Keutamaan Berdakwah


Fadhailud Da’wah

hasan al banna tempo dulu e1579158627291

Syarah Rasmul Bayan Materi Fadhailud Dawah (Keutamaan Dakwah)

Ada tiga hal utama dalam kehidupan manusia:

Pertama, risalah udzma (misi agung), yakni ‘ubudiyyah, penghambaan kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat, 51: 56)

Kedua, wadzifatul khilafah, tugas menegakkan kepemimpinan di muka bumi dengan melakukan imarah; mengatur dan menata kehidupan., dan melakukan ‘imarah; membangun, dan memakmurkan bumi.

Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأرْضِ خَلِيفَةً

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat, ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi.’” (QS. Al-Baqarah, 2: 30)

هُوَ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا

“Dia (Allah) telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu sebagai pemakmurnya.”. (QS. Hud, 11: 61)

Ketiga, muhimmatud da’wah, tugas dakwah menyeru umat manusia agar mereka senantiasa ingat eksistensi dirinya di muka bumi ini untuk menegakkan dua hal yang disebutkan di atas, yaitu ‘ubudiyyah dan wadzifatul khilafah.

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran, 3: 104)

*****

Sampai disini cukup tergambar arti penting atau kedudukan dakwah secara umum dalam kehidupan manusia. Ia bagaikan cahaya penerang, suara pengingat, atau rambu-rambu dalam perjalan manusia.

Dakwah memiliki banyak keutamaan:

Pertama, dakwah merupakan a’dzomu ni’amillah (nikmat Allah yang besar).

Dengan dakwah, hati kita tergugah untuk mengingat Allah Ta’ala dan berpegang teguh pada syariat-Nya; mengenal keagungan dan menyadari betapa besar nikmat-nikmat dari-Nya; mengenal Allah, rasul, dan Islam; mengenal hakikat diri dan Al-Qur’an; serta memahami pelajaran dan petunjuk Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman,

كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولًا مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ

“Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah, 2: 151)

قُل لَّا تَمُنُّوا۟ عَلَىَّ إِسْلَٰمَكُم ۖ بَلِ ٱللَّهُ يَمُنُّ عَلَيْكُمْ أَنْ هَدَىٰكُمْ لِلْإِيمَٰنِ إِن كُنتُمْ صَٰدِقِينَ

Katakanlah: Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan keislamanmu, sebenarnya Allah, Dialah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjuki kamu kepada keimanan jika kamu adalah orang-orang yang benar’”. (QS. Al-Hujurat, 49: 17)

Begitu pun saat Allah Ta’ala berkehendak menghimpunkan kita pada barisan dakwah, sungguh hal itu merupakan kenikmatan yang besar karena kita telah berada dalam barisan para nabi dan rasul, dan lebih khusus lagi kita telah menjadi umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sebenarnya.[1]

Kedua, dakwah adalah ahsanul a’mal (sebaik-baik amal).

Dakwah adalah amal yang terbaik karena tujuannya adalah menjaga keberlangsungan amal Islami di dalam setiap pribadi dan masyarakat. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang berdakwah (menyeru) kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?’” (QS. Fushilat, 41: 33).

Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah mengatakan dalam tafsirnya: “Allah Ta’ala menyeru manusia: ‘Wahai manusia, siapakah yang lebih baik perkataannya selain orang yang mengatakan Rabb kami adalah Allah, kemudian istiqamah dengan keimanan itu, berhenti pada perintah dan larangan-Nya, dan berdakwah (mengajak) hamba-hamba Allah untuk mengatakan apa yang ia katakan dan mengerjakan apa yang ia kerjakan.” [2]

Bagaimana tidak akan menjadi ucapan dan pekerjaan yang terbaik? Sementara dakwah adalah pekerjaan makhluk terbaik yakni para nabi dan rasul ‘alaihimus salam.

Sayyid Quthb rahimahullah berkata dalam Fi Zhilal Al-Quran: “Sesungguhnya kalimat dakwah adalah kalimat terbaik yang diucapkan di bumi ini, ia naik ke langit di depan kalimat-kalimat baik lainnya. Akan tetapi ia harus disertai dengan amal shalih yang membenarkannya, dan disertai penyerahan diri kepada Allah sehingga tidak ada penonjolan diri di dalamnya. Dengan demikian jadilah dakwah ini murni untuk Allah, tidak ada kepentingan bagi seorang da’i kecuali menyampaikan.  Setelah itu tidak pantas kalimat seorang da’i kita sikapi dengan berpaling, adab yang buruk, atau pengingkaran. Karena seorang da’i datang dan maju membawa kebaikan, sehingga ia berada dalam kedudukan yang amat tinggi…”[3].

Ketiga, dakwah adalah muhimmatur rusul (tugas utama para rasul) alaihimus salam.

