Imam Abu Hanifah yang Cerdas


Imam Abu Hanifah adalah ulama ahlul ra’yi (ahli akal). Sebab beliau “diberkahi kemampuan berfikir yg cemerlang”, ahli logika dan pakar Qiyas.
Saat berusia 16 tahun, Abu Hanifah pergi dari Kufah menuju Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Dalam perjalanan ini, ia berguru kepada tokoh tabi’in, Atha bin Abi Rabah, yg merupakan alim terbaik di Kota Makkah.
Atha bin Abi Rabah merupakan seorang keturunan Habasyah (Etiopia). Pada awalnya ia adalah seorang mawla (budak) namun ia dibebaskan dan menjadi penuntut ilmu dari para sahabat Nabi, khususnya Ibnu Abbas, Abdullah bin Zubair.
Sebelum imam Abu Hanifah menjadi murid Atha bin Rabbah, terlebih dahulu Amru bin Dinar, Az-Zuhri, Qatadah, Malik bin Dinar, al Auza’i menjadi murid Atha bin Rabbah. Imam Bukhari meriwayatkan hadits dari Atha dalam kitabnya sebanyak 109 kali.

Abu Hanifah adalah seorang tabiin yg mulia. Ini berarti ia adalah generasi muslim awal setelah generasi sahabat Nabi Muhammad saw. Ia pernah bertemu secara langsung dengan Anas bin Malik, dan meriwayatkan hadis darinya. Selain itu, Abu Hanifah juga bertemu dengan beberapa sahabat Nabi yg lain, seperti Abdullah bin Abi Auqa, Sahal bin Sa’ad as-Sa’adi, dan Abu Thufail bin Wailah. Abu Hanifah tidak sekadar bertemu dengan nama-nama sahabat tersebut, melainkan juga memperoleh ilmu dari mereka
Suatu ketika ada salah seorang ulama di Masjid Rushafah hendak memamerkan kemampuan intelektualnya. Dengan sombongnya, ia berkoar di hadapan para hadirin, Aku siap menjawab pertanyaan sesulit apa pun dari kalian!
Tanpa ia sadari bahwa di antara hadirin yg ia tantang untuk mengajukan pertanyaan kepadanya terdapat seorang Abu Hanifah.
Sejurus kemudian, Abu Hanifah mengacungkan jari tangannya untuk menga jukan pertanyaan kepada ulama yg terbujuk (sombong) itu.
“Apa pertanyaanmu?”
Abu Hanifah kemudian menyampaikan pertanyaannya, “Semut yg berbicara dengan Nabi Sulaiman itu jenis kelaminya laki-laki apa perempuan?”
Mendengar pertanyaan Abu Hanifah yg sederhana tetapi sulit dijawab tersebut, orang sok alim tadi tidak bisa menjawab, hanya dapat menundukkan kepala.
Karena tidak mampu menjawabnya, Abu Hanifah menjawab pertanyaannya sendiri, “Sesungguhnya semut tersebut berjenis kelamin perempuan.”
Pria yg mengaku alim tersebut penasaran dengan jawaban Abu Hanifah, lantas ia menanyakan dalilnya kepada Abu Hanifah.
Dengan sigap dan cekatan Abu Hanifah menjelaskan bahwa dalam surah an-Naml ayat 18, fiil-nya kata namlah berupa shighat muannats(qalat) yg menunjukkan bahwa semut yg berbincang dengan Nabi Sulaiman ad alah perempuan.
Setelah memberi jawaban sekaligus penjelasan dalilnya, Abu Hanifah memberi nasihat kepada orang tersebut, Sebenarnya saya tidak ingin bertanya kepadamu. Aku lebih suka untuk mengatakan kepadamu janganlah kau terbujuk dengan kelebihan yg kau miliki.

