PERANG SABIL versus PERANG SALIB Ummat Islam Indonesia Melawan Penjajah Kristen Portugis dan Belanda


PERANG SABIL versus PERANG SALIB

Ummat Islam Melawan Penjajah Kristen Portugis dan Belanda

Oleh: ABDUL QADIR DJAELANI

Anggota DPR RI

Penerbit:

YAYASAN PENGKAJIAN ISLAM MADINAH AL-MUNAWWARAH

Jakarta 1420 H / 1999 M

———————————————————————————————————-

DAFTAR ISI

Pendahuluan

Perang Maluku

Perang Makassar

Perang Banten

Perang Jawa

Perang Padri

Perang Banjar

Perang Aceh

Penutup

———————————————————————————————————-

PENDAHULUAN

Datangnya Portugis dan Belanda ke Indonesia, selain untuk menjajah juga untuk

mengkristenkan umat Islam Indonesia. Kedua tujuan tersebut dilaksanakan dalam ruang

lingkup Perang Salib yang tidak pernah padam dalam dada umat Kristen Barat.

Kesimpulan ini berasal dari data yang tertera di bawah ini:

a. Th. Muller Kruger, guru besar Sekolah Tinggi Kristen di Jakarta, pernah menulis

antara lain:

Tentulah orang-orang Portugis ini bukan saja ingin untuk menemukan negeri-negeri

lain, melainkan mereka ingin pula menaklukkan negeri-negeri tersebut, serta mencari

kekayaan dunia. Tetapi tak dapat disangkal bahwa yang mendorong mereka ialah

“hasrat untuk mengkristenkan daerah-daerah yang ditemukan dan ditaklukannya itu”.

Tiada percuma pada layar-layar kapal mereka tertera “tanda salib”. Mereka hendak

menenamkan salib di tengah-tengah bangsa kafir, bahkan dapat juga dikatakan bahwa

merupakan semacam “perang salib” apa yang mereka lakukan. Perang Salib yang

penghabisan tidak mengikuti lagi jalan-jalan yang semula. Sekarang “musuh Islam” ini

diserang dari belakang; maksudnya untuk memotong dari sumber penghidupannya.

Penyebaran Injil sudah menjadi tujuan yang utama, bukannya sebagai pekerjaan

sambil lalu saja, sebagaimana halnya dengan usaha-usaha bangsa Belanda dan

Inggris kemudiannya.1

b. d’Albuquerque, komandan Portugis tatkala menaklukkan Malaka pada tahun 1511,

yang pada saat itu dikuasai oleh kerajaan Islam, Sultan Mahmud Syah. Setelah

[top]

membakar semua kapal-kapal umat Islam, d’Albuquerque berpidato di depan

pasukannya, antara lain:

Jasa yang akan kita berikan pada Tuhan dengan mengusir orang Moor (Islam Arab)

dari negeri ini, adalah memadamkan api dari agama Muhammad, sehingga api itu

tidak akan menyebar lagi sesudah ini saya yakin benar, jika kita rampas perdagangan

Malaka ini dan mereka (umat Islam) Kairo dan Mekah akan hancur.2

Karena misi utama kedatangan Portugis dan Belanda ke Indonesia untuk melanjutkan

perang salib terhadap umat Islam Indonesia, maka perlawanan umat Islam seperti

Perang Padri, Perang Jawa, Perang Banjar, Perang Aceh, dan lain-lain adalah PERANG

SABIL, dimana panji-panji Islam menjadi lambang perjuangan. Demikian ungkap W.F.

Wartheim

Bogor, 5 Jumadil Awal 1420 H / 20 Agustus 1999 M

Catatan kaki:

1Th. Muller Kruger, Sejarah Gereja di Indonesia; BPK, Jakarta, 1959, hal. 18-19.

2Hamid Algadri; C. Snouck Hugronye, Politik Belanda Terhadap Islam dan Arab; Sinar

Harapan, Jakarta, 1984, hal. 76-77.

———————————————————————————————————-

PERANG MALUKU

Konfrontasi umat Islam dengan penjajah Portugis-Kristen tidak hanya terjadi di Jawa

dan Sumatera, tetapi juga terjadi di Maluku.Seperti telah diungkapkan di muka bahwa

kedatangan Portugis ke Maluku bersamaan waktunya dengan kedatangan Spanyol yaitu

pada tahun 1521. Kedatangan Portugis Kristen ke Maluku, semula disambut baik oleh

kedua kesultanan Islam di Tidore di bawah pimpinan Sultan Mansur dan di Ternate di

bawah pimpinan Sultan Khairun.

Kedatangan Portugis-Kristen bukan saja bermaksud untuk memonopoli perdagangan

rempah-rempah seperti cengkeh dan pala, tetapi juga bertujuan untuk mengkristenkan

umat Islam Maluku. sebab pada tahun 1546 rombongan missi Kristen Katholik di

bawah pimpinan. propagandis terkenal Franciscus Xaverius telah turut terjun

mengkristenkan umat Islam di Maluku. Methoda yang dilakukan, bukan saja dengan

da’wah tetapi lebih banyak dengan jalan paksaan, melalui kekerasan militer dan senjata

sebagaimana dilakukan di Spanyol pada akhir abad-ke-15.

Perjanjian persahabatan dan dagang antara Sultan Khairun dengan gubernur PortugisKristen de Mesquita yang ;di tanda-tangani pada tahun 1564, dianggap seolah-olah

Sultan Khairun itu di bawah jajahan Portugis-Kristen. Pada suatu kali Sultan Khairun

ditangkap oleh Gubernur de Mesquita dan dibawa ke Goa, pusat jajahan PortugisKristen di Timur.

Dari Goa sultan di bawa ke portugal di Eropa. Di dalam pertemuan antara Raja Portugis

dengan Sultan Khairun berjalan tidak seimbang, sehingga keputusan yang diambil

sangat menguntungkan Portugis-Kristen. Persetujuan perjanjian yang diperbaharui itu

menyebutkan bahwa hak-hak sultan sebagaimana biasa diakui, tetapi Portugis-Kristen

berhak memonopoli perdagangan rempah-rempah di Ternate dan usaha misi Kristen-

Katholik untuk kristenisasi tidak boleh dihalang-halangi oleh sultan. Dan jika terjadi

perselisihan antara sultan dengan gubernur Portugis-Kristen, maka raja Portugislah yang

berhak menyelesaikannya.

Perjanjian yang sangat merugikan ini, mengakibatkan posisi kesultanan Ternate makin

terjepit, apalagi sultan-sultan Tidore, Jailolo (Gilolo) dan Bacan boleh dikatakan telah

kehilangan kekuasaannya. Tidore semenjak meninggalnya Sultan Mansur praktis telah

kehilangan kedaulatan; Sultan Bacan telah dipaksa memeluk agama Kristen dan Jailolo

telah sepenuhnya dikuasai Portugis-Kristen. Melihat kondisi seperti itu, tinggal Sultan

Khairun masih berdiri tegak menghadapi penjajah Portugis-Kristen.

Baru saja satu tahun perjanjian Sultan Khairun dengan Raja Portugis-Kristen berjalan,

ternyata Gubernur de Mesquita sebagai pelaksana perjanjian itu telah menganggap

bahwa kesultanan Ternate sebagai daerah jajahannya saja. Akhirnya Sultan Khairun

kehilangan kesabarannya dan membatalkan secara sepihak perjanjian tersebut serta

sekaligus menyatakan perang kepada Portugis-Kristen. Keputusan ini dilanjutkan

dengan tindakan militer yaitu pasukan tentera Islam diperintahkan mengusir semua

orang Kristen, baik Portugis maupun penduduk asli, dari kekuasaan Sultan Ternate.

Pelaksanaan perintah ini menimbulkan pertempuran, yang mengakibatkan beratus-ratus

missionaris dan umat Kristen mati terbunuh dan beribu-ribu orang Kristen yang sempat

melarikan diri ke Ambon dan Mindanao.

Peristiwa ini menimbulkan kemarahan Gubernur de Mesquita dan pimpinan missionaris,

sehingga cepat-cepat meminta bantuan dari Malaka dan Goa. Datangnya tentara

Portugis-Kristen dari Malaka dan Goa, tidak menyebabkan pasukan tentera Islam di

bawah pimpinan Sultan Khairun menjadi gentar, bahkan menumbuhkan semangat untuk

mati syahid di medan pertempuran, pertempuran yang gagah-perkasa dari pasukan

tentara Islam Ternate ini, mengakibatkan kerugian yang besar bagi pasukan tentara

Portugis-Kristen. Oleh karena itu Portugis-Kristen yang licik ini, cepat-cepat mengajak

damai.

Ajakan damai diterima oleh Sultan Khairun dengan syarat bahwa semua pemeluk

Kristen harus keluar dari Ternate sekaligus dan tidak boleh ada lagi kegiatan

Kristenisasi di Ternate. Perjanjian perdamaian dan persahabatan ditanda-tangani lagi

antara Sultan Khairun dengan Gubernur de Masquita, dengan masing-masing

memegang Kitab Suci, A1 Qur’an bagi Sultan Khairun dan Injil bagi Gubernur de

Masquita. Kemudian atas inisiatif Gubernur de Masquita akan diselenggarakan resepsi

peresmian perjanjian perdamaian itu di kediaman gubernur sendiri.

Di saat resepsi berlangsung, di mana Sultan Khairun dengan rombongannya duduk

berhadap-hadapan dengan gubernur de Masquita, tiba-tiba seorang pengawal dari

tentara Portugis-Kristen telah menikam Sultan dari belakang, akibatnya terjadi

perkelahian berdarah, sehingga sultan dan sebagian dari rombongannya meninggal

dunia, hanya sebagian kecil yang dapat menyelamatkan diri dan pulang ke Ternate.

Pengkhianatan ini terjadi pada 28 Februari 1570.

Peristiwa ini sepenuhnya dilaporkan kepada Pangeran Babullah, putera Sultan Khairun,

di Ternate. Pengkhianatan keji Portugis-Kristen ini menimbulkan amarah umat Islam di

Ternate, dan secepat mungkin mengangkat Pangeran Babullah menjadi Sultan Ternate

menggantikan ayahnya. Dalam pelantikan Sultan Babullah menyentakkan pedang

pusaka ayahnya dan meminta sumpah-setia dari rakyatnya untuk berperang dengan

Portugis-Kristen, sampai Portugis-Kristen terusir dari Ternate dan tuntutan bela atas

[top]

kematian ayahnya terlaksana, semua rakyat yang hadir dalam upacara pelantikan sultan

ini, menyatakan kesetiaannya dengan Penuh ruhul jihad dan mati syahid.

Pasukan tentara Islam dibawah pimpinan Sultan Babullah sendiri bergerak menuju

kedua jurusan: satu pasukan tentara Islam dikirim untuk menghancurkan benteng

pertahanan Portugis-Kristen di Ternete dan satu pasukan tentara Islam lainnya

ditugaskan untuk menghancurkan benteng Portugis-Kristen di Ambon. Raja Bacan yang

telah menjadi pemeluk Kristen sepenuhnya memberi bantuan kepada Portugis-Kristen,

sedangkan Sultan Tidore menyokong tentara Islam Ternate.

Pertempuran dahsyat tak terhindar, sehingga korban di kedua belah-pihak banyak yang

berguguran. Berkat semangat mati syahid yang dimiliki oleh pasukan Sultan Ternate,

maka akhirnya benteng pertahanan Portugis Kristen di Ambon berhasil dibakar,

sehingga hanya sebagian kecil pasukan Portugis-Kristen dapat menyelamatkan diri dan

terus ke Malaka. Tinggallah para pemeluk Kristen di Ambon menjadi panik dan cemas,

khawatir disembelih oleh tentara Islam Ternate. Tetapi begitu pasukan tentara Islam

tiba, dengan tegas mereka menyatakan bahwa umat Kristen Ambon akan diampuni dan

tidak akan dipaksa masuk agama Islam, asal mengakui tunduk kepada kekuasaan Sultan

Babullah. Yang dikejar dan harus dibunuh adalah penjajah Portugis-Kristen sebagai

pengkhianat yang keji.

Walau benteng pertahanan Portugis-Kristen Ambon telah ditaklukkan, tetapi benteng

pertahanan Portugis-Kristen di Ternate sendiri masih mampu bertahan selama lima

tahun lamanya. Benteng pertahanan Portugis-Kristen di Ternate yang terkurung selama

lima tahun lamanya dan bantuan dari tentara Portugis-Kristen yang didatangkan dari

Malaka dan Goa tidak mampu menembus blokade pasukan Sultan Ternate, akibatnya

timbul kelaparan dan penyakit yang melanda pasukan Portugis-Kristen yang terkurung

itu. Dan alternatif satu-satunya tidak lain adalah menyerah kalah kepada tentara Islam

Ternate.

Mendengar penderitaan dan kesengsaraan yang diderita oleh tentara Portugis-Kristen di

dalam benteng yang terkurung itu maka Sultan Babullah mengirim utusannya kepada

mereka yang terkurung di dalam benteng untuk menerima usul Sultan. Isi usul atau

tawaran Sultan itu antara lain berbunyi: “Apabila orang-orang Portugis mau mengakui

kekalahannya dalam 24 jam ini, Sultan bersedia memberi izin tentara Portugis-Kristen

meninggalkan benteng itu dengan senjatanya sekaligus dan terus berangkat ke Malaka

atau tempat lain. Bahkan jika bangsa Portugis-Kristen bersedia menyerahkan hiduphidup Gubernur de Masquita ke tangan Sultan, untuk menjalankan hukum “qishas”,

maka sultan bersedia untuk melakukan perjanjian persahabatan kembali dengan

Portugis-Kristen, dengan tidak mengurangi kedaulatan Sultan Ternate atas negeri dan

rakyatnya.

Akhirnya pada akhir tahun 1575 tentara Portugis-Kristen menyerah kepada Sultan

Babullah, dan berkibarlah bendera pemerintahan Islam di benteng tersebut untuk

selama-lamanya, menggantikan bendera Portugis-Kristen.

———————————————————————————————————-

PERANG MAKASSAR

Apabila suasana yang agak tenang setelah “perang laut” dipergunakan oleh Sultan

Agung Mataram untuk menaklukkan Giri, maka Belanda menggunakan suasana ini

untuk menaklukkan Kesultanan Hasanuddin di Makasar. Konfrontasi antara kekuasaan

Hasanuddin dengan Belanda telah berjalan agak lama, yaitu sejak Hasanuddin mampu

menyatukan semua sultan-sultan Makasar dan Bugis di bawah satu panji-panji Islam.

Kesatuan ini menumbuhkan kekuatan yang dapat menyaingi kekuatan Belanda di laut

Jawa dan bahkan di laut Maluku dalam perdagangan rempah-rempah.

Konfrontasi Belanda-Hasanuddin menyulut perang terbuka di antara kedua kekuatan

tersebut. Pada tahun 1633, Belanda mengepung pelabuhan Makasar dengan jalan

blokade dan sabotase, tetapi sia-sia. Sebab kekuatan pasukan Sultan Hasanuddin mampu

mendobrak blokade itu dan mematahkan semua sabotase yang dilakukan Belanda.

Kegagalan ini mendorong pihak Belanda mengadakan damai dengan Sultan.

Kemudian pada tahnn 1654 sekali lagi Belanda-Kristen mengerahkan armadanya yang

besar untuk menyerang Makasar. Pertempuran berkobar dengan dahsyat, tetapi berkat

keberanian tentara Islam Hasanuddin berhasil memukul mundur dan memporakperandakan armada Belanda-Kristen. Dan untuk kesekian kalinya Belanda mengajak

damai dengan Sultan.

Dari kegagalan penyerangan yang kedua ini, Belanda mempelajari dengan sungguhsungguh tentang kondisi psikologis dan politik Kesultanan Hasanuddin. Akhirnya

didapatkan bahwa kekuasaan Sultan Hasanuddin Makasar sangat tidak disenangi oleh

sultan-sultan bawahannya dari Bugis. Ketidak-senangan ini dipergunakan sebaikbaiknya oleh Belanda dengan jalan mengundang Aru Palaka, Sultan Bugis di Bone

untuk datang ke Batavia dalam rangka kerjasama, politik dan militer. Pertemuan antara

Aru Palaka dengan Gubernur Jenderal Brouwer menghasilkan perjanjian kerjasama

politik-militer, yaitu Aru Palaka dan Belanda akan bersama-sama menyerang Makasar;

dan jika serangan ini berhasil mengalahkan Makasar, maka Aru Palaka akan diangkat

menjadi Sultan Bugis di Bone secara penuh dan bersahabat hanya dengan Belanda.

Pada tahun 1666 armada laut Belanda yang berkekuatan 20 buah kapal dengan prajurit

600 orang, dibawah pimpinan Laksamana Cornelis Speelman menyerang pasukan

Makasar dari laut dan pasukan Aru Palaka Bone yang dipersenjatai oleh Belanda

menyerang dari arah darat melalui Sopeng. Menghadapi serangan dari dua jurusan

pasukan Sultan Hasanuddin bertekad bulat untuk mati syahid, mempertahankan Islam

dan kehormatan kaum muslimin. Pertempuran dahsyat terjadi, perang tanding antara

pasukan Makasar dengan pasukan Aru Palaka berjalan sangat mengerikan dan pasukan

Belanda secara gencar menembakkan meriam-meriamnya dari laut, sehingga korban

berjatuhan tak terhingga banyaknya, terutama di pihak pasukan Makasar.

Dalam kondisi yang demikian, Sultan Hasanuddin mengundurkan pasukannya sambil

melakukan konsolidasi yang lebih baik. Setelah konsolidasi dilakukan, pertempuran

dimulai lagi dengan penuh semangat mati syahid. Tetapi karena kekuatan tak seimbang,

baik dalam bentuk jumlah pasukan maupun persenjataan, akhirnya pada tahun 1667

menyerahlah Sultan Hasanuddin. Penyerahan Sultan ini tertuang dalam “Perjanjian

Bongaya”. Dalam isi perjanjian ini disebutkan bahwa daerah-daerah taklukan Sultan

Hasanuddin seperti Ternate, Sumbawa dan Buton kepada Belanda. Aru Palaka menjadi

Sultan di Bone dengan daerah yang lebih luas dan senantiasa dalam perlindungan

Belanda. Sedangkan Sultan Hasanuddin hanya memperoleh daerah Goa dan kota

Makasar saja.

Kekalahan Makasar ini, mengakibatkan banyak di antara para pejuang dan panglima

pasukan Sultan Hasanuddin ini yang berhijrah ke Jawa, seperti Kraeng Galesung dengan

pasukannya yang menggabungkan diri dengan Trunojoyo di Jawa Timur dan sebagian

[top]

lagi dibawah seorang ulama besar Syekh Yusuf menggabungkan diri dengan pasukan

Sultan Ageng Tirtayasa di Banten dalam melawan Belanda.

———————————————————————————————————-

PERANG BANTEN

Kemenangannya dengan Sultan Hasanuddin pada tahun 1667, membawa tekad yang

lebih besar bagi Belanda untuk menundukkan Banten di bawah pimpinan Sultan Ageng

Tirtayasa. Strategi ini ditempuh, pertama, karena Banten adalah kekuasaan pemerintah

Islam yang paling dekat dengan Batavia, dan senantiasa bisa mengancam keamanan dan

ketenteraman Belanda di pusat pemerintahannya di Batavia. Kedua, Belanda telah

mengadakan perjanjian damai dengan pemerintahan Mataram di bawah pimpinan Sultan

Amangkurat I, putera Sultan Agung.

Sebelum konfrontasi bersenjata antara Belanda dengan Banten dibicarakan, sebaiknya

diketahui tentang kondisi pemerintahan Islam di bawah pimpinan Sultan Ageng

Tirtayasa. Ia naik tahta kesultanan Banten pada tahun 1651, menggantikan ayahnya

Sultan Abul Fath. Sejak kepemimpinannya, Banten telah naik kembali harkat dan

martabatnya, sehingga kehidupan ekonomi berjalan sangat baik, pelabuhan Banten

ramai dikunjungi oleh kapal-kapal dagang dari Philipina, Jepang, Cina, India, Persia dan

Arab. Islamisasi berjalan dengan sangat mantap, berkat kehadiran seorang ulama besar

dari Makasar yang bernama Syeikh Yusuf. Perannya yang besar, dalam peningkatan

Islamisasi di Banten; menyebabkan ia diambil menjadi menantu oleh Sultan.

Setelah sepuluh tahun memerintah dengan sukses, Sultan mencoba menyiapkan

penggantinya yaitu puteranya Pangeran Ratu untuk memegang kekuasaan di dalam

negeri.

Untuk meningkatkan komunikasi dengan dunia Islam, Sultan pada tahun 1674 telah

mengutus puteranya Pangeran Ratu atau dengan sebutan Sultan Abu Nashr Abdul

Qahhar untuk melawat ke dunia Islam dan sekaligus naik Haji ke Mekah. Perjalanan ini

memakan waktu kurang lebih dua tahun.

Sekembalinya dari perlawatannya, ia diberikan kembali jabatan sebagai Sultan Muda,

yang memerintah dalam negeri Banten, dengan sebutan Sultan Haji. Pergaulannya

dengan para pejabat dan pengusaha Belanda yang mempunyai loji di Banten

mempengaruhi pandangan hidupnya. Apalagi setelah diketahui bahwa adiknya pangeran

Purbaya, yang mempunyai watak dan akhlaq menyerupai ayahnya dan lebih disenangi

oleh para bangsawan Banten, menumbuhkan rasa kecurigaan, jika pengganti ayahnya

itu akan beralih kepada adiknya. Perasaan kecurigaan dan ambisinya yang cepat

menjadi sultan penuh, mendapat tanggapan positif oleh Belanda, yang sehari-harinya

banyak bergaul dengan Sultan Haji. Persekutuan atau lebih tepat persekongkolan antara

Sultan Haji dengan Belanda untuk menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa dan Pangeran

Purbaya berjalan dengan rapi.

Peristiwa perompakan atau pembajakan kapal milik Banten yang pulang dari Jawa

Timur oleh kapal-kapal Belanda, menimbulkam amarah Sultan Ageng Tirtayasa,

sehingga ia menyatakan perang kepada Belanda. Kebijaksanaan ini ditentang keras oleh

anaknya Sultan Haji. Bahkan atas bantuan Belanda pada tanggal 1 Maret 1680, Sultan

Haji menurunkan ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa dari kesultanan dan mengangkat

dirinya menjadi Sultan Banten.

Tindakan pemecatan Sultan Ageng Tirtayasa menimbulkan reaksi besar dari para

bangsawan Banten di bawah pimpinan Pangeran Purbaya dan para ulama dan rakyat di

bawah pimpinan Syeikh Yusuf. Secara spontan rakyat Banten tidak mengakui

kepemimpinan Sultan Haji di Banten. Dan sebaliknya mereka berkumpul dihadapan

Sultan Ageng Tirtayasa untuk menyatakan kesetiaannya dan bersedia berperang untuk

menurunkan Sultan Haji dan Belanda-Kristen yang menjadi biang keladinya.

Pasukan Sultan Ageng Tirtayasa telah berhasil menguasai seluruh Banten, kecuali istana

Sultan Haji yang dikelilingi oleh benteng pertahanan yang kuat. Dalam situasi seperti

itu, sesuai dengan persekongkolannya dengan Belanda, Sultan Haji meminta bantuan

pasukan Belanda, yang berpangkalan tidak jauh dari pantai Banten. Dengan seketika itu

pula armada pasukan Belanda-Kristen di bawah pimpinan Laksamana De Saint Martin

pada tanggal 8 Maret 1680 mendarat di Banten. Untuk memperkuat pasukannya,

Belanda mengirimkan lagi satu armadanya di bawah pimpinan Laksamana Tak.

Pada tanggal 7 April 1680 pagi-pagi buta pasukan Sultan Ageng di bawah pimpinannya

langsung, didampingi oleh anaknya pangeran Purbaya dan menantunya Syeikh Yusuf

melakukan serangan umum yang mematikan, terhadap kehidupan Sultan Haji dan

pasukan Belanda. Dalam keadaan yang sangat kritis, Laksamana Saint Martin dan Tak

menyodorkan ‘surat perjanjian’ kepada Sultan Haji untuk ditanda-tangani, jika bantuan

pasukan Belanda diperlukan oleh Sultan. Untuk mempertahankan hidupnya dan

kekuasaannya, Sultan Haji menanda-tangani surat perjanjian yang sangat merugikan itu

untuk selama-lamanya.

Setelah perjanjian selesai ditanda-tangani, mulailah pertempuran dahsyat antara pasukan

Sultan Ageng Tirtayasa dengan pasukan Belanda meledak. Meriam-meriam besar milik

pasukan Belanda-Kristen dimuntahkan sebanyak-banyaknya ke tengah-tengah pasukan

Sultan Ageng Tirtayasa, sehingga menimbulkan korban yang banyak sekali, gugur

menjadi syuhada. Kekuatan senjata yang sangat tidak seimbang, mengakibatkan

pasukan Sultan Ageng mengalami kekalahan besar dan akhirnya ia, bersama

pasukannya mengundurkan diri ke istananya di Tirtayasa dekat Pontang.

Tetapi tidak lama kemudian pasukan Belanda mengejarnya dan mengepung kota

tersebut. Atas perintah Sultan Ageng, istana di bumi hanguskan, dan ia bersama

Pangeran Purbaya dan Syeikh Yusuf serta pasukannya mengundurkan diri ke pedalaman

dan membuat markasnya di Lebak (Rangkasbitung). Dari sini Sultan Ageng

melancarkan pertempurannya dengan Belanda selama hampir setahun. Tetapi kemudian

dalam pertempuran itu kerugian senantiasa diderita oleh pasukan sultan, bahkan Syeikh

Yusuf sendiri tertangkap.

Karena sudah tidak ada lagi kekuatan untuk melanjutkan peperangan, akhirnya pada

bulan Maret 1683, Sultan Ageng Tirtayasa menyerah dan ia ditawan oleh Belanda di

Batavia sampai wafatnya pada tahun 1695. Syeikh Yusuf yang ditangkap oleh Belanda

dibuang mula-mula ke Sailan (Ceylon), kemudian ke Afrika Selatan dan di sana ia

wafat, sedangkan Pangeran Purbaya meneruskan perjuangannya dengan bergerilya di

daerah Periangan, tetapi akhirnya juga menyerah.

Selanjutnya, isi perjanjian antara Belanda dengan Sultan Haji, yang ditanda-tangani

pada saat-saat genting itu berisi antara lain:

(a) Semua hamba-sahaya (budak) milik Belanda yang lari melindungi diri ke Banten,

wajib dikembalikan kepada Belanda;

(b) Orang-orang Belanda yang membelot ke Banten dan bekerja untuk kepentingan

Banten, seperti Cordeel, wajib diserahkan kepada Belanda;

(c) Banten tidak boleh turut campur tangan dalam masalah-masalah politik di Cirebon

dan daerah-daerah lain yang berada di bawah wewenang Mataram;

(d) Segala kerugian yang diakibatkan oleh bajak laut dan sabotase oleh Banten terhadap

milik Belanda, wajib ganti rugi dibayar oleh Banten;

(e) Orang-orang asing tidak dibenarkan untuk melakukan kegiatan ekonomi di Banten,

kecuali orang-orang Belanda.

Sultan Haji yang mengangkat dirinya menjadi sultan Banten sejak tanggal 1 Maret 1680

sampai wafatnya tahun 1687, pada hakekatnya telah menjadi bawahan Belanda-Kristen

dan menyerahkan Banten ke bawah telapak jajahan Belanda dengan menumpahkan

darah ayahnya dan saudara-saudaranya sendiri serta rakyat Banten.

Setelah Sultan Haji wafat pada tahun 1687, ia digantikan oleh puteranya dengan gelar

Abu Fadl Muhammad Yahya. Pada tahun 1690, baru tiga tahun ia bertahta, Sultan

Yahya wafat pula dan digantikan oleh adiknya Abu Mahasin Zainal Abidin. Gelar

sultan setelah kekuasaan Sultan Haji pada dasarnya hanya ‘sultan boneka Belanda’,

sebab yang berkuasa sebenarnya adalah Belanda.

Selanjutnya berdasarkan keputusan pemerintah Belanda di Nederland, pada tahun 1798

Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) yang didirikan sejak tahun 1606

dinyatakan bubar; segala hak-milik dan hutang-hutangnya seluruhnya diambil alih oleh

Pemerintah Belanda. Keputusan itu berlaku terhitung mulai tanggal 31 Desember 1799.

Selanjutnya daerah kekuasaan VOC di Indonesia dikuasai langsung oleh pemerintah

Belanda dengan jalan membentuk pemerintahan jajahan dengan nama ‘Nederlandsch

Indie’ (Hindia Belanda).

Dengan keputusan ini, secara resmi Indonesia merupakan daerah jajahan Belanda.

Untuk mengelola Hindia Belanda ini, maka pada tanggal 28 Januari 1807 Herman

Willem Daendels telah diangkat menjadi Gubernur Jenderal, yang mulai berlaku pada

hari keberangkatannya dari Nederland ke Indonesia yaitu pada tanggal 18 Februari

1807. Ia baru tiba di Indonesia pada tanggal 1 Januari 1808 dan pada tanggal 15 Januari

1808 timbang-terima dari Gubernur Jenderal Wiese sebagai pejabat tertinggi V OC

terakhir dengan Gubernur Jenderal H.W. Daendels sebagai penguasa tertinggi Hindia

Belanda dilangsungkan di Batavia.

H.W Daendels yang mempunyai tugas utama mengkonsolidir kekuatan militer Hindia

Belanda untuk menghadapi kemungkinan serangan Inggris, maka pekerjaan pertama

adalah membuat pelabuhan armada perang yang berpusat di ujung Kulon dan Merak,

Banten-Jawa Barat. Untuk melaksanakan proyek ini H.W Daendels telah mengerahkan

ribuan tenaga kerja paksa yang terdiri dari rakyat Banten. Kerja paksa (rodi) yang di

luar batas kemanusiaan mengakibatkan tidak kurang 1500 orang telah meninggal dunia.

Melihat nasib rakyat yang malang ini, Sultan Abdul Nasar dan Patih Wargadireja dari

Banten menolak untuk turut serta melanjutkan proyek tersebut dengan jalan tidak lagi

mau mengirimkan tenaga kerja ke sana. Penolakan sultan ini menimbulkan amarah

Gubernur Jenderal, sehingga ia mengirimkan pasukan militer untuk menangkap Patih

Wargadireja; yang dianggap sebagai pimpinan pembangkang, dan memerintahkan

sultan untuk memindahkan istananya ke Anyer serta harus mengirimkan setiap hari

1000 tenaga kerja paksa ke proyek-proyek Daendels.

Pasukan Belanda yang dikirimkan kepada sultan disergap oleh prajurit dan rakyat

Banten, kemudian dibunuh semuanya. Benteng Belanda yang ada di sekitar istana dan

pegawai-pegawai Belanda yang diperbantukan di istana sultan semuanya diserbu dan

dibunuh. Perlawanan terhadap tindakan sewenang-wenang penguasa kolonial Belanda

yang bersifat putus asa telah berkembang menjadi huru-hara yang menyulut seluruh

Banten.

Dalam menghadapi gerakan perlawanan Sultan Banten ini, H.W. Daendels telah

mengirimkan pasukan militer yang besar sekali dari Batavia. Ibukota kesultanan Banten

diserang habis-habisan dengan jalan pembunuhan massal dan perampokan harta milik

rakyat Banten yang seluruhnya dilakukan oleh pasukan Belanda. Patih Wargadireja

yang mati tertembak dalam pertempuran itu, jenazahnya dilemparkan ke laut oleh

tentara Belanda. Sultan Abdul Nasar ditangkap dan dibuang ke Ambon dan seluruh

daerah kesultanan dirampas, serta langsung dalam penguasaan Belanda dari Batavia.

Untuk basa-basi putera mahkota diangkat menjadi Sultan Banten dengan gelar Sultan

Muhammad Aliuddin, yang berkuasa atas sebagian kecil saja dari daerah kesultanan

Banten.

Kekejaman dan kebiadaban yang dilakukan oleh pasukan Belanda tidak menyebabkan

matinya ruhul jihad (semangat berjuang) untuk melawan setiap bentuk kezaliman dan

ketidak-adilan yang dilakukan oleh penjajah kafir Kristen. Di bawah pimpinan Pangeran

Ahmad kekuatan perlawanan rakyat disusun kembali dan kali ini bukan hanya rakyat

Banten tetapi juga dengan mengikut sertakan rakyat Lampung. Potensi rakyat besar

yang disertai dengan tekad mati syahid di medan pertempurann perlawanan rakyat

Banten-Lampung ini sulit untuk dapat ditumpas oleh Belanda-Kristen. Berulang kali

pasukan militer Belanda yang dikirimkan dari Batavia untuk menghadapi perlawanan

rakyat Banten-Lampung di bawah pimpinan Pangeran Ahmad senantiasa kandas dan

gagal.

Perlawanan rakyat Banten-Lampung tambah seru, setelah H.W. Daendels membuka

proyek jalan raya dari Anyer sampai Panarukan yang Panjangnya kurang lebih 1000

km, dengan tenaga kerja rodi. Para pekerja yang terdiri dari antara lain rakyat Banten

dalam proyek jalan raya Anyer-Panarukan itu, tak ubahnya bagaikan budak belian yang

pernah dijumpai dalam zaman Romawi kuno. Perlakuan kejam dan sadis oleh pasukan

Belanda-Kristen ini, yang memperpanjang proses perlawanan rakyat Banten-Lampung.

Walau akhirnya, perlawanan Pangeran Ahmad dengan rakyatnya bisa ditumpas oleh

Belanda.

