Business Plan A La Pak Kiai…


APRESIASI saya pada pesantren adalah karena pandainya para Kyai membekali santrinya dengan pelajaran yang berguna seumur hidup, sebagian bisa saya pahami sejak kecil waktu pelajaran tersebut diberikan – tetapi tidak sedikit yang baru saya pahami setelah tua begini. Salah satu pelajaran tersebut tiba-tiba begitu berguna ketika beberapa hari lalu saya diundang sebagai pembicara tamu pada pelatihan entrepreneurship di sebuah hotel mewah di Jakarta.

Saya memang terlibat dalam banyak pelatihan entrepreneurship beberapa tahun terakhir, tetapi yang saya latihkan biasanya lebih pada ‘nyemplung’ di lapangan. Saya sudah lama tidak membuat business plan yang njlimet-njlimet seperti yang biasa dilakukan para (calon) entrepreneur dari kalangan sekolah business atau para eksekutif.

Sebelum giliran saya berbicara, para peserta sudah lebih dahulu belajar bagaimana menggali ide business, bagaimana mewujudkan impian untuk menjadi pengusaha, bagaimana memotivasi diri untuk menjadi pengusaha sukses – lengkap dengan contoh-contoh orang sukes di dunia maupun di Indonesia.

Maka ketika giliran saya bicara tentang kambing, tentang rumput alfaafa, tentang kebun dlsb. hal-hal kecil sederhana yang kita lakukan di lapangan – mereka tentu agak sulit memahaminya sebagai sebuah konsep bisnis bagi entrepreneur yang mereka bayangkan. Lebih-lebih ketika saya menjelaskan filosofi business model ke 3 yang kita kembangkan.

Salah satu peserta training yang rupanya juga eksekutif di perusahaan besar public men-challenge saya dengan argumennya yang nampak sangat matang dibangun oleh pengalamannya. Pertanyaannya kurang lebih begini:

“Pak Iqbal, kalau membuat rencana business model pertama dengan orientasi profit – kita biasa dengan hitung-hitungan yang akurat dan dapat dipertanggung jawabkan. Model kedua yaitu menciptakan nilai – value creation, itu juga bisa di skenariokan dengan cukup meyakinkan. Tetapi bagaimana kita bisa yakin dengan hasil dari business model ke 3, yang mengandalkan balasan dari Allah yang sulit atau bahkan tidak terukur?.”

Ketika pertanyaan tersebut muncul-lah saya merasa pelajaran dari Pak Kiai lebih dari empat puluh tahun yang lalu tiba-tiba menjadi sangat relevan. Pertanyaan ini mirip dengan bagaimana cara Pak Kiai mendidik kami dahulu.

Untuk anak-anak santri yang masih kecil kami biasa diberi berbagai hadiah untuk bisa berpuasa penuh, mengkhatamkan bacaan al-Qur’an dlsb. Suatu hari hadiah-hadiah ini dihentikan oleh Pak Kiai, maka anak-anak ini menjadi loyo puasanya dan pada tidak selesai membaca al-Qur’annya.

Melihat gejala ini menjelang magrib Pak Kiai mengumpulkan santri-santri kecilnya, dengan wibawanya yang khas – Pak Kiai bertanya kepada anak-anak “Mengapa anak-anak pada loyo ?, mengapa sampai ada yang batal puasanya sebelum magrib? mengapa pada tidak sampai menyelesaikan bacaan al-Qur’an-nya?.”

Tidak ada yang bisa atau mau menjawab pertanyaan Pak Kiai ini. Kemudian Pak Kiai mengulangi pertanyaannya lagi, sambil ditambahi “ untuk yang mau menjawab secara jujur, Pak Kiai akan berikan hadiah sarung baru…”. Baru seorang santri kecil karena tertarik dengan hadiahnya menjawab : “anu Pak Kiai…” sambil melihat teman-temannya takut dimarahi – anak ini melanjutkan “hari-hari awal puasa kami giat berpuasa dan membaca Al-Qur’an karena Pak Kyai memberi kami hadiah, sudah beberapa hari ini Pak Kiai tidak lagi memberi hadiah ke kami, jadi kami menjad kurang bersemangat.”

Jawaban jujur ini tidak mengagetkan bagi Pak Kiai, karena setiap tahun menerima rombongan santri kecil baru – hal yang sama terus berulang. Dari sinilah Pak Kiai memasukkan pelajaran yang sangat berguna tersebut. Dengan sabar dia sampaikan:

“Begitulah anak-anakku, sifat manusia yang serba terburu-buru. Kalian menghendaki balasan yang sedikit dari Pak Kiai, melupakan balasan yang tidak terbatas dari Allah Sang Pencipta. Kalian lebih percaya pada Pak Kyai yang bisa khilaf, bisa berbohong, bisa kehilangan kemampuan untuk memberi, daripada percaya kepada Allah yang pasti menepati janjiNya, tidak pernah khilaf dan tidak pernah berkurang kekuasaanNya !.”

