Bakat dan kejeniusan bukanlah kunci utama meraih sukses, apa pun bidang yang ia tekuni. Baik dalam dunia olah-raga, seni, bisnis maupun intelektual, kunci paling pokok untuk meraih sukses bukan bakat besar maupun kejeniusan. Bukan pula keterampilan melakukan hal-hal yang dianggap luar biasa oleh orang pada umumnya. Banyak pebisnis sukses maupun intelektual yang IQ-nya rata-rata. Bukan superior, apalagi jenius. Bahkan ada yang IQ-nya sedikit di bawah rata-rata, tetapi ia memiliki ketahanan mental yang luar biasa untuk belajar dan menghadapi berbagai kesulitan, termasuk hambatan fisik. Sebagian kesulitan bisa terasa lebih ringan karena berubahnya persepsi, tetapi hambatan fisik memerlukan ketahanan untuk menanggung rasa sakit.
Sebagian orang sukses memang memiliki tingkat kecerdasan di atas rata-rata. Ia benar-benar memiliki kemampuan intelektual yang bagus, bukan sekedar mampu mempertunjukkan kebolehan yang bersifat langka. Tetapi harus dicatat bahwa mereka meraih sukses itu melalui kerja keras yang luar biasa hebat dalam belajar. Mereka gigih belajar dan berlatih tatkala orang lain sudah terlelap. Kisah sukses Imam Syafi’i rahimahullah misalnya, bukan terutama soal kecerdasan, tetapi berkait erat dengan kemauan belajar yang luar biasa sekaligus kesanggupan untuk menghadapi kesulitan. Ini menjadikan seorang Imam Syafi’i yang ketika itu masih kanak-kanak, mampu bertahan untuk menyimak pelajaran dari luar kelas disebabkan ia tidak memiliki kemampuan ekonomi untuk belajar di kelas sebagaimana anak-anak lain. Kisah Imam Bukhari mencari sebuah hadis adalah contoh lain tentang betapa berharganya kesediaan untuk menderita demi meraih apa yang diyakininya berharga. Ia rela menempuh perjalanan panjang yang sulit hanya untuk memperoleh sebuah hadis, meskipun hadis itu akhirnya tidak ia perhitungkan karena ternyata lemah.
Kisah Imam Bukhari tentu saja tidak terdapat di buku Talent Is Overrated. Saya hadirkan kisah ini karena lebih akrab dengan kita. Selebihnya banyak kisah sejenis yang bisa kita temukan. Tetapi apa pun kisahnya, inti pesannya adalah kejeniusan bukan segala-galanya. Jenius bukan jaminan sukses. Apalagi bahagia.
Anda tentu masih ingat kisah Billy Sidis yang saya sampaikan di majalah ini. Nama lengkapnya William James Sidis, anak dari Prof. Dr. Boris Sidis, orang Yahudi yang sangat mengagumi William James –seorang ahli psikologi. Secara intelektual, Billy luar biasa cerdas. IQ-nya 200, jauh di atas Albert Einstein. Usia 5 tahun sudah mampu menulis karya ilmiah –bukan cerita anak-anak—tentang anatomi. Usia 11 tahun kuliah di Harvard University –universitas terkemuka dunia yang terkenal dengan orang-orang cerdasnya—dan pada usia 14 tahun telah memberi kuliah di universitas yang sama. Semua catatan ini mengukuhkan kehebatannya sebagai anak jenius! Benar-benar jenius dan memang memiliki kemampuan intelektual luar biasa. Bukan sekedar mampu mempertontonkan kemampuan yang dapat dengan mudah dilatihkan kepada setiap anak dalam waktu satu dua hari.