Kekejaman dan kebiadaban penguasa kolonial Belanda yang dilakukan di Indonesia,

selain pandangan hidup yang dimiliki dari ajaran Kristen, yang menganggap umat Islam

adalah keturunan palsu-penyembah syaitan dan manusia setengah monyet, juga karena

dasar untuk mengatur pemerintahannya hanya berorientasi kepada kekuasaan tanpa

hukum. Sebab hukum kolonial zaman VOC berkuasa yang ada hanya di Batavia dengan

nama ‘Statuta Betawi’, yang berlaku untuk daerah ‘Bataviase Ommelanden’, dengan

batas-batasnya:

– sebelah barat yaitu sungai Cisadane;

– sebelah utara yaitu teluk Batavia;

– sebelah timur yaitu aungai Citarum;

– belah selatan yaitu samudera Hindia.

Kemudian bagi beberapa daerah para penguasa VOC mencoba mengadakan kodifikasi

dari hukum adat, untuk mengadili penduduk yang tunduk pada hukum adat, misalnya:

(a) Kodifikasi hukum adat Cina yang berlaku bagi orang-orang Cina yang tinggal di

sekitar pusat kekuasaan VOC;

(b) Kodifikasi pepakem Cirebon, dimaksudkan berlaku bagi penduduk bumi putera

(penduduk asli) di Cirebon dan sekitarnya;

(c) Kodifikasi Kitab Hukum Mogharraer yang berlaku bagi penduduk bumi putera di

Semarang dan sekitarnya;

(d) Kodifikasi hukum adat Bone dan Goa, yang berlaku bagi penduduk bumi putera

Bone dan Goa.

Dari fakta-fakta tentang hukum positif yang digambarkan di atas jelas bahwa penguasa

VOC sebagai penguasa kolonial dalam mengatur daerah jajahannya (Indonesia) dari

sejak tahun 1606 sampai dengan tahun 1798 semata-mata berdasarkan ‘kekuasaan’ dan

bukan berdasarkan hukum.

Begitu pula penguasa Hindia Belanda yang mewarisi Indonesia sebagai daerah jajahan

dari VOC tidak mendasarkan pemerintahannya dengan hukum, tetapi semata-mata

berdasarkan kepentingan kekuasaan. Sebab baru pada tanggal 16 Mei 1846 penguasa

Hindia Belanda melalui Keputusan Raja Belanda di Nederland telah mengeluarkan

pengumuman Pengaturan Baru Tata Hukum di Indonesia, yang dimuat di dalam STB

1847, No. 23.

Pada saat berlakunya ‘Tata Hukum Baru’ itu maka terhapuslah ketentuan Hukum

Belanda Kuno dan Hukum Romawi; demikian juga segala peraturan dengan nama

‘verordeningen, reglementen, publication, ordonansien, instruksien, plakkaten, statuten,

costumen; dan pada umumnya segala peraturan hukum, baik yang tertulis maupun yang

tidak tertulis, yang di Indonesia mempunyai kekuatan hukum, sepanjang tidak tegas dipertahankan untuk seluruh Indonesia atau sebagiannya.

Pada pasal 1 dari keputusan Raja Belanda itu, mengatur antara lain tentang:

(a) Ketentuan umum tentang perundang-undangan;

(b) Peraturan tentang susunan kehakiman dan kebijaksanaan pengadilan;

(c) Kitab Hukum Perdata;

(d) Kitab Hukum Dagang.

Sedangkan pengaturan tentang Hukum Pidana termuat dalam pasal 8 dari keputusan raja

tersebut di atas.

Tetapi penyusunan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru dapat

direalisasikan pada tahun 1886, di mana pada waktu itu negeri Belanda telah membuat

Kitab Undang-undang Hukum Pidana sendiri yang bernama ‘Nederlandsch Wetboek

van Strafrecht’.

Bagi Indonesia yang menjadi daerah jajahan Belanda dengan Hindia Belanda sebagai

penguasanya, waktu itu dibuatkan pula Kitab Undang-Undang Hukum Pidana guna

masing-masing golongan sendiri-sendiri, yaitu:

(a) Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie untuk golongan penduduk Eropa,

ditetapkan dengan Koninklijk Besluit tertanggal 10 Februari 1886; berisi mengenai

tindak kejahatan saja;

[top]

(b) Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie untuk golongan penduduk bumi

putera dan timur asing, ditetapkan dengan Ordonansi 6 Mei 1872, berisi hanya

mengenai tindak kejahatan saja;

(c) Algemeene Politie Strafreglement untuk golongan penduduk Eropa, ditetapkan

dengan Ordonansi tertanggal 15 Juni 1872, yang berisi hanya tentang tindak

pelanggaran saja;

(d) Algemeene Politie Strafreglement untuk golongan bumi putera dan timur asing,

ditetapkan dengan ordonansi tertanggal 15 Oktober 1915.

Uraian historis tentang hukum positif yang digunakan oleh penguasa kolonial Hindia

Belanda di Indonesia; baru secara formal diatur pada tahun 1846, yang pelaksanaannya

baru bisa dilaksanakan pada tahun 1886. Dengan demikian penguasa Hindia Belanda

yang mengambil-alih kekuasaan VOC pada tahun 1799 dan secara efektif baru berjalan

sejak Januari 1808, dengan Gubernur Jenderal Daendels sebagai penguasa tertingginya,

maka roda pemerintahan kolonial Belanda diatur semata-mata berdasarkan kekuasaan

sampai pada tahun 1886.

Oleh karena itu hukum dan peraturan yang berlaku di Indonesia selama hampir 100

tahun Hindia Belanda berkuasa, senantiasa tergantung pada selera dan keinginan

penguasa kolonial. Nilai benar dan salah, adil dan zalim, baik dan buruk seluruhnya

tergantung kepada pertimbangan akal dan hawa nafsu penguasa kolonial Belanda.

Kriteria mengenai benar dan salah, adil dan zalim, baik dan buruk sepenuhnya kembali

kepada benak dan perut penguasa kolonial Belanda. Dengan kata lain, hampir satu abad

penguasa Hindia Belanda berkuasa di Indonesia (dari 1799-1886) hukum yang berlaku

adalah hukum rimba.

Kekejaman dan kebiadaban yang pola contohnya telah diberikan oleh Gubernur

Jenderal Hindia Belanda H.W. Daendels adalah merupakan pola kekuasaan Hukum

rimba yang diwarisi turun-menurun oleh penguasa kolonial Belanda sampai mereka

angkat kaki dari Indonesia pada tahun 1949 penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada

Republik Indonesia.

Kekejaman dan kebiadaban yang tak terperikan itu, yang melahirkan perlawanan umat

Islam sepanjang masa, dalam periode kekuasaan kolonial Belanda.

———————————————————————————————————-

PERANG JAWA

Sebelum kita melangkah lebih jauh untuk membicarakan sekitar ‘Perang Jawa’,

sebaiknya kita berbicara serba sedikit tentang pelaku-pelaku utama dari perang Jawa

tersebut, untuk mendapat gambaran mengenai corak perang yang menggoncangkan

eksistensi kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia.

Pangeran Diponegoro, menurut Babad Diponegoro yang ditulisnya sendiri di Penjara

Menado, menceritakan bahwa ia sejak muda telah mengabdi pada agama, mengikuti

jejak dan hidup moyangnya yang sangat taat pada agama. Moyangnya itu tinggal di

Tegalrejo. Untuk menghindari diri dari pengaruh kraton Yogyakarta, ia tinggal bersama

neneknya di Tegalrejo.

Di tempat ini, selain memperdalam pengetahuannya tentang Islam, ia juga secara tekun

untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan syari’at Islam. Hal ini menyebabkan ia kurang

senang mengikuti kakeknya Sultan Yogyakarta dan karenanya jarang sekali datang di

kraton, kecuali pada waktu perayaan Grebeg, seperti perayaan Maulud Nabi

Muhammad SAW, Hari Raya Idul Fithri dan Idul Adha dimana kehadirannya

diharuskan.

Pada waktu ia berumur 20 tahun telah berhasrat hidup sebagai fakir (sufi), sehingga

seringkali keliling mengunjungi masjid, di mana ia dapat bergaul dengan para santri. Di

bagian lain dari bukunya itu, Diponegoro bercerita, ketika ia sedang berada di gua

Secang, ia dikunjungi oleh seorang berpakaian haji yang mengaku dirinya utusan Ratu

Adil, yang meminta pada Diponegoro untuk menemuinya di puncak gunung yang

bernama gunung Rasamani, seorang diri.

Diponegoro segera mengikuti utusan itu hingga sampai di puncak gunung. Di sana ia

berjumpa dengan Ratu Adil yang memakai serban (ikat kepala model Arab) hijau dan

jubah (pakaian khas Arab yang panjang dengan lengan tangan lebar pula) dari sutera;

dengan celana dari sutera juga. Ratu Adil mengatakan kepada Abdul Hamid

(Diponegoro) bahwa sebabnya ia memanggil Diponegoro adalah karena ia

mewajibkannya untuk memimpin prajuritnya untuk menaklukkan Pulau Jawa. Kalau

ada orang yang menanyakan padanya, kata Ratu Adil, “siapa yang memberi kuasa

padanya?” Diponegoro harus menjawab, bahwa: “yang memberi kuasa padanya adalah

Al-Qur’an”.

Di bagian lain Diponegoro menceritakan, bahwa pada suatu waktu, ketika ia duduk di

bawah pohon beringin, ia mendengar suara yang mengatakan bahwa ia akan diangkat

menjadi Sultan Erucakra, Sayidina Panatagama, Khalifah daripada Rasulullah.

Oleh karena itu Diponegoro dalam memimpin “Perang Jawa” ini senantiasa diwarnai

oleh ajaran Islam dan bahkan berusaha agar syari’at Islam itu tegak di dalam daerah

kekuasaannya.

Hal ini dapat dilihat dari surat Diponegoro yang ditujukan kepada penduduk Kedu, yang

ditulis dalam bahasa Jawa, antara lain berbunyi “Surat ini datangnya dari saya Kanjeng

Gusti Pangeran Diponegoro bersama dengan Pangeran Mangkubumi di Yogyakarta

Adiningrat kepada sekalian sahabat di Kedu, menyatakan bahwa sekarang kami sudah

minta tanah Kedu. Hal ini harus diketahui oleh semua orang baik laki-laki maupun

perempun, besar atau kecil tidak usah kami sebutkan satu demi satu. Adapun orang

yang kami suruh bernama Kasan Basari. Jikalau sudah menurut surat undangan kami

ini, segeralah sediakan senjata, rebutlah negeri dan ‘betulkan agama Rasul’. Jikalau ada

yang berani tidak mau percaya akan bunyi surat saya ini, maka dia akan kami penggal

lehernya…” Kamis tanggal 5 bulan Kaji tahun Be (31 Juli 1825).

Kiai Mojo adalah seorang ulama terkenal dari daerah Mojo Solo. Ia adalah seorang

penasehat keagamaan Diponegoro yang memberikan corak dan jiwa Islam kepada

perjuangan yang dipimpinnya. Disamping penasehat Diponegoro, ia juga memimpin

pasukan bersama-sama anaknya di daerah Solo.

Sebelum ‘perang Jawa’ pecah, ia telah berkenalan erat dengan Diponegoro, sehingga

tatkala perang dicetuskan ia bersama anaknya Kiai GazaIi dan para santrinya bergabung

dengan pasukan Diponegoro.

Alibasah Abdul Mustafa Prawiradirja (Sentot) adalah putera Raden Rangga Prawiradirja

III yang gugur di dalam pertempuran melawan pasukan Belanda. Ibu Prawiradirja

(nenek Alibasah) adalah puteri Sultan Hamengku Buwono I. Jadi apabila dilihat dari

silsilah keturunannya, ia adalah keturunan kraton Yogyakarta yang mempunyai

hubungan darah dengan Diponegoro. Dilihat dari namanya, ia adalah seorang muslim.

Pada saat ‘perang Jawa’ pecah, Alibasah masih muda sekali yaitu berumur 16 tahun.

Sebagai remaja yang penuh semangat perjuangan yang diwarisi dari ayahnya, pengaruh

agama Islam juga sangat besar dari tokoh utama perang Jawa, yaitu Diponegoro dan

Kiai Mojo.

Dilihat dari para pelaku utama dalam Perang Jawa ini dapat disimpulkan bahwa Islam

memegang peranan penting dalam memberikan motivasi dan inspirasi untuk menentang

kezaliman dan tirani yang bertitik kulminasi dengan meletusnya perang tersebut.

Kesimpulan ini sejalan dengan tulisan W.F. Wertheim yang antara lain menyatakan

bahwa faktor baru muncul pada abad ke-19, di mana daerah-daerah di Indonesia rakyat

tani banyak yang masuk Islam. Hal ini memperkuat posisi para kiai, karena sekarang

mereka dapat mengandalkan untuk mendapatkan dukungan kuat dari rakyat.

Para penguasa kolonial Belanda terus menerus konfrontasi dengan sultan-sultan

Indonesia mendorong mereka untuk mempersatukan diri dengan para kiai serta

mengibarkan bendera Istam, sultan-sultan itu dapat mengobarkan pemberontakan

umum. Ini dapat disaksikan dalam perang Jawa, perang Bonjol, perang Aceh. Lebih

daripada itu keadaan perang ternyata menambah prestise dan kekuatan para ‘ekstremis’

di antara kiai itu untuk menggunakan senjata “Perang Sabil”.

Sebagaimana telah diuraikan di muka bahwa Sultan Hamengku Buwono II dinobatkan

pada tanggal 2 April 1792. Dalam masa kesultanannya, Gubernur Jenderal H.W.

Daendels telah mengeluarkan peraturan yang mensederajatkan pejabat-pejabat Belanda

seperti Residen Surakarta dan Yogyakarta dengan sultan dalam upacara-upacara resmi.

Selanjutnya Daendels menuntut Patih Danureja II (kaki tangan Belanda) yang dipecat

oleh sultan supaya dikembalikan kepada posisi semula. Tetapi sebaliknya Raden

Rangga Prawiradirja III, yang menjadi bupati-wedana Mancanegara Yogyakarta, yang

senantiasa menentang campur tangan Belanda, untuk diserahkan kepada Belanda guna

mendapat hukuman.

Tuntutan Daendels ini ditolak oleh Sultan Hamengku Buwono II, sehingga ia

mengirimkan pasukan Belanda untuk menundukkan sultan. Pertempuran terjadi antara

pasukan Belanda dengan pasukan sultan; tetapi kekalahan berakhir bagi pasukan sultan,

di mana Raden Rangga Prawiradirja gugur dalam pertempuran, dan Sultan Hamengku

Buwono II pada bulan Januari 1811 diturunkan dari tahta dan digantikan oleh puteranya

Adipati Anom menjadi Sultan Hamengku Buwono III atau Sultan Raja.

Sultan Hamengku Buwono III ini adalah ayah dari Diponegoro. Pertentangan antara

Sultan Hamengku Buwono II (paman Diponegoro) dengan Sultan Hamangku Buwono

III (ayahnya sendiri), turut melibatkan Diponegoro yang pada saat itu telah cukup

dewasa yaitu berumur 26 tahun (lahir tahun 1785). Dan ia secara politik berpihak

kepada Sultan Hamengku Buwono II atau disebut Sultan Sepuh.

Kemarahan Sultan Sepuh dan Diponegoro, bukan hanya Daendels secara sewenangwenang menurunkannya dari tahta kesultanan Yogyakarta, tetapi juga daerah-daerah

seperti Kedu, Bojonegoro dan Mojokerto yang selama ini berada dibawah kekuasaan

kesultanan Yogyakarta dirampas oleh Belanda.

Peran Daendels sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang kejam dan rakus

berakhir pada tanggal 16 Mei 1811, dan digantikan oleh J.W. Jansens. Jabatan Jansens

sebagai Gubernur Jenderal hanya beberapa bulan saja, sebab setelah itu pasukan Inggris

menyerbu Belanda, di mana akhirnya Belanda menyerah kalah di Kali Tuntang,

Salatiga, Jawa Tengah. Peralihan kekuasaan antara Belanda kepada Inggris,

dipergunakan sebaik-baiknya oleh Sultan Sepuh (Sultan Hamengku Buwono II) untuk

merebut kembali kesultanan Yogyakarta. Usaha ini berhasil dan bahkan Sultan Sepuh

memerintahkan agar Patih Danureja II dihukum mati, karena persekongkolannya

dengan Belanda.

Kehadiran Thomas Stamford Raffles sebagai Gubernur Jenderal penguasa kolonial

Inggris di Indonesia, mengokohkan kekuasaan Sultan Sepuh dengan jalan tetap

mengakui Sultan Sepuh sebagai Sultan Hamengku Buwono II yang berkuasa di daerah

Yogyakarta dan menetapkan Sultan Hamengku Buwono III menjadi Adipati Anom.

Tetapi tatkala Raffles meminta daerah-daerah Kedu, Bojonegoro dan Mojokerto sebagai

warisan dari Daendels, Sultan Sepuh menolaknya; tetapi Adipati Anom (Sultan

Hamengku Buwono III) menerimanya bahkan membantu Inggris. Pertentangan ini

menjadi alasan bagi Raffles untuk mengirimkan pasukan guna menundukkan Sultan

Sepuh (Sultan Hamengku Buwono II), dan berhasil. Sultan sepuh ditangkap dan

dibuang ke Penang, Adipati Anom diangkat oleh Inggris menjadi Sultan Hamengku

Buwono III pada tanggal 28 Juni 1812.

Untuk memberikan imbalan jasa kepada para pembantu Adipati Anom dalam

mengalahkan Sultan Sepuh, maka Pangeran Natakusuma diberikan sebagian daerah

kesultanan Yogyakarta menjadi seorang yang merdeka dengan Gelar Paku Alam I; dan

Tan Jin Sing, seorang kapten Cina, diberikan pula tanah dan pangkat dengan gelar

Raden Tumenggung Secadiningrat (Maret 1813).

Hal ini tentu saja suatu pukulan hebat bagi kesultanan Yogyakarta dan bagi para

bangsawannya, karena kehilangan sumber penghidupannya; tanah-tanah lungguh makin

susut dan banyak yang hilang.

Seperti halnya Daendels, maka Raffles-pun menjual tanah-tanah pemerintah kepada

orang-orang swasta, seperti orang-orang asing Eropa dan Cina, untuk memperoleh

penghasilan bagi penguasa kolonial Inggris. Disamping itu Raffles banyak membawa

perubahan dan pembaharuan di dalam mengatur masalah-masalah agraria, antara lain

mengadakan pajak tanah. Para petani diharuskan menyerahkan sepertiga dari hasil

buminya kepada penguasa, baik dalam bentuk natura maupun uang.

Selanjutnya pada tanggal 3 Nopember 1814 Sultan Hamengku Buwono III wafat dalam

usia 43 tahun; ia digantikan oleh puteranya Pangeran Adipati Anom yang bernama Jarot

sebagai Sultan Hamengku Buwono IV. Sultan ini adalah adik Diponegoro dari lain ibu.

Karena usia sultan masih sangat muda, maka dibentuklah sebuah ‘Dewan Perwalian’

dengan Pangeran Natakusuma (Paku Alam I) sebagai wakil sultan. Dalam priode ini,

pada tanggal 19 Agustus 1816 John Fendall sebagai wakil pemerintah kolonial Inggris

di Indonesia menyerahkan kekuasaan kepada Van der Capellen, Gubernur Jenderal

Belanda sebagai wakil pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Sultan Hamengku Buwono IV tidak lama berkuasa, sebab pada tanggal 6 Desember

1822 wafat; ia digantikan oleh puteranya yang masih kanak-kanak (lahir tanggal 25

Januari 1820), bernama Menol untuk menjadi Sultan Hamengku Buwono V. Karena

Sultan Bamengku Buwono V masih kecil, maka dibentuk ‘Dewan Perwalian’ yang

terdiri atas: Kanjeng Ratu Ageng (nenek perempuan Sultan), Kanjeng Ratu Kencana

(ibu Sultan), Pangeran Mangkubumi (anak Sultan Hamengku Buwono II atau paman

Diponegoro) dan Diponegoro sendiri.

Dewan perwalian, yang hampir sepenuhnya ditentukan oleh penguasa kolonial Belanda,

yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan agama dan adat, maka Diponegoro menolak

menjadi wali model penguasa kolonial Belanda. Penolakan ini dijadikan dasar untuk

memfitnah Diponegoro oleh penguasa kolonial Belanda dan para kolaborator dari

kalangan istana bahwa Diponegoro berambisi untuk menjadi sultan.

Peran penguasa kolonial Belanda dan Inggris yang seenaknya mengotak-atik pemegang

tampuk pimpinan kesultanan Yogyakarta, mengurangkan daerah kekuasaannya dengan

jalan merampas dari wilayah kekuasaan sultan serta membebani rakyat dengan berbagai

tanam paksa dan pajak-pajak yang tinggi, adalah masalah yang susun susul-menyusul,

yang menumbuhkan kebencian dan kemarahan Diponegoro dan rakyat yang mempunyai

harga diri dan cinta terhadap kejujuran dan keadilan serta benci kepada setiap kezaliman

dan tirani, baik yang dilakukan oleh bangsa asing maupun bangsa sendiri.

Perasaan kesal dan marah tambah membengkak dengan tampilnya golongan Cina

sebagai pemegang kunci yang menentukan di dalam kehidupan ekonomi dan sosial,

baik di daerah kekuasaan kolonial Belanda maupun di daerah kesultanan, bahkan

sampai ke kraton.

Dominasi Cina di dalam bidang ekonomi dan sosial, yang mulai sejak Sultan Agung

Mataram (1613-1646) sampai dengan Sultan Hamengku Buwono III (1812-1814),

dimana sebagian orang kapten Cina secara resmi diberikan sebagian daerah kekuasaan

sultan dengan pangkat Raden Tumenggung Secadiningrat (Maret 1813), adalah bentukbentuk kekuasaan Cina yang begitu mencolok di dalam kehidupan kesultanan Mataram

dan dinasti penerusnya. Penguasaan kota-kota pelabuhan dengan syahbandarsyahbandar yang berhak memungut bea-cukai dikuasai Cina, penyewaan tanah yang

jatuh ke tangan Cina, para tengkulak yang dimonopoli oleh Cina, baik di daerah

kekuasaan kolonial Belanda maupun sultan, menambah kemiskinan rakyat hingga

menjadi melarat dan sengsara.

Padahal sejak kehadiran Penguasa kolonial Belanda di Indonesia sampai saat

keruntuhan Mataram, Cina senantiasa membantu dan bekerjasama dengan penguasa

kolonial Belanda menghancurkan kesultanan Mataram. Letusan perang Jawa ini hanya

tinggal menunggu waktu yang tepat saja lagi. Api penyulut cukup sebatang korek api,

tetapi lalang kering kerontang yang kena sulutan korek api itu akan meledak menjadi

kebakaran yang sulit untuk dipadamkan.

Moment yang tepat itu ternyata sederhana sekali, yaitu pada pertengahan tahun 1825,

tepatnya pada awal Juli 1825, Patih Danureja IV, kolabolator Belanda yang setia, telah

memerintahkan pejabat-pejabat kesultanan Yogyakarta untuk membuat jalan, di mana

antara lain menembus tanah milik Diponegoro dan neneknya di Tegalrejo. Penggunaan

tanah milik Diponegoro untuk jalan tanpa sepengetahuan Diponegoro sebagai pemiliknya. Oleh karena itu Diponegoro memerintahkan pegawai-pegawainya untuk mencabut

tonggak-tonggak yang dipancangkan sebagai tanda pembuatan jalan oleh Patih

Danureja IV. Tindakan Diponegoro ini diikuti oleh protes keras dan menuntut supaya

Patih Danureja dipecat dari jabatannya. Tetapi A.H. Smisaert, selaku Residen Belanda

di Yogyakarta menolak dan menekan sultan untuk tetap mempertahankan Patih

Danureja IV.

Suasana tegang ini dikeruhkan oleh informasi yang menyatakan bahwa penguasa

kolonial Belanda akan menangkap Diponegoro. Mendengar berita ini, rakyat yang telah

dendam dan marah terhadap penguasa kolonial Belanda berkumpul menyatakan setia

untuk membela dan mempertahankan Diponegoro, jika rencana penangkapan itu terjadi.

Ketegangan ini menimbulkan kegelisahan

Langkah pertama yang ditempuh oleh Diponegoro adalah mengeluarkan seruan kepada

seluruh rakyat Mataram untuk sama-sama berjuang menentang penguasa kolonial

Belanda dan para tiran, yang senantiasa menindas rakyat. Seruan itu antara lain

berbunyi: “Saudara-saudara di tanah dataran! Apabila saudara-saudara mencintai saya,

datanglah dan bersama-sama saya dan paman saya ke Selarong. Siapa saja yang mencintai saya datanglah segera dan bersiap-siap untuk bertempur.” Seruan ini disebarluaskan di seluruh tanah Mataram, khusuanya di Jawa Tengah dan mendapat sambutan

hampir sebagian besar lapisan masyarakat. Dan daerah Selarong penuh sesak, dipenuhi

oleh pasukan rakyat!

Seruan ini disambut baik oleh Kiai Mojo, seorang ulama besar dari daerah Mojo-Solo;

yang datang bersama barisan santrinya menggabungkan diri dengan pasukan

Diponegoro; ia menyerukan ‘perang sabil’ terhadap pihak penguasa kolonial Belanda.

Jejak Kiai Mojo dengan santrinya, diikuti oleh para ulama dan santri-santri dari Kedu

dibawah pimpinan Pangeran Abubakar; juga Muhamad Bahri, penghulu Tegalrejo.

Perang sabil menentang penguasa kolonial Belanda-Kristen meledak membakar hampir

seluruh tanah Mataram, bahkan sampai ke Jawa Timur dan Jawa Barat. Tampilnya

Alibasah Abdul Mustafa Prawiradirja (Sentot) dan sebagian para bangsawan di

kalangan penguasa kolonial Belanda dan kraton Yogyakarta. Akhimya diutuslah

Pangeran Mangkubumi (paman Diponegoro) ke Tegalrejo untuk memanggil

Diponegoro ke kraton. Semula Diponegoro bersedia datang ke kraton, apabila ada

jaminan dari Pangeran Mangkubumi bahwa ia tidak akan ditangkap. Tetapi karena

Mangkubumi sendiri tidak berani menjamin dan bahkan ia sendiri tidak akan kembali

lagi ke Yogyakarta, maka Diponegoro memperkuat diri dengan pasukan rakyat yang

telah melakukan bai’ah (janji setia perjuangan).

Melihat kegagalan Pangeran Mangkubumi ini untuk memanggil Diponegoro, Residen

A.H. Smisaert mengutus kembali dua orang bupati yang dikawal dengan sepasukan

militer. Sebelum utusan Belanda ini sampai, Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi

yang sedang berunding menjadi terhenti, karena mendengar letusan senjata dan

tembakan meriam yang ditujukan ke arah rumah Diponegoro. Serangan Belanda

terhadap tempat kediaman Diponegoro, mengakibatkan Diponegoro dan Pangeran

Mangkubumi yang disertai kawalan pasukan rakyat mengungsi ke daerah Selarong,

guna selanjutnya melancarkan peperangan untuk mengusir penguasa kolonial Belanda

dari daerah kekuasaan kesultanan Yogyakarta khususnya dan Jawa umumnya. Peristiwa

ini terjadi pada tanggal 20 Juli 1825 dan disebut sebagai permulaan “Perang Jawa”.

Yogyakarta seperti antara lain Pangeran Ngabehi Jayakusuma, putera Sultan Hamengku

Buwono II dan pangeran Mangkubumi melengkapi “Perang Jawa” yang dahsyat.

Strategi perang gerilya yang dipergunakan oleh Diponegoro dengan taktik “serang

dengan tiba-tiba pasukan musuh kemudian menghilang-bersembunyi”, merupakan

strategi dan taktik yang dapat melumpuhkan pasukan kolonial Belanda; setidaktidaknya pada awal perang Jawa.

Berita pecahnya perang Jawa sangat mengejutkan pihak Gubernur Jenderal Van der

Capellen di Batavia. Karenanya pada tanggal 26 Juli 1825, ia telah memutuskan untuk

mengirimkan pasukan dari Batavia langsung di bawah pimpinan Letnan Jenderal

Hendrik Marcus De Kock, pimpinan tertinggi militer Hindia Belanda. Pada tanggal 29

Juli 1825 Let. Jend. De Kock telah tiba di Semarang untuk memimpin langsung operasi

militer terhadap pasukan Diponegoro.

Pasukan kolonial Belanda yang dipimpin oleh Kapten Kumsius dengan kekuatan 200

prajurit, yang dikirim dari Semarang, di daerah Pisangan dekat Magelang disergap oleh

pasukan Diponegoro di bawah pimpinan Mulya Sentika. Hampir seluruh pasukan

Belanda berhasil dimusnahkan dan seluruh perlengkapan dan persenjataannya dirampas.

Kekalahan pertama, menyebabkan Belanda mengirimkan pasukan yang lebih besar dari

Semarang dan dipimpin oleh Kolonel Von Jett untuk langsung menyerang Selarong,

markas besar pasukan Diponegoro. Tetapi serangan ini gagal, karena pasukan

Diponegoro telah mengosongkan Selarong. Tatkala pasukan Belanda meninggalkan

Selarong, di perjalanan, di tempat-tempat yang atrategis, pasukan Belanda diserang;

sehingga menimbulkan kerugian yang cukup besar.

Ibukota Yogyakarta di kepung oleh pasukan Diponegoro, sehingga pasukan kesultanan

Yogyakarta dan Belanda terjepit, bahkan Sultan Hamengku Buwono V bersembunyi di

benteng Belanda untuk menyelamatkan diri. Pada tanggal 28 Juli 1825, Belanda

mengirimkan pasukan komando gabungan antara pasukan Belanda dan Mangkunegara

dari Surakarta untuk menembus barikade pasukan Diponegoro di Yogyakarta, guna

menyelamatkan pasukan Belanda dan Sultan Hamengku Buwono V yang terkurung.

Tetapi pasukan komando gabungan Belanda Mangkunegara di bawah pimpinan Raden

Mas Suwangsa di Randu Gunting dekat Kalasan disergap oleh pasukan Diponegoro

dibawah pimpinan Tumenggung Surareja. Sergapan ini berhasil dengan baik dan Raden

Mas Suwangsa, pimpinan komando gabungan itu sendiri tertangkap dan dibawa ke

Selarong, markas besar pasukan Diponegoro.

Operasi militer Belanda yang senantiasa mengalami kekalahan, maka Let. Jend. De

Kock menempuh jalan diplomasi, dengan jalan mengirim surat kepada Diponegoro;

surat pertama tertanggal 7 Agustus 1825 dan surat kedua tertanggal 14 Agustus 1825.

Isi surat-surat itu menyatakan keinginan Belanda untuk berunding dan bersedia

memenuhi tuntutan-tuntutan Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi, dengan syarat:

pertempuran dihentikan. Surat Let. Jend. De Kock diperkuat oleh surat Susuhunan

Surakarta, tertanggal 14 Agustus 1825. Surat-surat baik dari De Kock maupun dari

Susuhunan

Surakarta, semuanya dijawab oleh Diponegoro, dengan menekankan bahwa Perang

Jawa ini terjadi karena kesalahan Belanda yang bertindak otoriter dan zalim, yang

dibantu oleh pasukan militer Susuhunan Surakarta. Perdamaian yang diajukan oleh

Belanda dan Susuhunan Surakarta ditolak; kecuali pasukan kolonial Belanda angkat

kaki dari bumi Mataram. Jalan diplomasi gagal.

Karena tidak ada jalan lain, De Kock sebagai panglima tertinggi pasukan Hindia

Belanda, mengerahkan pasukannya dari berbagai daerah Batavia: Bone, Madura, Bali,

Ambon dan lain-lain untuk dipusatkan di sekitar Yogyakarta; guna menembus barikade

pasukan Diponegoro. Baru pada tanggal 25 September 1825, De Kock dengan pasukan

komando gabungan yang besar sekali berhasil memasuki Yogyakarta menyelamatkan

pasukan Belanda yang terkepung dan Sultan Hamengku Buwono V.

Pertempuran antara pasukan Belanda dengan pasukan Diponegoro tidak hanya terjadi di

sekitar Yogyakarta, tetapi juga menjalar dan terjadi di Magelang, Semarang,

Pekalongan, Banyumas, Bagelen dan daerah Kedu seluruhnya. Pertempuran makin hari

makin meluas, menjalar ke daerah Jawa Timur seperti Madiun, Ngawi dan Pacitan.

Pertempuran yang luas itu memang melumpuhkan dan melelahkan pasukan kolonial

Belanda dan para kolaborator; bahkan serangan kedua ke markas besar Selarong; tidak

berhasil menangkap dan melumpuhkan pasukan Diponegoro.

Pada tahun-tahun pertama (1825 -1826) pasukan Diponegoro memperoleh banyak

kemenangan. Dengan pasukan-pasukan berkuda, mereka dapat bergerak capat dan

mobile dari satu daerah ke daerah lain, dari satu pertempuran ke pertempuran lain dan

selalu lolos dari kepungan pasukan musuh yang jauh lebih besar jumlahnya.

Tetapi sejak tahun 1827 pasukan kolonial Belanda mulai unggul, selain karena besarnya

bala-bantuan yang didatangkan dari daerah-daerah, tetapi juga merubah strategi

pertempuran yang selama ini ditempuh. Let. Jend. De Kock, selaku panglima tertinggi

Hindia melaksanakan “sistem benteng” dalam operasi militernya. Pasukan Belanda

mendirikan benteng-benteng di wilayah yang telah dikuasai kembali. Antara benteng

yang satu dengan benteng yang lain dibuat jalan sehingga pasukan dapat bergerak

dengan cepat. Dengan sistem benteng itu, pasukan Diponegoro tidak lagi dapat bergerak

dengan leluasa; hubungan antar pasukan menjadi sukar. Tiap pasukan terpaku pada

daerah operasinya masing-masing. Gerakan mobile dan cepat yang selama ini menjadi

ciri pasukan Diponegoro menjadi lumpuh.

