Kaidah Dakwah ke-6: Da’i adalah cermin bagi dakwahnya dan contoh teladan


Kaidah ke-6: Da’i adalah cermin bagi dakwahnya dan contoh teladan

Seorang da’i tidak akan terpisah dari da’wahnya, korelasi antara da’i dan da’wahnya selalu melekat dalam pikiran ummat. Da’i sendiri adalah bukti bagi da’wahnya, bukti itulah yang dapat mempengaruhi orang untuk menerima dakwah, bahkan menyebabkan mereka menolak dan menentangnya. Sedangkan orang-orang yang berinteraksi dengan nilai-nilai prinsip keislaman secara langsung (praktis) sangatlah sedikit di setiap zaman dan tempat, tetapi kebanyakan orang hanya berinteraksi dengan prinsip yang hanya menjadi slogan semata. Semakin besar nilai sebuah prinsip maka semakin kuat komitmen seorang da’i kepadanya. Untuk sampai kepada komitmen yang kuat lebih sulit, dan penderitaan dalam menunaikan kewajiban dan memikul beban, hal ini meyebabkan kesungguhan mencapai tingkat komitmen tersebut menjadi satu kontinyuitas yang tak boleh berhenti (futur) dan keberlangsungan yang tak boleh terputus.

Ketika sang da’i jauh dari komitmen kewajiban keislamannya, maka hal itu menjadi bencana yang akan memalingkan banyak orang karena akhlaknya dari agama Allah, dan membegal orang di tengah jalan, maka pantaslah kalau da’i seperti itu disebut pembegal (قاطع الطريق ), bahkan lebih buruk dari itu. Oleh karena itu setiap da’i hendaknya selalu berdoa :

رَبَّنَا لَا تَجْعَلْنَا فِتْنَةً لِلْقَوْمِ الظَّالِمِينَ(85)                  َ                

Ya Tuhan kami; janganlah Engkau jadikan kami sasaran fitnah bagi kaum yang zalim (QS. Yunus : 85)

Imam Ar-Razy menafsirkan ayat ini : Ya Tuhan kami, janganlah engkau berikan peluang kepada mereka untuk menggiring kami dengan zalim dan paksaan, agar kami berpaling  dari agama yang haq yang telah kami terima (dengan baik)”. Demikianlah ornag-orang kafir ketika berkuasa atas umat Islam, maka kekuasaan mereka seolah-olah berada di atas kebenaran dan umat Islam di atas kebatilan. Maka kekuasaan mereka terhadap umat Islam dan penindasan mereka terhadap orang-orang beriman adalah bencana yang akan memalingkan mereka dari keimanannya. Begitupula seorang da’i yang akhlaknya menyalahi nilai-nilai Islam, maka akhlaknya yang buruk itu dapat memalingkan umatnya dari keimanan.

CONTOH KONSISTEN

Para sahabat Nabi adalah contoh konsisten dalam dakwah dan keislaman mereka. Hasan Al-Bashry mengomentari sifat mereka bahwa : “tampak pada diri mereka tanda-tanda kebaikan dalam aura, ciri, petunjuk, kebenaran, bersahaja dalam tampilan pakaian, tawadu ketika berjalan, kata-kata dibarengi dengan perbuatan, makan minum dari rizki yang baik, ketundukan mereka dalam taat kepada Allah, senantiasa mengusung kebenaran baik terkait dengan hal-hal yang mereka sukai ataupun tidak, memancarkan kebenaran dari diri mereka sendiri, haus kerongkongan mereka, lelah jasad mereka, berlapang dada terhadap amarah makhluk demi mengharapkan ridho Allah, sibuk lisan mereka dengan dzikir, mereka korbankan darah mereka jika diperlukan, mereka korbankan harta mereka jika dibutuhkan, akhlak mereka baik dan segala urusan mereka menjadi mudah.

Para sahabat  telah mempersembahkan bagi agama ini sebuah gambaran bimbingan dan arahan kemanusiaan, mereka tegar menghadapi ujian dan cobaan, mereka tinggalkan beberapa  rukhsah agar tidak menyebabkan orang-orang kafir menimpakan fitnah terhadap kaum muslimin.

