, Mashadi mengenal tokoh-tokoh pergerakan di Indonesia. Dia akhirnya mengenal seorang aktivis Islam bernama Munir. Dari tokoh yang sangat dekat dengan Sumarso Sumarsono, pimpinan Harian Abadi (koran yang dikelola organisasi Masyumi).

Mashadi selanjutnya bekerja di tempat Sumarso, bukan di Harian Abadi karena harian itu sudah dibredel. Dia bekerja di Buletin Dunia Islam. Buletin ini dibiayai Muktamar Alamiah Islam, organisasi yang berkantor pusat di Pakistan. Toh, itu sudah cukup buat Mashadi bisa dekat dengan Sumarso.

Dari Sumarso pula, Mashadi bisa berkenalan dengan tokoh-tokoh Masyumi, seperti Muhammad Roem dan M. Natsir. Roem termasuk salah seorang anggota Dewan Penyantun Muktamar Alamiah Islam.

Karena aktif di Buletin Dunia Islam itu pula, Mashadi sempat merasakan hidup di tahanan Orde Baru. Peristiwa itu terjadi menyusul insiden ledakan di Masjid Istiqlal pada 20 Maret 1978. Dia ditangkap aparat hanya karena sehari-hari nongkrong di Istiqlal untuk membagikan sebuah buletin Islam dari Bandung. Ketika ledakan terjadi, kebetulan Mashadi sedang membagikan buletin tersebut.

Sejak saat itulah, Mashadi mengisi hidupnya dari satu ke sel lain. Mula-mula dia ditahan di Satgas Intel yang sekarang jadi Kantor Departemen Agama. Dia juga pernah merasakan gigitan nyamuk di sel Polres Jakarta Pusat.

“Dari Polres (Jakarta) Pusat, saya dipindah ke tahanan Polda Metro. Terakhir saya di tahan di kodam,” tuturnya.

Hidup di balik terali itu dilaluinya enam bulan. Setelah keluar, dia kembali menjalani rutinitas kegiatan di Masjid Al Fatah hingga akhirnya dia diangkat sebagai sekretaris pribadi Pak Roem. “Sebab, sekretaris beliau sudah sepuh (tua),” ungkapnya, berusaha menjelaskan alasan pengangkatan dirinya itu.

Dari Pak Roem pula, cita-cita Mashadi bisa kuliah akhirnya jadi kenyataan. Dia kuliah di Akademi Publisistik, Jakarta. Pak Roem-lah yang membiayai. Bahkan, dari kerja sebagai sekretaris pribadi Pak Roem tersebut, tiap bulan Mashadi digaji sekitar Rp 20 ribu. Awal kerja sebagai sekretaris pribadi, dia tetap tinggal di Masjid Al Fatah.

Tapi, pada 1981, Mashadi memilih pindah ke Asrama Sunan Giri di Rawamangun. Di tengah-tengah kuliah tersebut, tepatnya pada 1982, dia memilih menikahi Ratna Mulyana, sang istri yang sekarang telah memberinya 10 anak.

Setelah menikah itu, Mashadi memutuskan berhenti kuliah. Sebab, penghasilannya dikonsentrasikan untuk menafkahi keluarga. “Waktu itu istri saya belum selesai kuliah di IKIP Jakarta,” katanya.

Ketika Pak Roem wafat pada 1983, karir Mashadi sebagai sekretaris pun selesai. Dia merasa sangat kehilangan. Tapi, dia bersyukur karena diberi kesempatan Allah SWT untuk menimba ilmu dari almarhum. Dari Pak Roem pula, Mashadi mengakui kenal banyak tokoh pergerakan.

Waktu kemudian membawa seorang Mashadi menjadi seorang wartawan di majalah Media Dakwah. Juga menjadi reporter di majalah Kiblat. Akhirnya, Mashadi menjadi reporter di Tabloid Saksi (hingga sekarang).

Memasuki era reformasi, Mashadi bersama teman-temannya mendirikan PK. “Saya memang jadi salah seorang deklarator,” tuturnya.

Wajar jika Mashadi ikut mendirikan PK. Sebab, dia termasuk sosok yang terbilang “sangat dekat” dan menyerap langsung beberapa tokoh besar Masyumi. “Satu hal yang saya pelajari dari tokoh-tokoh Masyumi adalah komitmen terhadap perjuangan dan kesederhanaan mereka,” jelasnya.

Dengan PK, nasib membawa Mashadi ke gedung DPR di Senayan. Dia terpilih menjadi anggota DPR dari daerah pemilihan Sumenep, Jawa Timur. Bersama enam rekannya, awalnya Mashadi mengaku tidak tahu dan sebelumnya juga tidak terlalu berharap bahwa dirinya terpilih jadi anggota DPR. “Saya menyadari partai kita sangat kecil,” terangnya.

Toh, nasib telah mengantarkannya ke Senayan. Mashadi kini duduk di Komisi I DPR RI. Tapi, percaya atau tidak, dia mengakui bahwa mengembangkan karir di DPR tidak membuatnya nyaman. Sebaliknya, dia merasakan karirnya mengalami setback alias kemunduran. Dia lebih bangga saat hidup merintis karir di pergerakan.

Mashadi kecewa dengan DPR? Secara tidak langsung, begitulah. Tapi, apa mau dikata. Di gedung yang disebut-sebut sebagai tempat berkumpul para wakil rakyat yang terhormat itu, suara PK sangat kecil sehingga tidak bisa menentukan keputusan politik di dewan. Sudah demikian, beberapa anggota DPR dari partai-partai besar -seperti lazim disaksikan rakyat republik kita yang agung ini- tidak jarang pula bersuara dan menentukan keputusan tanpa nurani.

Sebagai anggota komisi I, yang masuk di panitia anggaran, Mashadi mengakui bahwa selama ini dirinya sangat kecewa terhadap sikap eksekutif. “Sebanyak 30 persen anggaran kita hanya digunakan untuk membayar utang yang terus membengkak,” keluhnya.

Saat ini Mashadi tengah mengurus proses pengunduran dirinya dari panitia anggaran. Dia juga kecewa terhadap perjuangan rekan-rekannya dari partai lain di DPR. Dia menganggap DPR sudah tidak legitimate sebagai sebenar-benarnya lembaga wakil rakyat.

Kecewa. Mungkin itu kata yang tepat buat Mashadi. Lantas, apakah dia mau dipilih lagi jadi anggota DPR pada Pemilu 2004? Sambil tersenyum, Mashadi menggelengkan kepala. Tapi, buru-buru dia menimpali, “Kecuali partai saya mendapat suara 20 persen dari kursi DPR.”

JawaPos

Leave a comment