Daerah-daerah yang dikuasai kembali oleh Belanda didirikanlah benteng-benteng

seperti di Minggir, Groyak, Bantul, Brosot; Puluwatu, Kejiwan, Telagapinian,

Danalaya, Pasar Gede, Kemulaka, Trayema, Jatianom, Delanggu, Pijenan.

Di daerah-daerah pertempuran sebelah timur, benteng-benteng itu terdapat di Rembang,

Bancar, Jatiraga, Tuban, Rajegwesi, Blantunan, Blora, Pamotan, Babat, Kopas dan lainlain.

Di daerah-daerah pertempuran sebelah barat, benteng-benteng didirikan di Pakeongan,

Kemit, Panjer, Merden dan lain lain.

Sistem benteng ini memang dapat melumpuhkan pasukan Diponegoro, apalagi setelah

Sultan Sepuh yang telah berusia 70 tahun diangkat kembali menjadi Sultan Yogyakarta,

yang secara psikologi sangat mempengaruhi pasukan Diponegoro.

Oleh karena itu, berkat usaha Van Lawick von Pabst, Residen Yogyakarta, maka pada

tanggal 21 Juni 1827, Pangeran Natapraja dan Pangeran Serang Sutawijaya

beserta para pengikutnya lebih kurang 850 orang menyerah kepada Belanda dan

diperlakukan dengan baik.

Penyerahan Pangeran Natapraja dan Pangeran Serang adalah pukulan yang besar sekali

bagi perang Jawa. Sebab dengan menyerahnya kedua orang pemimpin ini, maka daerah

rawan dan daerah pertempuran di sebelah timur kehilangan pimpinan. Seperti telah

dimaklumi bahwa kedua orang inilah yang memimpin pasukan Diponegoro di medan

pertempuran sebelah timur, mengancam Semarang dan Demak.

Walau demikian, pukulan hebat ini tidak menyebabkan pasukan Diponegoro berputus

asa. Di kota Gede Yogyakarta telah terjadi pertempuran yang seru antara pasukan

Diponegoro di bawah pimpinan Mas Tumenggung Reksasentana melawan pasukan

kolonial Belanda. Pertempuran ini terjadi karena usaha Belanda untuk menggiring

pasukan Diponegoro untuk berada di daerah antara Sungai Progo dan Sungai

Begowonto.

Pertempuran terus berlangsung, tetapi usaha diplomasi juga dijalankan oleh Belanda,

apalagi setelah kedua Pangeran tersebut menyerah.Usaha diplomasi menunjukkan hasil

yang menggembirakan, dengan diselenggarakannya perundingan antara pasukan

Diponegoro di bawah pimpinan Kiai Mojo dan Pangeran Ngabehi Abdul Rahman

dengan pasukan Belanda di bawah pimpinan Stavers pada tanggal 29 Agustus 1827 di

Cirian-Klaten.

Perundingan ini tidak membuahkan suatu hasil apapun bagi kedua belah pihak.

Tuntutan-tuntutan yang diajukan oleh Kiai Mojo dianggap terlalu berat oleh pihak

Belanda, sebaliknya syarat-syarat yang diajukan oleh Belanda, termasuk janji-janji

untuk memberikan kekuasaan yang luas kepada Diponegoro, tidak dapat diterima oleh

Kiai Mojo.

Perundingan yang gagal pada bulan Agustus 1827, mengakibatkan pada bulan

September 1827 berkobar lagi pertempuran antara pasukan Diponegoro dengan pasukan

kolonial Belanda di daerah-daerah Klaten, Puluwatu, Kemulaka dan Yogyakarta.

Operasi militer Belanda yang besar ini langsung dipimpin oleh Jenderal Van Geen.

Pada tanggal 10 Oktober 1827 diadakan kembali gencatan senjata untuk mengadakan

perundingan perdamaian antara kedua belah pihak, bertempat di Gamping. Pihak

Belanda di pimpin oleh Letnan Roeps, seorang opsir Belanda yang pandai berbahasa

Jawa, sedangkan di pihak Diponegoro dipimpin oleh Tumenggung Mangun Prawira.

Tetapi perundingan inipun gagal, sebab tuntutan mengenai pelaksanaan syari’at Islam,

seperti pernah diajukan pada perundingan pertama, sangat ditentang delegasi Belanda.

Kegagalan perundingan kedua ini, diikuti oleh operasi militer Belanda secara besarbesaran di bawah pimpinan Kolonel Cochius dan Sollewijn menyerang daerah-daerah

sebelah selatan Yogyakarta, Plered, Tegalsari, Semen dan-lain. Pada tanggal 25 Oktober

1827 pasukan Belanda di bawah Mayor Sollewijn menyerbu markas perjuangan

Diponegoro di Banyumeneng, tetapi Diponegoro dengan pasukan-pasukannya berhasil

menghindar. Tetapi dalam perjalanan pulang pasukan Sollewijn berhasil dijebak dan

diserang oleh pasukan Diponegoro, sehingga memporak-porandakan pasukan Belanda;

dan hanya dengan susah payah pasukan Sollewijn dapat menyeberangi sungai Progo,

terus masuk ke kota Yogyakarta.

Pertempuran yang terjadi setelah kegagalan perundingan kedua ini, bukan hanya terjadi

di sekitar Yogyakarta saja, tetapi juga terjadi dan berkecamuk di daerah-daerah Kedu,

Banyumas, Bagelen, Bojonegoro, Rembang, Tuban. Hanya dengan susah payah,

pasukan Belanda bisa bertahan dan menyelamatkan diri.

Pertempuran yang timbul berkecamuk lagi ini, mendorong Jenderal De Kock untuk

mengerahkan bala bantuan, termasuk dari negeri Belanda sendiri. Dan memusatkan

markas besarnya di kota Magelang pada tanggal 13 Maret 1828; dengan menempatkan

markas besarnya di Magelang, maka pasukan Belanda dapat beroperasi lebih mobile,

karena tempat itu sangat strategis untuk menjangkau daerah-daerah Semarang di utara,

Surakarta di timur, Yogyakarta di selatan dan Banyumas di barat. Strategi ini cukup

berhasil, karena daerah Kedu hampir seluruhnya dapat diamankan oleh pasukan

Belanda.

Keunggulan Belanda di bidang militer, diikuti dengan kemenangan di bidang diplomasi,

dimana pada tanggal 28 April 1828, Pangeran Natadiningrat beserta isteri, ibu dan kirakira 20 orang pasukannya menyerah kepada Letnan Kolonel Sollewijn. Penyerahan

Natadiningrat ini sangat menggembirakan Belanda, karena sampai waktu itu; bolehlah

dikatakan tidak ada keluarga terdekat Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi yang

menyerah kepada Belanda. Pangeran Natadiningrat adalah putera kesayangan Pangeran

Mangkubumi yang diharapkan oleh Belanda dapat membujuk ayahnya sendiri untuk

menyerah kepada Belanda dan meninggalkan Diponegoro.

Selain itu, pasukan Diponegoro di daerah Rembang di bawah pimpinan Tumenggung

Sasradilaga, yang semula berhasil memukul mundur pasukan Belanda, lambat-laun

mulai terjepit dan akhirnya pada tanggal 3 oktober 1828 menyerah pula kepada

Belanda.

Kemudian operasi militer Belanda berhasil mempersempit daerah operasi pasukan

Diponegoro dengan jalan menggiringnya ke daerah antara sungai Progo dan sungai

Bogowonto. Usaha berhasil, setelah pertempuran sengit dengan pasukan Diponegoro di

daerah Belige di bawah pimpinan Pangeran Bei pada tanggal 31 Maret 1828. Dengan

daerah gerak yang makin sempit, sangat memungkinkan pasukan Belanda yang besar itu

dapat mengurung pasukan Diponegoro. Apalagi banyak pasukan bekas anak buah

Diponegoro yang menyerah kepada Belanda diikut-sertakan dalam operasi militer ini.

Dalam posisi terus terdesak dan terjepit, pasukan Diponegoro bukan hanya kekurangan

persenjataan, tetapi juga kekurangan suplai bahan makanan. Tambah ironis, dalam

situasi semacam itu di kalangan pimpinan pasukan Diponegoro terjadi perpecahan;

sehingga dengan tiba-tiba pada tanggal 25 Oktober 1828 Kiai Mojo dengan pasukannya

menyatakan keinginannya untuk berunding dan mengadakan gencatan senjata dengan

Belanda.

Pada tanggal 31 oktober 1828 perundingan berlangsung di Mlangi antara Kiai Mojo

dengan delegasi Belanda di bawah pimpinan Letnan Kolonel Wiranegara, komandan

pasukan kraton Yogyakarta. Perundingan dengan pengawalan yang ketat oleh pasukan

Betanda, berakhir gagal. Perundingan kedua dilanjutkan lagi pada tanggal 5 Nopember

1828, dengan pengawalan ketat oleh pasukan Belanda di bawah pimpinan Letnan

Kolonel Le Bron de Vexela; juga berakhir dengan kegagalan.

Ketika perundingan gagal, Kiai Mojo beserta pasukannya kembali ke tempat semula,

tetapi senantiasa diikuti oleh pasukan Letnan Kolonel Le Bron de Vexela. Dengan tibatiba pasukan Le Bron menyerang pasukan Kiai Mojo, tetapi gagal karena semua prajurit

Kiai Mojo telah siap mati syahid. Letnan Kolonel Le Pron tak kehabisan akal untuk

dapat menangkap Kiai Mojo. Tipu muslihat yang licik dan keji dipergunakan oleh Le

Bron dengan mengajak berpura-pura untuk melanjutkan perundingan di Klaten. Kiai

Mojo dengan pasukannya menyetujui tawaran ini. Kiai Mojo dengan pasukannya

memasuki kota Klaten dengan nyanyian-nyanyian agama seolah-olah sebuah pasukan

yang menang perang dari medan pertempuran.

Setelah sampai Klaten, Kiai Mojo diajak oleh Letnan Kolonel Le Bron de Vexela masuk

ke sebuah gedung, sedangkan pasukannya beristirahat di luar. Dengan serta-merta Kiai

Mojo ditangkap dan pasukannya yang sedang lengah disergap oleh pasukan Belanda

yang lebih besar dan kuat persenjataannya. Dalam kondisi tak berdaya, Kiai Mojo

beserta pasukannya tertangkap dan tertawan; tidak kurang dari 50 pucuk senapan dan

300 buah tombak yang dapat dilucuti dari pasukan Kiai Mojo. Bersamanya tertangkap

pula para ulama yang turut menjadi pimpinan pasukan di medan pertempuran, seperti

antara lain Kiai Tuku Mojo, Kiai Badren, Kiai Kasan Basari.

Kiai Mojo beserta stafnya dibawa ke Surakarta; dari sana terus ke Salatiga tempat

kediaman Jenderal De Kock. Dari Salatiga Kiai Mojo dengan teman-temannya dibawa

ke Semarang untuk kemudian dikirim ke Batavia. Tertangkapnya Kiai Mojo dan stafnya

dipergunakan sebaik-baiknya untuk bisa membujuk pasukan Diponegoro yang lainnya,

yang masih melakukan perang gerilya.

Pada awal Januari 1829, Komisaris Jenderal Du Bus telah mengirimkan Kapten Roeps

dan seorang staf Kiai Mojo untuk mengadakan perundingan dengan Diponegoro di

markas besarnya di Pengasih. Pada akhir Januari 1829 mereka dapat diterima di markas

perjuangan Diponegoro dan pembicaraan dimulai antara delegasi Belanda dengan

delegasi Diponegoro. Tetapi di saat pembicaraan sedang berlangsung, tiba-tiba terdengar suara dentuman meriam dari pasukan Belanda yang dipimpin oleh Mayor Bauer.

Mendengar letusan meriam, serentak pasukan Diponegoro mau membunuh delegasi

Belanda yang sedang berada di tengah-tengah meja perundingan. Berkat kebijaksanaan

Alibasah (Sentot) delegasi Belanda itu dapat selamat dan memerintahkan agar pasukan

Belanda mengundurkan diri, jika jiwa para delegasi Belanda ingin selamat.

Pada bulan Februari 1829 Belanda mengadakan gencatan senjata secara sepihak. Sebab

Jenderal De Kock mencoba membujuk Alibasah, panglima muda remaja yang sangat

ditakuti oleh Belanda. Jenderal De Kock mengirimkan surat kepada Alibasah, yang

isinya antara lain menjamin kebebasan bepergian bagi Alibasah dengan pasukannya di

daerah kekuasaan Belanda tanpa ada gangguan. Bahkan De Kock mengirimkan

beberapa pucuk pistol kepada Alibasah sebagai tanda kenang-kenangan dan keinginan

mau berdamai.

Taktik licik Belanda ini mempengaruhi pimpinan pasukan Diponegoro, apalagi setelah

beberapa tokoh pasukan Diponegoro seperti Tumenggung Padmanegara, Pangeran

Pakuningrat diberikan kebebasan bepergian di daerah kekuasaan Belanda pada bulan

Ramadhan.

Dalam kesempatan gencatan senjata ini Jenderal De Kock menggunakan waktu untuk

terus mengirim surat kepada beberapa tokoh pasukan Diponegoro seperti Alibasah dan

Pangeran Pakuningrat, yang isinya tidak lain menyanjung-nyanjung tokoh-tokoh

tersebut dan keinginan Belanda untuk bekerjasama dengan mereka.

Setelah gencatan senjata berjalan tiga bulan tanpa mendapat hasil yang memuaskan bagi

Belanda, maka pertempuran dan operasi militer dilanjutkan. Terjadilah pertempuran

sengit di antara kedua belah pihak, sampai Komisaris Jenderal Du Bus diganti oleh

Johannes Van Den Bosch sebagai penguasa tertinggi Hindia Belanda di Indonesia, dan

Jenderal Mercus De Kock diganti oleh Jenderal Mayor Benyamin Bischop sebagai

pimpinan tertinggi militer Hindia Belanda, pada bulan Mei 1829. Tetapi karena Jenderal

Benyamin Bischop sakit-sakitan pada tanggal 7 Juli 1829 meninggal dunia, maka

praktis pimpinan tertinggi militer Hindia Belanda masih tetap berada di tangan Jenderal

De Kock.

Pada akhir bulan Mei 1829 pasukan kolonial Belanda mencari dengan seksama tempat

pangeran Mangkubumi yang menjadi kepala urusan rumah tangga pasukan Diponegoro.

Maksudnya tidak lain agar dapat menangkap para anggota keluarga tokoh-tokoh

pasukan Diponegoro, untuk dapat memancing tokoh-tokoh itu supaya bisa menyerah.

Pada tanggal 21 Mei 1829 tempat persembunyian Pangeran Mangkubumi dengan para

keluarga tokoh-tokoh pasukan Diponegoro di desa Kulur diserbu oleh pasukan Belanda

di bawah pimpinan Mayor Bauer dan Kapten Ten Have. Hasilnya nihil, karena

rombongan Pangeran Mangkubumi telah pergi bersembunyi ke tempat lain. Usaha

pengejaran akan dilakukan, tetapi dengan tiba-tiba pasukan Di ponegoro di bawah

pimpinan Alibasah menyerang pasukan Belanda tersebut, sehingga terpaksa

menghadapinya dan dengan demikian rombongan Pangeran Mangkubumi lepas dari

kejaran Belanda.

Operasi militer untuk menangkap Pangeran Mangkubumi tidak berhasil; diikuti dengan

diplomasi untuk mengajak berunding. Belanda menggunakan putera Pangeran

Mangkubumi yang telah menyerah yaitu Pangeran Natadiningrat untuk bisa membujuk

Pangeran Mangkubumi agar menghentikan pertempuran dengan Belanda, dengan alasan

usia telah lanjut dan Belanda berjanji untuk memberikan jabatan yang terhormat dengan

tempat dan gaji yang besar. Usaha ini tampak akan berhasil, sebagaimana dilaporkan

oleh Residen Van Nes pada tanggal 28 Juni 1829; tetapi hasilnya ternyata gagal.

Kegagalan ini mendorong untuk melakukan operasi militer besar-besaran ke pusat

pertahanan pasukan Diponegoro di desa Geger. Pada tanggal 17 Juli 1829 pasukan

kolonial Belanda di bawah pimpinan Kolonel Cochius; Letnan Kolonel Sollewijn dan

Mayor Cox van Spengler dibantu dengan pasukan Mangkunegara menyerang desa

Geger. Dengan kekuatan yang tidak seimbang, markas Geger dapat direbut oleh

pasukan Belanda dan beberapa pimpinan pasukan Diponegoro gugur sebagai syuhada,

antara lain Sheikh Haji Ahmad dan Tunenggung Banuja.

Operasi militer terus ditingkatkan oleh Belanda terhadap “kantong kantong”

persembunyian pasukan Diponegoro, sehingga pada akhir Juli 1829 putera Diponegoro

yakni Diponegoro Anom dan Raden Hasan Mahmud tertangkap oleh pasukan Letnan

Kolonel Sollewijn. Tertangkapnya putera Diponegoro ini dipergunakan untuk

melemahkan semangat perjuangan Diponegoro dengan cara mengancam akan

membunuh Diponegoro Anom oleh Belanda. Jiwa puteranya akan selamat jika

Diponegoro menghentikan pertempuran. Hal ini terlihat dari surat Jenderal De Kock

tertanggal 6 Agustus 1829. Tetapi usaha ini tidak berhasil melemahkan semangat

tempur Diponegoro.

Dalam usaha konsolidasi, karena Alibasah dan Pangeran Bei sakit keras, maka

Diponegoro telah mengangkat pimpinan pasukan infantri kepada Syeikh Muhammad

dan Baisah Usman, sedangkan pasukan kavaleri dipimpin oleh Pangeran Sumanegara.

Selesai konsolidasi, pasukan Diponegoro melakukan serangan terhadap pasukan

Belanda di bawah pimpinan Mayor Bauer dan Kapten Ten Have di Serma pada tanggal

3 Agustus 1829. Dalam pertempuran sengit ini, banyak korban yang jatuh di kedua

belah pihak, antara lain Syekh Muhammad dan Hasan Usman.

Untuk meningkatkan efektifitas operasi militer, Jenderal De Kock telah memindahkan

markas besarnya dari Magelang ke Sentolo. Dengan demikian pasukan Belanda akan

lebih dekat dengan pusat-pusat pertempuran yang dilakukan oleh pasukan Diponegoro.

Bersamaan dengan operasi militer Belanda yang ditingkatkan, Panglima Alibasah dan

Pangeran Bei telah sembuh, sehingga dapat aktif kembali memimpin pasukan

Diponegoro yang telah kehilangan dua orang panglimanya yaitu Syeikh Muhammad

dan Basah Usman. Pertempuran sengit tidak dapat dihindarkan lagi, di saat pasukan

Diponegoro melintasi sungai Brogo menuju Pajang diserang oleh pasukan Belanda.

Kedua belah pihak yang bertempur mati-matian, mengakibatkan banyak jatuh korban,

diantaranya seorang perwira Belanda mati terbunuh yaitu Letnan Arnold.

Seiring dengan operasi militer yang ditingkatkan, usaha diplomasi licik juga dilakukan.

Pada tanggal 7 Agustus 1829 Letnan Kolonel Sollewijn datang ke Kreteg untuk

membujuk keluarga Pangeran Mangkubumi untuk menyerah dengan janji jaminan dari

Belanda. Akhirnya Raden Ayu Anom (isteri kedua Pangeran Mangkubumi) beserta

anak-anaknya dan pengawalnya sebanyak 50 orang menyerah kepada Belanda.

Dengan posisi pasukan Diponegoro yang makin terjepit karena daerah operasinya makin

diperkecil oleh Belanda, kelelahan dan kekurangan bahan makanan dengan perang yang

telah berjalan lima tahun, akhirnya satu demi satu pasukan Diponegoro menyerah

kepada Belanda. Pada tanggal 5 September 1829 Tumenggung Wanareja dan

Tumenggung Wanadirja bersama dengan 44 orang pasukannya menyerah. Pada tanggal

6 September 1829, atas bujukan Tumenggung Surianegara yang sengaja ditugaskan oleh

Jenderal De Kock, menyerah pulalah Tumenggung Suradeksana dan Sumanegara

kepada Belanda di Kalibawang. Pada tanggal 9 September 1829, Pangeran Pakuningrat

bersama dengan pasukannya sebanyak 40 orang menyerah lagi kepada Belanda.

Pada tanggal 21 September 1829 atas nama pemerintah Hindia Belanda, Jenderal De

Kock mengeluarkan pengumuman tentang ‘hadiah besar’ bagi setiap orang yang dapat

menangkap hidup atau mati Diponegoro. Pengumuman itu antara lain berisi:

“Barangsiapa yang berani menyerahkan Diponegoro hidup atau mati kepada penguasa

Hindia Belanda, akan dinilai oleh Gubernur Jenderal Htndia Belanda sebagai seorang

yang sangat besar jasanya. Kepada orang itu akan diberikan hadiah berupa uang kontan

sebesar £ 50.000,- (lima puluh ribu pounds) dan diberikan gelar kehormatan dengan gaji

dan tanah yang cukup luas”.

Pengumuman yang menyayat hati ini belum lagi kering, pada akhir September 1829

telah gugur Pangeran Bei bersama dua orang puteranya yaitu Pangeran Jayakusuma dan

Raden Mas Atmakusuma.

Bulan September 1829 benar-benar bulan yang menyedihkan bagi Diponegoro, sebagai

pemimpin tertinggi Perang Jawa. Pada tanggal 25 September 1829 Mayor Bauer

bersama Raden Mas Atmadiwirja (putera Pangeran Mangkubumi), Tumenggung

Reksapraja beserta rombongan mencari Pangeran Mangkubumi, tetapi hasilnya nihil.

Tetapi Belanda tidak berputus asa. Jenderal De Kock mengutus Pangeran Natadiningrat,

putera Pangeran Mangkubumi yang telah menyerah, untuk membujuk ayahnya. Maka

pada tanggal 27 September 1829 Pangeran Natadiningrat berhasil membujuk ayahnya

untuk menyerah kepada Belanda. Keesokan harinya, tanggal 28 September 1829

Pangeran Mangkubumi dibawa oleh puteranya ke Yogyakarta. Di pertengahan jalan (di

Mangir) rombongan Pangeran Mangkubumi telah dijemput oleh Residen Van Nes dan

pejabat-pejabat kesultanan Yogyakarta.

Pengaruh dari menyerahnya Pangerang Mangkubumi sangat besar bagi pasukan

Diponegoro, karena secara berturut-turut telah menyerah pula pangeran Adinegara,

Kanjeng Pangeran Aria Suryabrangta, Pangeran Suryadipura, Pangeran Suryakusuma,

Kanjeng Pangeran Dipasana, semuanya adalah mempunyai hubungan famiIi dengan

Diponegoro sendiri. Menyerahnya secara berturut-turut orang-orang di sekitar

Diponegoro, benar-benar dapat melumpuhkan pasukan Diponegoro.

Apalagi usaha untuk menarik Alibasah, panglima pasukan Diponegoro yang disegani

masih terus dilanjutkan. Melalui Pangeran Prawiradiningrat, yang menjadi bupati

Madiun dan saudara Alibasah sendiri, Belanda telah berusaha untuk menaklukkannya.

Sejak tanggal 23 Juli 1829 usaha ini telah dilakukan walaupun pada permulaannya

gagal, karena syarat-syarat yang diajukan oleh Alibasah cukup berat; yaitu:

(a) Memberikan uang jaminan sebesar £ I0.000.-

(b) Menyetujui pembentukan sebuah pasukan di bawah Pimpinan Alibasah sendiri yang

berkekuatan seribu orang dan dilengkapi dengan persenjataan dan pakaian seragam;

(c) Memberikan 400 – 500 pucuk senjata api;

(d) Pasukan Alibasah ini langsung dibawah komando pemerintah Hindia Belanda, dan

bebas dari kekuasaan sultan atau pembesar bangsa Indonesia;

(e) Mereka bebas menjalankan agamanya,

(f) Tidak ada paksaan minum Jenever atau arak;

(g) Diizinkan pasukannya memakai surban.

Tawar-menawar syarat-syarat ini dilakukan pada tanggal 17 Oktober 1829 di Imogiri,

antara delegasi Alibasah dengan delegasi Belanda, yang hasilnya masih memerlukan

waktu untuk diputuskan oleh penguasa tertinggi Hindia Belanda di Batavia.

Dalam surat yang ditulis Jenderal De Kock kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda

di Batavia, tertanggal 20 Oktober 1829, antara lain berisi: “…saya telah menulis surat

kepada Residen dan Kolonel Cochius bahwa mereka harus sedapat mungkin berusaha

menyenangkan hati Alibasah, karena adalah hal yang penting sekali apabila orang

seperti Alibasah dapat kita tarik ke pihak kita dan turut membela kepentingan kita …..

seperti yang hendak saya nyatakan dengan hormat, bahwa karena sebab-sebab itulah

saya berpendapat bahwa adalah sangat penting apabila Alibasah sudah berada di pihak

kita, makin lama makin mengikat dia pada kepentingan kita. Sungguhpun hal ini harus

disertai beberapa pengorbanan dari pada kita.”

Surat Jenderal De Kock ini mendapat jawaban dari pemerintah Hindia Belanda di

Batavia tertanggal 25 Oktbber 1829, antara lain berbunyi: “Pemerintah pada dasarnya

setuju dengan keinginan Jenderal (Jenderal De Kock) bahwa dari pihak kita harus dipergunakan segala apa yang mungkin dapat dipakai, selama hal itu dapat sesuai dengan

kebesaran pemerintah dan berusaha sedapat mungkin mencegah kembalinya Alibasah

ke pihak pemberontak.

Melihat isi surat-surat pemerintah Bindia Belanda ini dapat disimpulkan bahwa Belanda

bersedia memenuhi syarat-syarat yang diajukan oleh Alibasah. Oleh karena itu kepada

Residen Yogyakarta diperintahkan untuk segera menyerahkan uang sebanyak £ 5.000,-

dan 200 pucuk senjata untuk dipergunakan pasukan Alibasah serta pasukannya itu

langsung dibawah komando Jenderal De Kock, walau secara yuridis masih berada

dibawah wewenang sultan. Syarat-syarat lainnya seluruhnya dipenuhi.

Untuk pelaksanaan penyerahan Alibasah dengan pasukannya, pada tanggal 23 Oktober

1829 Jenderal De Kock datang ke kota Yogyakarta untuk menyambutnya; dan pada

tanggal 24 Oktober 1829 Alibasah dengan pasukannya memasuki kota Yogyakarta dan

diterima oleh Jenderal De Kock dengan upacara militer yang meriah.

Dengan menyerahnya Pangeran Mangkubumi, Alibasah dan puluhan Pangeran dan

Tumenggung serta tertangkapnya Kiai Mojo dan gugurnya ratusan tokoh-tokoh Perang

Jawa, maka secara praktis Diponegoro tinggal sendirian. Pengalaman pahit dan getir

yang dialami oleh Diponegoro sebagai pimpinan tertinggi perang Jawa, karena

banyaknya sababat-sahabat meninggalkannya atau meninggal dunia. Dalam kondisi

yang demikian, ia harus menentukan pilihan: meneruskan pertempuran sampai mati

syahid di medan laga atau menyerah kepada musuh sampai mati di dalam penjara.

Kedua alternatif itu sama-sama tidak menyenangkan!

Setelah menyerahnya Alibasah dengan pasukannya, operasi militer Belanda terus

ditingkatkan guna memberikan pukulan terakhir terhadap pasukan Diponegoro yang

tinggal sedikit lagi itu. Tekanan-tekanan pasukan Belanda kepada posisi pasukan

Diponegoro yang terus-menerus ditingkatkan, banyak pula tokoh-tokoh Perang Jawa

yang menyerah, antara lain pada bulan Desember 1829; salah seorang komandan

pasukan Diponegoro yang masih ada yaitu Jayasendirga; Tumenggung Jayaprawira dan

beberapa tumenggung lainnya beserta pasukannya bertekuk lutut kepada Belanda.

Adapula yang karena kondisi kesehatan, akhirnya wafat di puncak gunung Sirnabaya

Banyumas seperti Pangeran Abdul Rahim (saudara Diponegoro sendiri).

Memasuki tahun 1830, musibah yang menimpa pasukan Diponegoro masih terus saja

bertambah. Pada tanggal 8 Januari 1830, putera Diponegoro yaitu Pangeran

Dipakusuma tertangkap oleh pasukan Belanda; pada tanggal 18 Januari 1830 berikutnya

Patih Diponegoro menyerah kepada Belanda.

Usaha untak menghentikan Perang Jawa dengan damai yang licik terus dilakukan.

Dengan menggunakan bekas tokoh-tokoh Perang Jawa seperti Alibasah dan Patih

Danureja dalam usaha perdamaian licik membawa hasil yang menggembirakan bagi

Belanda. Sebab pada tanggal 16 Februari 1830 telah terjadi pertemuan pertama antara

Diponegoro dengan Kolonel Cleerens, wakil pemerintah Hindia Belanda dalam rangka

perdamaian di Kamal, sebelah utara Rama Jatinegara daerah Bagelen.

Pertemuan perdamaian tidak dapat dilangsungkan, karena Diponegoro menuntut

perundingan itu harus dilakukan oleh seorang yang mempunyai posisi yang sama

dengan dia; setidak-tidaknya seperti Jenderal De Kock. Padahal Jenderal De Kock pada

saat itu sedang berada di Batavia.

Untuk menunggu kedatangan Jenderal De Kock, maka Diponegoro dengan pasukannya

terpaksa harus menginap di Kecawang sebelah utara desa Saka. Selama tenggang waktu

perundingan, gencatan senjata dilakukan oleh kedua belah pihak. Desa Kecawang masih

terlalu jauh, apabila perundingan akan dilangsungkan di sana. Oleh karena itu; untuk

memudahkan jalan perundingan Diponegoro dengan pasukannya harus pindah ke

Menoreh yang tidak begitu jauh dari Magelang, markas besar pasukan Belanda.

Pada tanggal 21 Februari 1830 rombongan Diponegoro telah tiba di Menoreh. Tetapi

sampai 5 Maret 1830 Jenderal De Kock belum juga datang ke Magelang padahal bulan

Ramadhan telah tiba. Berkenaan dengan bulan suci ini; Diponegoro tidak mau

mengadakan perundingan dengan Belanda karena ia akan memusatkan dirinya untuk

melakukan ibadah puasa selama sebulan. Kontak pertama antara Diponegoro dengan

Jenderal De Kock terjadi pada tanggai 8 Maret 1830, sebagai perkenalan dan

selanjutnya jadwal perundingan akan dilangsungkan sesudah bulan Ramadhan.

Menjelang hari raya Idul Fithri, Diponegoro telah menerima hadiah dalam bentuk

seekor kuda tunggang yang sangat baik dan uang sebesar f 10.000.- Kemudian diikuti

dengan pembebasan putera dan isteri Diponegoro yang ditahan di Semarang dan

membolehkan mereka berkumpul dengan Diponegoro di tempat penginapan

perundingan di Magelang.

Pada tanggal 25 Maret 1830, Jenderal De Kock telah memberikan perintah rahasia

kepada Letnan Kolonel Du Perron dan pasukannya untuk memperketat pengawalan dan

penjagaan kota Magelang dengan mengerahkan pasukan Belanda dari beberapa daerah

di Jawa Tengah. Instruksinya, apabila perundingan gagal, Diponegoro dan delegasinya

harus ditangkap!

Pada tanggal 28 Maret 1830 perundingan akan dilangsungkan di gedung Keresidenan

Kedu di Magelang. Sebelum jam 07.00 pagi Tumenggung Mangunkusuma datang

kepada Residen Kedu untuk memberitahukan bahwa sebentar lagi Diponegoro dengan

staf nya akan tiba. Pemberitahuan ini menyebabkan Letnan Kolonel Du Perron

menyiap-siagakan pasukannya, sesuai dengan perintah Jenderal De Kock. Jam 07.30

pagi Diponegoro dengan stafnya dikawal oleh seratus orang pasukannya memasuki

gedung keresidenan. Delegasi Diponegoro diterima langsung oleh Jenderal De Kock

dengan staf nya. Perundingan dilakukan di tempat kerja Jenderal De Kock. Pihak

Diponegoro disertai dengan tiga orang puteranya yaitu Diponegoro Anom, Raden Mas

Jonad, Raden Mas Raab, ditambah dengan Basah Martanegara dan Kiai Badaruddin.

Sedangkan di pihak Jenderal De Kock disertai oleh Residen Valk, Letnan Kolonel

Roest, Mayor Ajudan De Stuers dan Kapten Roeps sebagai juru bicara.

Letnan Kolonel De Kock van Leeuwen, Mayor Perie dan opsir-opsir Belanda lainnya

ditugaskan untuk melayani dan mengawasi pemimpin-pemimpin pasukan Diponegoro

yang berada di kamar yang lain. Sedangkan Letnan Kolonel Du Peron tetap berada di

luar gedung keresidenan untuk setiap saat dapat melakukan penyergapan, sebagaimana

telah diperintahkan oleh Jenderal De Kock.

Kolonel Cleerens yang mula-mula sekali berhasil melakukan kontak dengan

Diponegoro dan berhasil merencanakan pertemuan perdamaian serta telah memberikan

jaminan diplomasi penuh kepada Diponegoro dan stafnya tidak diikutsertakan bahkan

tidak berada di kota Magelang tempat perundingan dilaksanakan. Dengan demikian jika

terjadi pengkhianatan maka secara moral Cleerens tidak terlibat langsung, karena

memang tidak hadir.

