Menyoal Pendapat : Tidak Ada Jarak Tertentu Untuk Safar


[ Menyoal Pendapat : Tidak Ada Jarak Tertentu Untuk Safar ]

[ Jarak Safar ]

Di dalam Fiqih banyak ulama yang menyatakan, perjalanan dikatakan sebagai “safar” jika menempuh jarak tertentu. Salah satunya Imam Nawawi, di dalam kitabnya Minhajut Thalibin. Menurut beliau salah satu syarat safar adalah perjalanan tersebut menempuh jarak 48 mil “hasyimiyah” (ukuran yang disandarkan kepada Bani Hasyim).

Dalil jarak ini adalah praktek dari Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar. Keduanya diketahui mengqashar shalat ketika menempuh jarak tersebut. Imam Al-Baihaqi meriwayatkannya dengan sanad shahih. Demikian dikatakan oleh Imam Jalaluddin Al-Mahalli di dalam kitabnya “Kanzur Raghibin”.

Kemudian menurut ulama kontemporer jarak tersebut adalah antara 81 kilometer sampai 89 kilometer. Demikian yang disampaikan Dr. Muhammad Az-Zuhaili.

[ Pendapat ‘Tanpa Jarak Tertentu’ ]

Sebagian ulama menyatakan, safar tidak ada batasan jarak tertentu. Alasannya karena Allah maupun Rasul Nya tidak menetapkan batasan tertentu sebagai patokan perjalanan yang dikatakan safar. Sehingga menurut pendapat ini yang dijadikan patokan adalah ‘urf.

Dari sisi argumen pendapat ini bisa saja diterima sebagai salah satu pendapat Fiqih. Akan tetapi dalam pengamalannya tidak mudah dan tidak bisa sembarangan.

Karena tidak mudah mendapatkan kesimpulan ‘urf yang menjadi patokan safar dan tidaknya jarak tempuh suatu perjalanan.

Dan kita khawatir pada akhirnya bukan dikembalikan kepada ‘urf akan tetapi dikembalikan kepada penilaian pribadi (!?)

Sementara ada konsekwensi berat terkait safar, misalnya pilihan untuk meringkas shalat yang empat reka’at menjadi dua reka’at. Yang sebagian ulama menganggapkan sebagai sunnah. Walaupun ulama yang lain menganggapnya sekedar “rukhshah”.

[ Pendapat Syaikh Ibnu ‘Utsaimin ]

Bagi pengkaji pendapat-pendapat Fiqih Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, akan menemukan kenyataan bahwa beliau memilih pendapat yang menyatakan safar tidak dibatasi jarak tertentu, akan tetapi dikembalikan kepada ‘urf.

Namun perlu diketahui, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin juga berpendapat :

Jika kita tidak mendapatkan kepastian ‘urf, boleh mengikuti pendapat ulama yang mengembalikan safar kepada jarak tertentu seperti di atas.

Fatwa beliau bisa dibaca melalui link berikut :

https://www.islamweb.net/…/%D8%A7%D8%AE%D8%AA%D9%8A%D8…

Akhirnya pendapat mujtahid mana yang kita ikuti selaku muqallidun, tidak jadi masalah. Hanya saja hukum yang dinyatakan “dikembalikan kepada ‘urf”, tidak selalu dapat diketahui dengan mudah batasannya. Jika demikian keadaannya maka dikembalikan kepada pendapat yang lebih jelas batasannya. Terlebih lagi masalah yang berkaitan dengan hak Allah, seperti shalat.

Berbeda dengan masalah yang berkaitan dengan hak sesama, walaupun ada juga yang dikembalikan kepada ‘urf, semisal besarnya mahar, masalahnya lebih mudah. Karena bisa dimusyawarahkan dengan pihak yang terkait.

Wallahu a’lam

| Fajri Nur Setyawan |

Leave a comment