Mengerti Makna Hijrah


Ada mantan pesulap mengatakan bahwa dirinya pusing justru setelah dua tahun menjadi muslim. Ada juga penyanyi yang tadinya muslim lalu pindah agama. Dan malah ada yang sampai bolak-balik pindah agama. Dan semuanya bermasalah.

Di kalangan anak-anak ngaji juga ada fenomena mirip-mirip seperti itu. Ada yang mantan wahabi lalu pindah menjadi asy’ari dan tiba-tiba menyerang wahabi. Ada juga yang menggelari dirinya sebagai salafi tobat setelah pindah menjadi aswaja dan selanjutnya membabi-buta melancarkan serangan kepada salafi. Ada yang mantan anak ngaji pergerakan atau sering disebut haroki lalu menjadi salafi dan setelahnya juga sama, melakukan serangan balik. Ada yang keluar dari salafi lalu menjadi haroki juga begitu sama, balas menyerang. Bahkan ada yang dari haroki pindah ke haroki lainnya juga tetap sama, menyerang.

Semua menjadi masalah karena sebabnya satu saja, tak mengerti dan tak memahami makna hijrah.

Dulu ada cerita tentang seorang lelaki Mekkah yang disebut “Muhajiru Ummi Qais”. Sebutan itu tersebab hijrahnya ke Madinah lantaran dan demi menikahi seorang perempuan muslimah bernama Ummu Qais. Andai dia mengerti makna hijrah ke Madinah pastilah dia tetap akan hijrah, menikah atau tidak dengan Ummu Qais. Dan pahala akan jauh lebih utama dan lebih baik.

Andai semua mengerti makna hijrah, maka tak akan ada permusuhan dan pertengkaran sesama saudara. Dan bila ada perbedaan maka Islam telah membuka pintunya yang benar, yaitu pintu musyawarah sebagaimana yang tertulis dalam Al-Quran “wa amruhum syuro bainahum”. Dan sangat terlarang memasuki pintu yang tidak benar yaitu pintu setan, pintu penyerangan.

Hijrah dari Mekkah ke Madinah saat itu adalah hijrah meninggalkan tempat keburukan menuju tempat kebaikan. Tempat baik yang tidak bikin penghuninya pusing. Lalu dimana baiknya saat ada orang hijrah tapi masih melakukan keburukan? Bukankah dia hijrah karena niatnya menuju tempat yang lebih baik agar bisa memperbaiki diri?

Memahami makna hijrah memang berat, yang mudah adalah mengganti penampilan.

Fairuz Ahmad Abadi

Leave a comment