Babak pertama Jadwal perundingan, menurut Diponegoro sebagai pendahuluan untuk

menjajagi materi perundingan pada babak selanjutnya; tetapi menurut Jenderal De Kock

harus langsung memasuki materi Perundingan. Pembicaraan materi perundingan

menjadi tegang, karena De Kock bersikeras untuk langsung membicarakan materi

perundingan. Suasana tegang dan panas itu, sampai-sampai Diponegoro terlontar

ucapan: “Jika tuan menghendaki persahabatan, maka seharusnya tidak perlu adanya

ketegangan di dalam perundingan ini. Segalanya tentu dapat diselesaikan dengan baik.

Jikalau kami tahu bahwa, tuan begitu jahat, maka pasti lebih baik kami tinggal terus saja

berperang di daerah Bagelen dan apa perlunya kami datang kemari.”

Ketika pihak Jenderal De Kock terus mendesak tentang tujuan penerangan yang telah

dilakukan oleh Diponegoro selama lebih lima tahun ini, maka akhirnya ia memberi

jawaban dengan tegas dan gamblang, yaitu antara lain: “Mendirikan negara merdeka di

bawah pimpinan seorang pemimpin dan mengatur agama Islam di pulau Jawa”.

Mendengar jawaban ini Jenderal De Kock terperanjat, karena ia tidak mengira bahwa

Diponegoro akan mengajukan tuntutan semacam itu. Sewaktu De Kock memberi

jawaban bahwa tuntutan semacam itu adalah terlalu berat dan tak mungkin dapat

dipenuhi, Diponegoro tetap teguh pada tuntutannya.

Tanda-tanda perundingan babak pertama akan menemui jalan buntu, dan Belanda

khawatir jika perundingan ditunda sampai besok, berarti kesempatan buat Diponegoro

dan pasukannya untuk mengadakan konsolidasi guna menghadapi segala kemungkinan.

Sesuai dengan rencana Belanda bahwa perundingan adalah semata-mata methoda untuk

menangkap Diponegoro dan stafnya, maka dengan angkuhnya Jenderal De Kock

berkata: “Kalau begitu, tuan tidak boleh lagi kembali dengan bebas.”

Mendengar ucapan ini, Diponegoro dengan marah menjawab : “Jika demikian, maka

tuan penipu dan pengkhianat, karena kepada saya telah dijanjikan kebebasan dan boleh

kembali ke tempat perjuangan saya semula, apabila perundingan ini gagal.”

Jenderal De Kock berkata lagi: “Jika tuan kembali, maka peperangan akan berkobar

lagi.” Diponegoro menjawab: “Apabila tuan perwira dan jantan, mengapa tuan takut

berperang?”

Tiba-tiba Jenderal De Kock menginstruksikan kepada Letnan Kolonel Du Perron dan

pasukannya untuk menyergap Diponegoro dan stafnya serta seluruh pengawalnya

dilucuti. Dalam posisi tidak siap tempur, Diponegoro dan pasukannya dengan mudah

ditangkap dan dilucuti.

Dengan cepat Diponegoro dimasukkan ke dalam kendaraan residen yang telah disiapkan

oleh Belanda dengan pengawalan ketat oleh Mayor Ajudan De Stuers dan Kapten Roeps

berangkat menuju Ungaran. Dari sana kemudian Diponegoro dibawa ke Semarang

untuk selanjutnya dibawa ke Batavia. Pada tanggal 3 Mei 1830 Diponegoro beserta

stafnya dibawa ke tempat pembuangannya di Menado. Tidak kurang dari 19 orang yang

terdiri dari keluarga dan stafnya ikut dalam pembuangan di Menado. Pada tahun 1834

Diponegoro beserta keluarga dan stafnya dipindahkan ke kota Makasar. Dan pada

tanggal 8 Januari 1855 Diponegoro wafat dalam usia kira-kira 70 tahun, setelah

menjalani masa tawanan selama dua puluh lima tahun.

Perang Jawa yang dahsyat dan penuh patriotisme telah digerakkan dan dipimpin oleh

tokoh-tokoh pejuang Islam, yang hampir sebagian terbesar berideologi Islam dan

bertujuan berdirinya negara merdeka yang berdasarkan Islam. Fakta-fakta sejarah yang

terungkap, baik latar belakang yang mewarnai para tokoh Perang Jawa, masa

peperangan yang memakan waktu lima tahun lebih, yang diisi dengan menegakkan

syari’at Islam di dalam kehidupan pasukan Diponegoro sampai pada saat perundingan

dengan Belanda serta tujuan yang akan dicapai, semuanya adalah bukti yang kuat

bahwa Diponegoro dan pasukannya telah melakukan perjuangan politik Islam untuk

mendirikan negara Islam di tanah Jawa.

[top]

Kegagalan yang diderita oleh Diponegoro dan pasukannya, bukan karena tujuan dan

methodanya yang salah, tetapi karena kekuatan yang tak seimbang, baik manpower,

persenjataan, perlengkapan dan pengkianatan bangsa sendiri yang sebagian besar

membantu Belanda-Kristen yang kafir; disamping tipu muslihat yang licik dan keji yang

dilakukan oleh penguasa kolonial Belanda-Kristen.

Tipu muslihat yang licik dan keji, yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang

bermoral rendah dan jahat, ternyata telah menjadi watak kepribadian penguasa kolonial

Barat-Kristen di Indonesia, baik Portugis-Kristen Katholik maupun Belanda-Kristen

Protestan.

———————————————————————————————————-

PERANG PADRI

Apabila diteliti masa Perang Padri di daerah Sumatera Barat dalam abad ke-19 dapat

digolongkan kepada beberapa priode, yaitu:

(a) Priode 1809 – 1821

Priode ini adalah merupakan pembersihan yang dilakukan oleh kaum Padri terhadap

golongan penghulu adat yang dianggap menyimpang dan bertentangan dengan syari’at

Islam. Dalam masa ini terjadilah pertempuran antara kaum Padri melawan golongan

penghulu adat.

(b) Priode 1821 – 1832

Priode ini adalah merupakan pertempuran antara kaum Padri dengan Belanda-Kristen

yang dibantu sepenuhnya oleh golongan penghulu adat. Dalam masa ini sifat

pertempuran telah berubah antara penguasa kolonial Belanda-Kristen yang mau

menjajah Sumatera Barat yang dibantu oleh para penguasa bangsa sendiri yang

berkolaborasi untuk mempertahankan eksistensinya sebagai penguasa yang ditentang

secara gigih oleh kaum Padri.

(c) Priode 1832 – 1837

Priode ini adalah merupakan perjuangan seluruh rakyat Sumatera Barat, dimana kaum

Padri dan golongan penghulu adat telah barsatu melawan penguasa kolonial BelandaKristen. Dalam masa ini rakyat Sumatera Barat dengan dipelopori dan dipmimpin oleh

para ulama yang tergabung dalam kaum Padri bahu-membahu di medan pertempuran

untuk mengusir penguasa kolonial Belanda-Kristen dari Sumatera Barat.

Latar belakang lahirnya kaum Padri mempunyai kaitan dengan gerakan Wahabi yang

muncul di Saudi Arabia, yaitu gerakan yang dipimpin oleh seorang ulama besar

bernama Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1787). Nama gerakan Wahabi

sesungguhnya merupakan nama yang mempunyai konotasi yang kurang baik, yang

diberikan oleh lawan-lawannya, sedangkan gerakan ini lebih senang dan menamakan

dirinya sebagai kaum ‘Muwahhidin’ yaitu kaum yang konsisten dengan ajaran tauhid,

yang merupakan landasan asasi ajaran Islam.

Paham kaum Muwahhidin (Wahabi) ini antara lain:

(a) Yang boleh dan harus disembah hanyalah Allah semata; dan siapa saja yang

menyembah selain Allah, adalah musyrik;

(b) Umat Islam yang meminta safaat kepada para wali, syeikh atau ulama dan kekuatan

ghaib yang dipandang memiliki dan mampu memberikan safaat adalah suatu

kemusyrikan;

(c) Menyebut-nyebut nama Nabi, wali, ulama untuk dijadikan perantara dalam berdo’a

adalah termasuk perbuatan syirik;

(d) Mengikuti shalat berjamaah adalah merupakan kewajiban;

(e) Merokok dan segala bentuk candu adalah haram;

(f) Memberantas segala bentuk kemungkaran dan kemaksiatan;

(g) Umat Islam, harus hidup sederhana, segala macam pakaian mewah dan berlebihlebihan diharamkan.

Sifat gerakan Wahabi yang keras ini, benar-benar merupakan tenaga penggerak yang

sanggup membangkitkan kembali kesadaran kaum muslimin yang sedang tidur lelap

dalam keterbelakangannya. Dibantu dengan para sahahatnya seperti Ibnu Sa’ud dan

Abdul Azis Ibnu Sa’ud, pemikiran dan cita-cita ini diwujudkan dalam gerakan yang

keras, akhirnya pada tahun 1921 menjelma menjadi satu pemerintahan yang berdaulat di

Saudi Arabia dengan ibukotanya Riyadh.

Paham dan gerakan Wahabi inilah yang mewarnai pandangan Haji Miskin dari Pandai

Sikat (Luhak Agam), Haji Abdur Rahman dari Piabang (Luhak Lima Puluh) dan Haji

Muhammad Arief dari Sumanik (Luhak Tanah Datar) yang bermukim di Mekah Saudi

Arabia dan pada tahun 1802 mereka kembali ke Sumatera Barat.

Sesampainya di Sumatera Barat, mereka berpendapat bahwa umat Islam di

Minangkabau baru memeluk Islam namanya saja, belum benar-benar mengamalkan

ajaran Islam yang sejati. Berdasarkan penilaian semacam itu, maka di daerahnya

masing-masing mereka mencoba memberikan fatwanya. Haji Muhammad Arifin di

Sumanik mendapat tantangan hebat di daerahnya sehingga terpaksa pindah ke Lintau.

Haji Miskin mendapat perlawanan hebat pula di daerahnya dan terpaksa harus pindah ke

Ampat Angkat. Hanya Haji Abdur Rahman di Piabang yang tidak banyak mendapat

halangan dan tantangan.

Kepindahan Haji Miskin ke Ampat Angkat membawa angin baru, karena di sini ia

mendapatkan sahabat-sahabat perjuangan yang setia; diantaranya yaitu Tuanku Nan

Renceh di Kamang, Tuanku di Kubu Sanang; Tuanku di Ladang Lawas, Tuanku di

Koto di Padang Luar, Tuanku di Galung, Tuanku di Koto Ambalau, Tuanku di Lubuk

Aur. Itulah tujuh orang yang berbai’ah (berjanji sehidup semati) dengan Tuanku Haji

Miskin. Jumlah para ulama yang berbai’ah ini menjadi delapan orang, yang kemudian

terkenal dengan sebutan ‘Harimau Nan Salapan’.

Harimau Nan Salapan ini menyadari bahwa gerakan ini akan lebih berhasil bilamana

mendapat sokongan daripada ulama yang lebih tua dan lebih berpengaruh, yaitu Tuanku

Nan Tuo di Ampat Angkat. Oleh sebab itu Tuanku Nan Renceh yang lebih berani dan

lebih lincah telah berkali-kali menjumpai Tuanku Nan Tuo untuk meminta agar ia

bersedia menjadi ‘imam’ atau pemimpin gerakaa ini. Tetapi setelah bertukar-pikiran

berulang kali, Tuanku Nan Tuo menolak tawaran itu. Sebab pendirian Harimau Nan

Salapan hendak dengan segera menjalankan syari’at Islam di setiap nagari yang telah

ditaklukkannya. Kalau perlu dengan kekuatan dan kekuasaan.

Tetapi Tuanku Nan Tuo mempunyai pendapat Yang berbeda; ia berpendapat apabila

telah ada orang beriman di satu nagari walaupun baru seorang, tidaklah boleh nagari itu

diserang. Maka yang penting menurut pandangannya ialah menanamkan pengaruh yang

besar pada setiap nagari. Apabila seorang ulama di satu nagari telah besar pengaruhnya,

ulama itu dapat memasukkan pengaruhnya kepada penghulu-penghulu, imam-khatib

mantri dan dubalang.

Pendapat yang berbeda dan bahkan bertolak belakang antara Tuanku Nan Tuo dengan

Harimau Nan Salapan sulit untuk dipertemukan, sehingga tidak mungkin Tuanku Nan

Tuo dapat diangkat menjadi imam atau pemimpin gerakan ini. Untuk mengatasi

masalah ini, Harimau Nan Salapan mencoba mengajak Tuanku di Mansiangan, yaitu

putera dari Tuanku Mansiangan Nan Tuo, yakni guru daripada Tuanku Nan Tuo Ampat

Angkat. Rupanya Tuanku yang muda di Mansiangan ini bersedia diangkat menjadi

imam atau pemimpin gerakan Harimau Nan Salapan, dengan gelar Tuanku Nan Tuo.

Karena yang diangkat menjadi imam itu adalah anak daripada gurunya sendiri, sulitlah

bagi Tuanku Nan Tuo Ampat Angkat itu untuk menentang gerakan ini. Padahal

hakikatnya yang menjadi imam dari gerakan Hariman Nan Salapan adalah Tuanku Nan

Renceh; sedangkan Tuanku di Mansiangan hanya sebagai simbol belaka.

Kaum Harimau Nan Salapan senantiasa memakai pakaian putih-putih sebagai lambang

kesucian dan kebersihan, dan kemudian gerakan ini terkenal dengan nama ‘Gerakan

Padri’.

Setelah berhasil mengangkat Tuanku di Mansiangan menjadi imam gerakan Padri ini,

maka Tuanku Nan Renceh selaku pimpinan yang paling menonjol dari Harimau Nan

Salapan mencanangkan perjuangan padri ini dan memusatkan gerakannya di daerah

Kameng. Untuk dapat melaksanakan syari’at Islam secara utuh dan murni, tidak ada

alternatif lain kecuali memperoleh kekuasaan politik. Sedangkan kekuasaan politik itu

berada di tangan para penghulu. Oleh karena itu untuk memperoleh kekuasaan politik

itu, tidak ada jalan lain kecuali merebut kekuasaan dari tangan para penghulu. Karena

Kamang menjadi pusat perjuangan Padri, maka kekuasaan penghulu Kamang harus

diambil alih oleh kaum Padri, dan berhasil dengan baik.

Sementara itu para penghulu di luar Kamang yang telah mendengar adanya gerakan

Padri ini, ingin membuktikan sampai sejauh mana kemampuan para alim-ulama dalam

perjuangan mereka untuk melaksanakan syari’at Islam secara utuh dan murni. Bertempat

di Bukit Batabuah dengan Sungai Puar di lereng Gunung Merapi, para penghulu dengan

sengaja dan mencolok mengadakan penyabungan ayam, main judi dan minum-minuman

keras yang diramaikan dengan bermacam pertunjukan. Para penghulu itu dengan para

pengikutnya seolah-olah memancing apakah para alim-ulama mampu merealisasikan

ikrarnya untuk betul-betul melaksanakan syari’at Islam secara keras.

Tentu saja tantangan ini menimbulkan kemarahan dari pihak kaum Padri. Dengan segala

persenjataan yang ada pada mereka, seperti setengger (senapan balansa), parang,

tombak, cangkul, sabit, pisau dan sebagainya kaum Padri pergi ke Bukit Batabuh

tersebut untuk membubarkan pesta ‘maksiat’ yang diselenggarakan oleh golongan

penghulu (penguasa). Sesampainya pasukan kaum Padri di Bukit Batabuh disambut

dengan pertempuran oleh golongan penghulu. Dengan sikap mental perang sabil dan

mati syahid, pertempuran yang banyak menelan korban di kedua belah pihak, akhirnya

dimenangkan oleh pasukan kaum Padri. Dengan peristiwa Bukit Batabuh, berarti

permulaan peperangan Padri.

Kemenangan pertama yang gemilang bagi kaum Padri, mendorong Tuanku Nan Renceh

sebagai pimpinan gerakan ini untuk memperkuat dan melengkapi persenjataan pasukan

Padri. Tindakan ofensif bagi daerah-daerah yang menentang kaum Padri segera

dilakukan. Daerah Kamang Hilir ditaklukkan, kemudian menyusul daerah Tilatang.

Dengan demikian seluruh Kamang telah berada di tangan kaum Padri.

Dari Kamang operasi pasukan Padri ditujukan ke luar yaitu Padang Rarab dan Guguk

jatuh ketangan kaum Padri. Lalu daerah Candung, Matur dan bahkan pada tahun 1804

seluruh daerah Luhak Agam telah berada di dalam kekuasaan kaum Padri.

Keberhasilan kaum Padri menguasai daerah Luhak Agam, selain kesungguhan yang

keras, tetapi juga kondisi masyarakatnya memang sangat memungkinkan untuk cepat

berhasil. Sebab daerah Luhak Agam terkenal tempat bermukimnya ulama-ulama besar

seperti Tuanku Pamansiangan dan Tuanku Nan Tuo, sedangkan pengaruh para penghulu

sangat tipis. Wibawa para penghulu berada di bawah pengaruh para ulama.

Operasi pasukan Padri ke daerah Luhak Lima Puluh Kota berjalan dengan damai. Sebab

penghulu daerah ini bersedia menyatakan taat dan patuh kepada kaum Padri serta siap

membantu setiap saat untuk kemenangan kaum Padri.

Dengan berkuasanya kaum Padri; maka daerah-daerah yang berada di dalam

kekuasaannya diadakan perubahan struktur pemerintahan yaitu pada setiap nagari

diangkat seorang ‘Imam dan seorang Kadhi’. Imam bertugas memimpin peribadahan

seperti sembahyang berjamaah lima waktu sehari semalam, puasa, dan lain-lain yang

berhubungan dengan masalah-masalah ibadah. Kadhi bertugas untuk menjaga

kelancaran dijalankannya syari’at Islam dalam arti kata lebih luas dan menjaga

ketertiban Umum.

Di daerah Luhak Tanah Datar, pasukan kaum Padri tidak semudah dan selicin di daerah

Luhak Adam dan Lima Puluh Kota untuk memperoleh kekuasaannya. Di sini

pasukan kaum Padri mendapat perlawanan yang sengit dari golongan penghulu dan

pemangku adat. Sebab Luhak Tanah Datar adalah merupakan pusat kekuasaan adat

Minangkabau. Kekuasaan itu berpusat di Pagaruyung yang dipimpin oleh Yang

Dipertuan Minangkabau. Di waktu itu Yang Dipertuan atau Raja Minangkabau adalah

Sultan Arifin Muning Syah.

Pada pemerintahan Minangkabau yang berpusat di Pagaruyung terdapat tiga orang raja

yang berkuasa yang dikenal dengan nama Raja Tigo Selo, yaitu :

(a) Raja Alat atau Yang Dipertuan Pagaruyung, adalah yang memegang kekuasaan

tertinggi di seluruh Minangkabau.

(b) Raja Adat, adalah yang memegang kekuasaan dalam masalah adat.

(c) Raja Ibadat adalah yang memegang kekuasaan dalam masalah agama.

Dalam pelaksanaan pemerintah sehari-hari Raja Tigo Selo dibantu oleh Basa Empat

Balai yang berkedudukan sebagai menteri dalam pemerintahan Minangkabau di

Pagaruyung. Mereka itu adalah :

– Dt. Bandaharo atau Tuan Tittah di Sungai Tarab, yang mengepalai tiga orang

lainnya atau dapat dikatakan sebagai Perdana Menteri;

– Makkudun di Sumanik, yang menjaga kewibawaan istana dan menjaga bubungan

dengan daerah rantau dan daerah-daerah lainmya;

– Indomo di Suruaso, yang bertugas menjaga kelancaran pelaksanaan adat;

– Tuan Kadhi di Padang Ganting; yang bertugas menjaga kelancaran syari’at atau

agama.

Di samping Basa Empat Balai ada seorang lagi, yaitu Tuan Gadang di Batipuh yang

bertindak sebagai Panglima Perang, kalau Pagaruyung kacau dialah bersama

pasukannya untuk mengamankannya.

Kekuasaan Raja Minangkabau sebetulnya tidak begitu terasa oleh rakyat dalam

kehidupan sehari-hari, karena nagari-nagari di Minangkabau mendapat otonomi yang

sangat luas, sehingga segala sesuatu di dalam nagari dapat diselesaikan oleh kepala

nagari melalui kerapatan adat nagari. Kalau masalahnya tidak selesai dalam nagari baru

dibawa ke pimpinan Luhak (kira-kira sama dengan kabupaten sekarang). Kalau masih

belum selesai diteruskan ke Basa Empat Balai untuk selanjutnya diteruskan ke Raja

Adat atau Raja Ibadat, tergantung pada masalahnya. Kalau semuanya tak dapat

menyelesaikan masalahnya, maka akan diputuskan oleh Raja Minangkabau.

Oleh karena itu gerakan Padri oleh Raja Minangkabau dan stafnya dianggap satu bahaya

besar, sebab gerakan ini akan mengambil kekuasaan mereka. Selain itu para bangsawan

pun cemas, karena khawatir adat nenek-moyang yang telah turun-menurun akan lenyap,

jika kaum Padri berkuasa.

Pertempuran sengit di daerah Luhak Tanah Datar antara pasukan Padri dengan pasukan

Raja berjalan sangat alot. Perebutan daerah Tanjung Barulak, salah satu jalan untuk

masuk ke pusat kekuasaan Minangkabau dari Luhak Agam, sering berpindah tangan,

terkadang dikuasai pasukan Padri, terkadang dapat direbut kembali oleh pasukan raja.

Walaupun begitu, pasukan Padri makin hari makin maju, sehingga daerah kekuasaan

para penghulu makin lama makin kecil. Untuk mencegah hal-hal yang lebih buruk bagi

para penghulu, akhirnya atas persetujuan Yang Dipertuan di Pagaruyung, Basa Empat

Balai mengadakan perundingan dengan kaum Padri.

Perundingan itu dilaksanakan di nagari Koto Tangah pada tahun 1808, sesudah enam

tahun gerakan kaum Padri melancarkan aksinya. Kaum Padri dalam perundingan itu

dipimpin oleh Tuanku Lintau yang datang dengan seluruh pasukannya, sedangkan para

penghulu dipimpin oleh Raja Minangkabau sendiri. Seluruh staf raja dan sanak

keluarganya hadir dalam pertemuan tersebut, tanpa menaruh curiga sedikit juga, karena

gencatan senjata telah disepakati sebelumnya.

Tetapi sekonyong-konyong keadaan menjadi kacau sebelum perundingan dimulai.

Karena kesalah-pahaman antara bawahan Tuanku Lintau yang bernama Tuanku Belo

dengan para staf raja, yang berakibat meledak menjadi perkelahian dan pertumpahan

darah.

Raja dan hampir sebagian terbesar staf dan keluarganya mati terbunuh dalam

perkelahian itu, hanya ada beberapa orang dari para penghulu dan seorang cucu raja

yang dapat selamat meloloskan diri sampai ke Kuantan.

Mendengar peristiwa berdarah ini, Tuanku Nan Renceh sebagai pimpinan tertinggi

gerakan Padri sangat marah terhadap Tuanku Lintau dan pasukannya, karena dianggap

melanggar gencatan senjata yang telah disepakati dan berarti menggagalkan usaha

perdamaian.

Dengan peristiwa ini, maka praktis seluruh Luhak Tanah Datar menyerah kepada kaum

Padri tanpa perlawanan, karena takut melihat pengalaman di Koto Tangah.

Untuk mengokohkan gerakan kaum Padri, Tuanku Nan Renceh telah memerintahkan

salah seorang muridnya yang bernama Malin Basa atau Peto Syarif atau Muhammad

Syahab, untuk membuat sebuah benteng yang kuat, sebagai markas gerakan kaum Padri.

Pemilihan Malin Basa, yang kemudian bergelar Tuanku Mudo nntuk membuat benteng

besar, guna menjadi pusat gerakan kaum Padri, disebabkan karena Malin Basa (Tuanku

Mudo) seorang murid yang pandai, alim dan berani.

Perintah Tuanku Nan Renceh sebagai pimpinan tertinggi gerakan Padri dan guru dari

Tuanku Mudo, dilaksanakan dengan penuh kesungguhan dan keberanian dan berhasil

memilih tempat di sebelah timur Alahan Panjang, di kaki bukit yang bernama Bukit

Tajadi. Dengan bantuan seluruh umat Islam yang tinggal di sekitar Alahan Panjang,

dimana setiap hari bekerja tidak kurang dari 5000 orang, akhirnya ‘Benteng Bonjol’

yang terletak di bukit Tajadi itu menjelma menjadi kenyataan dengan ukuran panjang

kelilingnya kira-kira 800 meter dengan areal seluas kira-kira 90 hektar, tinggi tembok

empat meter dengan tebalnya tiga meter. Di sekelilingnya ditanami pagar aur berduri

yang sangat rapat.

Di tengah-tengah benteng Bonjol berdiri dengan megahnya sebuah masjid yang lengkap

dengan perkampungan pasukan Padri dan rakyat yang setiap saat mereka dapat

mengerjakan sawah ladangnya untuk keperluan hidup sehari-hari. Sesuai dengan

fungsinya, maka benteng Bonjol juga diperlengkapi dengan persenjataan perang, guna

setiap saat siap menghadapi pertempuran. Benteng Bonjol itu dipimpin langsung oleh

Tuanku Mudo yang bertindak sebagai ‘imam’ dari masyarakat benteng Bonjol, yang

sesuai dengan struktur pemerintahan kaum Padri. Oleh sebab itu, Tanku Mudo digelari

dengan ‘Imam Bonjol’.

Setelah benteng Bonjol selesai dan struktur pemerintahan lengkap berdiri, Imam Bonjol

memulai gerakan Padrinya ke daerah-daerah sekitar Alahan Panjang dan berhasil

dengan sangat memuaskan. Keberbasilan Imam Bonjol dengan pasukannya

menimbulkan kecemasan para penghulu di Alahan Panjang seperti antara lain Datuk

Sati. Kecemasan ini melahirkan satu gerakan para penghulu di Alahan Panjang untuk

menyerang pasukan Imam Bonjol dan merebut benteng sekaligus. Pada tahun 1812

Datuk Sati dengan pasukannya menyerbu benteng Bonjol, tetapi sia-sia dan kekalahan

diderita olehnya. Untuk mencegah hal-hal yang lebih buruk, maka Datuk Sati mengajak

diadakannya perdamaian antara para penghulu dengan Imam Bonjol.

Keberhasilan Imam Bonjol menguasai seluruh daerah Alahan Panjang, ia kemudian

diangkat menjadi pemimpin Padri untuk daerah Pasaman. Untuk meluaskan kekuasaan

kaum Padri, Imam Bonjol mengarahkan pasukannya ke daerah Tapanuli Selatan. Mulai

Lubuk Sikaping sampai Rao diserbu oleh pasukan Imam Bonjol. Dari sana terus ke

Talu, Air Bangis, Sasak, Tiku dan seluruh pantai barat Minangkabau sebelah utara.

Setelah seluruh Pasaman dikuasai, maka untuk memperkuat basis pertahanan untuk

penyerangan ke utara, didirikan pula benteng di Rao dan di Dalu-Dalu. Benteng ini

terletak agak ke sebelah utara Minangkabau. Benteng Rao dikepalai oleh Tuanku Rao,

sedangkan benteng Dalu-Dalu dikepalai oleh Tuanku Tambusi. Kedua perwira Padri ini

berasal dari Tapanuli dan berada di bawah pimpinan Imam Bonjol.

Dengan mengangkat Tuanku Rao dan Tuanku Tambusi sebagai pimpinan kaum Padri di

Tapanuli Selatan, gerakan Padri berjalan dengan sangat berhasil, tanpa menghadapi

perlawanan yang berarti. Daerah-daerah di sini begitu setia untuk menjalankan syari’at

Islam secara penuh, sesuai dengan misi yang diemban oleh gerakan Padri.

Sementara kaum Padri bergerak menguasai Tapanuli Selatan dan daerah pesisir barat

Minangkabau, Belanda muncul kembali di Padang. Tuanku Pamansiangan salah

seorang pemimpin di Luhak Agam mengusulkan kepada Imam Bonjol untuk menarik

pasukan Padri dari Tapanuli Selatan dan menggempur kedudukan Belanda di Padang

yang belum begitu kuat. Karena baru saja serah terima kekuasaan dari Inggris (1819).

Tetapi perwira-perwira Padri seperti Tuanku Raos, Tuanku Tambusi dan Tuanku Lelo

dari Tapanuli Selatan berkebaratan untuk melaksakan usul itu, oleh karena itu Imam

Bonjol hanya dapat memantau kegiatan dan gerakan pasukan Belanda melalui kurirkurir yang sengaja dikirim ke sana.

Belanda yang tahu bahwa daerah pesisir seperti Pariaman, Tiku, Air Bangis adalah

daerah strategis yang telah dikuasai kaum Padri, maka Belanda telah membagi pasukan

untuk merebut daerah-daerah tersebut. Dalam menghadapi serangan Belanda ini, maka

terpaksa kaum Padri yang berada di Tapanuli Selatan di bawah pimpinan Tuanku Rao

dan Tuanku Tambusi dikirim untuk menghadapinya. Pertempuran sengit terjadi dan

pada tahun 1821 Tuanku Rao gugur sebagai syuhada di Air Bangis. Perlawanan

pasukan Padri melawan pasukan Belanda diteruskan dengan pimpinan Tuanku Tambusi.

Kemenangan yang diperoleh Belanda dalam medan pertempuran menghadapi pasukan

Padri, menumbuhkan semangat bagi golongan penghulu, yang selama ini kekuasaannya

telah lepas. Dengan secara diam-diam para penghulu Minangkabau mengadakan

perjanjian kerjasama dengan Belanda untuk memerangi kaum Padri. Para penghulu

yang mengatasnamakan yang Dipertuan Minangkabau langsung mengikat perjanjian

kerjasama dengan Residen Belanda di Padang yang bernama Du Puy.

Dengan terjalinnya kerjasama antara para penghulu dengan Belanda, maka berarti kaum

Padri akan menghadapi bahaya besar. Dalam kondisi demikian, tiba-tiba Tuanku Nan

Renceh, Yang menjadi pimpinan tertinggi kaum Padri yang gemilang pada tahun 1820

wafat. Kekosongan ini secara demokrasi diisi oleh Iman Bonjol. Atas persetujuan para

perwira pasukan Padri, Imam Bonjol langsung memimpin gerakan Padri untuk

menghadapi pasukan gabungan Belanda-Penghulu.

Pada tahun 1821 pertahanan Belanda di Semawang diserang oleh pasukan Padri;

sedangkan pasukan Belanda yang mencoba memasuki Lintau dicerai-beraikan. Untuk

menguasai medan, pasukan Belanda membuat benteng di Batusangkar dengan nama

‘Benteng atau Fort van der Capellen’. Berulang kali pasukan Belanda-Penghulu

menyerang kedudukan pasukan Padri di Lintau, tetapi selalu mendapati kegagalan,

bahkan pernah pasukan Belanda-Penghulu terjebak.

Perlawanan yang sengit dari pasukan Padri, mendorong Belanda untuk memperkuat

pasukannya di Padang. Pada akhir tahun 1821 Belanda mengirimkan pasukannya dari

Batavia di bawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff. Dengan bantuan militer yang

lengkap persenjataannya, pasukan Belanda melakukan ofensif terhadap kedudukan

pasukan Padri.

Operasi militer yang dilakukan oleh pasukan Belanda-Penghulu ditujukan ke daerah

yang dianggap strategis yaitu Luhak Tanah Datar. Dengan menaklukkan Luhak Tanah

Datar, yang berpusat di Pagaruyung, menurut dugaan Belanda perlawanan pasukan

Padri akan mudah ditumpas. Oleh karena itu pada tahun 1822 pasukan BelandaPenghulu di bawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff menyerang Pagaruyung.

Pertempuran sengit terjadi, korban dari kedua pihak banyak yang berjatuhan. Karena

kekuatan yang tidak seimbang, akhirnya pasukan Padri mengundurkan diri ke daerah

Lintau setelah meninggalkan korban di pihak Belanda yang cukup besar.

Usaha pengejaran dilakukan terus oleh pasukan Belanda dengan jalan mendatangkan

bantuan dari Batusangkar. Tetapi pasukan Belanda sesampainya di Lintau seluruhnya

dapat dipukul mundur dan terpaksa kembali ke pangkalan mereka di Batusangkar.

Setelah Belanda memperkuat diri, ofensif dilakukan kembali dengan jalan memblokade

daerah Lintau, sehingga terputus hubungannya dengan Luhak Lima Puluh Kota dan

Luhak Agam. Walaupun nagari Tanjung Alam dapat direbut oleh pasukan Belanda,

tetapi usahanya untuk merebut Lintau dapat dipatahkan, karena pasukan Padri di Luhak

Agam di bawah pimpinan Tuanku Pamansiangan memberikan perlawanan yang sengit.

Kemudian Letnan Kolonel Raaff menyusun kembali pasukannya untuk merebut Luhak

Agam, Koto Lawas, Pandai Sikat dan Gunung; dan kali ini berhasil, setelah melalui

pertempuran dahsyat, di mana Tuanku Pamansiangan dapat tertangkap, yang kemudian

dihukum gantung oleh Belanda.

Pada akhir tahun 1822 pasukan Padri di bawah pimpinan Imam Bonjol melakukan

serangan balasan terhadap pasukan Belanda di berbagai daerah yang pernah

didudukinya. Pertama-tama Air Bangis mendapat serangan pasukan Padri. Operasi ke

Air Bangis ini langsung dipimpin oleh Imam Bonjol dibantu oleh perwira-perwira

pasukan Padri dari Tapanuli Selatan. Hanya dengan pertahanan yang luar biasa dan

dibantu dengan tembakan-tembakan meriam laut, Air Bangis dapat selamat dari

serangan pasukan Padri. Kegagalan ini, pasukan Padri mencoba merebut kembali daerah

Luhak Agam. Serangan pasukan Padri ke daerah ini berhasil merebut kembali daerah

Sungai Puar, Gunung, Sigandang dan beberapa daerah lainnya.

