BANTAHAN SYUBHAT WAHABI MUJASSIMAH


BANTAHAN SYUBHAT FIRANDA ANDIRJA

وقال الشيخ أبو المعين ميمون بن محمد النسَفي الحنفي لسان المتكلمين في تبصرةِ الأدلة في رد قولِ المشبهة: إنه تعالى لما كان موجودًا، إما أن يكون داخل العالم، وإما أن يكون خارج العالم، وليسَ بداخل العالم فكان خارجًا منه، وهذا يوجبُ كونَه بجهة منه،

قال: «والجوابُ عن هذا الكلام على نحو ما أجبنا عن الشبهة المتقدمة أنّ الموصوف بالدخول والخروج هو الجسمُ المتَبعّضُ المتجزئ، فأما ما لا تبعض له ولا تجزؤ فلا يُوصف بكونهِ داخلًا ولا خارجًا».اهـ.

ثم قال في إبطال قول المشبهة: لما كان الله تعالى موجودًا إما أن يكون مُماسًّا للعالم أو مباينًا عنه، وأيّهما كان ففيه إثباتُ الجهة، إذ ما ذُكرَ من وَصف الجسم، وقد قامت الدّلالةُ على بطلانِ كونهِ جسمًا، ألا ترى أن العَرَض لا يوصف بكونِه مُماسًّا للجوهر ولا مباينًا له،
قال: «وهذا كله لبيان أن ما يزعمون ليس من لواحِق الوجودِ؛ بل هو من لواحِقِ التبعُّضِ والتجزؤ والتناهي، وهي كلُّها محالٌ على القديم تعالى».اهـ.

يعني: أنه ليس من شرط الموجودِ كونُ غيره مماسًّا له أو مُباينًا أو متصلًا بغيره أو منفصلًا عنه أو داخلًا فيه أو خارجًا عنه، إنما هذا من شرط التبعيض والتجزؤ والتناهي، وذلك كله محالٌ على القديم تعالى.

Abul Mu’ain Maimun ibn Muhammad an-Nasafi al-Hanafi, dalam kitab karyanya berjudul Tabshirah al-Adillah,

dalam bantahan beliau terhadap golongan Musyabbihah yang berkata:

“Allah maha ada, bisa jadi di dalam alam, bisa juga di luar alam. Bila tidak di dalam alam maka Dia berada di luarnya, dan itu mengharuskan adanya Allah pada arah tertentu dari alam tersebut”;

an-Nasafi berkata:

“Jawaban atas perkataan itu adalah seperti apa yang telah kami jawab atas kesesatan mereka terdahulu; bahwa sesungguhnya yang disifati dengan di dalam atau di luar adalah benda yang tersusun dan dapat terbagi-bagi.

Adapun apa yang tidak terbagi-bagi dan tidak terpisah pisah maka la itu tidak disifati di dalam atau di luar”.

[Demikian tulisan an-Nasafi]

Kemudian an-Nasafi telah membantah golongan Musyabbihah tersebut yang mengatakan bahwa keberadaan Allah [menurut mereka bisa jadi menempel dengan alam, atau bisa jadi terpisah dari alam [tidak menempel], bahwa setiap satu dari dua keadaan tersebut sama-sama menetapkan adanya arah bagi Allah, karena yang demikian itu adalah sifat jism (benda), sementara telah benar adanya dalil [‘aqli dan naqli] bahwa Allah bukan jism.

An-Nasafi berkata:
“Ini semua adalah untuk menjelaskan bahwa apa yang mereka (golongan Musyabbihah) yakini bukan tanda-tanda wujud bagi Allah, tetapi keyakinan mereka itu adalah menetapkan adanya bagian-bagian, ketersusunan, dan penghabisan bagi Allah, dan itu semua adalah mustahil bagi Allah yang maha Qadim”.

[Demikian tulisan an-Nasafi].

Yang dimaksud oleh an-Nasafi di atas adalah bahwa sesuatu yang ada (al-mujud) tidak disyaratkan bahwa ia itu ada dengan keharusan adanya sifat bersentuhan, terpisah, menempel dengan yang lain, bercerai dari lainnya, di dalam sesuatu, dan di luar sesuatu.

Semua sifat demikian itu menunjukan kebendaan, terbagi-bagi, dan berpenghabisan. Semua itu mustahil atas Allah yang maha Qadim (tidak bermula).