Seorang pria datang menemui Abu Hanifah dan bertanya, “Semalam aku minum khamar sampai mabuk dan aku tak tau apakah aku telah menceraikan istriku atau tidak, apa yg harus aku lakukan?”
Abu Hanifah menjawab, “Dia tetap istrimu sampai kau benar-benar yakin bahwa telah menceraikanya”.
Kemudian laki-laki tadi mendatangi Syuraik bin Abdullah dan bertanya hal serupa. Beliau menjawab, “Pergi dan ceraikan istrimu lalu rujuklah ia”.
Dan untuk kesekian kalinya, laki-laki itu mendatangi Zufar bin bin Huzhail dan bertanya hal yg sama.
Lalu beliau bertanya, “Sudahkah kau menanyakan hal ini kepada orang lain?” laki-laki tadi menjawab sudah sembari menceritakan jawaban yg telah ia peroleh.
Lalu Zufar bin Huzhail membenarkan jawaban Abu Hanifah dengan memberi perumpamaan. Bahwa permisalan masalahmu dan jawaban mereka adalah seperti ini:
Kamu melintasi sebuah selokan yg ada airnya lalu pakaianmu basah. Lalu kamu menanyakan hukum pakaianmu itu.
Abu Hanifah menjawab, “Pakaianmu tetap suci sampai kau benar-benar menyakini kenajisan air tersebut”
Adapun Syuraik berkata, “Pergi dan kencingi pakaianmu, lalu cucilah ia”.

Suatu ketika saat di Madinah, Abu Hanifah menjumpai Imam Malik yg tengah duduk bersama beberapa sahabatnya. Setelah Abu Hanifah keluar, Imam Malik menoleh kepada mereka dan berkata, “Tahukah kalian, siapa dia?”
Mereka menjawab, “Tidak.”
Beliau berkata, “Dialah Nu’man bin Tsabit, yg seandainya berkata bahwa tiang masjid itu emas, niscaya perkataannya menjadi dipakai orang sebagai argumen.”
Tidaklah dikatakan berlebihan apa yg dikatakan Imam Malik dalam menggambarkan diri Abu Hanifah, sebab beliau memang memiliki kekuatan dalam berhujjah, cepat daya tangkapnya, cerdas, dan tajam wawasannya.
Sangat banyak tarikh yg menggambarkan kekuatan argumentasinya dalam menghadapi lawan bicaranya ketika adu argumen. Semuanya membuktikan kebenaran pujian Imam Malik: “Seandainya dia mengatakan bahwa tanah di tanganmu itu emas, maka engkau akan membenarkannya karena alasannya yg tepat dan mengikuti pernyataannya.”
Sebagai bukti, ada seorang laki-laki dari Kufah yg disesatkan oleh Allah. Dia termasuk orang terpandang dan didengar omongannya. Laki-laki itu menuduh di hadapan orang-orang bahwa Utsman bin Affan asalnya adalah Yahudi, lalu menganut Yahudi lagi setelah Islamnya.
Demi mendengar berita tersebut, Abu Hanifah bergegas menjumpainya dan berkata, “Aku datang kepadamu untuk meminang putrimu yg bernama fulanah untuk seorang sahabatku.” Dia berkata, “Selamat atas kedatangan Anda. Orang seperti Anda tidak layak ditolak keperluannya wahai Abu Hanifah. Akan tetapi, siapakah peminang itu?”
Beliau menjawab, “Seorang yg terkemuka dan terhitung kaya di tengah kaumnya, dermawan dan ringan tangan, hafal Kitabullah, menghabiskan malam dengan satu rukuk dan sering menangis karena takwa dan takutnya kepada الله swt…
Laki-laki itu berkata, “Wah.. wah.., cukup wahai Abu Hanifah, sebagian saja dari yg Anda sebutkan itu sudah cukup baginya untuk meminang seorang putri Amirul Mukminin.”
Abu Hanifah berkata, “Hanya saja ada satu hal yg perlu Anda pertimbangkan.”
Dia bertanya, “Apakah itu?”
Abu Hanifah berkata, “Dia seorang Yahudi.”
Mendengar hal itu, orang itu terperanjat dan bertanya-tanya: “Yahudi?! Apakah Anda ingin saya menikahkan putri saya dengan seorang Yahudi wahai Abu Hanifah? Demi Allah aku tidak akan menikahkan putriku dengannya, walaupun dia memiliki segalanya dari yg awal sampai yg akhir.”
Lalu Abu Hanifah berkata, “Engkau menolak menikahkan putrimu dengan seorang Yahudi dan engkau mengingkarinya dengan keras, tapi kau sebarkan berita kepada orang-orang bahwa Rasulullah telah menikahkan kedua putrinya dengan Yahudi (yakni Utsman)?”
Seketika orang itu gemetaran tubuhnya lalu berkata, “Astaghfirullah, Aku memohon ampun kepada Allah atas kata-kata buruk yg aku ucapkan. Aku bertaubat dari tuduhan busuk yg saya lontarkan.”