Awal tahun 1823 Kolonel Raaff mendapatkan tambahan pasukan militer dari Batavia.

Dengan kekuatan baru, pasukan Belanda mengadakan operasi militer besar-besaran

untuk merebut seluruh Luhak Tanah Datar. Tetapi di bukit Marapalam terjadi

pertempuran sengit antara pasukan Belanda dengan pasukan Padri selama tiga hari tiga

malam, sehingga Belanda terpaksa harus mengundurkan diri. Tetapi operasi militer

Belanda itu diarahkan ke Luhak Agam seperti daerah Biaro dan Gunung Singgalang.

Pertempuran sengit terjadi antara pasukan Belanda dengan pasukan Padri, tetapi karena

kekuatan pasukan Belanda jauh lebih besar, akhirnya daerah-daerah itu dapat

direbutnya. Kemenangan pasukan Belanda diikuti oleh tindakan biadab dengan jalan

melakukan pembunuhan massal terhadap penduduk, besar-kecil, laki-laki maupun

perempuan.

Pengalaman pertempuran selama tahun 1823, membuat Belanda berhitung dua kali.

Sebab banyak daerah yang telah direbutnya, ternyata dapat kembali diambil oleh

pasukan Padri. Operasi militer besar-besaran dengan tambahan pasukan dari Batavia

terbukti tidak dapat menumpas pasukan Padri. Oleh karena itu, untuk kepentingan

konsolidasi, Belanda berusaha untuk mengadakan perjanjian gencatan senjata. Usaha ini

berhasil, sehingga pada tanggal 22 Januari 1824 perjanjian gencatan senjata di Masang

ditanda-tangani oleh Belanda dan kaum Padri.

Perjanjian Masang hanya dapat bertahan kira-kira satu bulan lebih sedikit. Sebab

Belanda dengan tiba-tiba mengadakan gerakan militer ke daerah Luhak Tanah Datar dan

Luhak Agam. Melalui pertempuran dahsyat, pusat Luhak Tanah Datar dan Luhak Agam

dapat sepenuhnya dikuasai pasukan Belanda, dan mereka mendirikan benteng dengan

nama Fort de Kock di sana. Dengan kekalahan pasukan Padri di Luhak Tanah Datar dan

Luhak Agam, maka Imam Bonjol memusatkan kekuatan kaum Padri di benteng Bonjol

dan sekitarnya sambil sekaligus melakukan konsolidasi pasukan yang telah jenuh

berperang selama lebih dari dua puluh tahun lamanya.

Sementara itu pada tahun 1825 di Jawa telah pecah perang Jawa. Dengan timbulnya

perang Jawa ini, kekuatan pasukan Belanda menjadi terpecah dua: sebagian untuk

menghadapi perang Padri yang tak kunjung selesai, dan yang sebagian lagi harus

menghadapi Perang Jawa yang baru muncul. Karena perang Jawa dianggap oleh

Belanda lebih strategis dan dapat mengancam eksistensi Belanda di Batavia, pusat

pemerintahan kolonial Belanda (Hindia Belanda), maka mau tidak mau semua kekuatau

militer harus dipusatkan untuk menghadapi perang Jawa.

Untuk itu perlu ditempuh satu kebijaksanaan guna mengadakan perdamaian kembali

dengan kaum Padri di Sumatera Barat. Pada tahun 1825 usaha perdamaian dan gencatan

senjata dengan kaum Padri berhasil dicapai, dengan jalan mengakui kedaulatan kaum

Padri di beberapa daerah Minangkabau yang memang masih secara penuh dikuasainya.

Perjanjian damai dan gencatan senjata dipergunakan oleh Belanda untuk menarik

pasukannya dari Sumatera Barat sebanyak 4300 orang, dan mensisakannya hanya 700

orang saja lagi. Pasukan sisa sebanyak 700 orang serdadu itu, digunakan hanya untuk

menjaga benteng dan pusat-pusat pertahanan Belanda di Sumatera Barat.

Setelah Perang Jawa selesai dan kemenangan diperoleh oleh penguasa kolonial Belanda,

maka kekuatan militer Belanda di Jawa sebagian terbesar dibawa ke Sumatera Barat

untuk menghadapi Perang Padri. Dengan kekuatan militer yang besar Belanda

melakukan serangan ke daerah pertahanan pasukan Padri. Pada akhir tahun 1831,

Katiagan kota pelabuhan yang menjadi pusat perdagangan kaum Padri direbut oleh

pasukan Belanda. Kemudian berturut-turut Marapalam jatuh pada akhir 1831, Kapau,

Kamang dan Lintau jatuh pada tahun 1832, dan Matur serta Masang dikuasai Belanda

pada tahun 1834.

Kejatuhan daerah-daerah pelabuhan ke tangan Belanda mendorong kaum Padri, yang

memusatkan kekuatannya di benteng Bonjol, mencari jalan jalur perdagangan melalui

sungai Rokan, Kampar Kiri dan Kampar Kanan, di mana sebuah anak sungai Kampar

kanan dapat dilayari sampai dekat Bonjol. Hubungan Bonjol ke timur melalui anak

sungai tersebut sampai ke Pelalawan, dan dari sana bisa terus ke Penang dan Singapura,

dapat dikuasai. Tetapi jalur pelayaran ini, pada akhir tahun 1834 dapat direbut oleh

Belanda. Dengan demikian posisi pasukan Padri yang berpusat di benteng Bonjol

mendapat kesulitan, terutama dalam memperoleh suplai bahan makanan dan

persenjataan.

Kemenangan yang gilang-gemilang diperoleh pasukan Belanda menimbulkan

kecemasan para golongan penghulu, yang selama ini telah membantunya. Kekuasaan

yang diharapkan para penghulu dapat dipegangnya kembali, ternyata setelah

kemenangan Belanda menjadi buyar. Sikap sombong dan moral yang bejat yang

dipertontonkan oleh pasukan Belanda-Kristen, seperti menjadikan masjid sebagai

tempat asrama militer dan tempat minum-minuman keras, mengusir rakyat kecil dari

rumah-rumah mereka, pembantaian massal, pemerkosaan terhadap wanita-wanita,

memanjakan orang-orang Cina dengan memberi kesempatan menguasai perekonomian

rakyat, akhirnya menimbulkan rasa benci dan tak puas dari golongan penghulu kepada

Belanda. Kebencian dan kemarahan para penghulu menumbuhkan rasa harga diri untuk

mengusir Belanda dari daerah Minangkabau untuk melakukan perlawanan terhadap

Belanda secara sendirian tidak mampu, karenanya perlu adanya kerjasama dengan kaum

Padri.

Uluran tangan golongan penghulu disambut baik oleh kaum Padri. Perjanjian kerjasama

dan ikrar antara golongan penghulu dengan kaum Padri untuk mengusir Belanda, dari

tanah Minangkabau dilaksanakan pada akhir tahun 1832 bertempat di lereng gunung

Tandikat. Gerakan perlawanan rakyat Sumatera Barat terhadap Belanda dipimpin

langsung oleh Imam Bonjol.

Dalam perjanjian dan ikrar rahasia di lereng gunung Tandikat itu, telah ditetapkan

bahwa tanggal 11 Januari 1833, kaum Padri dan golongan penghulu beserta rakyat

Sumatera Barat secara serentak melakukan serangan kepada pasukan Belanda. Awal

serangan rakyat Minangkabau ini terhadap pasukan Belanda banyak mengalami

kemenangan, terutama di daerah sekitar benteng Bonjol, di mana pasukan Belanda

ditempatkan untuk melakukan blokade. Pasukan Belanda yang langsung dipimpin oleh

Letnan Kolonel Vermeulen Krieger, pimpinan tertinggi militer di Sumatera Barat, di

daerah Sipisang diporak-porandakan oleh pasukan Padri, sehingga, banyak sekali

serdadu Belanda yang mati terbunuh. Hanya Letnan Kolonel Vermeulen Krieger dan

beberapa orang anak buahnya yang dapat menyelamatkan diri dari pembunuhan itu.

Karena semua jalan terputus maka terpaksa Letnan Kolonel Vermeulen Krieger dengan

anak buahnya yang tinggal beberapa orang itu menempuh jalan hutan belantara untuk

bisa kembali ke Bukittinggi.

Apabila di daerah Alahan Panjang, serangan secara serentak dapat dilakukan oleh rakyat

Minangkabau dan berhasil memukul mundur pasukan Belanda, tetapi di Luhak Tanah

Datar dan Luhak Agam, serangan itu tidak dapat dilaksanakan. Faktor penyebabnya

ialah banyak daerah-daerah di sini belum menerima informasi dari hasil Ikrar Tandikat;

disamping banyak daerah-daerah strategis yang dikuasai Belanda. Bahkan ada juga

informasi ikrar ini jatuh ke tangan Belanda, sehingga orang-orang yang dicurigai segera

ditangkap. Di samping itu memang masih banyak para penghulu atau kepala adat yang

tetap setia kepada Belanda.

Timbulnya perlawanan serentak dari seluruh rakyat Minangkabau, sebagai realisasi

ikrar Tandikat, memaksa Gubernur Jenderal Van den Bosch pergi ke Padang pada

tanggal 23 Agustus 1833, untuk melihat dari dekat tentang jalannya operasi militer yang

dilakukan oleh pasukan Belanda. Sesampainya di Padang, ia melakukan perundingan

dengan Jenderal Riesz dan Letnan Kolonel Elout untuk segera menaklukkan benteng

Bonjol, yang dijadikan pusat meriam besar pasukan Padri, Riesz dan Elout

menerangkan bahwa belum datang saatnya yang baik untuk mengadakan serangan

umum terhadap benteng Bonjol, karena kesetiaan penduduk Agam masih disangsikan,

dan mereka sangat mungkin kelak menyerang pasukan Belanda dari belakang. Tetapi

Jenderal Van den Bosch bersikeras untuk segera menaklukkan benteng Bonjol, dan

paling lambat tanggal 10 september 1833 Bonjol harus jatuh. Kedua opsir tersebut

meminta tangguh enam hari lagi, sehingga jatuhnya Bonjol diharapkan pada tanggal 16

September 1833.

Meskipun demikian, kedua opsir tersebut belum yakin dapat melaksanakan rencana

yang telah diputuskannya, sebab besar sekali kesulitan-kesulitan yang harus

dihadapinya. Pertama, karena mereka harus rnengerahkan tiga kolone: satu kolonne

harus menyerang Bonjol dengan melalui Suliki dan Puar Datar di Luhak Lima Puluh

Kota, dan satu kolonne dari Padang Hilir melalui Manggopoh dan Luhak Ambalau, dan

kolonne ketiga dari Ram melalui Lubuk Sikaping. Dan disamping itu harus disiapkan

pula satu kolonne yang pura-pura menyerang Padri di daerah Matur, supaya pasukan

Padri mengerahkan pasukannya ke sana. Sebelum pasukan menyerbu ke Bonjol,

kolonne-kolonne itu harus mampu menundukkan dan menaklukkan daerah-daerah di

sekelilingnya, dan merusakkan semua pertahanan rakyat di Luhak Agam.

Rakyat Padang Datar umumnya marah betul kepada tentara Belanda, karena melihat

kekejaman dan kesadisannya di Guguk Sigadang; dan rasa benci kepada kaki-tangan

Belanda yang bersifat sewenang-wenang serta mencurigai dan menangkap rakyat awam.

Sementara itu, Mayor de Quay mengutus Tuanku Muda Halaban untuk membujuk

Imam Bonjol supaya suka berunding dan berdamai dengan Belanda. Imam Bonjol

menyatakan kepada Tuanku Muda Halaban, bahwa ia bersedia berunding di suatu

tempat yang telah ditetapkan. Akhirnya perundingan itu dapat dilaksanakan.

Dalam kesempatan perundingan ini, tenggang waktu yang tersedia itu digunakan

dengan sebaik-baiknya oleh Belanda untuk menyiapkan pasukannya, di samping

diharapkan pasukan Padri menjadi lengah. Untuk memudahkan mencapai Bonjol, maka

Mayor de Quay mengerahkan pasukannya yang dibantu oleh 1500 penduduk dari Lima

Puluh Kota untuk membuat jalan melalui hutan-hutan lebat, yang membatasi Luhak

Lima Puluh Kota dengan Lembah Alahan Panjang.

Pasukan Padri ternyata tidak lengah untuk terus mengamat-amati semua persiapan

tentara Belanda itu, sehingga semua jalan masuk ke Lambah Alahan Panjang ditutupnya

dengan pelbagai rintangan, di kiri kanan jalan dipersiapkan kubu-kubu pertahanan.

Di satu bukit, di tepi jalan ke Tujuh Kota, di dekat Batu Pelupuh, di puncaknya yang

kerap kali ditutupi kabut dan awan, dibuat oleh pasukan Padri sebuah kubu pertahanan.

Dari sini dapat diperhatikan segala gerak-gerik pasukan Belanda dari jarak jauh. Kubu

pertahanan pasukan Padri yang strategis ini diketahui oleh Belanda. Karenanya pada

tanggal 10 September 1833, Jenderal Riesz mengerahkan rakyat Agam yang setia

kepada Belanda untuk menaklukkan kubu tersebut. Usaha penaklukan kubu ini gagal

total, dimana sebagian besar pasukan rakyat Agam mati dan luka-luka, dan memaksa

mereka kembali ke Bukittinggi.

Besok paginya, yakni tanggal 11 September 1833, Belanda mengerahkan 200 orang

tentaranya yang dilengkapi dengan meriam dan diperkuat oleh pasukan golongan adat

dari Batipuh dan Agam. Pada Jam 05.00 pagi pasukan Belanda telah dapat mendaki

bukit pertahanan pasukan Padri. Tetapi kira-kira 150 langkah mendekati kubu

pertahanan, dengan sekonyong-konyong pasukan Padri mendahului menyerang pasukan

Belanda. Pertempuran sengit terjadi, diantara kedua belah pihak banyak korban

berjatuhan. Tetapi karena kekuatan yang tak seimbang, akhirnya pasukan Padri

mengundurkan diri turun ke desa Batu Pelupuh dan bertahan di belakang pematangpematang sawah. Belanda mengerahkan pasukannya untuk mengejarnya, dengan sangat

cerdik pasukan Padri bersembunyi ke hutan-hutan lebat yang sulit untuk dikejar oleh

pasukan Belanda. Desa Batu Pelupuh dan tujuh desa lainnya yang ditinggalkan pasukan

Padri habis dirampok dan dibumi-hanguskan oleh pasukan Belanda. Walaupun pasukan

Padri kalah, tetapi di pihak Belanda pun banyak sekali yang mati dan luka-luka; dan

dengan susah payah mereka dapat kembali ke Bukittinggi.

Setelah kubu pertahanan di bukit dekat Alahan Panjang dapat direbut pasukan Belanda,

maka Jenderal Riesz memusatkan serangan tipuan ke Matur. Sebagian pasukannya

diharuskan menduduki daerah Pantar, sebuah desa yang letaknya di seberang jurang

dekat kubu pertahanan pasukan Padri. Pasukan Belanda ini dibantu oleh pasukan ada

600 orang dari Batipuh, 400 orang dari Banuhampu, 300 orang dari Sungai Puar, 340

orang dari Empat Kota, 604 orang dari Ampat Angkat, dan 240 orang dari Tambangan;

seluruhnya berjumlah 2400 orang. Tetapi sebelum tentara Belanda datang di Pantar,

pada pagi-pagi sekali tanggal 12 September 1833, desa tersebut telah dibumi-hanguskan

oleh pasukan Padri. Di selatan Pantar yang telah menjadi lautan api, Belanda membuat

kubu pertahanan untuk menahan serangan-serangan pasukan Padri. Tetapi pasukan

Padri pun mengerti bahwa serangan pasukan Belanda ini hanya merupakan pancingan,

karenanya mereka tetap bertahan di kubu-kubu pertahanan mereka masing-masing.

Sementara itu pasukan Padri memperkuat Kota Lalang guna menahan tentara Belanda

yang datang dari arah Suliki yang dipimpin oleh Mayor de Quay. Pada tanggal 13

September 1833 pasukan Belanda telah dihadang oleh pasukan rakyat dari Tanah Datar,

sehingga perjalanannya terhambat. Dan baru pada tanggal 14 September 1833 tentara

Belanda melanjutkan serangannya ke Kota Lalang, yang dipertahankan dengan gigih

oleh pasukan Padri. Tentara Belanda banyak yang mati dan luka-luka. Pertempuran

berlangsung siang-malam dengan dahsyatnya, yang masing-masing pihak mengerahkan

semua kekuatannya. Karena kekuatan pasukan Padri yang jauh lebih kecil dan lebih

sederhana persenjataannya, akhirnya mengundurkan diri ke hutan belantara yang sulit

dikejar oleh tentara Belanda.

Kota Lalang yang ditinggalkan pasukan Padri dijaga oleh pasukan Jawa dan Adat; dan

tentara Belanda yang dibantu oleh ratusan pasukan adat dari Batipuh dan Lima Puluh

Kota meneruskan penyerbuannya menuju Bonjol. Dalam perjalanan yang sulit ini

pasukan Belanda senantiasa terjebak dengan serangan pasukan Padri dari belakang yang

bersembunyi di hutan lebat.

Serangan gerilya pasukan Padri dengan taktik “serang dengan tiba-tiba dan lenyap

secara tiba-tiba”, menimbulkan kerugian yang besar bagi pasukan Belanda; dan

karenanya menimbulkan rasa takut bagi pasukan-pasukan adat yang membantunya.

Dengan diam-diam pasukan adat meninggalkan pasukan Belanda, sehingga menyulitkan

pasukannya untuk melanjutkan penyerbuan. Hujan yang turun terus-menerus menambah

kesulitan lagi bagi pasukan Belanda, selain pasukan yang basah kuyup hampir mati

kedinginan, juga pasukan pembawa makanan dan perlengkapan perang yang terdiri dari

pribumi, banyak yang tak tahan dan akhirnya melarikan diri. .

Dengan sisa-sisa kekuatan, pasukan Belanda sampai memasuki lembah Air Papa. Di

lembah ini, yang sisi-sisi tebingnya cukup curam, digunakan oleh pasukan Padri sebagai

kubu pertahanan dengan mudah menembak pasukan Belanda yang berada di bawah

lembah. Dalam posisi yang demikian, terpaksa pasukan Belanda memusatkan

pasukannya di lembah yang agak gersang, yang jauh dari jangkauan pasukan Padri.

Daerah terbuka yang digunakan pasukan Belanda memudahkan serangan bagi Pasukan

Padri. Kelemahan ini benar-benar digunakan oleh pasukan Padri. Serangan yang datang

dengan tiba-tiba, menyebabkan timbulnya kepanikan di kalangan pasukan Belanda,

dimana akhirnya tidak ada jalan lain kecuali mengundurkan diri dan membatalkan

rencana penyerbuan selanjutnya. Dengan diam-diam pasukan Belanda pada malam hari

meninggalkan medan pertempuran kembali ke Payakumbuh, dengan meninggalkan

korban yang mati maupun yang luka-luka banyak sekali.

Dari front barat, pasukan Padri telah mengetahuinya bahwa tentara Belanda akan

menyerang dari Manggopoh. Rakyat yang tinggal di sekitar Manggopoh seperti Bukit

Maninjau dan Lubuk Ambalau diyakinkan dan diancam oleh pasukan Padri untuk tidak

membantu pasukan Belanda.

Kolonne Belanda yang menyerang dari jurusan Manggopoh itu dipimpin oleh Letnan

Kolonel Elout. Mereka berangkat ke Tapian Kandi tanggal 11 September 1835. Di

daerah ini saja pasukan Belanda telah mendapat perlawanan pasukan Padri yang cukup

sengit, hanya karena tembakan meriam yang bertubi-tubi pasukan Padri terpaksa

mundur ke daerah Pangkalan. Pasukan Belanda terus mendesak pasukan Padri di

Pangkalan; pertempuran sengit terjadi hampir tiap langkah dari perjalanan pasukan maju

Belanda. Hanya dengan pengorbanan yang besar pasukan Padri dapat dipukul mundur

dan pasukan Belanda dapat sampai di Kota Gedang.

Dari dataran tinggi Kota Gedang ini ada dua jalan; yaitu ke utara menuju Bonjol dengan

melalui Tarantang Tunggang, dan ke timur menuju XII Kota. Letnan Kolonel Elout

pergi ke Tanjung untuk bertemu dengan Tuanku nan Tinggi dari Sungai Puar guna

mendapat petunjuk jalan yang terbaik untuk mencapai Bonjol. Tuanku dari Sungai Puar

memberi petunjuk jangan pergi ke Bonjol melalui XII Kota, karena rakyat di sana pasti

akan menghambatnya. Karenanya ia kembali ke Kota Gedang, tetapi gudang perbekalan

pasukan Belanda yang dikawal tidak begitu kuat disaat ditinggalkan telah habis dibakar

oleh rakyat. Dalam kondisi seperti ini, Letnan Kolonel Elout sebagai komandan pasukan

Belanda dari sektor barat memutuskan untuk mengundurkan diri.ke Kota Merapak.

Gerakan mundur pasukan Belanda diketahui oleh pasukan Padri, kesempatan dan

peluang ini digunakan sebaik-baiknya untuk melakukan pengejaran, dengan taktik

gerilya.

Serangan gerilya yang dilakukan pasukan Padri berhasil dengan gemilang bukan saja

ratusan tentara Belanda dan pasukan adat yang mati terbunuh, tetapi juga hampir semua

perlengkapan perang seperti meriam dan perbekalan semuanya dapat dirampas. Pasukan

Belanda hanya dapat membawa senjata dan pakaian yang melekat di tangan dan

badannya.

Kolonne ketiga dari pasukan Belanda yang datang dari jurusan utara melalui Rao

dipimpin oleb Mayor Eilers. Pasukan Eilers yang memang tidak begitu kuat, diberikan

kelonggaran, jika pasukannya tidak mampu melawan pasukan Padri di sebelah utara

Alahan Panjang, ia boleh maju hanya sampi Lubuk Sikaping saja. Di sini pasukannya

harus bertahan sambil menunggu informasi kolonne yang lain, yang menyerang dari

timur dan barat daerah Bonjol. Sambil menunggu berita dari kolonne-kolonne yang lain,

Mayor Eilers menghimpun pasukan dari kepala-kepala adat dari Tuanku Yang

Dipertuan di Rao dan Mandahiling untuk memperkuat pasukannya yang hanya terdiri

atas 80 orang serdadu. Usahanya berhasil dengan 1000 orang Rao, 400 orang

Mandahiling dan 500 orang Batak lainnya. Dengan kekuatan sekitar 2000 orang; Mayor

Eilers maju menuju Bonjol. Sepanjang perjalanan pasukan Belanda mendapat

perlawanan sengit dari pasukan Padri, baik dalam bentuk serangan gerilya maupun

pertempuran frontal dari benteng ke benteng.

Pada tanggal 18 September 1833 pasukan Belanda telah sampai di Alai, kira-kira dua

kilometer dari benteng Bonjol. Di sini pasukan Belanda telah mendapat perlawanan

yang luar biasa oleh pasukan Padri, pertempuran sudah sampai satu lawan satu.

Akibatnya korban di pihak pasukan Belanda banyak sekali baik yang mati maupun luka-

luka. Untuk menghindari korban yang lebih banyak, akhirnya-pasukan Belanda

mengundurkan diri ke Bonjol Hitam. Pengunduran diri pasukan Belanda ini diikuti terus

dengan serangan-serangan pasukan Padri, baik siang maupun malam hari.

Karena terancam oleh kehancuran total, disamping ternyata dua kolonne dari timur

maupun barat telah mengundurkan diri, maka Mayor Eilers, pada tanggal 19 September

1833 memutuskan untuk mengundurkan diri, kembali ke pangkalan. Agar selamat dari

sergapan pasukan Padri di tengah jalan, pengunduran diri harus dilakukan tengah

malam.

Pada saat maghrib tiba, disaat tentara Belanda sedang sibuk berkemas-kemas untuk

melarikan diri, tiba-tiba menjadi panik, karena pasukan Padri menyerbu dengan cepat

dan keras. Pasukan Rao dan Mandahiling berhamburan keluar mencari selamat dengan

meninggalkan segala persenjataan dan perlengkapannya. Tentara Belanda juga tak

mampu menguasi keadaan dan bahkan turut lari tanpa menghiraukan teriakan

komandannya Mayor Eilers. Keadaan panik dan kacau, menyebabkan pasukan Belanda.

meninggalkan begitu saja meriam dan granat-granat serta senjata-senjata lainnya.

Bahkan pasukan yang luka parah sebanyak 50 orang ditinggalkan begitu saja, sampai

mati terbunuh semuanya. Hanya dengan susah payah, sisa-sisa pasukan Belanda pada

tanggal 20 September 1833, baru dapat selamat ke pangkalan.

Pengunduran diri pasukan Belanda adalah atas persetujuan Jenderal Van den Bosch;

karenanya ia datang sendiri ke Guguk Sigandang untuk menerima pasukan-pasukan

yang kalah itu. Dihadapan pasukannya, Jenderal Van den Bosch berucap: “Bila keadaan

memang tidak mengizinkan, dan kesulitan begitu besar, sehingga sulit diatasi, pasukan

boleh ditarik mundur; menunggu waktu yang tepat. Tetapi bagaimana pun Bonjol harus

ditaklukkan”.

Pada tanggal 21 september 1833, Jenderal Van den Bosch memberi laporan ke Batavia

bahwa penyerangan ke Bonjol gagal dan sedang diusahakan untuk konsolidasi guna

penyerangan selanjutnya.

Selama tahun 1834 tidak ada usaha yang sungguh-sungguh yang dilakukan oleh

pasukan Belanda untuk menaklukkan Bonjol, markas besar pasukan Padri, kecuali

pertempuran kecil-kecilan untuk membersihkan daerah-daerah yang dekat dengan pusat

pertahanan dan benteng Belanda. Selain itu pembuatan jalan dan jembatan, yang

mengarah ke jurusan Bonjol terus dilakukan dengan giat, dengan mengerahkan ribuan

tenaga kerja paksa. Pembuatan jalan dan jembatan itu dipersiapkan untuk memudahkan

mobilitas pasukan Belanda dalam gerakannya menghancurkan Bonjol.

Baru pada tanggal 16 April 1835, pasukan Belanda memutuskan untuk mengadakan

serangan besar-besaran untuk menaklukkan Bonjol dan sekitarnya. Operasi militer

dimulai pada tanggal 21 April 1835, dimana dua kolonne pasukan Belanda yang

berkumpul di Matur dan Bamban, bergerak menuju Masang. Meskipun sungai itu

banjir, mereka menyeberangi juga dan terus masuk menyelusup ke dalam hutan rimba;

mendaki gunung dan menuruni lembah; guna meghindarkan dari kubu-kubu pertahanan

Padri yang dipasang disekitar tepi jalan.

Pada tanggal 23 April 1835 pasukan Belanda telah sampai di tepi sungai Batang

Ganting, terus menyeberang dan kemudian berkumpul di Batu Sari. Dari sini hanya ada

satu jalan sempit menuju Sipisang, daerah yang dikuasai oleh pasukan Padri. Jalan

sepanjang menuju Sipisang dipertahankan oleh pasukan Padri dengan pimpinan Datuk

Baginda Kali. Serangan-serangan pasukan Padri untuk menghambat laju pasukan

Belanda memang cukup merepotkan dan melelahkan, tetapi tidak berhasil menahan

secara total.

Sesampainya di Sipisang, pertempuran sengit antara pasukan Belanda dengan pasukan

Padri berjalan sangat kejam, tiga hari tiga malam pertempuran berlangsung tanpa henti,

sampai korban di kedua belah pihak banyak yang jatuh. Hanya karena kekuatan yang

jauh tak sebanding, pasukan Padri terpaksa mengundurkan diri ke hutan-hutan rimba

dan menyeberangi kali. Jatuhnya daerah Sipisang, dijadikan oleh pasukan Belanda

untuk kubu pertahanannya, sambil menunggu pembuatan jembatan menuju Bonjol.

Selain itu, satu kolonne pasukan Belanda pada tanggal 24 April 1835 berangkat menuju

daerah Simawang Gedang, yaitu daerah yang dikuasai pasukan Padri. Dengan kekuatan

hanya 500 orang pasukan Padri mencoba menahan tentara Belanda yang jumlah dan

kekuatannya jauh lebih besar. Pertempuran dahsyat tak terhindari lagi, berjalan alot;

walau akhirnya pasukan Padri mengundurkan diri.

Satu kompi pasukan tentara Bugis yang dibantu oleh pasukan adat dari Batipuh dan

Tanah Datar bertugas untuk mengusir pasukan Padri yang berada di luar daerah

Simawang Gadang. Bahkan pasukan Bugis bersama-sama pasukan adat Batipuh dan

Tanah Datar berhasil mendesak pasukan Padri sampai ke Batang Kumpulan. Tetapi

disini telah menunggu 1200 orang pasukan Padri untuk menghadang gerakan maju

pasukan Belanda. Usaha ofensif pasukan Belanda yang terdiri dari pasukan Bugis,

Batipuh dan Tanah Datar diporak-porandakan oleh pasukan Padri, hampir-hampir

sebagian terbesar mati terbunuh.

Kalaulah tidak segera bala bantuan pasukan Belanda datang dengan cepat dan dalam

jumlah besar, dapat diduga bahwa pasukan Belanda yang terdepan itu akan musnah

seluruhnya. Datangnya bala bantuan pasukan Belanda bukan dapat menyelamatkan sisasisa pasukannya yang telah cerai-berai; tetapi juga mampu mendesak pasukan Padri,

sehingga daerah Kampung Melayu yang menjadi ajang pertempuran dapat dikuasai oleh

Belanda.

Kampung Melayu terletak di tepi sebatang sungai kecil, Air Taras namanya. Tidak

berapa jauh ke hilir sungai itu bertemu dengan sungai Batang Alahan Panjang.

Kampung Melayu tersembunyi di dalam sebuah lembah yang dilingkari oleh bukit-bukit

tinggi yang terjal.

Pasukan Padri yang mengundurkan diri dari daerah Kampung Melayu, bersembunyi di

bukit-bukit terjal dengan kubu-kubu pertahanan yang tersembunyi, untuk menjepit

pasukan Belanda yang ada di Air Taras. Pada tanggal 27 April 1835, pasukan Belanda

mencoba menyerang pasukan Padri yang berada di bukit-bukit terjal itu; tetapi hasilnya

nihil, bahkan puluhan tentaranya yang mati dan luka-luka.

Selama tiga hari pasukan Belanda melakukan konsolidasi dengan menambah

pasukannya. Baru pada tanggal 3 Mei 1835 operasi militer dapat dilanjutkan. Tetapi,

baru saja dimulai, Letnan Kolonel Bauer komandan pasukan Belanda telah terluka kena

ranjau. Di saat pasukan Belanda menyeberangi sungai Air Taras diserang oleh pasukan

Padri, sehingga banyak pasukannya yang tenggelam dan mati, karena senjata yang

digunakan macet terendam air. Pertempuran kemudian berkembang menjadi perang

tanding, yang tentunya menguntungkan pasukan Padri. Tetapi karena pasukan Belanda

jauh lebih besar, akhirnya pasukan Padri terdesak dan meninggalkan kubu-kubu

pertahanan yang ada di bukit-bukit terjal itu. Kemajuan yang diperoleh pasukan Belanda

di daerah ini tidak langgeng karena tidak berapa lama pasukan Padri datang menyerang

dengan kekuatan sekitar 500 orang.

Karena merasa daerah ini kurang aman, maka pasukan Belanda sebelum

meninggalkannya telah melakukan perampokan dan pembakaran rumah-rumah

penduduk dan ladang-ladang, sehingga menjadi daerah yang hangus terbakar.

Laju pasukan Belanda menuju Bonjol sangat lamban, hampir sebulan waktu yang

diperlukan untuk bisa mendekati daerah Alahan Panjang. Front terdepan dari Alahan

Panjang adalah Padang Lawas, yang secara penuh dikuasai oleh Pasukan Padri. Pada

tanggal 8 Juni 1835 pasukan Belanda yang mencoba maju ke front Padang Lawas

dihambat dengan pertempuran sengit oleh pasukan Padri. Hanya dengan pasukan yang

besar dan kuat persenjataannya dapat memukul mundur pasukan Padri, dan menguasai

front Padang Lawas.

Pada tanggal 11 Juni 1835 pasukan Belanda menuju sebelah timur sungai Alahan

Panjang, sedangkan pasukan Padri berada di seberangnya pasukan musuh yang

bersembunyi di benteng-benteng partahanannya senantiasa mendapat serangan gerilya

dari pasukan Padri, sehingga selama lima hari-lima malam, pasukan musuh tidak dapat

maju dan bahkan kehilangan 7 orang serdadunya mati dan 84 orang luka-luka.

Kampung Bonjol kira-kira 1200 hasta panjangnya dan 400 sampai 700 hasta lebarnya,

sebab bagian selatan dari dinding barat mundur kira-kira 200 hasta ke belakang. Letak

kampung ini antara 1000 atau 1200 hasta dari tepi timur suang Batang Alahan Panjang.

Di timur dan tenggaranya terdapat tebing terjal dan sebuah bukit yang tegak hampir

lurus keatas, yang dengan Bonjol dipisahkan oleh sebatang anak sungai kecil. Bukit ini

Tajadi namanya, menguasai lapangan di setelah barat dan timurnya. Di atas bukit ini

pasukan Padri membuat beberapa kubu pertahanan yang kuat dan baik letaknya, dan

dari sana mereka menembakkan meriam yang bermacam kaliber kepada musuh di

seberang barat Alahan Panjang.