Para rasul ‘alaihimus salam adalah orang yang diutus oleh Allah Ta’ala untuk melakukan tugas utama mereka yakni berdakwah kepada-Nya. Maka, keutamaan dakwah terletak pada disandarkannya kerja dakwah ini kepada manusia yang paling utama dan mulia yakni Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta para nabi dan rasul ‘alaihimus salam.

قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Katakanlah (Hai Muhammad): ‘Inilah jalanku: aku dan orang-orang yang mengikutiku berdakwah (mengajak kamu)  kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik’”. (QS. Yusuf, 12: 108).

Ayat di atas menjelaskan bahwa jalan yang dilalui oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para pengikut beliau adalah jalan dakwah. Maka barangsiapa mengaku menjadi pengikut beliau, ia harus terlibat dalam dakwah sesuai kemampuannya masing-masing. Ibnul Al-Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah berkata, “Tidaklah seseorang itu murni sebagai pengikut Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam  sampai ia mau mendakwahkan apa-apa yang didakwahkan oleh beliau dengan dasar ilmu yang mendalam.”[4]

Tentang Nabi Nuh ‘alaihis salam, Allah Ta’ala mengisahkan kesibukan beliau yang tak kenal henti dalam menjalankan tugas berdakwah siang dan malam:

قَالَ رَبِّ إِنِّي دَعَوْتُ قَوْمِي لَيْلًا وَنَهَارًا

“Nuh berkata: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah mendakwahi (menyeru) kaumku malam dan siang.’” (QS. Nuh, 71: 5).

Tentang Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, Allah Ta’ala mengisahkan dakwah yang beliau lakukan kepada ayah dan umatnya,

“Dan bacakanlah kepada mereka kisah Ibrahim, ketika ia berkata kepada bapaknya dan kaumnya: ‘Apakah yang kamu sembah?’ Mereka menjawab: ‘Kami menyembah berhala-berhala dan kami senantiasa tekun menyembahnya’. Berkata Ibrahim: ‘Apakah berhala-berhala itu mendengar (doa)mu sewaktu kamu berdoa (kepadanya), atau (dapatkah) mereka memberi manfaat kepadamu atau memberi mudharat?’ Mereka menjawab: ‘(Bukan karena itu) sebenarnya kami mendapati nenek moyang kami berbuat demikian’. Ibrahim berkata: ‘Maka apakah kamu telah memperhatikan apa yang selalu kamu sembah, kamu dan nenek moyang kamu yang dahulu? Karena sesungguhnya apa yang kamu sembah itu adalah musuhku, kecuali Tuhan semesta alam, (Yaitu Tuhan) yang telah menciptakan aku, maka Dialah yang menunjuki aku, dan Tuhanku, yang Dia memberi makan dan minum kepadaku, dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku, dan yang akan mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku (kembali), dan yang amat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari kiamat”. (QS. Asy-Syuara, 26: 69-82).

Tentang Nabi Musa ‘alaihis salam, Allah Ta’ala mengisahkan dakwah beliau dalam banyak ayat-ayat Al-Quran, diantaranya,

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا مُوسَىٰ بِآيَاتِنَا إِلَىٰ فِرْعَوْنَ وَمَلَئِهِ فَقَالَ إِنِّي رَسُولُ رَبِّ الْعَالَمِينَ فَلَمَّا جَاءَهُمْ بِآيَاتِنَا إِذَا هُمْ مِنْهَا يَضْحَكُونَ

 “Dan sesunguhnya Kami telah mengutus Musa dengan membawa mukjizat- mukjizat Kami kepada Fir’aun dan pemuka-pemuka kaumnya. Maka Musa berkata: ‘Sesungguhnya aku adalah utusan dari Tuhan seru sekalian alam’. Maka tatkala dia datang kepada mereka dengan membawa mukjizat- mukjizat Kami dengan serta merta mereka mentertawakannya.” (QS. Az-Zukhruf, 43: 46-47).

Tentang Nabi Isa ‘alaihis salam, Allah Ta’ala mengisahkan dakwah beliau dalam firman-Nya,

وَلَمَّا جَاءَ عِيسَىٰ بِالْبَيِّنَاتِ قَالَ قَدْ جِئْتُكُمْ بِالْحِكْمَةِ وَلِأُبَيِّنَ لَكُمْ بَعْضَ الَّذِي تَخْتَلِفُونَ فِيهِ ۖ فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَطِيعُونِ إِنَّ اللَّهَ هُوَ رَبِّي وَرَبُّكُمْ فَاعْبُدُوهُ ۚ هَٰذَا صِرَاطٌ مُسْتَقِيمٌ

 “Dan tatkala Isa datang membawa keterangan dia berkata: ‘Sesungguhnya aku datang kepadamu dengan membawa hikmah[5] dan untuk menjelaskan kepadamu sebagian dari apa yang kamu berselisih tentangnya, maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah (kepada) ku’. Sesungguhnya Allah Dialah Tuhanku dan Tuhan kamu maka sembahlah Dia, ini adalah jalan yang lurus.” (QS. Az-Zukhruf, 43: 63-64).

