Belajar ilmu hadits, lebih spesifiknya ilmu jarh wa ta’dil atau dirasah sanad, tetapi enggan memahami manhaj usuliyun (ulama’ usul fikih) dan fuqaha’ (ulama’ fikih)


Hidayat Nur is with Mujtaba Alatas.

  ·

Kebanyakan orang yang belajar ilmu hadits, lebih spesifiknya ilmu jarh wa ta’dil atau dirasah sanad, tetapi enggan memahami manhaj usuliyun (ulama’ usul fikih) dan fuqaha’ (ulama’ fikih) dalam penerimaan dalil terkesan meremehkan hadits-hadits yang dibawakan oleh fuqaha’ atau bahkan merasa memiliki kewajiban memetakan mana yang dhaif dan mana shahih karena satu alasan, yaitu hadits dhaif tidak boleh diamalkan secara absolut. Ini adalah satu kekurangan jika tidak saya sebut kesalahan. Otoritas ahli hadits adalah memastikan shahih nisbat satu informasi kepada Rasulullah ﷺ. Sementara usuliyun dan fuqaha’ memastikan shahih makna dengan syarat-syarat tertentu. Karena itu, dalam menentukan keshahihan hadits, antara ahli hadits dengan ahli usul fikih dan ahli fikih cenderung berbeda. Termasuk dalam muqawwiyat (penguatan hadits), usuliyun dan fuqaha’ cenderung lebih luas dan komprehensif daripada muhadditsin.

Jika sekedar memetakan saja, tanpa dibumbui narasi-narasi yang menghakimi atau justifikasi bahwa hadits dhaif tidak boleh diamalkan secara mutlak masih mending. Yang nir adab adalah ketika sudah merasa yang demikian dan kemudian dibuatlah kitab khusus yang berjudul “Dhaif al-Muwaththa'” misalnya (ini hanya misal) sehingga pembaca awam menjadi latah menghakimi kitab al-Muwaththa’ dengan menyebut Imam Malik pun tidak lepas dari kesalahan menilai hadits atau narasi-narasi lain yang menyudutkan ulama’ dan kurang adab.

Ada 5 hal yang perlu diperhatikan:

1. Hadits dhaif dalam kaidah ilmu hadits memang tidak boleh dijadikan dalil dalam akidah dan hukum halal haram. Tetapi itu tidak mutlak, sebab ketika hadits dhaif tersebut memiliki muqawwiyat berupa ijma’ ulama’, ayat al-Qur’an, kaidah fikih yang kulliyat, diterima ulama’ dalam amal dan fatwa (talaqqil ummah bil qobul) atau daripada melakukan qiyas, maka hadits dhaif tersebut legal dijadikan dalil hukum halal dan haram atau disebut maqbul. Adapun menggunakan hadits dhaif sebagai dalil dalam hukum sunah dan makruh masih diperdebatkan ulama’. Yang terkonfirmasi, banyak sekali fuqaha’ madzhab empat yang mengamalkan dalam hal tersebut. Silahkan baca kitab Syaikh Abdul Fattah bin Qudais al-Yafi’i dalam masalah ini.

2. Hadits dhaif dalam al-Muwaththa’, jika kita mengikuti pendapat ulama’ yang mengatakan ada hadits dhaif didalamnya, maka bukan berarti harus disisihkan tersendiri agar tidak diamalkan. Karena membuang hadits dhaif secara mutlak atau mendudukkan hadits dhaif seperti halnya hadits palsu sebagaimana narasi yang terus menerus dibangun pengikut Syaikh Nashiruddin al-Albani adalah syadz dan menyelisih ulama’.

3. Dakwaan sebagian ulama’ bahwa Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Imam Abi Hatim ar-Razi, Imam Ibn Ma’in, Imam Ibn Hibban dan lain-lain yang tidak mengamalkan hadits dhaif secara mutlak, maksudnya hingga dalam fadhilah amal dan lain-lain, masih perlu dikaji ulang kembali mengingat data sebaliknya justru ditemukan oleh ulama’ lain. Selain daripada itu, tidak ditemukan data valid nan ilmiyah bahwa nama-nama tersebut mendudukkan hadits dhaif seperti hadits palsu sehingga tidak menerima muqawwiyat sama sekali sebagaimana penjelasan nomer pertama.

4. Hadits dhaif bisa saja berfungsi sebagai mutaba’ah atau syahid (penguatan hadits lain) sehingga hadits dhaif lain yang dikuatkan naik menjadi hadits hasan lighoirih dan boleh dijadikan hujjah secara mutlak. Dan ini yang banyak tidak disadari oleh awam yang kurang ilmu dan nir adab.

5. Hadits dhaif jiddan jika riwayatnya banyak bisa berfungsi menjadikan keabsahan asal makna atau asal kisah (bukan asal lafaz atau matan) sehingga boleh boleh diterima. Dan ini juga tidak banyak disadari banyak orang.

Karena itu, narasi-narasi bahwa hadits dhaif secara absolut tidak diterima harus kita lawan secara ilmiyah.

Leave a comment