👹Mujassimah Musyabbihah mengatakan;

“Pernyataan Allah maha ada, tidak menempel dengan alam dan juga tidak terpisah dari alam, tidak di dalam alam dan juga tidak di luar alam adalah pengingkaran bagi wujud Allah”

Jawab:

“Perkataan itu menyesatkan, kalian membangun keyakinan kalian di atas dasar yang tidak benar, kalian menjadikan syarat wujud bagi sesuatu dengan keharusan adanya sifat menempel dan terpisah, dengan keharusan berada di dalam alam atau di luar alam, kalian berangkat dari keyakinan rusak bahwa Allah sebagai benda yang memiliki bentuk dan ukuran,

Anehnya, golongan Musyabbihah sendiri mengakui bahwa Allah ada sebelum menciptakan alam, tidak di dalam alam dan tidak pula di luar alam,

Adapun dalil dari Hadits bahwa Allah tidak disifati menempel atau terpisah, tidak di dalam alam dan tidak pula di luar alam, adalah sabda Rasulullah;

كان الله ولم يكن شيء معه

”Allah ada tanpa permulaan, dan tidak ada suatu
apapun bersama-Nya”.

Demikian pula setelah alam diciptakan, Allah ada sebagaimana pada sifat-Nya semula; Allah ada tidak di dalam alam, juga tidak di luar alam.

Dengan demikian menjadi jelas bahwa apa yang menjadi keyakinan golongan Musyabbihah bahwa Allah berada pada tempat dan arah adalah keyakinan batil dan sesat.

👹Mujassimah Musyabbihah mengatakan;

“Jika Allah tidak di luar alam dan tidak di dalam alam, bahwa ungkapan demikian itu menetapkan dua perkara yang saling bertentangan (Kontradiktif).

Jawab:

Al-’Allamah Muhammad ibn Ahmad yang populer dengan sebutan Mayyarah al-Maliki, dalam kitab karyanya berjudul ad-Durr ats-Tsamin, menuliskan dengan teksnya sebagai berikut:

«مسألة : سئل الإمام العالم أبو عبد الله سيدي محمد بن جلال هل يقال : المولى تبارك وتعالى لا داخل العالم ولا خارج العالم؟ فأجاب السائل: هكذا نسمعه من بعض شيوخنا، واعترضه بعضهم بأن هذا رفع للنقيضين،

”Masalah; al-Imam al-’Alim Abu ’Abdillah Muhammad ibn Jalal ditanya; Apakah dikatakan bahwa Allah tidak di dalam alam, juga tidak di luar alam?
Beliau menjawab si-penanya; Iya, demikian itulah yang kita dengar dari beberapa guru kami.

Sebagian orang membantah bahwa ungkapan demikian itu menetapkan dua perkara yang saling bertentangan….

والاعتراض بأنه رفع للنقيضين ساقط، لأن التناقض إنما يعتبر حيث يتصف المحل بأحد النقيضين ويتواردان عليه، وأما حيث لا يصح تواردهما على المحل ولا يمكن الاتصاف بأحدهما فلا تناقض كما يقال مثلا: الحائط لا أعمى ولا بصير، فلا تناقض لصدق النقيضين فيه لعدم قبوله لهما على البدلية، وكما يقال في الباري أيضا: لا فوق ولا تحت، وقس على ذلك إ ه‍.

…..Adapun pendapat yang mengatakan
bahwa itu menetapkan dua perkara yang saling bertentangan (Kontradiktif) maka itu adalah pendapat rusak.

Karena dua perkara yang disebut bertentangan itu adalah apabila sesuatu bersifat dengan salah satu dari dua sifat yang satu dengan lainnya saling menyalahi, dan salah satu dari dua sifat tersebut dapat menjadi sifat bagi sesuatu tersebut.

seperti apabila kita katakan; ”Tembok tidak buta, juga tidak melihat”,

Adapun sesuatu yang tidak bersifat dengan salah satu dari dua sifat tersebut maka tidak dikatakan saling bertentangan,

karena dua sifat yang bertentangan tersebut, satu atau lawannya tidak berlaku bagi tembok.

Demikian pula ketika kita katakan bagi Allah; ”Dia tidak di atas, juga tidak di bawah” hal itu bisa diterima oleh karena dua sifat yang bertentangan tersebut tidak berlaku bagi Allah, [sifat itu hanya
berlaku bagi benda yang memiliki bentuk dan ukuran]. Dan demikian seterusnya dalam memahami sifat-sifat Allah.”

https://www.facebook.com/100063862713831/posts/pfbid0Ws4w3bDTWjJXWAXacs2kkbGtCkd3D8vnwFmTHrCFcRkwmwsGSf74Hm16rGrKxiMbl/?app=fbl

Leave a comment