Pintu kenabian dan kerasulan memang sudah tertutup selama-lamanya, namun kita masih dapat mewarisi pekerjaan dan tugas mulia mereka, sehingga kita berharap semoga Allah Ta’ala berkenan memuliakan kita.

Keempat, dakwah menjadikan pengemban dakwah berada dalam al-hayatu ar-Rabbaniyyah. Kehidupan rabbaniyyah adalah kehidupan yang selalu berorientasi kepada Allah Ta’ala dan kehidupan yang selalu diisi dengan mempelajari Al-Quran yang menjadi sumber kebaikan serta mengajarkannya kepada orang lain.

مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُؤْتِيَهُ اللَّهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا لِي مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَٰكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ

“Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al-Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: ‘Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah.’ akan tetapi (dia berkata): ‘Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.’” (QS. Ali Imran, 3: 79).

Secara etimologis, rabbaniyyin adalah jamak dari kata rabbani. Kata rabbani adalah menisbatkan sesuatu kepada Rabb, yaitu Tuhan. Jika dikaitkan dengan orang, kata ini berarti orang yang telah mencapai derajat ma’rifat kepada Allah atau orang yang sangat menjiwai ajaran agamanya.[6]

*****

Al-Hayatul Mubarakah

Dengan keutamaan-keutamaan seperti itu, seorang pengemban dakwah pun akan memperoleh al-hayatul mubarakah (kehidupan yang penuh dengan keberkahan), yaitu kebaikan yang melimpah di sisi Allah Ta’ala berupa: ridhallah (keridhoan Allah Ta’ala), mahabbatullah (kecintaan Allah Ta’ala), rahmatullah (rahmat Allah), al-ajrul mustamirah (pahala yang terus mengalir), dan al-ajrul mudha’afah (pahala yang berlipat ganda).

Allah Ta’ala berfirman,

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl, 16: 97)

Berkenaan dengan keberkahan berupa pahala amaliyah dakwah silahkan simak hadits-hadits berikut ini,

قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم لِعَلِيٍّ: ((فَوَاللَّهِ لَأَنْ يَهْدِيَ اللَّهُ بِكَ رَجُلاً خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُونَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ali bin Abi Thalib: “Demi Allah, sesungguhnya Allah Ta’ala menunjuki seseorang dengan (da’wah)mu maka itu lebih bagimu dari unta merah.” (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad).

Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullah ketika menjelaskan hadits ini mengatakan bahwa: “Unta merah adalah kendaraan yang sangat dibanggakan oleh orang Arab saat itu.” Hadits ini menunjukkan bahwa usaha seorang da’i menyampaikan hidayah kepada seseorang adalah sesuatu yang amat besar nilainya di sisi Allah Ta’ala, lebih besar dan lebih baik dari kebanggaan seseorang terhadap kendaraan mewah miliknya.

Dalam riwayat Al-Hakim disebutkan,

يَا عَلِيُّ، لَأَنْ يَهْدِيَ اللهُ عَلَى يَدَيْكَ رَجُلاً خَيْرٌ لَكَ مِمَّا طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ

“Wahai Ali, sesungguhnya Allah Ta’ala menunjuki seseorang dengan usaha kedua tanganmu, maka itu lebih bagimu dari tempat manapun yang matahari terbit di atasnya (lebih baik dari dunia dan isinya).” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak).

Dalam riwayat lain disebutkan,

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ وَأَهْلَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرَضِينَ حَتَّى النَّمْلَةَ فِي جُحْرِهَا وَحَتَّى الْحُوتَ لَيُصَلُّونَ عَلَى مُعَلِّمِ النَّاسِ الْخَيْرَ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta’ala memberi banyak kebaikan, para malaikat-Nya, penghuni langit dan bumi, sampai semut-semut di lubangnya dan ikan-ikan selalu mendoakan orang-orang yang mengajarkan kebaikan kepada orang lain.” (HR. Tirmidzi dari Abu Umamah Al-Bahili).

Berapakah jumlah malaikat, semut dan ikan yang ada di dunia ini? Bayangkan betapa besar kebaikan yang diperoleh oleh seorang da’i dengan doa mereka semua!

Imam At-Tirmidzi setelah menyebutkan hadits tersebut juga mengutip ucapan Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah yang mengatakan:

عَالِمٌ عَامِلٌ مُعَلِّمٌ يُدْعَى كَبِيرًا فِي مَلَكُوتِ السَّمَوَاتِ

“Seorang yang berilmu, beramal dan mengajarkan (ilmunya) akan dipanggil sebagai orang besar (mulia) di kerajaan langit.”