Di kampung itu banyak rumah yang terbuat dari kayu, yang sebagian besar dinaungi

oleh hutan bambu, pohon-pohon kelapa dan pohon buah-buahan. Di sebelah barat dan

utara kampung Bonjol terbentang sawah luas.

Di sebelah timur Bonjol membujur bukit barisan tinggi membujur, yang diselimuti oleh

hutan lehat. Di balik timur bukit barisan itulah terletak tanah Lima Puluh Kota. Tanah di

sebelah selatan dan tenggara Lambah Alahan Panjang ini bergunung-gunung dan berbukit batu yang benjal-benjol. Keadaan alam ini dipergunakan oleh pasukan Padri

sebagai benteng pertahanan yang paling besar dan menjadi markas besar Imam Bonjol.

Pada umumnya, semak, belukar dan hutan yang sangat tebal di sekitar Bonjol ini,

sehingga kubu-kubu pertahanan pasukan Padri tidak mudah dilihat dari luar. Di tengah

lembah mengalir dan berliku-liku sungai Batang Alahan Panjang dari utara ke selatan.

Pada tengah malam tanggal 16 Juni 1835 pasukan Belanda membuat kubu pertahanan

yang kira-kira hanya 250 langkah dari Bonjol. Dengan menggunakan houwitser, mortir

dan meriam besar, menembaki benteng Bonjol, yang dibalas kontan oleh meriammeriam pasukan Padri yang berada di bukit Tajadi. Karena posisi yang kurang

menguntungkan pasukan musuh maka banyak pasukannya yang mati dan terluka, oleh

karena itu Letnan Kolonel Bauer meminta kepada Residen Francis untuk memberikan

bala bantuan sebanyak 2000 orang lagi. Dan pada tanggal 17 Juni 1835 bala bantuan itu

datang. Pada tanggal 21 Juni 1835, dengan kekuatan yang besar pasukan Belanda

memulai gerakan maju menuju sasaran akhir yaitu Bonjol. Sebelum pasukan musuh

sampai pada sasaran terakhir, di kampung Jambak dan Kota mendapat perlawanan yang

sengit dari pasukan rakyat dan Padri.

Di Bonjol yang merupakan markas besar pasukan Padri telah berkumpul komandankomandan pasukan Padri yang datang dari daerah-daerah yang telah ditaklukkan

pasukan Belanda, yaitu dari Tanah Datar, Lintau, Bua, Lima Puluh Kuta, Agam, Rao

dan Padang Hilir. Semua bertekad bulat untuk mempertahankan markas besar Bonjol

sampai titik darah penghabisan, hidup mulia atau mati syahid.

Melihat kokohnya benteng Bonjol, disamping banyak tentaranya yang mati dan lukaluka, pasukan Belanda tidak melakukan gerakan ofensif menyerang Bonjol tetapi

melakukan blokade terhadap Bonjol, dengan tujuan untuk melumpuhkan suplai bahan

makanan dan senjata pasukan Padri. Blokade yang dilakukan Belanda, ternyata tidak

efektif, karena justru benteng-benteng pertahanan pasukan musuh dan bahan

perbekalannya yang banyak diserang oleh pasukan gerilya Padri yang memang berada

di belakang pasukan musuh.

Usaha untuk melakukan serangan ofensif terhadap Bonjol masih menunggu bala

bantuan tentara, walau di sekitar Bonjol pasukan Belanda telah berkumpul, pada awal

Agustus 1835, sekitar 14.000 orang. Baru setelah datang bala bantuan tentara Belanda

yang terdiri dari pasukan Bugis; pada pertengahan Agustus 1835 penyerangan dilakukan

terhadap kubu-kubu pertahanan pasukan Padri yang berada di bukit Tajadi. Satu persatu

kubu-kubu pertahanan strategis pasukan Padri ini jatuh ke tangan pasukan musuh.

Pada tanggal 5 September 1835 pasukan Bonjol menyerbu ke luar benteng

menghancurkan kubu-kubu pertahahan musuh yang dibuat sekitar benteng. Dengan

keberanian yang luar biasa pasukan Padri menyerang benteng-benteng Belanda, yang

banyak menelan korban di kedua belah pihak. Setelah serangan dilakukan, pasukan

Padri segera masuk kembali ke dalam benteng.

Sementara itu pasukan Belanda yang berada di Puar Datar diperintahkan oleh Letnan

Kolonel Bauer maju menuju Bonjol. Dalam perjalanannya pasukan Belanda ini harus

melalui desa Talang. Sesampainya di sini pasukan Padri yang dibantu oleh rakyat

melakukan perlawanan yang sengit, sehingga memaksa pasukan musuh kembali ke Air

Papa dan terus ke Puar Datar. Usaha mendatangkan bantuan untuk menyerang Bonjol

dari jurusan Luhak Lima Puluh Kota gagal.

Kegagalan menyerang Bonjol dari jurusan Luhak Lima puluh Kota, pada tanggal 9

September 1835, serangan ditempuh melalui Padang Bubus. Hasilnya sama, gagal,

bahkan pasukan Belanda banyak yang mati dan luka-luka. Dan Letnan Kolonel Bauer

yang menderita sakit, terpaksa dikirim ke Bukittinggi dan digantikan oleh Mayor

Prager.

Kebijaksanaan Mayor Prager tidak melakukan serangan ofensif ke Bonjol sampai

datangnya bala bantuan baru dari markas besarnya di Bukittinggi. Dalam kesempatan

yang terluang ini, pasukan Padri melakukan serangan gerilya terhadap kubu-kubu

pertahanan Belanda, memusnahkan gudang-gudang perbekalan dan gudang mesiu

bukan saja daerah di sekitar Bonjol, tetapi sampai jauh menyelinap ke Kumpulan,

Sirnawang Gadang dan Puar Datar.

Blokade yang berlarut-larut, menimbulkan keberanian rakyat untuk memberontak

terhadap pasukan Belanda, sehingga pada tanggal ll Desember 1835 rakyat desa Alahan

Mati dan Simpang mengangkat senjata kembali. Tentara Belanda tak mampu mengatasi

pemberontakan rakyat desa-desa ini, sehingga mendatangkan pasukan bantuan dari

serdadu-serdadu Madura. Hanya dengan bantuan pasukan Madura, Belanda dapat

memadamkan pemberontakan ini. Di desa Kumpulan juga terjadi peristiwa yang sama,

yaitu pemberontakan terhadap pasukan musuh.

Gerakan maju pasukan Belanda menyerbu benteng Bonjol yang tinggal beberapa ratus

kilometer, dalam tiga bulan ini, hampir-hampir tidak mengalami kemajuan yang berarti,

malah sebaliknya daerah-daerah yang telah ditaklukkan kembali memberontak; dan

tidak sedikit menimbulkan korban bagi pasukan musuh. Sambil menunggu bala bantuan

dari Batavia, Belanda mencoba melakukan perundingan dengan pasukan Padri.

Perundingan, yang sebenarnya hanya untuk mengulur-ulur waktu saja, ternyata ditolak

oleh ImamnBonjol. Peluang waktu ini dipergunakan oleh Imam Bonjol untuk

membangkitkan rakyat yang tinggal di garis belakang pasukan musuh untuk berontak.

Setelah kegagalan perundingan ini, dan tambahan pasukan dari Batavia telah tiba, maka

pada tanggal 3 Desember 1836, pasukan Belanda melakukan serangan besar-besaran

terhadap benteng Bonjol, sebagai pukulan terakhir penaklukkan Bonjol. Serangan

dahsyat mampu menjebol sebagian benteng Bonjol, sehingga pasukan Belanda masuk

menyerbu dan berhasil membunuh putera serta keluarga Imam Bonjol. Tetapi serangan

balik pasukan Bonjol (Padri) mampu memporak-porandakan musuh sehingga terusir

keluar benteng dengan meninggalkan banyak sekali korban.

Kegagalan penaklukkan benteng Bonjol sekarang ini benar-benar memukul

kebijaksanaan Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia. Oleh karena itu Gubernur

Jenderal Hindia Belanda mengirimkan panglima tertingginya Mayor Jenderal Coclius

ke Bukittinggi untuk memimpin langsung serangan ke benteng Bonjol untuk kesekian

kalinya. Dengan mengunakan pasukan artileri yang bersenjatakan meriam-meriam besar

untuk memboboIkan benteng; diperkuat dengan pasukan infantri dan kavaleri, pasukan

Belanda memulai lagi serangannya ke benteng Bonjol.

Serangan yang bertubi-tubi dan dahsyat dengan hujan peluru meriam, masih memerlukan waktu yang cukup lama, kira-kira 8 bulan lamanya. Setelah bukit Tajadi jatuh pada

tanggal 15 Agustus 1837, maka pada tanggal 16 Agustus 1837 benteng Bonjol yang

anggun dapat ditaklukkan. Tetapi tak berhasil menangkap Imam Bonjol, karena sempat

mengundurkan diri keluar benteng dengan pasukan Padri yang mendampinginya dan

terus menuju daerah Marapak. Imam Bonjol mencoba mengadakan konsolidasi terhadap

pasukannya yang telah bercerai-berai dan lemah, karena telah lebih 3 tahun bertempur

melawan Belanda, ternyata sia-sia. Hanya sedikit saja lagi pasukan yang masih siap

bertempur.

Melihat kenyataan semacam ini, Imam Bonjol menyerukan kepada pasukannya yang

terserak di mana-mana untuk kembali ke kampung halamannya masing-masing, untuk

memulai hidup baru sebagai rakyat biasa. Dan yang memang benar-benar tak ada lagi

semangat berjuang, dibenarkan untuk menyerah kepada Belanda.

Dalam pelarian dan persembunyiannya Imam Bonjol dengan pengawalnya dari hutan ke

hutan, lembah dan ngarai, memang sangat melelahkan, penderitaan kurang makan,

kurang tidur, sakit dan lelah mengakibatkan para pengawalnya hampir-hampir mati

[top]

semuanya. Dalam kondisi seperti ini, tiba-tiba datang surat tawaran dari Residen Francis

di Padang untuk mengajak Imam Bonjol berunding.

Setelah dirundingkan bersama antara Imam Bonjol dan para stafnya, tawaran

perundingan dari Residen Francis di terima. Daerah perundingan dipilih Pelupuh, di

mana Imam Bonjol akan bertemu langsung dengan Residen Francis. Pada tanggal 28

Oktober 1837 Imam Bonjol dengan stafnya keluar dari Bukit Gadang menuju Pelupuh.

Sesampainya di Pelupuh, bukannya perundingan yang terjadi, tetapi sepasukan Belanda

telah siap menangkap Imam Bonjol dengan stafnya. Karena Imam Bonjol dan stafnya

tidak membawa senjata, sesuai dengan syarat-syarat perundingan akhirnya dengan

mudah pasukan Belanda menangkap Imam Bonjol dan stafnya. Dari Pelupuh Imam

Bonjol di bawa ke Bukittinggi dan terus ke Padang. Pada tanggal 23 Januari 1838

dipindahkan ke Cianjur, dan pada akhir tahun 1838 itu juga Imam Bonjol dipindahkan

ke Ambon. Baru tanggal 19 Januari 1839 Imam Bonjol dipindahkan ke Menado. Di sini

ia menemui ajalnya pada tanggal 8 Nopember 1864, setelah menjalani masa

pembuangan selama 27 tahun lamanya.

Dari fakta-fakta sejarah yang terungkap di muka, terlihat dengan gamblang bahwa sejak

awal timbulnya gerakan Padri sampai meletusnya Perang Padri dan tertangkapnya Imam

Bonjol sebagai pemimpin Padri terbesar, adalah satu usaha perjuangan politik merebut

kekuasaan guna dapat menjalankan Syari’at Islam dengan utuh dan murni. Umat Islam

Sumatera Barat dengan kaum Padrinya, sama dengan Diponegoro dengan Perang

Jawanya, mempunyai tujuan politik yang sama yaitu berdirinya satu negara yang

melaksanakan ajaran Islam secara utuh dan konsekwen. Dengan kata lain, perjuangan

Diponegoro dan Imam Bonjol mempunyai tujuan yang satu yaitu berdirinya Negara

Islam.

———————————————————————————————————-

PERANG BANJAR

Sultan Tahmidillah I (1778 – 1808) mempunyai anak tiga orang, yang berhak

menggantikannya sebagai sultan, yaitu Pangeran Rahmat, Pangeran Abdullah dan

Pangeran Amir. Dalam perebutan kekuasaan, Pangeran Nata salah seorang saudara

Sultan Tahmidillah I, berhasil membunuh Pangeran Rahmat dan Abdullah.

Keberhasilan ini disebabkan bantuan Belanda yang diberikan kepada Pangeran Nata.

Oleh karena itu Pangeran Nata diangkat oleh Belanda menjadi sultan dengan gelar

Sultan Tahmidillah II.

Tampilnya Sultan Tahmidillah II menjadi sultan Banjar mendapat tantangan dan

perlawanan dari Pangeran Amir, salah seorang putera Sultan Tahmidillah I yang selamat

dari pembunuhan Sultan Tahmidillah II. Dalam pertarungan antara Sultan Tahmidillah

II yang sepenuhnya dibantu oleh Belanda, dengan Pangeran Amir, maka akhirnya

Pangeran Amir dapat ditangkap oleh Belanda dan di buang ke Ceylon.

Kemenangan Sultan Tahmidillah II atas Pangeran Amir harus dibayar kepada Belanda

dengan menyerahkan daerah-daerah Pegatan, Pasir, Kutai, Bulungan dan Kotawaringin.

Pangeran Amir mempunyai seorang putera bernama Pangeran Antasari, yang lahir pada

tahun 1809. Sejak kecil Pangeran Antasari tidak senang hidup di istana yang penuh

intrik dan dominasi kekuasaan Belanda. Ia hidup di tengah-tengah rakyat dan banyak

belajar agama kepada para ulama, dan hidup dengan berdagang dan bertani.

Pengetahuannya yang dalam tentang Islam, ketaatannya melaksanakan ajaran-ajaran

Islam, ikhlas, jujur dan pemurah adalah merupakan akhlaq yang dimiliki Pangeran

Antasari. Pandangan yang jauh dan ketabahannya dalam menghadapi setiap tantangan,

menyebabkan ia dikenal dan disukai oleh rakyat. Dan ia menjadi pemimpin yang ideal

bagi rakyat Kalimantan Selatan, khususnya Banjarmasin.

Wafatnya Sultan Tahmidillah II digantikan oleh Sultan Sulaiman (1824-1825) yang

memerintah hanya dua tahun; kemudian digantikan oleh Sultan Adam (1825-1857).

Pada masa ini kesultanan Banjar hanya tinggal Banjarmasin, Martapura dan Hulusungai.

Selebihnya telah dikuasai oleh Belanda. Setelah Sultan Adam wafat, Belanda

mengangkat Pangeran Tamjidillah menjadi Sultan Banjar, sedangkan rakyat

menghendaki Pangeran Hidayat; karena ia adalah putra langsung dari Sultan Adam.

Dalam menghadapi keruwetan ini Belanda tetap mempertahankan pangeran Tamjidillah

menjadi sultan dan mengangkat Pangeran Hidayat menjadi Mangkubumi.

Perlakuan sewenang-wenang yang dilakukan oleh Belanda terhadap kesultanan Banjar

dan penindasan terhadap rakyat membangkitkan kemarahan rakyat untuk menentang

Belanda. Dalam kondisi seperti ini adalah wajar jika Pangeran Antasari sebagai

pemimpin rakyat tampil ke depan untuk memimpin perlawanan ini.

Dalam usaha menghadapi kekuasaan Belanda yang besar, Pangeran Antasari berusaha

untuk menghimpun semua potensi rakyat, termasuk pangeran Hidayat yang menjabat

sebagai Mangkumi. Pada pertengahan April, dua minggu sebelum pecah perang Banjar

tanggal 28 April 1859, terjadi dialog yang tegang dan penting antara Pangeran Antasari

dengan Pangeran Hidayat, dalam rangka mengajak Pangeran Hidayat untuk bersamasama melakukan perlawanan terhadap Belanda.

Dialog yang terjadi di rumah kediaman Pangeran Hidayat, antara lain berbunyi sebagai

berikut.

“Begini, Hidayat! Aku kemari atas nama rakyat dan semua pejuang-pejuang Banjar ….”

“…Sebentar !” Pangeran Hidayat memutus. “Siapa yang Paman maksudkan, dengan

rakyat dan pejuang-pejuang Banjar itu ?”

Pangeran Antasari dengan sabar menjawab: “Rakyat yang selama ini ditindas dan

diperlakukan sewenang-wenang, semua pejuang-pejuang Banjar yang berjuang untuk

mengakhiri penindasan dan perlakuan yang sewenang-wenang itu !”.

“Dan Paman termasuk pula di antara pejuang-pejuang itu?” sela Pangeran Hidayat.

“Itu bukan suatu hal yang aib!” Jawab Pangeran Antasari dengan tajam. “Dan kau pun

akan bangga menjadi salah seorang dari mereka, jika kau tahu untuk apa dan siapa kau

baktikan hidupmu ini sebaik-baiknya”.

“Jadi apa yang Paman harapkan dari saya ?” tanya Pangeran Hidayat.

“Kesediaanmu untuk berjuang bersama kami. Kesediaanmu untuk memimpin semua

perjuangan ini nanti !” Jawab Pangeran Antasari dengan tegas.

Pangeran Hidayat bangkit. Ia berjalan-jalan mondar-mondir sambil berpikir. “Tapi ini

berarti pemberontakan besar-besaran, Paman !”

Pangeran Antasari menjawab: “Pemberontakan adalah bahasa yang dipergunakan oleh

Belanda. Dan ini kedengaran sumbang di telinga kita. Kita tidak pernah menganggap

kompeni itu memerintah dengan sah di kerajaan ini. Karena itu, kita memakai bahasa

kita sendiri. Perang ! Perang mengusir penjajah asing !”

“Apapun bahasa yang Paman pakai, semuanya berakibat pertumpahan darah. Dan saya

telah melihat bahwa telah banyak darah mengalir di kerajaan ini. Ini sudah cukup dan

harus segera kita akhiri. Bukan sebaliknya akan kita mulai”.

“Bagus, dan ironis. Kamu mempergunakan bahasa perikemanusiaan. Dan ini memang

merdu menggugah perasaan seperti suara bilal pada azan subuh. Tapi dapatkah kau

harapkan Kompeni akan mengucapkan apalagi mengamalkan bahasa yang serupa itu

terhadap kita ? Tidak, tidak dapat ! Kompeni akan mempergunakan bahasa kegemaran

mereka: merabit-rabit kita sekaum dan pertumpahan darah! Coba kau tunjukkan

kepadaku, bagaimana caranya kita menunjukkan sikap kemanusiaan kita terhadap

perlakuan yang tidak berperikemanusiaan ini ?”

Pangeran Hidayat nadanya melemah: “Saya hanya benci dan jemu melihat pertumpahan

darah yang sia-sia, Paman. Rakyat telah banyak berkorban untuk kita.”

“Kau lupa, Hidayat. Peperangan ini baru hendak kita mulai. Adapun pertumpahan darah

yang kau takutkan itu sebenarnya belum lagi sungguh-sungguh terjadi. Agama kita akan

membenarkan peperangan ini sebagai perang sabil. Dan kematian yang dituntut dari

perjuangan ini tidaklah sia-sia, melainkan syahid. Kita hidup untuk Allah dan mati

untuk Allah!” ucap Pangeran Antasari bersemangat.

Namun Pangeran Hidayat merasa belum yakin. “Tidakkah ada jalan lain selain

pertumpahan darah ini, Paman” tanyanya kemudian.

“Ada!” Pangeran Antasari menjawab dengan tegas. “Dan jalan satu sudah dan sedang

kau tempuh untuk menghindari pertumpahan darah itulah kau mau menjadi apa saja,

sekalipun kau korban harga dirimu pada kompeni dan Tamjid!”

Pangeran Hidayat tersinggung. “Jika kata pengkhianat yang Paman maksudkan dengan

kata-kata: mau menjadi apa saja, maka saya berhak menolak tuduhan itu,” bantahnya.

“Kecintaan saya kepada rakyat dan bumi di mana kita hidup dan bernapas ini, sama

besarnya dengan apa yang Paman rasakan. Dan apa artinya harga diri saya. Jika karena

itu saya harus menumpahkan sekian banyak darah mereka “.

“Aku tidak menyangkal bahwa kau pun mencintai rakyat dan kerajaan ini,” Pangeran

Antasari balas menyanggah. “Karena itulah seluruh rakyat dan pejuang-pejuang Banjar

masih menaruh kepercayaan penuh kepadamu; masih menggantungkan keyakinan yang

sebesar-besarnya kepadamu, bahwa kelangsungan hidup kerajaan ini ada di tanganmu.”

“Hanya yang tidak bisa kupahami ialah caramu menyatakan dan menunjukkan

kecintaanmu itu! Untuk mencegah pertumpahan darah kau bersedia ditunjuk oleh

Kompeni sebagai Mangkubumi!”

“Belum lagi kering air mata di atas jenazah kakekmu Sultan Adam yang disusul dengan

penobatan Tamjid, kau dengan kebencianmu kepada pertumpahan darah dan

kepercayaanmu yang penuh kepada Kompeni merupakan satu-satunya yang dapat

mencegah malapetaka yang tak berperikemanusiaan itu, telah sengaja atau tidak

menyerahkan pamanmu sendiri, Perabu Anom, yang menyebab pembuangannya!”

“Kemudian baru-baru ini kudengar lagi kabar, bahwa kau telah menyanggupi kepada

Residen Belanda untuk mendamaikan perlawanan rakyat dengan janji kepada mereka

yang melakukan perlawanan itu, pemeriksaan yang teliti dan keputusan hukuman yang

seadil-adilnya! Tentu saja aku termasuk pula di dalamnya, bukan ?” Jawab Pengeran

Antasari dengan getir.

“Ingatan paman sangat baik,” jawab Pangeran Hidayat. “Apa yang Paman katakan itu

semua benar. Tentu Paman ingin menambahkan pula, bahwa karena tindakan-tindakan

itu semua, saya telah merugikan perjuangan rakyat. Saya bukan lagi menolongnya

malah menjerumuskannya!”

“Paman, saya tidak bermaksud membela diri. Semua itu saya lakukan karena pada dasar

hati saya, saya mempunyai kepercayaan penuh kepada manusia. Saya percaya bahwa

sebagian besar manusia menyukai hidup tenteram dan membenci pertumpahan darah.

Saya percaya bahwa segala macam pertentangan dapat diselesaikan dengan perundingan

tanpa kita harus saling membunuh.”

“Sungguh akan menjadi khotbah yang menarik. Hanya jangan kau harapkan bahwa

Kompeni akan berbondong-bondong datang mendengarkan khotbahmu! Hidayat, apa

kamu masih juga percaya, bahwa kemerdekaan kita yang telah diinjak-injak oleh

Kompeni sekarang ini dapat ditebus dengan berunding hanya karena sebagian besar

umat manusia di muka bumi ini menyukai hidup tenteram dan membenci pengaliran

darah?”

Sejurus Pangeran Antasari berhenti sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Kita yang

sudah banyak mengaji mengetahui benar,” lanjutnya, “bahwa Allah tidak akan

mengubah nasib kita, jika kita sendiri tidak berusaha mengubahnya”.

“Saya tidak tahu lagi, Paman,” Pangeran Hidayat terdesak. “Saya tidak tahu lagi apa

yang harus saya katakan.”

“Kamu boleh tidak tahu apa yang harus kau katakan, tapi kau harus tahu apa yang harus

kau lakukan. Dan itu cuma satu. Pimpinlah perjuangan ini!” desak Pangeran Antasari.

“Mengapa Paman masih terus mengharapkan supaya saya memimpinnya?”

“Karena kau adalah ahli waris yang sah dari kerajaan ini.”

Pangeran Hidayat menyanggah : “Saya tidak terlalu gembira dengan sebutan ahli waris

yang sah, karena saya tahu Paman pun berhak penuh atas kerajaan ini,” katanya jujur.

“Saya tidak terlalu berterima kasih kepada leluhur saya yang menyebabkan saya

mendapat kehormatan dengan sebutan putera mahkota, karena saya tahu mereka telah

merebutnya dari datu-datu Paman. Turun-temurun keluarga Paman telah berjuang

mengusir Kompeni. Sedangkan saya…,” ia menggeleng-geleng. “Tidak, Paman.

Mengapa tidak Paman sendiri meneruskan memimpinnya.”

“Jangan kita seperti anak kecil, Hidayat,” keluh orang tua itu kesal. “Membangkitbangkit kesalahan orang yang telah dikubur. Apapun yang telah terjadi diantara mereka,

tidak menghapuskan adanya pertalian darah diantara kita. Aku sudah lanjut usia. Jika

Allah membenarkannya, sebenarnya aku tidak mengharapkan lebih daripada

kedudukanku yang sekarang ini. Tambahan pula rakyat masih percaya penuh kepada

wasiat kakekmu almarhum.”

“Tetapi wasiat itu telah beliau batalkan sendiri dengan pengangkatan saya sebagai

Mangkubumi sekarang ini…Namun demikian”, jawab Pangeran Antasari, “Bagi mereka

kau tidak saja ahli waris yang sah dari kerajaan ini, tetapi juga yang maha utama bagi

mereka. Kau merupakan lambang dari perasaan mereka yang ingin bebas, lambang dari

perjuangan mereka untuk satu. Karena itulah mereka mempertaruhkan segala-galanya

untukmu.”

Pangeran Hidayat berjalan mondar-mandir, dan rupanya mulai termakan di hatinya.

“Siapa diantara pemuka-pemuka rakyat yang ikut…?” tanyanya.

“Aku telah menghimpun semua mereka. Pasukan dari daerah Barito, Kapuas, dan

Kahayan dipimpin oleh Tumenggung Surapati. Dari daerah Hulu Sungai dan Tanah

Laut dipimpin oleh tangan kananmu sendiri; Demang Lehman, bersama-sama

Tumenggung Antaluddin, Haji Buyasin, dan lain-lain. Benar-benar tenaga-tenaga muda

yang jarang ada tandingannya. Adapun pasukan dari daerah Benua lima, juga dipimpin

oleh orang kepercayaanmu sendiri, Jalil; dan Aling dari Muning telah memihak kepada

kita.”

“Yang terakhir ini sudah saya dengar juga. Rupanya Paman tidak saja berhasil untuk

menyatukan Gerakan Benua Lima dengan Gerakan Maning, tapi sempat juga

menjadikannya besan.”

“Ini suratan jodoh semata-mata,” jawab Pangeran Antasari.

Setelah itu keduanya terdiam merenung sejenak. “Jadi semuanya mereka telah satu

mufakat ?” tanya Pangeran Hidayat.

“Kau jangan menyangsikan lagi”, sahut pengeran Antasari tegas.

“Apakah Paman yakin bahwa Paman akan memenangkun peperangan ini?”

“Kita harus yakin, bahwa kita akan memenangkan kebenaran dari peperangan ini,”

Dua minggu kemudian, tepatnya tanggal 28 April 1859, Perang Banjar yang dipimpin

oleh Pangeran Antasari meletus, dengan jalan merebut benteng Pengaron milik Belanda

yang dipertahankan mati-matian. Pertempuran di benteng pengaron ini disambut dengan

pertempuran-pertempuran di berbagai medan yang tersebar di Kalimantan Selatan, yang

dipimpin oleh Kiai Demang Lehman, Haji Buyasin, Tumenggung Antaluddin, Pangeran

Amrullah dan lain-lain.

Pertempuran mempertahankan benteng Tabanio bulan Agustus 1859, pertempuran

mempertahankan benteng Gunung Lawak pada tanggal 29 september 1859;

mempertahankan kubu pertahanan Munggu Tayur pada bulan Desember 1859;

pertempuran di Amawang pada tanggal 31 Maret 1860. Bahkan Tumenggung Surapati

berhasil membakar dan menenggelamkan kapal Onrust milik Belanda di Sungai Barito.

Sementara itu Pangeran Hidayat makin jelas menjadi penentang Belanda dan memihak

kepada perjuangan rakyat yang dipimpin oleh Pangeran Antasari. Penguasa Belanda

menuntut supaya Pangeran Hidayat menyerah, tetapi ia menolak. Akhirnya penguasa

kolonial Belanda secara resmi menghapuskan kerajaan/kesultanan Banjar pada tanggal

11 Juni 1860. Sejak itu kesultanan Banjar langsung diperintah oleh seorang Residen

Hindia Belanda.

Perlawanan semakin meluas, kepala-kepala daerah dan para ulama ikut memberontak,

memperkuat barisan pejuang Pangeran Antasari bersama-sama pangeran Hidayat,

langsung memimpin pertempuran di berbagai medan melawan pasukan kolonial

Belanda. Tetapi karena persenjataan pasukan Belanda lebih lengkap dan modern,

pasukan Pangeran Antasari dan Pangeran Hidayat terus terdesak serta semakin lemah

posisinya. Setelah memimpin pertempuran selama hampir tiga tahun, karena kondisi

kesehatan, akhirnya Pangeran Hidayat menyerah pada tahun 1861 dan dibuang ke

Cianjur, Jawa Barat.

Setelah Pangeran Hidayat menyerah, maka perjuangan umat Islam Banjar dipimpin

sepenuhnya oleh pangeran Antasari, baik sebagai pemimpin rakyat yang penuh dedikasi

maupun sebagai pewaris kesultanan Banjar. Untuk mengokohkan kedudukannya

sebagai pemimpin perjuangan umat Islam tertinggi di Kalimantan Selatan, maka pada

tanggal 14 Maret 1862, bertepatan dengan 13 Ramadhan 1278 Hijriah, dimulai dengan

seruan: “Hidup untuk Allah dan Mati untuk Allah,” seluruh rakyat, pejuang-pejuang,

para alim ulama dan bangsawan-bangsawan Banjar; dengan suara bulat mengangkat

Pangeran Antasari menjadi ‘Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin’.

Tidak ada alasan lagi bagi Pangeran Antasari untuk menolak, ia harus menerima

kedudukan yang dipercayakan kepadanya dan bertekad melaksanakan tugasnya dengan

rasa tanggung jawab sepenuhnya kepada Allah dan rakyat.

Dengan pengangkatan ini menyebabkan ia sekaligus secara resmi memangku jabatan

sebagai Kepala Pemerintahan, Panglima Perang dan Pemimpin Tertinggi Agama Islam.

Pertempuran yang berkecamuk makin sengit antara pasukan Khalifatul Mukminin

dengan pasukan Belanda, berlangsung terus di berbagai medan. Pasukan Belanda yang

ditopang oleh bala bantuan dari Batavia dan persenjataan modern, akhirnya berhasil

mendesak terus pasukan Khalifah. Dan akhirnya Khalifah memindahkan pusat benteng

pertahanannya di hulu Sungai Teweh. Pada awal Oktober 1862, bertempat di markas

besar pertahanan Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin (Pangeran Antasari) di

hulu Sungai Teweh diselenggarakan rapat para panglima, yang dihadiri oleh Khalifah

sendiri, Gusti Muhammad Seman, Gusti Muhammad Said (keduanya putera khalifah

sendiri), Tumenggung Surapati dan Kiai Demang Lehman. Sedangkan para panglima

yang lain-lain tidak bisa hadir, karena perhubungan yang sulit dan letaknya jauh-jauh.

“Adakah kabar penting Lehman ?” Khalifah membuka percakapan.

“Oo tidak … Tidak ada hal-hal yang terlalu luar biasa,” jawab Lehman. “Hanya saja

kami semua mendengar bahwa Khalifah-sakit.”

“Seperti yang kamu lihat sendiri, Lehman …. penyakit orang-orang telah berumur. Tapi

Insya Allah, aku akan sehat kembali. Hanya buat sementara pimpinan perjuangan di sini

kuserahkan kepada mereka bertiga ini ….,” jawab Khalifah, Gusti Muhammad Seman,

Gusti Muhammad Said dan Tumenggung Surapati mengangguk, yang dibalas pula oleh

Kiai Demang Lehman.

Selanjutnya Kiai Demang Lehman menyampaikan pesan para panglima dari Hulu

Sungai dan Tanah Laut, yaitu Haji Buyasin dan Kiai Langlang, yang tidak sempat hadir

pada saat pelantikan Khalifah serta permohonan maaf dan doa semoga khalifah cepat

sembuh. “Kami para panglima yang berada di daerah Hulu Sungai dan Tanah Laut telah

berikrar dan bertekad bulat dibawah pimpinan Khalifah untuk berjuang dan bertempur

terus di mana pun kami berada, selama Allah subhanahu wata’ala memberikan daya dan

kemampuan kepada kami.”

“Alhamdulillah…,” ucap Khalifah. “Aku mengucapkan syukur dan terima kasih, kamu

semua masih tetap menaruh kepercayaan yang begitu besar demi kelangsungan

perjuangan kepadaku. Karena itu aku sungguh-sungguh yakin dan percaya, sekalipun

aku kelak sudah tidak ada lagi, kamu sekalian yang masih muda-muda ini, akan terus

memimpin dan melanjutkan perjuangan membela rakyat dan menegakkan syari’at Islam.

Kepadamu semua aku tidak dapat mewariskan apa-apa kecuali perjuangan ini. Kapan

berakhirnya perjuangan ini aku sendiri tidak tahu. Hanya yang pasti, perjuangan

manusia untuk menegakkan kebenaran dan keadilan akan terus berlangsung sepanjang

usia umat manusia.

Pembicaraan dalam pertemuan ini beralih kepada Muhammad Said, putera Khalifah,

dimana antara lain ia berucap: “Sulit menemukan kesempatan seperti dalam pertemuan

ini. Medan yang terpencar-pencar memaksa kita tidak dapat selalu bertempur bersama,

bertemu dan apalagi memperbincangkan sesuatu. Namun demikian kita diikat oleh satu

persamaan cita-cita dan tujuan, yang dihidupkan dan digerakkan oleh semangat perang

sabil.

