Dai Tangguh di Kaki Gunung Singgalang


Pengunungan Singgalang

Dakwah tak kenal kata pensiun. Meski rambutnya telah memutih, namun ghirahnya tidak pernah padam. Beratnya medan dakwah tak menghentikan gelora dakwahnya.

Senja mulai temaram saat Buya Imam menyusuri jalan setapak menuju Dusun Aro, untuk mengisi pengajian di Surau Al-Abrar yang terletak di pinggir hutan. Tiba-tiba dari arah semak belukar keluar segerombolan babi hutan yang menghadang perjalanannya. Dua di antaranya bahkan sudah bertaring.

Konon cerita orang-orang tua, jika bertemu babi bertaring, segeralah mengambil langkah seribu, berlari secepatnya dengan berbelok-belok atau segera memanjat batang kayu. Tetapi itu tak mungkin lagi dilakukan Buya Imam. Jarak dia dan gerombolan babi hutan sudah terlanjur dekat. Keduanya hanya terpisahkan sekitar lima meter saja. ”Yang saya lakukan saat itu hanyalah memohon pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala,” kenang Imam.

Sesaat kemudian salah satu babi yang bertaring mulai mengambil ancang-ancang menyerang dengan merenggangkan dan merendahkan tubuhnya. Buya Imam sudah bertekad, jika babi besar itu menyerang, ia akan melawan dengan seluruh kemampuan. Ia terus memperkukuh keikhlasan di hati, apapun yang akan Allah takdirkan atas dirinya. Tetapi sejurus kemudian sang babi berbalik memutar tubuhnya. Seakan dikomandokan, gerombolan babi hutan itu berlarian masuk hutan. Imam menarik nafas panjang. ”Alhamdulillah,” ucapnya berulangkali.

Tak hanya dihadang kawanan babi hutan. Suatu malam yang diterangi cahaya bulan, Buya Imam yang baru pulang dari mengisi pengajian di Surau Kayu Ponton, samar-samar melihat seekor harimau yang turun dari kaki bukit, namun jaraknya masih cukup jauh dari sisi jalan kampung yang akan dilalui Imam. Karena itu, ia menunggu saja sampai harimau itu menyeberang jalan menuju hutan lebat di kaki Gunung Singgalang.

Anehnya, harimau itu malah berbalik ke atas bukit. Dengan satu lompatan, tubuh harimau itu hilang ditelan semak belukar.

”Dihadang binatang buas, terkepung longsor, dan hujan deras, sudah menjadi bagian dari perjalanan dakwah. Yang penting kita tidak takabur dan senantiasa berserah diri kepada Allah yang Maha penolong ,” tutur Buya Imam saat dijumpai majalah ini menjelang sore di kediamannya di Dusun Aia Rukam, Nagari Matua Mudiak, Sumatera Barat beberapa waktu lalu.

Pertolongan Allah yang tak terduga, tak hanya dirasakan Buya Imam ketika kepergok binatang buas. Pernah saat di perjalanan, hujan turun sangat lebat. Biasanya kalau sudah begini, tebing-tebing di sisi jalan sering longsor. Bila tidak cepat meninggalkan lokasi, bisa turut tertimbun hidup-hidup. Tetapi berulang kali pula secara tak terduga Buya Imam mendapat pertolongan Allah. ”Sering saya alami, di tengah perjalanan tiba-tiba saja ada pengendara sepeda motor berhenti meminta saya naik diboncengkan hingga ke tempat pengajian. Padahal, saya sama sekali tak mengenalnya,” tutur Buya Imam.

Masih Berjalan Kaki
Empat puluh tahun silam, Imam berjalan kaki mendampingi Imral, murid mengajinya saat bermusabaqah. Kini, bekas muridnya itu sudah memasuki pensiun. Namun, Buya Imam tetap seperti yang dulu. Dai yang satu ini masih berjalan kaki dalam menebar dakwah dari kampung ke kampung.

