Menjadi Pribadi Da’i yang Utuh


zainuddin mz

Abu Maryam

Abu Maryam

الداعية مرآة دعوته والنموذج المعبِّر عنها

Da’i merupakan cerminan dari dakwah yang ia sampaikan dan pribadi dari misi yang ia emban

Dua hal yang tidak dapat dipisahkan dari seorang da’i adalah; karakter yang ia miliki dan misi dakwah yang tengah ia emban. Penilaian seperti ini merupakan hal lumrah yang ada di tengah masyarakat. Karena da’i merupakan sosok yang sudah menjiwai setiap hal dari apa yang ia sampaikan, sehingga ia benar-benar menjadi model dari hasil dakwah yang ia ‘promosikan’. Hal inilah yang kemudian menjadi pertimbangan terhadap penerimaan dakwah itu sendiri, apakah dakwah ini akan diterima atau tidak oleh masyarakat.

Oleh karena itu seorang da’i harus benar-benar secara utuh memahami pondasi Islam ini dengan baik dan mengamalkannya dalam kehidupannya sehari-hari. Dalam Islam, banyak kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan dengan penuh mujahadah. Ini memiliki posisi sangat penting, karena ketika seorang da’i memiliki sifat yang jauh dari keistiqomahan dalam menjalankan kewajiban sebagai sosok muslim ideal, kelak akan berimbas terhadap timbulnya keraguan di tengah masyarakat dan melemahkan misi dakwah yang ia perjuangkan. Terlebih dari itu, ini akan menjadi peluang bagi orang yang membenci Islam dengan menjadikannya “obyek sasaran empuk” dan menyerang sisi lemah ini.

Hendaklah kita senantiasa berdoa kepada Allah dalam hal ini, sebagaimana yang telah dicontohkan dalam doa kaum Nabi Musa As. dalam firman Allah Swt. “Lalu mereka berkata: “Kepada Allah-lah kami bertawakal! Ya Tuhan kami; janganlah Engkau jadikan kami sasaran fitnah bagi kaum yang lalim” (QS. Yunus: 85) Imam Ar-Razi menafsirkan ayat di atas sebagai berikut, “jangan beri mereka kemampuan untuk menyeret kami ke dalam kezaliman untuk kemudian menjauhkan kami dari kebenaran agama mulia yang telah kami terima ini”.

Imam Al Qurtubi dalam tafsirnya kemudian menambahkan, “Demikianlah perilaku dari orang-orang kafir ketika mereka tampil sebagai penguasa atas umat Islam, mereka seakan-akan keluar sebagai pihak yang mewakili kebenaran dan kaum muslimin berada dalam kebatilan.”

Termasuk pelajaran yang bisa kita petik dari ayat di atas, bahwa salah satu indikasi melemahnya seorang da’i dikarenakan kepribadiannya yang bertolak belakang dari nilai Islam yang ia dakwahkan, sehingga mengosongkan jiwanya dari keimanan. Karena rumusannya adalah, jikalau agama ini merupakan yang hak, maka tentunya ia akan tercermin dari kepribadian para pelakunya (da’i). Ketika kebenaran itu tak nampak dari pribadinya, maka akan menghilangkan kepercayaan dari obyek dakwahnya.

Contoh Teladan

Para sahabat telah menghadirkan kepribadian yang mengagumkan dari agama ini, sosok yang tenar dan mulia yang hidup di tengah-tengah umat manusia, mereka tegar dalam menghadapi berbagai ujian dan cobaan, sedikit pun tak terlihat lemah sehingga menutup peluang dari orang-orang kafir dalam menyebarkan fitnah terhadap diri-diri mereka.