Contoh lain, ada seorang Khawarij bernama adh Dhahak asy Syari pernah datang menemui Abu Hanifah dan berkata,
Adh-Dhahak : “Wahai Abu Hanifah, bertaubatlah Anda.”
Abu Hanifah: “Bertaubat dari apa?”
Ad-Dhahak: “Dari pendapat Anda yg membenarkan diadakannya tahkim (damai) antara Ali dan Mu’awiyah.
Abu Hanifah: “Maukah Anda berdiskusi dengan saya dalam persoalan ini?”
Adh-Dhahak: “Baiklah, saya bersedia.”
Abu Hanifah: “Bila kita nanti berselisih paham, siapa yg akan menjadi hakim di antara kita?”
Adh-Dhahak: “Pilihlah sesuka Anda.”
Abu Hanifah menoleh kepada seorang Khawarij lain yg menyertai orang itu lalu berkata:
Abu Hanifah: “Engkau menjadi hakim di antara kami.” (dan kepada orang pertama beliau bertanya:) “Saya rela kawanmu menjadi hakim, apakah engkau juga rela?”
Adh-Dhahak: “Ya saya rela.”
Abu Hanifah: “Bagaimana ini, engkau menerima tahkim atas apa yg terjadi di antara saya dan kamu, tapi menolak dua sahabat Rasulullah yg bertahkim?”.
Maka orang itu pun mati kutu dan tak sanggup berbicara sepatah kata pun.

Abu Hanifah berjumpa dengan orang-orang atheis yg mengingkari eksistensi al-Khaliq. Beliau bercerita kepada mereka:
“Bagaimana pendapat kalian, jika ada sebuah kapal diberi muatan barang-barang, penuh dengan barang-barang dan beban. Kapal tersebut mengarungi samuedera. Gelombangnya kecil, anginnya tenang. Akan tetapi setelah kapal sampai di tengah tiba-tiba terjadi badai besar. Anehnya kapal terus berlayar dengan tenang sehingga tiba di tujuan sesuai renana tanpa goncangan dan berbelok arah, padahal tak ada nahkoda yg mengemudikan dan mengendalikan jalannya kapal. Masuk akalkah cerita ini?”
Mereka berkata, “Tidak mungkin. Itu adalah sesuatu yg tidak bisa diterima oleh akal, bahkan oleh khayal sekalipun, wahai Syaikh.”
Lalu Abu Hanifah berkata, “Subhanallah, kalian mengingkari adanya kapal yg berlayar sendiri tanpa pengemudi, namun kalian mengakui bahwa alam semesta yg terdiri dari lautan yg membentang, langit yg penuh bintang, dan benda-benda langit serta burung yg beterbangan tanpa adanya Pencipta yg sempurna penciptaan-Nya dan mengaturnya dengan cermat?! Celakalah kalian, lantas apa yg membuat kalian ingkar kepada Allah?”

