GAGALKAH INI?


“Orang mukmin yang berbaur dengan masyarakat dan bersabar dari perbuatan buruk mereka, itu lebih baik daripada orang mukmin yang tidak berbaur dengan masyarakat dan tidak bersabar dari perbuatan mereka” (HR. Ibnu Majah)

Berbicara tentang kegagalan, setiap kita mungkin saja pernah merasakan gagal di jalan dakwah ini. Dan hadits ini, seolah menjadi obat bagi kita, seolah memberikan pelajaran saat kita menghadapi kesulitan atau kekecewaan di jalan ini. Bahwa sebuah amal pastilah mengandung resiko, termasuk resiko beramal adalah menghadapi kegagalan.

Kegagalan harus menjadikan kita lebih dewasa dan matang, lebih memiliki peta terhadap kekurangan dan kelebihan masing-masing, lebih membuat kita dekat dengan Allah swt, lebih tunduk dan luruh di hadapan Allah swt. Itu artinya, kita akan semakin mengenal kapasitas diri, dan semuanya itu adalah kebaikan. Bahkan kegagalan secara lahir, belum tentu juga kegagalan secara makna yang sesungguhnya.

Lihatlah bagaimana Nabi Zakaria dan Nabi Yahya –‘alaihimassalam-, dimana keduanya dibunuh oleh kaumnnya. Lalu, layakkah kita mempertanyakan :
“Apakah terjadi kekeliruan mendasar yang dilakukan oleh dua nabi Allah itu sehingga Allah swt “membiarkan” dua rasul-Nya dibunuh dengan sangat keji oleh kaumnya?”

Lihatlah bagaimana gigihnya nabiyullah Nuh ‘alaihissalam, hingga beliau berdoa
“Robbi inni da’autu qaumi lailan wa naharo”
“Rabbi … sungguh aku telah mendakwahi kaumku malam dan siang … “
namun hanya sedikit dari kaumnya yg mengikuti dakwahnya.

Di masa Rasulullah …
3 panglima islam gugur dalam peperangan mut’ah (tahun 6H) yaitu Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib dan Abdullah bin Rawahah. Sisa pasukan dibawa pulang secara rahasia oleh Khalid bin Walid ke Madinah dan hampir semua sahabat mengatakan mereka yang pulang adalah pasukan yang “Faraarun” … orang-orang yang lari dari medan laga. Artinya menurut mereka … mereka adalah orang-orang yang “gagal”

Di masa Mu’awiyah …
Konstantinopel dikepung oleh generasi khaoirul quruun (sebaik-baik zaman) selama 2 tahun dan kota itu tidak takluk, apalagi jatuh. Setelah muawiyah wafat, setelah 2 tahun, pengepungan dihentikan dan pasukan ditarik tanpa hasil, dalam artian “gagal” menjatuhkan kota tersebut.

********

Ternyata …
Memang tidak ada kegagalan selama kita bekerja, beramal dan melangkahkan kaki di jalan ini. Karena ukuran kegagalan tidak diukur dari bagaimana hasil dari serangkaian usaha dan juang kita di sini. Neraca kegagalan tak pernah diukur dari apakah usaha kita menghasilkan prestasi yang dibanggakan dalam ukuran manusia dan keduniaannya. Gagal dan berhasilnya kita, semata ada pada penilaian Allah swt atas apa yang telah kita persembahkan untukNya di sini, di jalan ini.

Berusahalah untuk tidak tenggelam dalam obsesi yang terlalu tinggi dan tidak over optimis hingga membuat kita kurang jeli melihat dan menilai sesuatu. Beri ruang pragmatis untuk kegagalan yang mungkin terjadi. Siapkan plan A, plan B, plan C dll.

Pengalaman kita di jalan ini menunjukkan, sebuah optimisme berlebih justru membantu adanya sikap ujub dan takabbur dan di sisi lain meminimalisir sikap tawadlu’ dan tawakkal, padahal sikap sombong adalah pertanda tidak akan memperoleh taufiq dari Allah swt

Ustadz Joen Forum Sholahuddin

Leave a comment