Abdullah bin Hudzafah as-Sahmy pernah menjadi tawanan Romawi, lalu Raja Romawi berkata kepadanya : “Engkau akan bebas bila engkau bersedia bergabung denganku”, tetapi Abdullah menolaknya. Lalu Ia disalib dan dieksekusi dengan lemparan anak panah tetapi Ia tidak takut sedikitpun, kemudian diturunkan dari tiang salib, Raja menyuruh disediakan air tungku dan dimasak hingga mendidih, lalu Ia dimasukan kedalamnya, hingga terkelupas kulitnya, setelah itu diangkatnya lagi, dan masih ditawarkan kepadanya untuk bebas, tetapi Abdullah malah menangis. Sang Raja kaget dan bertanya kepadanya ; “Kenapa engkau menangis”?, Iapun menjawab : “Aku berharap memiliki seratus nyawa, yang ditimpakan seperti ini di jalan Allah”. Raja sangat terkejut mendengarkan jawabannya.

Ketika penduduk negeri menyaksikan konsistensi para sahabat Nabi, ketegaran mereka di atas akidahnya dan pelaksanaan mereka terhadap aturan agama mereka, maka merekapun akhirnya memeluk Islam. Ibnu Qayyim Al-Jauzy berkata : “Tatkala kaum Nasrani melihat perilaku sahabat, kebanyakan mereka kemudian beriman karena pilihan dan kerelaan sendiri, lalu mereka berkomentar : “Mereka lebih utama dari para sahabat Nabi Isa AS”. Kemudian Ibnu Qoyyim melanjutkan komentarnya : “Sungguh, kami telah berdakwah kepada kebanyakan ahlul kitab, lalu mereka mengatakan bahwa apa yang menghalangi mereka masuk islam adalah perilaku orang-orang yang menisbahkan dirinya kepada Islam”. Komentar Ibnu Qayyim ini terjadi pada abad  delapan hijriyah, bagaiman jadinya bila beliau hidup di abad kita sekarang ini, di mana banyak orang Isalm yang menghadirkan gambaran yang paradoks dengan ajaran agamanya sendiri.

Da’i bisa baik di mata umatnya bisa juga buruk. Apabila sang da’i dikenal dengan keistiqomahannya dan kewaro’annya, maka kata-katanya akan sampai ke lubuk hati umatnya, dan mempengaruhi orang menjadi mudah menerima dakwah. Tetapi bila da’i kering komitmen dan integritasnya,  maka perkataannya akan lewat begitu saja seperti anak panah yang melenceng tidak mengenai sasaran.

KEBAIKAN PERKATAAN ADA PADA REALISASINYA

Imam Mawardy berkata dalam kitab Adabuddunya waddin mengutip perkataan Ali bin Abi Thalib : “Sesungguhnya sia-sianya manusia menuntut Ilmu, ketika mereka sedikit mengambil manfaat dari ilmu yang diamalkannya, karena kebaikan perkataan ada pada realisasinya, kebenaran ada pada kata-katanya dan kebaikan ilmu ada pada yang membawanya. Orang bijak berkata :

العلم يهتف بالعمل ، فإن أجابه نفع وإلا ارتحل

 “Ilmu senantiasa memanggil amal, bila dipenuhi (dengan amal) maka ilmu itu akan bermanfaat, jika tidak maka ia akan berlalu begitu saja”.

Berkata sebagian ulama : Sempurnanya Ilmu dengn amal, sempurnanya amal keihlasannya, jika kredibilitas da’i buruk di hadapan audiennya, maka perkataannya akan menggantung dan ngambang, diterima tidak ditolak juga tidak, sehingga mereka  patut mempertanyakannya, tetapi bila audien mengetahui kredibilitas da’inya, maka apa yang disampaikannya akan diterima dan berpengaruh, bila tidak, maka audien yang kurang dapat menangkap dan mengambil pelajaran (ibroh).

Dan kehidupan seorang da’i baik khassah (halaqah) maupun ammah (sya’biyah) adalah pusat perhatian, mata manusia terhadapnya seperti kaca pembesar, sebelum dia menuntut manusia meninggalkan gibah maka dia harus menahan diri dari berbuat gibah dan menuduh tanpa alasan dan menjaga kehidupannya baik yang bersifat khusus maupun umum dari hal-hal yang dapat menodainya.

Leave a comment