“Inilah…,” tekannya. “Tiga setengah tahun sudah kita menjalani perang ini. Korban

benda dan jiwa sudah tidak terkatakan. Korban harta dan orang-orang yang kita cintai.

Dan saya sendiri sudah kehilangan seorang isteri, ipar dan mertua dalam perang ini.

Allah Maha Tahu apa artinya mereka semua bagiku..”

Kembali ia terdiam merenung, lanjutnya: “Perang adalah sungguh-sungguh

kesengsaraan. Siapapun harus mengakui ini. Tetapi menyesalkah kita telah

melakukannya? Tidak! Karena kita tahu untuk apa kita ini berjihad!” katanya

bersemangat.

“Biar seribu kali Nieuwenhuyzen mengeluarkan maklumat proklamasinya yang

menyebut-nyebut bahwa tujuan pemerintah Belanda sekarang ialah menciptakan

kemakmuran rakyat, memegang teguh keadilan, ketertiban dan keamanan serta

menganggap kita binatang buruan yang mengembara dalam rimba-rimba belantara dan

menuduh kita menyalahgunakan nama Agama dan tanah air untuk membenarkan tujuan

perang kita, semuanya itu tidak ada artinya dan tidak melemahkan iman kita! Kompeni

boleh membunuh kita, tetapi tidak semangat kita! Lalu menyerah … Menyerah setelah

sekian banyak korban, sekian banyak kesengsaraan? Lalu apa artinya korban dan

kesengsaraan selama tiga setengah tahun perang ini? Inilah yang menjadi tanda tanya

tentang menyerahkan kak Hidayat kepada Belanda. Kiai Demang Lehman adalah orang

yang paling dekat dengan kak Hidayat, tolong jelaskan.”

Kiai Demang Lehman mengangguk, menunduk sebentar kemudian mengangkat muka.

“Mungkin sebagian kesalahan itu ada pada saya,” ia mulai dengan suatu pengakuan

yang jujur. “Dan jika itu dinamakan kesalahan juga, maka kesetiaan itulah saya kira

asal-mula sebabnya. Hanya, kesetiaan saya itu bukanlah karena saya dari seorang

pemuda tanggung bernama Idis yang diangkatnya menjadi Lalawangan di Riam Kanan

dengan gelar Kiai Demang Lehman dan kemudian mendapat hadiah kedua macam

senjata ini,” katanya sambil memperlihatkan senjata-senjatanya.

“Kesetiaan saya adalah kesetiaan seorang rakyat biasa terhadap pemimpin yang

dicintainya dan sebaliknya menyintai pula rakyatnya; kesetiaan kepada pemimpin yang

diharapkan membimbing rakyatnya keluar dari penindasan dan kesengsaraan. Dan di

atas segala-galanya kesetiaan kepada manusia.”

Pembicaraannya terhenti. Kemudian ia lanjutkan: “Saya iba melihat Pangeran Hidayat

dan keluarganya terlunta-lunta dalam buruan Kompeni. Mengingat kekurangan senjata

dan penghidupan rakyat semakin sulit karena pertumpahan darah yang berlarut-larut,

maka saya mengusahakan penyerahannya dengan kepercayaan, tadinya, bahwa

penyerahannya akan mengakhiri semua kekalutan dan kesengsaraan itu. Tetapi diluar

dugaan saya, ia menerima begitu saja tekanan yang ditetapkan oleh Mayor Verspyck

tentang pengasingannya ke Jawa dan pengumuman kepada rakyat untuk meletakkan

senjata.”

“Ini menyalahi sama sekali janji Mayor Koch kepada saya yang menjamin bahwa

Pengeran Hidayat tidak akan diasingkan ke Jawa! Akhirnya saya insaf bahwa saya telah

menempuh suatu cara yang salah, terlalu cepat percaya kepada apa yang seharusnya

haram untuk dipercayai!” Kiai Demang Lehman berhenti sebentar untuk menekankan

rasa geramnya atas pengkhianatan Belanda.

“Tetapi ketika Kompeni membawa Pangeran Hidayat dari Martapura ke Banjarmasin,

saya kerahkan rakyat Martapura, untuk membebaskannya kembali dari kapal api

tersebut; dan berhasil. Hanya pada akhirnya, belum sebulan kemudian ia kembali

menyerah untuk kedua kalinya,” katanya menyesal.

“Adapun saya sendiri, Insya Allah pantang untuk mengulang kembali kesalahan itu buat

kedua kalinya. Dan saya bersumpah untuk menebus kesalahan pertama itu, kalau tadi

dinamakan juga kesalahan, dengan seluruh jiwa raga saya!” ujarnya dengan hati

berkobar tapi penuh taqwa. “Baru kemudian terasa, bahwa selain keimanan terhadap

Agama, kesetiaan terhadap perjuangan juga menuntut dan mengatasi kesetiaankesetiaan lainnya”

Khalifah yang semenjak tadi berdiam diri, mulai sngkat bicara: “Yah…, kesalahan

semacam itu bukan tidak mungkin dapat juga kami perbuat. Hanya yang penting

sekarang ialah bahwa kita telah belajar dari pengalaman pahit,” ujar khalifah lebih

lanjut.

“Mayor Verspyck ini telah mengirim surat kepadaku dengan perantaraan orang

kepercayaannya Kiai Rangga Niti Negara. Katanya, bahwa bilamana aku dan kawankawan seperjuangan ingin memperbaiki kesalahan dan berhajat minta ampun kepada

Kompeni, maka Kiai itu berkuasa membawa kami ke Mentalat untuk mendapatkan

pengampunan dari Kompeni! Begitu kira-kira bunyi suratnya, Surapati?” tanyanya

kepada Tumenggung Surapati.

“Sungguh surat yang mentertawakan,” jawab Tumenggung Surapati. “Menyerah dan

meminta ampun dengan perantaraan surat ? Bah…! Dengan meriam-meriamnya pun

haram kami menyerah, apalagi hanya dengan selembar kertas yang dibawa oleh kaki

tangan Kompeni semacam Niti Negara itu !”

Khalifah mengangguk, membenarkan pandangan itu. “Aku telah membalas surat itu,

Lehman”, katanya. Kukatakan, bahwa aku berterima kasih atas segala perhatiannya!

Aku menyadari bahwa sebagai manusia aku mempunyai banyak kesalahan. Tetapi

kesalahan yang dimaksudnya adalah dari sudut pandangannya, pandangan seorang

kompeni terhadap seorang pribumi yang hina-dina!”

“Semua orang-kultt putih di Banjarmasin telah digaji oleh kompeni untuk mengadakan

segala macam perbuatan terkutuk, haram dan durhaka! Selanjutnya kukatakan, bahwa

mungkin usulnya akan kupertimbangkan jika ada surat resmi dari Gubernur Jenderal

dimana ditetapkan tegas-tegas, bahwa kesultanan Banjar dikembalikan sepenuhnya

kepada kami! Adapun usulnya supaya kami minta ampun kutolak dengan tegas. Kami

akan berjuang terus menuntut hak kami, hak kita semua! Inilah antara lain yang penting,

Lehman.”

“Kita tidak akan mendapatkan apa-apa dari peperangan ini dengan berunding apalagi

menyerah! Kalau kita melakukannya juga, anak cucu kita sebagai pelanjut perjuangan

kita, akan menyalahkan kita, menghukum tindakan kita sebagai suatu kelemahan

perangai atau iman. Janji-janji kompeni membuat saya semakin jijik. Terutama dengan

pengalaman Hidayat yang dibuang sebagai rakyat jajahan ke Jawa. Jangankan Hidayat,

orang kepercayaannya sendiri seperti Tamjid dibuangnya, apalagi kita semua orang

yang terang-terangan menentangnya mati-matian.”

Pertemuan diakhiri setelah mendengar suara azan Maghrib yang terdengar dari

kejauhan. Dan beberapa hari kemudian, pada tanggal 11 Oktober 1862, Panembahan

Amiruddin Khalifatul Mukminin (Pangeran Antasari) wafat; dan dimakamkan di Bayan

Begok, Hulu Teweh.

Walaupun Khalifah telah wafat, namun perlawanan berjalan terus, dipimpin oleh puteraputeranya seperti Gusti Muhammad Seman, Gusti Muhammad Said dan para panglima

yang gagah perkasa. Pada tahun 1864, pasukan Belanda berhasil menangkap banyak

pemimpin perjuangan Banjar yang bermarkas di gua-gua.

Mereka itu ialah Kiai Demang Lehman dan Tumenggung Aria Pati. Kiai Demang

Lehman kemudian dihukum gantung. Sedangkan yang gugur banyak pula dari para

panglima, seperti antara lain Haji Buyasin pada tahun 1866 di Tanah Dusun, kemudian

menyusul pula gugur penghulu Rasyid, Panglima Bukhari, Tumenggung Macan Negara,

Tumenggung Naro.

Dalam pertempuran di dekat Kalimantan Timur, menantu Khalifah Pangeran Perbatasari

tertangkap oleh Belanda dan pada tahun 1866 diasingkan ke Tondano, Sulawesi Utara.

Kemudian Panglima Batur dari Bakumpai tertangkap oleh Belanda dan dihukum

gantung pada tahun 1905 di Banjarmasin.Terakhir Gusti Muhamad Seman wafat dalam

pertempuran di Baras Kuning, Barito pada bulan Januari 1905.

Gambaran singkat dari Perang Banjar yang berlangsung dari tahun 1859 dan berakhir

tahun 1905, terlihat dengan jelas bahwa landasan ideologi yang diperjuangkan adalah

[top]

Islam, dengan semboyan “Hidup untuk Allah dan mati untuk Allah”, dengan jalan

perang Sabil dibawah pimpinan seorang Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin,

dan targetnya berdaulatnya kembali kesultanan Banjar. Dengan kata lain perang Banjar

adalah perang untuk menegakkan negara Islam yang utuh.

———————————————————————————————————-

PERANG ACEH

Sebagaimana diketahui bahwa kesultanan Aceh telah berdiri sejak tahun 1507 yang

diperintah oleh seorang sultan yang bernama Sultan Ali al Moghayat Syah, dan

mencapai titik kejayaannya pada saat Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam berkuasa

(1607-1636). Sejak itu kesultanan Aceh mengalami kemunduran, dengan pertentangan

diantara para pewaris, sehingga menimbulkan kerajaan kecil-kecil di daerah-daerah.

Walau demikian, kesultanan Aceh yang luas itu tidak pernah terjajah baik oleh Portugis,

Inggeris maupun Belanda, sampai tahun 1873.

Untuk menjaga netralisasi kesultanan Aceh; Inggeris dan Belanda negara kolonial yang

berkuasa di semenanjung Malaysia dan Indonesia, pada tahun 1824 telah mengadakan

perjanjian di London, yang terkenal dengan nama Traktat London, dimana antara lain

berisi:

(a) Belanda mengundurkan diri dari Semenanjung Malaysia dengan jalan menyerahkan

Malaka dan Singapura kepada Inggeris;

(b) Inggeris mengundurkan diri dari Indonesia dengan Jalan menyerahkan Bengkulu dan

Nias kepada Belanda;

(c) Belanda harus menjamin keamanan di perairan Aceh, tanpa mengganggu kedaulatan

negara itu.

Netralisasi kesultanan Aceh yang berdaulat, sejak tahun 1863 secara diam-diam tidak

diakui lagi oleh Belanda. Sebab pada tahun itu, Sultan Deli yang de jure berada di

bawah kekuasaan Aceh telah mengadakan perjanjian kerjasama dengan Belanda,

dimana dinyatakan bahwa Deli hanya mematuhi segala ketentuan dari Batavia.

Dengan perjanjian ini, Sultan Mahmud telah memberi konsesi kepada Belanda untuk

membuka perkebunan tembakau secara besar-besaran di Deli dengan syarat-syarat yang

sangat menguntungkan. Pada tahun 1864 penguasa kolonial Belanda telah dapat

mengekspor tembakau ke Negeri Belanda dengan keuntungan yang sangat

menggiurkan.

Untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya, pada tahun 1870 setelah didirikan

satu perusahaan tembakau dengan nama ‘Deli Maatschappij’, yang kantor pusatnya

berkedudukan di Amsterdam, Belanda. Pada tahun pertamanya perusahaan baru itu

telah mengeluarkan 200% dividen; pada tahun kedua 330%, pada tahun ketiga 1300%.

Perusahaan Deli Maatschappij telah memberi keuntungan yang luar biasa kepada

penguasa Hindia Belanda.

Pembukaan Terusan Suez pada tahun 1869, merubah alur pelayaran dari Eropa ke Asia

Timur tidak lagi melalui selatan, yaitu melalui Selat Sunda, tetapi lewat Aden dan

Kolombo terus ke Selat Malaka. Dengan demikian posisi pulau Sumatera, khususnya

Aceh menjadi sangat strategis.

Aceh yang telah mengetahui rencana pembukaan Terusan Suez dan posisinya di

kemudian hari yang sangat strategis dalam alur pelayaran internasnonal, serta sangat

mungkin menggiurkan negara-negara kolonial seperti Inggeris dan Belanda untuk

mencaploknya, maka pada tahun 1868 delegasi kesultanan Aceh berlayar menuju

Istambul untuk memohon kepada Sultan Turki agar menjadi pelindung kekhalifahan

kekuasaan tertinggi atas Negara Islam Aceh. Turki yang dalam posisi sangat lemah,

karena menghadapi negara-negara Kristen Eropa, terutama Perancis dan Inggeris, tidak

mampu untuk memberikan payung pengaman kepada Negara Islam Aceh yang letaknya

begitu jauh dari Turki. Dengan demikian missi delegasi Aceh gagal.

Selain itu keberhasilan penguasa kolonial Hindia Belanda dalam menumpas

peperangan-peperangan Banten, Jawa, Padri dan Banjarmasin menumbuhkan rasa

superioritas yang angkuh, bahwa seluruh Indonesia bisa menjadi daerah jajahannya

dalam waktu yang tidak terlalu lama. Satu-satunya daerah di Indonesia yang belum

terjamah oleh Belanda hanyalah Aceh.

Sesuai dengan watak kolonialis Eropa-Kristen, khususnya Belanda, hal-hal tersebut

diatas seperti keuntungan dan terbukanya terusan Suez dan keberhasilan menumpas

perlawanan umat Islam, mereka berbulat hati untuk melakukan ekspansi kekuasaan

kolonialnya ke Aceh.

Rencana untuk mencaplok kesultanan Aceh; dimulai oleh pertemuan Menteri Jajahan

Belanda E. de Waal dengan duta besar Inggeris Harris di Denhaag pada tahun 1869.

Hasil dari persekongkolan E.de Waal dan Harris (Belanda dan Inggeris) membuahkan

laporan Kepada Raja Belanda, di mana de Waal pada bulan Juni 1870 menulis

berdasarkan perundingan-perundingan dengan Inggeris, bahwa Aceh demi kepentingan

politik yang mendesak harus dikuasai Belanda.

Sejalan dengan hasil perundingan ini, maka Inggeris meminta pendapat gubernurnya di

Singapura, Sir Harry St, untuk memberikan pertimbangannya. Pada tanggal 9 Desember

1859, Sir Harry memberi jawaban bahwa direbutnya Aceh oleh Belanda akan sangat

menguntungkan bagi perdagangan Inggeris. Pendapat Sir Harry dipublisir oleh media

massa di Singapura, antara lain “Penang Gazette” tertanggal 10 Nopember 1871, di

mana berbunyi “Makin cepat ada suatu negara Eropa yang berwenang campur tangan di

Aceh, makin cepat pula daerah-daerah ini yang dahulu begitu subur dengan hasil-hasil

bumi timur akan hidup kembali dan akan pulih dari keruntuhannya sekarang”.

Pada akhir Nopember 1871 lahirlah apa yang disebut Traktat Sumatera, dimana

disebutkan dengan jelas “Inggeris wajib berlepas diri dari segala unjuk perasaan

terhadap perluasan kekuasaan Belanda di bagian mana pun di Sumatera. Pembatasanpembatasan Traktat London 1824 mengenai Aceh dibatalkan”.

Usaha-usaha untuk menyerbu Aceh, makin santer didengarkan baik Nederland maupun

di Batavia, sehingga mendorong Multatuli pada bulan Oktober 1872 menulis surat

terbuka kepada Raja dimana antara lain berbunyi: “Gubernur Jenderal Anda, Tuanku

dengan bermacam dalih yang dicari-cari, paling-paling berdasarkan alasan provokasi

yang dibuat-buat, bersikap memaklumkan perang kepada sultan Aceh, dengan tujuan

merampas kedaulatan kesultanan itu, Tuanku, perbuatan ini tidak berbudi, tidak luhur,

tidak jujur, tidak bijaksana.”

Peringatan yang dilancarkan oleh Multatuli, tidak dihiraukan sama sekali, dianggap

angin lalu saja. Persiapan-persiapan kearah operasi militer terus dilakukan. Setelah

telegram program menyerbu dari Den Haag tertanggal 18 Februari 1873 di terima oleh

Gubernur Jenderal Hindia Belanda, London, maka segera ia mengangkat

Nieuwenhuyzen, ketua Dewan Hindia Belanda dan dalam kedudukan ini nomor dua

dalam hierarki Hindia; sebagai komisaris pemerintah. Yang menjadi panglima tertinggi

militer ekspedisi dan penyerbuan ke Aceh ialah Mayor Jenderal J.H.R. Kohler,

komandan teritorial Sumatera Barat. Sebab Kohler telah lama mendapat perintah dari

London untuk mengumpulkan keterangan militer tentang Aceh. Bahkan di atas kertas

telah diperhitungkan berapa banyak pasukan yang diperlukan untuk opresai militer

tersebut.

Kohler dibantu oleh Kolonel E.C. van Daalen, yang menjabat sebagai wakil komandan

operasi.

Dengan cepat sekali Kohler dan van Daalen mulai menghimpun kekuatan pasukan yang

terdiri atas tiga batalyon dari kota-kota garnisun di Jawa, di samping itu juga suatu

batalyon ‘Barisan Madura’, pasukan-pasukan bantuan di bawah pimpinan perwiraperwira Eropa. Mengingat musim barat biasanya jatuh bersamaan hujan badai besar di

Sumatera Utara pada akhir bulan April, maka dengan alasan itu operasi militer terhadap

Aceh, sekiranya belum selesai, hendaklah sebagian besar harus telah dilaksanakan.

Tidak mudah menghimpunkan keempat batalyon itu serta menambah artileri dan

kavaleri. Seluruhnya berjumlah tiga ribu orang; sekitar seribu orang tamtama dan

bintara Eropa dan 118 orang perwira. Ditambah seribu orang pekerja paksa sebagai

tukang pikul, narapidana yang harus melakukan kerja paksa di luar pulaunya sendiri.

Juga termasuk dalam ekspedisi ini 220 wanita Indonesia sebagai tenaga kerja dapur dan

teman tidur serdadu-serdadu Jawa dan Ambon; yang menurut ketentuan tradisionaloperasi militer, delapan orang setiap kompi; dan akhirnya tiga ratus orang pelayan

perwira, dua orang bagi setiap perwira dan sisanya personil kantin.

Mengumpulkan operasi yang demikian pun sudah tidak mudah. Lebih sulit adalah

mempersenjatai infantri secara layak. Pasukan Belanda (NIL) tengah beralih dari

penggunaan bedil cara lama yang diisi dari depan menjadi penggunaan bedil Beaumont

modern yang diisi dari belakang, sebenarnya larasnya masih juga panjang-panjang, dan

dengan sangkur terpasang menjadi jauh lebih panjang dari sebagian besar serdadu.

Tetapi setidak-tidaknya bisa digunakan cara yang mirip menembak cepat; tentunya

kalau orang mahir menggunakannya.

Dan inilah justru kekurangan batalyon-batalyon pasukan Belanda di Aceh. Batalyon keXII sedikit banyaknya telah dapat berlatih dengan Beaumont, Batalyon ke-IX

memperoleh bedil-bedil baru itu tidak lama sebelum masuk kapal, Batalyon ke-III

masih harus menggunakan senapan yang diisi dari depan. Memang ada satu batalyon

yang terlatih baik. menggunakan bedil-bedil baru itu, tetapi tidak mungkin menarik

pasukan pilihan dari seluruh Jawa tidak diikut-sertakan. Karena menurut dugaan, perang

Aceh tidak akan sehebat itu.

Mengerahkan pasukan militer sebanyak itu memang tidak mudah. Mempersenjatai

pasukan ekspedisi sebanyak itu lebih sulit. Tetapi yang paling sulit ialah memperoleh

ruang kapal untuk mengangkut pasukan ekspedisi. Seperti dikawatkan Loudon ke Den

Haag, keadaan angkutan ekspedisi laut sangat menyedihkan. Kapalnya tua-tua, ketel

uapnya bocor. Dengan susah payah diusahakan menjadi enam kapal kecil siap berlayar.

Dua kapal pemerintah dan enam kapal milik Nederlands Indische Stoomvaart

Maatschappij, akan mengangkut pasukan militer Belanda dengan sejumlah kapal layar

tua yang ditarik.

Keinginan Gubernur Jenderal Loudon adalah segera sesudah tangal 18 Februari 1873

akan mengirimkan Nieuwenhuyzen bersama beberapa kapal perang ke Aceh. Pasukan

ekspedisinya akan menyusul kemudian. Tetapi keadaan armada negara begitu buruk,

sehingga baru pada tanggal 7 Maret 1873 dua kapal perang siap berlayar.

Nieuwenhuyzen berangkat pada tanggal 7 Maret 1873. Kendatipun dia terlambat

berangkat, Loudon dan Franser van de Putte masih belum juga sependapat mengenai

instruksinya yang menjadi pertanyaan ialah sang Sultan Aceh serta-merta harus

dihadapkan pada pilihan mengakui kedaulatan Belanda atau perang; Loudon

menganggap hal itu mutlak perlu. Fransen van de putte (Menteri Jajahan Belanda)

sedikit masih samarsamar. Terutama ketika hari keberangkatan Nieuwenhuyzen dengan

pasukannya ke Aceh.

Perasaan geram terbukti dari telegram-telegram Loudon; seperti pada telegram tanggal 9

Maret 1873: “…tidak ada jaminan yang dapat dipikirkan kecuali pengakuan kedaulatan.

Tanpa ini ekspedisi tidak ada artinya. Harap segera berikan saya perintah tegas atau

membiarkan saya bertindak sepenuhnya atas tanggung jawab sendiri seluruhnya…”

Nieuwenhuyzen berada dalam perjalanan, dia sudah berada di depan pinang (artinya

pada kantor telegraf yang terakhir) dan masih juga mendapat telegram bertubi-tubi dari

Menteri Fransen yang tetap bersikeras bahwa alternatif tegas Loudon. (tuntutan

pertama), di sini ataupun di tempat lain, akan memberikan kesan buruk. Pendiriannya

tetap. Mulai dengan meminta pada Aceh kejelasan, pertanggungjawaban, penyelesaian

yang memuaskan, mengadakan perjanjian.

Dan kalau ini tidak diberikan? Jelas, hal ini bergantung pada keadaan. Pada tanggal 19

Maret 1873 Nieuwenhuyzen meneruskan perjalanan ke Aceh.

“Situasi yang kritis ini bagi Aceh sangat menyedihkan. Sebab Sultan yang naik tahta

pada tahun 1870 baru berusia 14 tahun, sehingga kesultanan diwakilkan oleh para

pembantunya. Sedangkan HabibAbdurrahman A1 Zahir yang menjabat sebagai perdana

Menteri belum kembali dari missi diplomatiknya ke Turki dan Amerika Serikat dan

Inggeris dalam rangka mencari bantuan senjata guna menghadapi penyerbuan Belanda.

Sebagaimana diketahui bahwa peran Habib Abdurrahman A1 Zahir sebagai Perdana

Menteri dan seorang ulama telah berhasil memadamkan intrik dan dendam kesumat di

kalangan para hulubalang dan kaum bangsawan di istana kesultanan Aceh. Ia telah

berhasil menghimpun para ulama dan rakyat Aceh untuk bahu-membahu membentuk

pasukan militer dalam menghadapi segala kemungkinan penyerbuan Belanda, ia pula

yang berulang kali memimpin delegasi Aceh ke Turki dan Timur Tengah.

Sikapnya yang tegas terhadap negara-negara asing, seperti diungkapkan dalam

percakapannya dengan Kraayenhoff, di mana antara lain berisi: “Aceh bersahabat

dengan Inggeris, Perancis dari Turki serta negara-negara lain, karena tidak dilukai oleh

negaranegara ini. Sebaliknya negeri Belanda yang sekarang ingin mempererat

persahabatan, tetapi tidak mengekang diri untuk merampas bagian-bagian dari Kesultanan Aceh, seperti baru saja terjadi. Apakah itu yang dinamakan persahabatan?” Ilmu

yang luas dan wibawanya yang besar, baik di kalangan para hulubalang maupun para

ulama, merupakan benteng yang kokoh yang sulit untuk ditumbangkan; pada saat awalawal Perang Aceh,” demikian menurut kesan C. Snouck Hurgronye.

Walaupun demikian Aceh telah mempersiapkan diri untuk menghadapi penyerbuan

pasukan Belanda, dengan jalan membuat benteng-benteng dan kubu-kubu pertahanan

sepanjang pantai yang diperhitungkan akan menjadi tempat pendaratan pasukan musuh.

Pada tanggal 19 Maret 1873, kapal-kapal perang Belanda yang dipimpin oleh Jenderal

J.H.R. Kohler dan Kolonel Nieuwenhuyzen telah berada dilepas pantai Aceh. Dari kapal

‘Citadel van Antwerpen’ melalui surat-surat, Belanda memberikan ultimatum, dan

ultimatum itu dijawab oleh Sultan Aceh dengan menyatakan, antara lain: ” …..

Kemudian daripada itu kami iringi harapan kami yang sungguh-sungguh, agar

hendaknya negeri kami jangan dihancurkan”.

Dalam surat ini sultan tidak menyinggung secara langsung ultimatum pengakuan

kedaulatan Belanda atas Aceh. Karenanya Belanda mendesak agar Aceh memberikan

jawaban yang tegas, seperti surat yang dilayangkan kembali dari kapal Citadel van

Antwerpen, yang berisi antara lain : “Karenanya saya minta kembali agar seri paduka

tuanku sultan mengemukakan dengan tegas apakah sri paduka tuanku bersedia

mengakui kedaulatan sri baginda raja Belanda atas kerajaan Aceh. Tergantung kepada

bentuk jawaban surat ini, akan dapat saya menetapkan apakah penyerangan dapat

dihentikan atau tidak “. Surat ini ditandatangani oleh Kolonel Nieuwenhuyzen.

Sultan memberikan jawaban, yang berbunyi : “Mengenai permakluman yang dimaksud

dalam surat kami kemarin itu isinya tidak lain daripada mengemukakan bahwa dari

pihak kami tidak ada tumbuh sedikit pun keinginan untuk merubah hubungan

persahabatan yang sudah diikat. Sebab kami hanya seorang miskin dan muda dan kami

sebagai juga Gubernur Hindia Belanda; berada di bawah perlindungan Tuhan Yang

Mahakuasa. Akhirul kalam kami sampaikan salam kepada tuan-tuan sekalian…”

Dalam jawaban surat sultan ini terlihat dengan jelas, bahwa Aceh tidak mau mengakui

kedaulatan Belanda, Aceh hanya mengakui kedaulatan Tuhan.

Jawaban sultan tentunya sangat tidak memuaskan Belanda, sehingga pada tanggal 26

Maret 1873 Nieuwenhuyzen menyataan perang kepada Aceh. Pagi berikutnya, kapal

yang ditumpangi Nieuwenhuyzen, Citadel van Antwerpen, melepaskan tembakan ke

arah sebuah benteng pantai, yang baru saja selesai dibangun oleh pasukanAceh.

Di Den Haag sejak tanggaI 19 Maret 1873 sama sekali berada dalam ketidak-pastian.

Pada tanggal 2 April 1873 koran-koran Belanda menerbitkan sebuah telegram Reuter

dari Pinang, yang memuat pernyataan perang itu. Pemerintah Belanda tidak menerima

berita apapun. Tidak ada hubungan langsung dengan Nieuwenhuyzen. Frans van de

Putte telah meminta Loudon menyampaikan buku kode kepada Nieuwenhuyzen, agar

pada waktu yang bersamaan ia dapat memberikan berita ke Den Haag dan Batavia.

Loudon menjawab bahwa tidak ada waktu untuk menyuruh membuat salinan buku

kode. Jelas dia takut akan tindakan Den Haag. Lagi pula, antara tanggal 1 dan 5 April

1873 kabel laut antara Singapura dan Batavia terganggu lagi. Berita resmi tentang

pernyataan perang baru mencapai Loudon pada tanggal 5 April 1873, Den Haag sendiri

sehari kemudian pada hari-hari pasukan pendaratan untuk melakukan pengintaian.

Pendaratan pasukan utama Belanda baru menyusul dua hari kemudian. Sejak saat yang

pertama, Perang Aceh secara militer pun lain daripada semua perang yang terdahulu.

Bila di nusantara dianggap ‘normal’ bahwa suatu pendaratan pasukan yang begitu besar

dihadapi dengan penarikan mundur musuh yang terorganisasi secara umum,

pertempuran di Aceh satu lawan satu. Pada waktu batalyon-batalyon mendarat,

sembilan orang tewas dan 46 orang luka dan sebagian besar karena serangan kelewang.

Hanya dengan sangkur yang tidak praktis, serdadu-serdadu Belanda itu sempat

mengelakkan serbuan-serbuan dahsyat pasukan tentara Islam Aceh. Artileri orang Aceh

pun lebih baik daripada yang pernah pasukan Belanda hadapi. Pada hari pertama,

Citadel van Antwerpen terkena dua belas tembakan meriam.

Rencana perang Kohler sederhana sekali. Akan didirikannya sebuah pangkalan di

sekitar muara Sungai Aceh, dan dari sini pasukan Belanda maju menuju keraton

kediaman Sultan; yang sekaligus menjadi ibukota. Bila ini telah direbut, maka menurut

pengertian pasukan Belanda (NIL) telah terlaksana pekerjaan yang utama. Begitu pusat

pemerintahan dikuasai, menurut anggapan Belanda, Aceh pasti akan menyerah.

Tetapi di mana tepatnya letak kraton, orang Belanda tidak tahu persis. Bagaimana amat

miskinnya-informasi mereka, ternyata dapat dilihat dari Buku Saku Ekspedisi pasukan

Belanda di Aceh, yang diberikan kepada para perwira. Di dalamnya dikemukakan

bahwa keraton adalah ‘sebuah tempat yang luas dan besar yang terdiri dari berbagai

kampung, dengan banyak sawah, lapangan, kebun kelapa, serta kira-kira 6.000 jiwa

yang bermukim’. Dalam kenyataannya, tempat sultan bersemayam paling-paling hanya

beberapa ratus orang penghuninya dan letak bangunannya lebih ke sebelah sana sungai

dibandingkan dengan desa-desa yang sedikit banyak tergabung di dalamnya dan

kampung Cina yang kecil.

Pada uraian ini di sertakan dengan sebuah ‘gambar’ bagan figuratif Afdeling Utama

Aceh, dengan menggunakan gambar-gambar perlambang, yang sebenarnya sangat tidak

figuratif kelihatannya. Kuala sungai di situ sudah sama saja salah letaknya seperti juga

keratonnya sendiri, desa-desa pesisir bergeser, jalan jalan semuanya tidak cocok dengan

yang digambarkan. Keterangan-keterangan beberapa orang mata-mata yang turut serta

dibawa ternyata tidak ada harganya. Di antara mereka ini terdapat Arifin. Dia turut

dalam ekspedisi pasukan Belanda tetapi tidak mempunyai peranan apapun.

Pantai Aceh yang berawa-rawa dengan pepohonan tinggi menjulang di belakangnya

tidak memungkinkan melakukan pengamatan visual yang agak jauh. Ketika mencari

keraton, pada tanggal 11 April 1873 ditemukan sebuah benteng yang semula di duga

adalah keraton: ruang yang dikelilingi tembok dengan beberapa ruangan bangunan di

dalamnya. Ternyata bukan keraton, tetapi sebuah masjid, yang mati-matian

dipertahankan bagaikan sultan sendiri yang bersemayam di sini. Masjid itu ditembaki

hingga terbakar dan dapat direbut dengan mengalami kerugian berat di pihak pasukan

Belanda. Tetapi pada hari itu juga Kohler menyuruh meninggalkan benteng masjid itu,

karena menurut dia pasukan terlalu letih untuk dapat bertahan dalam posisi yang begitu

terancam.

Segera pula pasukan Aceh menduduki masjid itu dengan sorak kemenangan. Pekikan

perangnya terdengar menyeramkan, terutama pada malam hari. Penarikan mundur ini

lagi-1agi merupakan tindakan yang keliru dalam suatu perang kolonial, hingga tiga hari

kemudian Kohler terpaksa memerintahkan merebut kembali kompleks bangunan masjid

dengan menderita kerugian besar bagi pasukannya. Dia sendiri merupakan korban

dalam kekeliruan ini. Ketika berdiri dalam kubu masjid itu pada tanggal 14 April 1873

sebutir peluru menembus dadanya dan menewaskannya. Saat itu seluruh pasukan

Belanda kehilangan semangat.

Mestinya orang sudah meragukan strategi seorang panglima tertinggi yang mula-mula

menduduki suatu kubu musuh seperti itu, lalu meninggalkannya dan kemudian

menyuruh menaklukkannya lagi. Tetapi penggantinya Kolonel Van Daalen tidak

ditinggalkan suatu rencana perang apapun. Kohler sama sekali tidak pernah

menceritakan apa-apa kepadanya.