Ndak tahu mengapa – ketika mendapatkan pertanyaan sulit dari eksekutif tersebut diatas, tiba-tiba jawaban Pak Kyai lebih dari 40 tahun lalu tersebut seolah terngiang kembali. Maka meluncurlah jawaban saya untuk seluruh peserta latihan :

“Begitulah kita semua, kita serba terburu-buru untuk memperoleh hasil dalam setiap rencana. Kita lebih suka dengan hasil yang sedikit yang ada di bayangan kita, ketimbang hasil yang tidak terhingga yang menuntut keimanan untuk meyakininya. Kita lebih percaya pada asumsi-asumsi yang bisa menipu diri kita sendiri ( saya tahu bahwa para pembuat business plan paham dengan ketidak akuratan asumsi), ketimbang janji Allah yang sudah pasti!.”

Si penanya belum puas dengan jawaban ini, dia melanjutkannya: “ maksud saya begini Pak Iqbal, kalau kita membuat business plan – semua kan terukur. Tahun ke berapa hasilnya seperti apa dst. Sedangkan janji Allah bagaimana kita bisa mengukurnya ?, berapa yang akan diberikannya dan kapan?.”

Saya kembali teringat penjelasan Pak Kiai , “Allah itu maha tahu, termasuk tahu apa yang terbaik untuk kita. Apa yang terbaik untuk diberikan ke kita dan kapan diberikannya.”

Saya tahu belakangan setelah dewasa bahwa yang disampaikan Pak Kyai tersebut berasal dari QS 3 : 27;

قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَن تَشَاء وَتَنزِعُ الْمُلْكَ مِمَّن تَشَاء وَتُعِزُّ مَن تَشَاء وَتُذِلُّ مَن تَشَاء بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَىَ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“… Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

Penjelasan yang serupa saya berikan ke penanya dan saya tambahi: “Untuk hitungannya, tidak benar juga bila dikatakan bahwa business plan yang dibuat manusia lebih akurat dan terukur hasilnya berapa dan kapan. Statistik start up – usaha pemula di seluruh dunia; paling banter hanya sekitar 2 % saja yang berjalan sesuai rencana. 98 % atau bahkan lebih start-up kandas di tengah jalan tidak peduli sebaik apapun business plan-nya dibuat”.

Sebaliknya janji Allah sangat terukur, dan pasti dipenuhiNya – yang diperlukan hanya keimaan kita untuk mempercayaiNya dan menyerahkan hasil sepenuhnya berada di tanganNya. Masalah keterukuran janji Allah ini salah satunya ada di ayat berikut ini:

مَّثَلُ الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنبُلَةٍ مِّئَةُ حَبَّةٍ وَاللّهُ يُضَاعِفُ لِمَن يَشَاءُ وَاللّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS [2]:261).

Dari ayat ini kita akan ketemu perkalian angka 7 x 100 = 700. Angka yang sama kita akan peroleh dari hadits shahih berikut; “Sesungguhnya Allah telah menetapkan semua kebaikan dan ke
jelekan, kemudian menerangkannya. Barangsiapa yang meniatkan satu kebaikan lantas tidak jadi ia amalkan, maka Allah telah mencatatnya sebagai satu kebaikan disisi-Nya secara sempurna, dan jika ia berniat lantas ia amalkan, maka Allah mencatat untuknya 10 kebaikan sampai 700 kali lipat, bahkan sampai pelipatgandaan yang tidak terbatas. Dan barangsiapa yang berniat melakukan kejahatan kemudian tidak jadi ia amalkan, maka Allah telah mencatat hal untuknya sebagai satu kebaikan disisi-Nya secara sempurna, dan jika ia berniat kejahatan dan jadi ia lakukan, maka Allah mencatat itu untuknya sebagai satu kejahatan saja
.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Setelah menyampaikan jawaban ini, di luar forum peserta lain bertanya (mugkin tidak enak dengan trainer formalnya untuk menanyakan di dalam forum): “Kalau begitu apakah ada gunanya Pak Iqbal kita membuat busness plan?.”

Saya jawab: “Oh tidak begitu juga maksud saya, silahkan buat business plan secukupnya – tetapi jangan terlalu mengandalkannya. Saya biasa membuat yang sederhana dalam satu- dua halaman, hanya untuk mengetahui sesiap apa kita akan terjun ke bidang yang akan kita tekuni. Selebihnya ‘nyemplung’ bekerja di lapangan dan banyak-banyak berdo’a dan memohon pertolonganNya, karena hanya Dia-lah Sang penentu keberhasilan itu – sedangkan kapling kita hanya ber-ikhtiar.”

Mungkin tidak terlalu mudah diterima di jaman ini, tetapi saya sendiri memang lebih comfortable dengan business plan A la Pak Kyai ini. Wa Allahu A’lam.*

Penulis adalah Direktur Gerai Dinar, kolumnis hidayatullah.com


Red: Cholis Akbar

Leave a comment