Keagungan balasan bagi orang yang berdakwah tidak hanya pada besarnya balasan untuknya tetapi juga karena terus menerusnya ganjaran itu mengalir kepadanya meskipun ia telah wafat. Perhatikan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini,

مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّـئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

“Siapa yang mencontohkan perbuatan baik dalam Islam, lalu perbuatan itu setelahnya dicontoh (orang lain), maka akan dicatat untuknya pahala seperti pahala orang yang mencontohnya tanpa mengurangi sedikitpun pahala mereka yang mencontohnya. Dan barangsiapa mencontohkan perbuatan buruk, lalu perbuatan itu dilakukan oleh orang lain, maka akan ditulis baginya dosa seperti dosa orang yang menirunya tanpa mengurangi dosa mereka yang menirunya.” (HR. Muslim dari Jarir bin Abdillah ra).

*****

Para Nabi alaihimus salam adalah orang yang paling diberkahi, perhatikan ucapan Nabi Isa ‘alaihis salam tentang dirinya:

وَجَعَلَنِي مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنْتُ وَأَوْصَانِي بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ مَا دُمْتُ حَيًّا

 “Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup.” (QS. Maryam, 19: 31).

Penyebab utama kehidupan Nabi Isa dan para Nabi lainnya diberkahi oleh Allah Ta’ala adalah pekerjaan mereka sebagai orang-orang yang dipilih oleh Allah Ta’ala untuk mendakwahkan ajaran-Nya kepada manusia. Inilah yang dipahami oleh Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah ketika menjelaskan surat Maryam ayat 31 di atas. Beliau berkata:

فَإِنَّ بَرَكَةَ الرَّجُلِ: تَعْلِيْمُهُ لِلْخَيْرِ حَيْثُ حَلَّ، وَنُصْحُهُ لِكُلِّ مَنْ اِجْتَمَعَ بِهِ. قَالَ تَعَالَى إِخْبَارًا عَنِ الْمَسِيْحِ: وَجَعَلَنِي مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنْتُ [مريم: ٣١] أَيْ: مُعَلِّمًا لِلْخَيْرِ، دَاعِيًا إِلَى اللهِ، مُذَكِّرًا بِهِ، مُرَغِّبًا فِيْ طَاعَتِهِ.

“Keberkahan seseorang itu ada pada: Pengajarannya terhadap segala macam kebajikan di mana pun ia berada, dan nasehat yang ia berikan kepada semua orang yang ijtima’ (berkumpul) dengannya. Saat menceritakan tentang nabi Isa ‘alaihis salam Allah Ta’ala berfirman: ‘Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada’. (Q.S. Maryam: 31). Yakni ia: menjadi guru kebajikan, juru dakwah yang menyeru manusia kepada Allah Ta’ala, mengingatkan manusia tentang Allah Ta’ala, Mendorong dan memotivasi manusia untuk taat kepada Allah Ta’ala.” [7]

Demikian Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah melihat keberkahan dalam hidup seseorang, di mana kehidupan yang berkah itu—menurutnya, sesuai arahan Al-Quran—ditentukan oleh aktivitas memberi manfaat kepada orang lain melalui dakwah dan kebaikan yang disebarkan demi meninggikan kalimat Allah Ta’ala.[8]

Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang akan memperoleh keutamaan-keutamaan dakwah.

Aamiin…

[1] Hal ini akan dijelaskan di point ketiga dalam materi ini.

[2] Tafsir Ath-Thabari, Jami’ul Bayan Fi Ta’wil Al-Quran, 21/468

[3] Fi Zhilal Al-Quran, 6/295

[4] Miftah Dar As-Sa’adah, jilid 1 hal. 154

[5] Yang dimaksud dengan hikmah di sini ialah kenabian, Injil dan hukum.

[6] Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid I, hal. 542, Kementrian Agama RI.

[7] Surat Ibnu Qayyim al-Jauziyyah kepada ‘Alauddin dari buku Risalah Ibnil Qayyim ila Ahadi Ikhwanih, hlm 5.

[8] Ibnu Katsir menyebutkan pendapat Mujahid, ‘Amr bin Qais, dan Ats-Tsauri bahwa yang dimaksud dengan “mubarakan” (orang yang diberkahi) dalam surat Maryam ayat 31 adalah “mu’alliman lil khair” (yang mengajarkan kebaikan) “naffa’an” (banyak member manfaat). Sedangkan menurut Ibnu Jarir At-Thabari dalam tafsirnya bahwa keberkahan Nabi Isa as adalah amar ma’ruf nahi munkar yang beliau lakukan di manapun beliau berada.

Leave a comment