Pertanyaannya, apakah yang dapat diperoleh dari kejeniusannya? Sekali lagi, Billy sangat jenius. Benar-benar anak jenius yang sempurna. Tetapi kejeniusan itu tidak memberi manfaat apa-apa baginya. Perkembangan sosial, emosional dan komunikasinya tidak sejalan dengan kemampuan kognitifnya. Ia mampu berpikir rumit dan memecahkan masalah-masalah akademis, jauh melampaui anak-anak seusianya dan bahkan lebih unggul dibanding orang-orang dewasa. Tetapi ia tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. Ia juga mengalami hambatan emosional. Kemampuan intelektualnya yang luar biasa tidak mampu menolongnya untuk bisa berperilaku secara lebih dewasa sesuai usianya. Keasyikan Billy dengan dunianya membuat ia mengalami keterlambatan dalam perkembangan emosi dan perilaku. Inilah yang kemudian menjadi masalah besar dalam hidupnya sehingga ia memilih untuk menarik diri dari dunia intelektual, lalu bekerja sebagai tukang cuci piring di rumah makan sampai akhir hayatnya.
Jadi, sekedar jenius saja tidak cukup. Apalagi jika yang terjadi sesungguhnya bukan kejeniusan, melainkan perilaku yang mengesankan sebagai jenius (play acting as genius). Permainan kesan ini bisa muncul dari orang-orang yang memiliki kemampuan di atas rata-rata, bisa juga pada mereka yang biasa-biasa saja. Tidak sedikit perilaku yang dibentuk oleh orangtua atau orang dewasa lainnya pada anak, sehingga orang lain menganggap hebat. Sementara anak itu sendiri boleh jadi merasa dirinya hebat, boleh jadi mempunyai waham kebesaran (grandeur delusion) dan bisa juga anak sepenuhnya mengetahui bahwa ia tidak sehebat yang dilihat orang.
Banyak peristiwa dalam sejarah yang menunjukkan upaya untuk mengesankan diri atau anak sebagai jenius. Wolfgang Amadeus Mozart pernah menyatakan bahwa ia menggubah konserto sekali jadi. Tetapi kemudian diketahui bahwa ia bisa menyusun sebuah konserto bahkan dalam waktu bertahun-tahun. Bukan cuma setahun. Apalagi sekali jadi. Hanya saja ia berlatih keras dan pada waktu yang tepat ia seperti memperoleh ilham, lalu mempertunjukkan karya “sekali jadi” yang sudah ia susun bertahun-tahun itu.
Miguel Najdorf, grand master catur Argentina keturunan Polandia, bermain catur dengan mata tertutup (blindfolded chess) secara simultan sebanyak 45 kali. Ia ingin menunjukkan sebagai orang jenius yang memiliki daya ingat sempurna. Ini terjadi tahun 1947 –jauh sebelum saya lahir. Sebelum itu, master dari Czech, Richard Réti juga melakukan permainan catur dengan mata tertutup (blindfolded) secara simultan sebanyak 29 kali. Ia mengklaim dirinya sebagai orang yang memiliki daya ingat sempurna. Tetapi di akhir pertandingan, ia lupa membawa pulang kopernya.
Lebih penting dari itu semua, mereka tidak mampu menunjukkan kejeniusan tatkala diuji secara sistematis. Mereka mempertunjukkan kemampuan sebagai pembuktian (proofing) atas “kejeniusan” mereka. Tetapi mereka tidak mampu memberi bukti yang dapat diuji (evidences).
Ini
sama seperti anggapan bahwa musik menjadikan anak jenius. Tak ada bukti yang secara utuh mampu menunjukkan. Yang ada hanyalah, memperdengarkan musik saat belajar menjadikan emosi anak aktif. Tetapi ini tidak serta-merta menjadikan anak lebih cerdas. Begitu pula memperdengarkan musik klasik pada bayi. Menukil dari Alex Ross, Colvin menulis, “Orangtua yang ambisius dan sekarang ini sedang mempertontonkan video “Baby Mozart” kepada bayinya bisa kecewa tatkala mempelajari bahwa Mozart menjadi Mozart karena kerja keras yang luar biasa.”
(Mohammad Fauzil Adhim)
dari sebuah forum
Kalau begitu, kelas percepatan yang ada di sekolah2 saat ini sepertinya perlu dikaji ulang. Saya melihat teman2 yang begitu keluar dari kelas percepatan justru menjadi tidak siap bertemu dengan keadaan seperti yang dirasakan Billy Sidis. Ada beberapa di antara mereka yang akademisnya terganggu bukan karena masalah intelektual melainkan emosi.
LikeLike
saya setuju sekali….
LikeLike