Diantara sosok sahabat yang layak dicontoh dalam hal ini adalah Abdullah bin Hudzafah As Sahmi, yang kala itu berada di bawah tahanan prajurit Romawi. Ia kemudian dihadapkan ke Raja Romawi, Sang Raja kemudian memaksanya untuk murtad dari Islam, “Masuklah ke dalam agama Nashrani, maka aku akan berbagi kekuasaan denganmu,” jelas sang Raja. Namun tawaran ini ditolak mentah-mentah oleh Abdullah bin Hudazafah. Raja Romawi murka dan Abdullah pun disalib, ia dijadikan sasaran tembak anak panah para prajuritnya. Namun Abdullah tetap tidak bergeming dengan pilihannya dan sama sekali tidak menampakkan rasa cemas. Abdullah kemudian diturunkan dari tiang salib. Pengawal Romawi kemudian diperintahkan menyiapkan sebuah wadah yang didalamnya diisi air, kemudian air itu dipanaskan hingga mendidih, yang apabila seorang manusia dimasukkan ke dalamnya, tulang-tulangnya dipastikan akan hancur lebur. Abdullah kemudian diancam oleh Raja Romawi akan dicampakkan ke dalam air yang mendidih itu apabila menolak pindah ke agama Nashrani, Abdullah tetap menolak dengan tegas dan kemudian ia menangis. Raja Romawi bingung, lalu bertanya kepadanya, “Kenapa engkau menangis?” Abdullah menjawab, aku menangis karena berharap, seandainya saja aku memiliki seratus nyawa, niscaya aku siap korbankan semuanya untuk menjalani siksaan seperti ini di jalan Allah. Raja Romawi kemudian tertegun begitu mendengar jawaban Abdullah itu.

Para sahabat dengan kejujuran iman yang mereka miliki telah memberikan teladannya kepada kita semua, membuat umat manusia di masanya terkagum-kagum sehingga berbondong-bondonglah mereka memeluk agama Islam. Ibnu Qayyim Al Jauziah mengatakan, “ketika kaum Nasrani melihat keteguhan dari keyakinan para sahabat, mereka kemudian berpindah memeluk agama Islam tanpa sedikit pun ada rasa keterpaksaan, mereka kemudian berkata, siapakah yang lebih layak menemani Al Masih selain orang-orang seperti mereka?”

Sesuaikan Ucapan dan Perbuatan

Sosok seorang da’i bisa jadi begitu dikenal di tengah masyarakat atau bisa pula menjadi orang yang paling asing. Apabila selama dalam berdakwah, ia dikenal dengan pribadi yang konsisten dalam beramal, maka perkataanya akan dapat diterima di hati masyarakat. Namun sebaliknya, apabila seorang da’i lemah dalam menjalankan agamanya, tidak konsisten, maka jangan berharap perkataannya dapat diterima oleh siapapun yang mendengarnya, ucapannya ibarat masuk telinga kiri keluar telinga kanan.

Da’i yang terlihat asing dihadapan para mad’u-nya, maka kata-katanya masih “menggantung.” Ucapannya tidak sertamerta diterima dan tidak pula tertolak sampai mereka tahu siapa dan bagaimana kepribadian da’i tersebut. Apabila mereka mengetahui bahwa ia merupakan sosok yang istiqomah dalam menjalankan nilai-nilai Islam, maka perkataan yang sebelumnya masih menggantung di hati mereka dapat diterima dan memberikan dampak positif bagi kehidupan mereka. Namun apabila yang yang mereka ketahui justru sebaliknya, maka jangan salahkan apabila pesan kebaikan yang disampaikan luntur bersamaan kepribadiannya yang tidak sesuai dengan ucapan.

Dengan demikian selayaknya kita para da’i berhati-hati dalam berbuat, karena kehidupan seorang da’i disadari atau tidak telah menjadi sorotan bagi masyarakat sekitarnya. Maka selayaknya sebelum seorang da’i menyampaikan materi dakwahnya, sudah terlebih dahulu materi itu ia jiwai dan amalkan di dalam keseharian. Wallahu al Musta’an

Disarikan dari kitab “Qawaidu ad-da’wah ila Allah” karya Dr. Hamam Abdurrahim Sa’id, cetakan Dârul wafâ’, Manshurah, Mesir.

 

www.alintima.com/

Leave a comment