Masyhur Imam Abu Hanifah pernah kasyaf (tersingkap mata batinnya). Saat berada di sekitar masjid, beliau melihat seorang pemuda berwudhu. Zaman dulu, wudhu dilakukan di kolam pinggir masjid.
Saat meciduk air dari kolah dan membasuh wajahnya, air bekas wudhu si pemuda itu kembali masuk ke dalam kolah.
Karena kasyaf, Abu Hanifah melihat dari bekas air yg mengalir dari wajah pemuda itu, bangkai anjing yg jatuh. Begitu dibasuh air lagi, jatuh rontok lagi bangkai anjing. Masuk ke dalam kolah besar itu.
Setelah selesai wudhu pemuda itu, Imam Abu Hanifah mendatanginya.
“Tinggalkanlah dosa yg kamu lakukan!”
Pemuda tersebut terkejut bukan main. Mana mungkin Abu Hanifah mengerti perbuatannya sebelum ini. Setelah sadar, yg menyuruh itu sang Imam besar, dia bertanya,
“Bagaimana Engkau tahu aku telah melakukan perbuatan tidak benar?”
“Aku melihat dari bekas air wudhunya berguguran bangkai² anjing,”.
Lain hari, imam Abu Hanifah menyaksikan seorang lelaki berwudhu di kolam yg sama. Dilihatnya dari bekas air wudhunya, ada bangkai² tikus yg berjatuhan. (Bisa jadi, dosanya lebih kecil).
Orang tersebut lantas diingatkan Abu Hanifah untuk bertobat.
Begitu seterusnya Sang Imam selalu melihat gambaran dosa orang lain yg rontok bersama aliran bekas air wudhu.
Karena itulah, Imam Abu Hanifah “berpendapat” tidak boleh berwudhu dengan air bekas wudhu. Seberapa pun banyaknya (lebih dari dua kulah). Tetap tak boleh, menurut beliau. Alasannya, bagaimana mungkin kita berwudhu dengan air yg bisa jadi di dalamnya sudah ada puluhan bahkan ratusan bangkai bekas dosa yg berjatuhan.
Karena itu, beliau berfatwa kalau wudhu sebaiknya “menciduk memakai gayung”. Atau menggunakan gentong air (padasan). Gentong air inilah yg banyak dipakai kemudian di beberapa masjid tua sebelum ada teknologi “keran air”.
Lama kelamaan, capek juga sang Imam, beliau sedih karena setiap hari harus melihat aib dan kesalahan orang lain. Beliau sadar bahwa melihat aib orang lain itu tidak baik. Akhirnya, beliau munajat pada Allah, memohon agar “keistimewaan” itu dihilangkan.
Begitulah, Abu Hanifah menghabiskan seluruh hidupnya untuk menyebarkan dienullah dengan kekuatan argumen yg dianugerahkan al-Khaliq kepadanya. Beliau menghadapi para penentang dengan argumentasi yg tepat.
Sebelum wafat ditemukan wasiat beliau yg berpesan agar dikebumikan di tanah yg baik, jauh dari segala tempat yg berstatus syubhat (tidak jelas) atau hasil ghashab.
Ketika wasiat tersebut terdengar oleh Khslifah al-Manshur beliau berkata, “Siapa lagi orang yg lebih bersih dari Abu Hanifah dalam hidup dan matinya.”
Di samping itu, beliau juga berpesan agar jenazahnya kelak dimandikan oleh al Hasan bin Imarah. Ibnu Imarah merupakan salah satu ar Rijal (perawi) dari hadist² jalur Ali bin Abi Tholib :
Rasulullah – Ali bin Abi Thalib – Al Harits bin ‘Abdullah – Amir bin Syarahil – Firas bin Yahya – Al Hasan bin ‘Imarah – “Sufyan bin ‘Uyainah” (Sufyan bin ‘Uyainah merupakan salah satu guru Imam Syafei).
Setelah melaksanakan pesannya, Ibnu Imarah berkata, “Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati Anda wahai Abu Hanifah, semoga Allah mengampuni dosa-dosa Anda karena jasa-jasa yg telah Anda kerjakan, sungguh Anda tidak pernah putus shaum selama tiga puluh tahun, tidak berbantal ketika tidur selama empat puluh tahun, dan kepergian Anda akan membuat lesu para fuqaha setelah Anda.”
Abu Hanifah an-Nu’man bin Tsabit lahir di Kufah, Irak pada 80 H meninggal di Baghdad, Irak, 150 H. Pada tahun wafatnya Imam Abu Hanifah bertepatan dengan lahirnya imam Syafe’i.
(Tarikh as Shalafus Shalih).
والله اعلم

Leave a comment