Walaupun Buya Imam belum juga menerima bantuan rutin, namun semangat dakwah Buya Imam tak pernah padam. Padahal, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat telah mengucurkan Tunjangan Khusus Ulama Nagari sejak 2009.

Di tengah kelangkaan ulama, Buya Imam terus berperan sebagai dai full time. Hari-harinya habis untuk berdakwah, mengisi jadwal khutbah Jumat hingga melatih penyelenggaraan jenazah secara gratis. ”Karena nyaris tak punya waktu lagi, belakangan ini tugas mengajar di madrasah saya serahkan ke guru bantu,” jelas Buya Imam.

Selain kelompok pengajian, Buya Imam juga melakukan terobosan dakwah. Belakangan ini, ia gencar menggarap terbentuknya kelompok pengajian di kalangan kaum (suku). ”Ini penting agar dakwah juga sampai pada pemangku adat dan anak keponakan anggota kaum,” jelasnya.

Sayangnya, dakwah di kalangan kaum tidak mudah. Saat ini, pengajian rutin baru berhasil dibentuk di kaum adat Suku Sikumbang. Dulu pernah terbentuk di Suku Caniago, tapi kemudian bubar begitu saja.

Merintis Pengajian
Buya Imam, begitu sapaan orang kampung padanya. Nama lengkapnya Syamsudin Imam Rajo Alam. Imam adalah gelar yang dinobatkan masyarakat kaumnya karena dinilai telah memenuhi syarat sebagai urang siak yang terus mengelorakan dakwah.

Di kaki Gunung Singgalang, kawasan dataran tingggi Agam ini, Buya Imam masih terus berdakwah. Usia yang hampir berkepala tujuh, ketiadaan fasilitas dan beratnya medan dakwah tidak mengendorkan semangatnya.

Bapak dari lima anak ini merintis kelompok pengajian di kampung-kampung berawal dari satu-dua jamaah saja. Kini, kelompok pengajian binaannya sudah mencapai belasan, tersebar dari desa-desa yang ada di Nagari Matua Mudiak hingga ke Matua Hilia dan Lawang Tigobalai. ”Alhamdulillah, di Nagari Matua Hilia beberapa waktu belakangan juga sudah terbentuk lima majelis taklim dengan anggota lebih seratus orang. Mereka kini lagi semangat-semangatnya mengaji,” ujar buya Imam.

Di kawasan terpencil yang jauh dari kediamannya, seperti Dusun Arau, kelompok pengajian juga berhasil dibentuk. Kendati pesertanya baru beberapa orang saja, namun Buya Imam tetap semangat mendatangi Surau Al-Abrar yang terletak di pinggir hutan.

Dulu Diberi Sesajen, Kini Ditebangi
Topik pengajian, ceramah, maupun khutbah Buya Imam selama ini tak beranjak dari kajian ketauhidan. Ini sesuai dengan kondisi medan dakwah yang dijalaninya. ”Ya, namanya di daerah pelosok. Dulu-dulunya kondisi di sini samalah dengan di Jawa sana,” jelas Imam Rajo Alam.

Memang, dulunya masih ada satu-dua warga yang melanjutkan tradisi dengan meletakan sesajen di rumpun pohon beringin. Ada pula orang yang takut mandi di pancuran sumber mata air pada tengah hari, karena takut dimarahi ”penjaganya.”

Dakwah Buya Imam tentang ketauhidan yang disampaikan terus menerus dalam setiap pengajian, akhirnya membawa perubahan besar. Di Nagari Matua Mudiak, kemusyrikan benar-benar telah ditumpas habis. ”Sekarang tak pernah lagi ditemukan sesajen nasi kunyit dengan telur ayam di bawah pohon beringin. Bahkan sudah banyak pohon beringin ditebang dan dibakar bersama ’penjaganya’ yang dulu ditakuti itu,” tutur buya Imam. Allahu Akbar!* Dodi Nurja/Suara Hidayatullah, NOPEMBER 2010

Leave a comment