Dalam keadaan yang tidak menguntungkan barisan, pasukan Belanda maju lagi menuju

keraton. Garis hubungan dengan markasnya dipantai, yang hanya beberapa kilometer

dari masjid letaknya, senantiasa terancam oleh pasukan-pasukan gerilya Aceh, yang

pejuangpejuangnya memakai baju putih tanpa takut mati, ya, bahkan ingin mati,

menyerbu batalyon-batalyon serdadu Belanda itu. Tengah malam terjadi sergapan dan

penembakan. Pada tanggal 16 April 1873 dua dari tiga batalyon itu menyerang keraton.

Mereka dipukul mundur dengan seratus orang mati dan luka-luka dipihak pasukan

Belanda.

Malam hari itu Van Daalen melakukan sidang dewan di medan. Para kolonel umumnya

berpendapat harus mengundurkan diri. Di Aceh diperlukan sarana-sarana yang lain

sekali daripada yang dimiliki. Dengan diketuai oleh Nieuwenhuyzen kemudian

dimusyawarahkan di kapal Citadei Van Antwerpen tentang nasib pasukan militernya.

Menurut para perwira ‘ternyata sudah musuh gigh yang melawan lebih besar

kekuatannya’. Komandan Angkatan Laut berpendapat bahwa musim barat telah tiba

dengan turunnya hujan-hujan pertama, yang menjadikan perkemahan tergenang air.

Baik keamanan kapal-kapal maupun ‘hubungan tanpa gangguan antara pelabuhan dan

darat tidak terjamin, sehingga pengiriman bala bantuan yang telah diputuskan oleh

Batavia pun tidak akan ada artinya lagi.

Nieuwenhuyzen minta diberi kuasa untuk memerintahkan pasukan penyerbunya

kembali dan ini diperolehnya pada tanggal 23 April 1873. Dua hari kemudian pasukan

Belanda pun masuk kapal. Kekuatan inti tetap tujuh belas hari berada di darat. Dari tiga

ribu anggota, 4 orang perwira dan 52 orang bawahan tewas, 27 orang perwira dan 41

orang bawahan luka dari pasukan Belanda yang berasal dari Eropa dan hampir 400

orang serdadu lainnya yang mati dan luka, yang berasal dari pasukan pribumi. Jadi,

hampir lima ratus dari tiga ribu serdadu Belanda yang mati dan luka-luka; itulah akibat

kerugian Perang Aceh pertama, yang ulang-alik perjalanannya belum sampai memakan

waktu enam minggu.

Usaha pasukan Belanda untuk menguasai Aceh gagal. Namun, berdasarkan kebiasaan

masih pula dibentuk panitia penyambutannya di Batavia bagi kembalinya pasukan yang

kalah. Ketuanya Tuan Kleijn bekas komandan artileri. Tiada pesta pora; tetapi

penembak meriam ini berseru kepada pasukan, yang kembali pada tanggal ll Mei 1873:

“Anda berhak dihormati, Anda telah berjasa terhadap Nederland dan Raja, Anda telah

mempertinggi kemasyhuran tentara Hindia yang gagah perwira!”

Dari ucapan terima kasih Kolonel Van Daalen ternyata bahwa tidak setiap orang di

Batavia, sependapat dengan sang penembak meriam yang gagah perwira itu. “Anda

menunjukkan bahwa Anda tidak tertolong dalam tumpukan besar arang tolol, yung

menilai suatu ekspedisi militer semata-mata dari hasil yang dicapai, tanpa memperhatikan keagungan dan kemasyhuran yang tercapai karenanya,” kata-katanya pahit.

Dan benarlah, tumpukan orang tolol demikian memang ada; dan ke dalamnya termasuk

orang-orang seperti Gubernur Jenderal sendiri yang harus mendukung dan

mempertanggungjawabkan beban kegagalan itu. Tidak diketahuinya apa yang memang

dipahami orang-orang sejati ‘tempo dulu’, bahwa suatu ekspedisi militer yang kalah

bukanlah berarti kalah perang, tetapi suatu peristiwa yang biasanya memulai setiap

usaha perang kolonial di nusantara ini.

Tidakkah sudah tiga ekspedisi yang dikirim ke Bali, Sulawesi Selatan, dan ke

Kalimantan pun entah sudah berapa ? Tidakkah baru sesudah dua puluh tahun lamanya

perang Padri Sumatera Barat ditaklukkan dan dua setengah tahun lamanya dilakukan

pengepungan terus menerus dengan empat ribu orang pasukan Belanda (NIL) yang

diperlengkapi dengan meriam-meriam gunung dan artileri penembak kubu pertahanan

di sana, dapat merebut benteng Bonjol di gunung dari kaum Padri ? Nah, pasukan

Belanda akan mengambil balas pula di Aceh.

Tetapi kali ini akan terbukti jauh berbeda dari harapan pasukan Belanda. Operasi militer

Belanda selanjutnya, hanya perlengkapannyalah yang lebih baik dari yang sudah-sudah;

tetapi hasilnya belum bisa menaklukkan Aceh. Kegagalan akan terus menghantui

pasukan Belanda di Aceh sepanjang masa.

Pada tanggal 18 Mei 1873 Raja Willem III mengadakan kunjungan belasungkawa

kepada ayah Jenderal Kohler yang tewas dalam perang Aceh pertama, yang tinggal di

Groningen. Peristiwa itu merupakan semacam peristiwa nasional bagi bangsa Belanda.

Kunjungan itu diabadikan pada sebuah lito yang dibuat oleh J.W. Egenberg, yang

memperlihatkan Raja bersama-sama ajudannya bersikap bagaikan dibuat-buat berdiri

dekat si orang yang membungkuk beserta anak-anak sang jenderal.

Peristiwa kunjungan belasungkawa ini menumbuhkan semangat bagi rakyat Belanda

untuk melakukan balas dendam atas kekalahannya kepada rakyat Aceh. P Haagsman

telah mengarang, satu Lagu Militer untuk Perang Aceh yang lengkap dengan musiknya.

Sajian Haagsman yang penuh penghinaan terhadap rakyat Aceh, telah diperjual-belikan

dan dilagukan di mana-mana, antara lain berisi:

Ke Aceh, keraton sarang segala kejahatan,

Persekongkolan, pembajakan dan khianat berkecamuk;

Tumpas semua selingkuh, hajar si laknat;

Dengan sang Tiga Warna Belanda ‘peradaban’ tumbuh.

Tanda kutip pada kata peradaban seluruhnya menjadi tanggungjawab penyair; yang

menutupnya dengan:

Ke Aceh keraton itulah semboyan kita kini;

Kita gugur atau hidup, terserah Tuhan;

Tapi Aceh pasti jatuh, atau kami tak kembali lagi,

Menang atau mati, demi kehormatan Belanda.

Tidak ada yang begitu besar pengaruhnya dalam membuat perang Aceh kedua menjadi

kenyataan di negeri Belanda, hingga perang itu adalah perang orang Belanda melawan

Aceh, yaitu dengan diangkatnya Jenderal Van Swieten menjadi panglima tertinggi

penyerbuan kedua. Dulu pun pernah terjadi pasukan-pasukan dikirimkan ke Hindia,

tetapi tidak terjadi seorang jenderal turut serta. Pengangkatan Jenderal Van Swieten

menjadi panglima tertinggi perang Aceh kedua; karena pengalamannya yang banyak

tentang Indonesia. Ia pernah ikut dalam perang Jawa dan Bali, juga dalam penaklukkan

Bone serta pernah menjadi Gubernur di Sumatera Barat.

Pada tanggal 6 Juni 1873, belum sebulan setelah kembali pasukan Belanda dari perang

Aceh pertama, Loudon mengirimkan telegram kepada Fransen van de Putte, yang katakata pertamanya mangandung arti: “Dengan rahasia sedalam-dalamnya saya ajukan

saran untuk mengirimkan Jenderal van Swieten sebagai komisaris sipil dan panglima

militer ke Aceh. Prestise besar Nieuwenhuyzen tidak mungkin. Dan Verspijk dapat

menjadi pemimpin kedua.”

Pemerintah Belanda mengambil alih usul tersebut dan bertindak cepat sekali. Putusan

Raja, yang menugasi kembali Van Swieten dalam dinas aktif, tertanggal 11 Juni 1873.

Dalam satu hal Den Haag menunjukkan kegembiraan lebih daripada yang dapat diterima Loudon dengan senang hati.

Keberangkatan Van Swieten dari Nederland pada bulan Juli 1873 merupakan

kemenangan Fransen van de Putte mengadakan jamuan malam di Wisma Renang Kota

Scheveningen di mana Pangeran Mahkota Willem, semua menteri dan semua duta

hadir. Pangeran, dan menteri jajahan mengangkat gelas untuk kemenangan penyerbuan

tentara Belanda ke Aceh itu.

Ketika berangkat dari Den Haag beberapa orang menteri dan beberapa pejabat tinggi

lain berada pula di stasiun. Seorang gadis putri Fransen van de Putte mempersembahkan

bunga. Di Rotterdam kereta api khusus dengan jenderal dan stafnya itu, disertai oleh

Komisaris Raja di propinsi Holland Selatan, disambut oleh Walikota Joost van

Vollenhoven dan sebuah korps musik. Ketika naik kapal di Bellevoetsluis ada lagi

upacara kecil-kecilan. Keberangkatan yang luar biasa, yang tidak pernah dialami oleh

pengangkatan seorang Gubernur Jenderal sekalipun.

Suasana perang untuk menaklukkan Aceh secepat mungkin dilaksanakan dengan cara

bagaimanapun telah ditulis oleh Busken Fuet dalam koran Algexeen Dagblad voor

Nederlandsch Indie di Batavia, dimana antara lain berbunyi: “Siapa di nusantara ini

tidak memihak kita, menentang kita, dan siapa menentang kita, kita tumpas. Bukan

Sultan Aceh yang mewakili peradaban, tetapi kita, dan kepada kitalah, bukan dia yang

berhak menguasai lautan ini. Bagi kita kedaulatan senenuhnya atas pulau-pulau di

nusantara ini merupakan soal hidup-mati. Bersamanyalah jatuh atau tegaknya negara

kolonial, dan dari padanyalah kita peroleh nama orang Belanda. Kekuasaan itu

merupakan hak kita.”

Penyerbuan pasukan militer Belanda ke Aceh yang pertama gagal, karena

pelaksanaannya terlalu tergesa-gesa, perlengkapan buruk, dan tidak ada rencana

peperangan, dernikian dalih mereka. Hal ini tidak akan terjadi pada Van Swieten. Sudah

sejak di negeri Belanda dia mempertimbangkannya secara panjang lebar dengan

Fransen van de Putte. Pemerintah Belanda menaikkan anggaran belanja Perang Aceh

dan memasukkannya dalam anggaran belanja negeri tersebut. Sebab Belanda menyadari

bahwa prestise nasional, internasional dan kolonial harus dipulihkan dengan tercapainya

suatu kemenangan hebat. Anggaran belanja Hindia Belanda dinaikkan dengan 5,5 Juta

gulden, dimana setengah daripadanya disediakan untuk angkatan laut, yang memang

begitu parah keadaannya. Segala yang dapat berlayar di Hindia dikumpulkan antara

ekspedisi militer pertama ke Aceh dan kedua, asal saja dapat dipasangi sebuah meriam.

Di Negeri Belanda militer diperkenankan merekrut dua ribu orang pasukan militer

untuk Hindia, dengan menaikkan uang persen menjadi empat ratus gulden, dan gaji

untuk tugas dua tahun di Aceh mendapat gratifikasi 1500 gulden. Walaupun begitu,

tenaga-tenaga militer yang direkrut belum mencukupi, karena banyak yang takut

mendengar beratnya Perang di Aceh. Karenanya pemerintah Belanda menaikkan

gratifikasi menjadi 4500 gulden.

Persenjataan mendapat banyak perhatian. Artileri memiliki 72 meriam dan dua

mitralyur. Seluruh kekuatan tentara Belanda untuk menyerbu Aceh yang kedua ini

berjumlah hampir 13.000 ribu orang: 389 perwira, 8.156 bawahan, 1.037 pelayan

perwira, 3.280 narapidana, dan 243 wanita. Mereka harus diangkut ke Aceh dari Batavia

dan beberapa kota garnisun lain di Jawa. Untuk Indonesia jarak ini tidak terlalu jauh,

tetapi bagaimanapun selalu lebih jauh dari dua ribu kilometer. Sembilan belas kapal

pengangkut disewa, pendeknya apa saja yang bisa didapat di Batavia dan Singapura.

Pelayaran dengan maut di kapal –bukan sebagai panjar atas kesulitan-kesulitan yang

diharapkan akan terjadi di Aceh– tetapi sebagai warisan salah satu wabah kolera

berkala, yang terjadi pada akhir oktober 1873 tepat mencapai Batavia. Ribuan orang

yang masuk kapal itu mudah sekali menjadi mangsa penyakit kolera. Keberangkatan

yang ditetapkan pada tanggal 1 Nopember 1873 diundurkan sepuluh hari tanpa adanya

upacara. Sebelum armada angkutan pasukan Belanda tiba di Aceh, telah meninggal

enam puluh orang di dalam kapal. Begitu kapal mendarat, jumlah korban meningkat

setiap hari. Hujan tanpa henti, bedeng-bedeng becek, dan terasa kekurangan tenaga

dokter

Pada tanggal 9 Desember 1873, satu dari tiga brigade (yang keempat dalam cadangan

dikirim ke Padang) sesudah melancakan gerakan tipu, didaratkan ke pantai rawa.

Pendaratan itu dilakukan terlalu cepat, karena bila tinggal lebih lama di kapal yang

kotor dan menyesakkan napas, bencana kolera akan menimpa. Empat belas hari

lamanya dengan gerakan berhati-hati, barulah pasukan induk ditempatkan di sekitar

kampung Peunayong di tepi Sungai Aceh, letaknya satu setengah kilometer dari

keraton.

Pada akhir Desember 1875 pasukan Belanda yang meninggal sebanyak 150 orang

terserang kolera. Dalam rumah sakit tenda, yang sebentar-sebentar harus dipindahkan ke

tempat yang lebih kering, dirawat lima ratus pasien; ‘dirawat’ berarti ditempatkan dalam

suatu perkemahan dengan jerami basah tanpa perawatan. Delapan belas orang Perwira

dan dua ratus orang bawahan harus dibawa dalam keadaan sakit ke Padang, karena

rumah sakit darurat yang ada sudah tidak menampungnya. Mereka dibawa dengan

kapal-kapal pengangkut, tanpa lebih dahulu diadakan pembasmian hama kolera, lalu

diangkut lagi pasukan-pasukan pengganti: Jadi, sebelum penyerbuan yang benar-benar

dimulai, pasukan Belanda telah kehilangan 10% dari kekuatannya.

Sebelum mendarat, Van Swieten telah mengirimkan beberapa orang utusan dengan

surat kepada sultan muda usia itu bersama para penasehatnya. Surat-surat yang

mengultimatum untuk menyerah tidak dijawab, bahkan para utusan Belanda dibunuh.

Sesudah pendaratan dilakukan, memang beberapa orang pemuka yang rendah

pangkatnya di pesisir menyatakan takluk. Di antara mereka terdapat pemuka turuntemurun dari daerah Marasa, Teuku Nek. Di luar Aceh orang akan menamakannya ‘raja’,

tetapi di situ dia disebut ‘hulubalang’.

Tidak seorang pun dalam kubu Belanda yang mengetahui arti Teuku Nek. Daerahnya

berada di delta segitiga Sungai Aceh, salah satu dari masyarakat Mukim yang banyak

jumlahnya. Di Aceh ada pembagian kekuasaan berdasarkan mukim-mukim, yang

masing-masing terdiri dari desa-desa masyarakat muslim. Sesuai dengan jumlah mukim

pada permulaannya, maka mukim tersebut dinamakan mukim IX.. Mukim-mukim

dipersatukan lagi menjadi tiga federasi besar, yaitu ketiga sagi di Aceh, yang juga

disebut menurut jumlah mukim yang dipunyainya.

Sagi Mukim XXV meliputi daerah tepi kiri hilir sungai Aceh, Sagi Mukim XXVI

lembah lebar tepi kanan. Lebih ke hulu, Sagi Mukim XXII pada kedua tepi sungai

membentuk titik segitiga delta yang bersama-sama membentuk ketiga sagi.

Daerah di muara sungai yang sebenarnya –dengan tempat kediaman sultan, dengan

keraton sebagai intinya– adalah satu-satunya daerah yang langsung atau lebih tepat atas

nama sultan diperintah oleh para pejabat, yang seperti juga para kepala sagi memperoleh

kebebasan yang besar dari Yang Dipertuan. Selain keraton, daerah sultan meliputi

beberapa kampung asing pada sungai, masjid raya –tempat Kohler tewas– dan

beberapa kampung Aceh Asli.

Semuanya itu, yaitu daerah sultan ditambah beberapa sagi, merupakan sebagian kecil

dari Aceh: tidak lebih dari delta, tanah subur diantara gunung-gunung yang melingkungi

pantai barat Aceh. Bagian terbesar dari Aceh yang jumlah penduduknya setengah juta

jiwa, dan mungkin 250.000 jiwa tinggal di delta, seluruhnya bebas dan diperintah oleh

hulubalang.

Satu-satunya kekuasaan yang dapat dilaksanakan oleh sultan atas seluruh konfederasi

adalah kekuasaan moral, yang pada akhir-akhir ini menjadi sangat lemah, terutama di

daerah-daerah pedalaman seperti Tanah Gayo dan Alas. Kewibawaan sultan pada akhir

tahun 1875, karena ditopang oleh perdana Menterinya yaitu Habib Abdurrahman Al

Zahir, yang mengatasi para hulubalang, karena keahlian diplomatik, kealiman ilmunya

dan luasnya pengetahuan duniawinya. Kepentingan bersama antara sultan dan para

hulubalang adalah sama yaitu mengusir pasukan penjajah Belanda dari Aceh.

Mengenai ini semua, Van Swieten, ketika mendarat pada bulan Desember 1873, tidak

banyak tahu seperti juga Kohler dan Nieuwenhuyzen delapan bulan sebelumnya. Ketika

Teuku Nek datang menyatakan takluk, Van Swieten tidak mengetahui bahwa dalam hal

ini perselisihan dengan hulubalang-hulubalang dari mukim bersebelahan memainkan

peranan. Yang bisa diketahui Van Swieten dari stafnya adalah bahwa daerah Teuku Nek

terletak dalam lini serangan pertama pasukan Belanda (NIL) dan bahwa karena itulah

dia datang melapor.

Lebih curiga lagi mereka beberapa minggu kemudian terhadap tawanan Teuku Nya Cut

Lam Reueng, panglima sagi Mukim XXVI melalui surat yang disampaikannya untuk

menyatakan takluk dengan imbalan delapan ribu ringgit Spanyol. Menurut

keterangannya, sang panglima ingin membagi jumlah ini di kalangan para

hulubalangnya. Perbedaan antara kedua pemuka, Teuku Nek kepala mukim yang sederhana dan Teuku Nya Cut Lam Reueng kepala sagi yang perkasa, tidak berarti suatu

apapun bagi Van Swieten, karena kebodohannya. Dia haya melihat bahwa orang yang

satu menyatakan dirinya takluk tanpa minta apa-apa dan tidak bermaksud mencari

keuntungan, sedangkan orang yang kedua meminta delapan ribu ringgit Spanyol, Dalam

benak sang jenderal tentunya berpikir: masa aku gila.

Tetapi tanpa diketahuinya Van Swieten dalam hal ini kehilangan kesempatan besar yang

pertama dapat digunakannya untuk memainkan peranan penting dalam konflik-konflik

intern Aceh. Teuku Nya Cut Lam Reueng sedang dalam pertentangan sengit

menghadapi seorang saingan. Dia belum dapat memastikan kedudukannya sebagai

kepala sagi, karena ketika penggantian mahkota berdasarkan keturunan, sultan belum

sempat memberikan kepadanya hadiah sultan yang dianugerahkan secara tradisional,

yang selanjutnya harus dibagi kepada sagi di antara kepala mukim. Dengan membayar

delapan ribu ringgit, Van Swieten seharusnya akan dapat memastikan salah seorang dari

mereka yang paling utama di Aceh untuk patuh kepadanya. Hal ini tidak dilakukannya.

Sesudah terjadi beberapa pertempuran kecil, ketika maju dari pantai ke Peunayong

tempat didirikannya perkemahan yang tetap, Van Swieten melancarkan pukulan besar

pertamanya pada tanggal 6 Januari 1874. Yaitu serangan terhadap masjid raya, untuk

ketiga kalinya dalam waktu sepuluh bulan harus direbut oleh pasukan Belanda. Lagilagi pasukan kolonial Belanda menderita kerugian besar. Serangan itu dilakukan oleh

suatu brigade lengkap yang terdiri dari 1.400 prajurit militer.

Seusai pertempuran, jumlah serdadu Belanda yang luka parah dua ratus orang, dan

empat belas perwira luka. Bagi suatu perang ‘modern’ dengan tembakan gerak cepat

senapan-senapan otomatis, korban demikian mungkin tidak merupakan kerugian besar

demi merebut kedudukan yang begitu penting. Van Swieten menghitung kerugian lain.

Dalam pertempuran ini pada satu hari saja sepertujuh dari suatu brigade sudah tidak

berdaya. Karena itu, serangan terhadap keraton sendiri diminta agar persiapannya lebih

sempurna dengan pengintaian dan tembakan artileri yang kontinyu.

Atas nasehat Teuku Nek dilakukan gerakan mengitari, mengepung keraton. Lubanglubang perlindungan pun digali lalu meriam-meriam besar penyasar benteng diseret.

Juga sekoci-sekoci bermeriam kecil turut melakukan penembakan. Ketika pada tanggal

21 Januari 1874 akhirnya diberikan tanda untuk menyerbu, ternyata musuh pada malam

hari telah berangkat. Daerah keraton yang dilindungi tembok serta bangunan besar dan

kecil reot-reot yang tidak satupun menyerupai ‘istana’ tanpa pertempuran suatu apa pun,

jatuh ke dalam tangan pasukan kolonial Belanda.

Jatuhnya keraton dianggap di Batavia dan negeri Belanda sebagai hasil terpenting yang

dapat dicapai pasukan penyerbu April 1873 telah ditebus pada bulan Januari 1874.

Van Swieten memerintahkan musik staf memainkan Wien Nederlands Bloed (Siapa

Berdarah Belanda) dan menawari tuan-tuan perwira minum sampanye yang khusus

dibawa untuk tujuan itu. Perintah hariannya kepada pasukan disusun dalam gaya militer

yang terbaik (Keraton telah kita kuasai, dan rakyat Aceh yang angkuh terpaksa

menyerah kalah terhadap kegagahan dan keberanian serta keahlian perang Anda), dan

ditambahkannya kecaman yang diterimanya bahwa terlalu lama dia menghabiskan

waktu menempuh jarak dari daerah pendaratan sampai ke tempat kediaman Sultan,

hampir memakan waktu tujuh minggu sejauh lima belas kilometer garis lurus.

“Bahwa keraton ini tidak akan dapat direbut dengan serangan besar, saya tahu, dan

bahwa memang demikian keadaannya yang dapat disaksikan oleh setiap orang yang

sempat melihat tembok-temboknya dengan pertahanan yang ada di depannya. Karena

itu tidak perlu kita sesali bahwa pertahanan musuh ini baru 47 hari sesudah pendaratan

dapat hita kuasai. Karena kemenangan cukup cepat tiba, bila dia diperoleh dengan

hanya sedikit kerugian, dan inilah terutama yang menjadi tujuan gerakan yang kita

lakukun dengan sekop dan sodok,” demikian ucapan Van Swieten dengan sombongnya.

Padahal hasil yang dicapai ini hanya fatamorgana bagi pasukan kolonial Belanda.

Segera setelah Van Swieten mengirimkan telegram ke Den Haag dan Batavia sekaligus,

terbit nomor ekstra Berita Negeri Belanda dengan suatu buletin berjudul ‘Kraton kita

kuasai’. Di kota-kota di Hindia dan Negeri Belanda dikibarkan bendera tiga-warna dari

gedung-gedung pemerintah kolonial. Malam hari orang membakar petasan, di Gedung

Kesenian Kerajaan di Den Haag sesudah musik tiup dari ruang orkes berkumandang

lagu kebangsaan Belanda, orang pun berpandangan satu sama lain dengan linangan air

mata sebagai tanda gembira.

Pendeknya, hari ini hari pesta yang luar biasa bagi Belanda. Meriam-meriam perunggu

yang tidak terpakai dalam keraton Aceh dikirim ke Negeri Belanda sebagai kenangkenangan. Beberapa buah diantaranya sebuah howitzer 61 senti dari abad ke-17 dengan

lambang Jacobus Rex Inggeris, mungkin sebuah hadiah lama Inggeris, ditempatkan di

Bronbeek dan masih merupakan kebanggaan museum pasukan Belanda di sini. Yang

lain-lainnya telah dilebur untuk menempa medali Perang Aceh, yarg diberikan kepada

para peserta penyerbuan pertama dan kedua ke Aceh.

Tetapi kemenangan tidak dimulai dari keraton. Berbeda sama sekali dengan pola

tradisional, ternyata jatuhnya tahta sultan tidak ada artinya bagi penaklukan Aceh.

Bahkan mangkatnya sang sultan remaja, karena terserang kolera yang dibawa masuk

oleh pasukan kolonial Belanda, sedikitpun tidak mempengaruhi perlawatan rakyat

Aceh. Penembakan-penembakan dari keraton dan masjid raya dan sergapan-sergapan

atas perkemahan pasukan Belanda tetap terjadi siang malam. Orang Aceh tidak

memiliki pasukan-pasukan tetap, paling hanya ada puluhan atau ratusan orang yang

bersama-sama bertindak, tetapi dengan itu diawalilah gerilya yang mereka lakukan

dengan hebat, bagaikan telah mendapat latihan yang sempurna.

Dan memanglah rakyat Aceh demikian adanya. Makin jelas bahwa pembagian tanah

Aceh menjadi daerah kecil-kecil dengan hulubalang menjadi kepala di tiap-tiap daerah,

melumpuhkan strategi Belanda dalam dua segi. Pertama, ternyata rencana politik Van

Swieten untuk mendesak sultan menandatangani suatu traktat model Siak adalah suatu

yang sia-sia. Tidak ada seorang sultan pun yang dapat mengikat rakyat Aceh tanpa

topangan para hulubalang.

Kedua, puluhan tahun berlangsungnaya otonomi yang luas telah menjadikan rakyat

Aceh terbiasa melakukan gerilya tetap. Tiap kampung berbenteng, tiap laki laki

menyandang bedil, kelewang dan rencong. Kini pejuang-pejuang itu tidak saja dapat

berperang sepuas hatinya, beberapa minggu tinggal di rumahnya di pedalaman dan

kemudian melakukan darmawisata ke daerah kecil yang diduduki Van Swieten dengan

pasukannya. Di samping itu rakyat Aceh berkeyakinan akan dapat memperoleh syurga,

karena melakukan perang sabil terhadap kaum kafir.

Van Swieten terpaksa merombak strategi politiknya dan strategi militernya secara

mendasar sesudah sultan mangkat, dengan proklamasi tanggal 31 Januari 1874, ia

menyatakan, bahwa karena sekarang “rakyat telah dikalahkan, keraton telah direbut,

maka berdasarkan hak menang perang negeri menjadi milik pemerintah Hindia

Belanda.”

Belanda tidak akan mengakui sultan Aceh yang baru dipilih dan akan melaksanakan

sendiri pemerintahan. Para panglima ketiga sagi, jika mereka menyatakan dirinya takluk

secara tetulis, akan dapat memerintah daerahnya atas nama pemerintah Hindia Belanda.

Daerah Sultan yang lama langsung diperintah oleh pejabat-pejabat militer Belanda.

Untuk sementara pasukan Belanda kelabakan menolak kawula-kawula Belanda baru itu

masuk dan melindungi daerah Teuku Nek dari serangan tetangga-tetangganya, karena

itu sejak tanggat 31 Januari 1974 tidak ada lagi yang datang menyatakan takluk. Ketika

Van Swieten pada tanggal 16 April 1874 bersama dengan pasukan inti akan berangkat

ke Batavia, pasukan militernya ketika akan berlayar masih harus menderita kekalahan

serius. Usaha merebut suatu benteng Aceh yang baru dibangun tepat di depan keraton

itu gagal. Peristiwa ini pertanda buruk bagi pasukan Belanda yang masih tinggal di

Aceh.

Dari 389 orang perwira dan 8.000 orang bawahan yang menjadi anggota pasukan

penyerbu, telah meninggal dunia di Aceh masing-masing 28 orang perwira dan 1.700

orang bawahan. Karena sakit atau luka, seribu orang lagi dipindahkan melalui laut pada

bulan-bulan sebelumya. Jadi, dalam lima bulan Van Swieten kehilangan sebagian dari

kekuatan militernya.

Angka kematian di kalangan narapidana yang dijadikan kerja paksa membantu pasukan

Belanda jauh lebih tinggi. Dari tiga ribu orang yang masuk kapal di Batavia, seribu

orang meninggal dunia. Jumlah mereka itu diganti, tetapi dari tiga ribu orang yang

ditinggalkan Van Swieten pada bulan April 1874 dibawah pimpinan penggantinya,

Kolonel J.H. Pel, tahun itu juga meninggal dunia sembilan ratus orang. Sedang dua ribu

orang harus diungsikan ke Padang atau ke Jawa karena sakit, dan harus diganti oleh

yang baru lagi. Demi hasil yang bagaimana dengan pengorbanan yang begitu besar?

Sebuah keraton kosong diduduki, yang tidak lama kemudian oleh Belanda disebut

Kutaraja, kota sultan, sebagai inti pertahanan mereka, walaupun tidak pernah lagi

seorang bersemayam di sana. Di daerah hulu sepanjang sungai dibangun beberapa

tangsi yang berbenteng kuat. Suatu wilayah beberapa kilometer luasnya namanya saja

dikuasai. Dari tujuan-tujuan politik tidak ada satu pun yang tercapai!

Penyerbuan kedua, Perang Aceh kedua, pada hakikatnya merupakan bencana. Sambutan

meriah terhadap pasukan-pasukan di Jawa dengan gapura-gapura kehormatan, anggur

kehormatan dan karangan-karangan bunga kehormatan. Dan sambutan meriah terhadap

Van Swieten di Negeri Belanda lima bulan kemudian dengan pesta jamuan lagi, yang

dihadiri oleh pangeran-pangeran dan menteri-menteri di Wisma Renang Scheveningen,

tidak dapat lama menutupi kenyataan yang sebenarnya.

Van Swieten telah menasehatkan pada penggantinya, Kolonel Pel, agar sementara

waktu mengambil sikap menanti, dengan perkiraan bahwa lama kelamaan akan lebih

banyak pemuka Aceh yang akan datang melapor. Baru saja Van Swieten kembali ke

Negeri Belanda, dan dielu-elukan sebagai Pemenang di Aceh, Pel pun atas

permintaannya yang mendesak telah menerima bala bantuan dari Jawa. Bahkan dengan

itu pun hampirhampir dia tidak mampu mengisi sederetan pos benteng yang dibuatnya

sendiri, yaitu kubu-kubu dari tanah menurut model Aceh; sekitar pangkalan terdepan

yang terancam.

Menurut pendapat Pel, perlu sekali bersama dengan beberapa pasukan mengikuti hulu

sungai Aceh agar musuh dapat dipaksa mundur. Baru pada ketika bulan Desember 1874

tenaga-tenaga tempurnya dibandingkan dengan bulan April 1784 menjadi dua kali lipat,

hal yang demikian dapat dipikirkannya. Tetapi ketika itu pun seluruh kekuatan tentara

Belanda yang tersedia dikerahkan. Yang masih berada di kota-kota garnisun di Jawa

dalam keadaan sakit atau luka.

Baru pada bulan Desember 1874, operasi militer secara b esar-besaran oleh Belanda;

terhadap pasukan gerilya Muslim Aceh dilakukan, tetapi justru saat itu seluruh Lembah

Aceh Besar dilanda banjir. Sungai Aceh dengan tepinya yang terjal dan semua anak

sungainya banjir hebat sekali. Jembatan yang dipasang oleh pihak zeni beberapa

kilometer ke hilir keraton dekat Peunayong, untuk menghubungkan kedua tepi tangsi

yang besar antara kedua tepi sungai, hancur sama sekali.

Berminggu-minggu lamanya hubungan tetap sulit. Sungai yang hampir tidak dapat

diseberangi dengan kapal sama sekali. Juga sebagian besar keraton tergenang. Maka,

jelas sekarang mengapa ada bidang dari lapangan di dalam tembok dulu tetap tidak

diterjakan: semuanya terlanda banjir di sini. Celakanya pula, justru disinilah letak

barak-barak rumah sakit yang baru dibangun. Maka, terpaksalah korban-korban kolera

dipindahkan

Juga semua pos dan tangsi pasukan Belanda, kecuali satu, dilanda banjir di

lembah.Harus segera ditinggalkan dan diganti oleh bivak-bivak sementara di lapangan

terbuka yang tinggi letaknya. Satu-satunya sarana pengangkutan adalah perahu-perahu

kecil. Berbeda dengan pasukan Belanda, pasukan gerilya Aceh tahu bahaya-bahaya apa

yang akan ditimbulkan oleh sungai Aceh, seperti waduk dan saluran keluarnya air hujan

dan gunung-gunung di sekitarnya. Mereka berdiam di rumah-rumah tiang atau tanahtanah yang lebih tinggi agar tidak banyak gangguan.

Dengan kondisi medan seperti ini, barulah Kolonel Pel dengan pasukannya pada akhir

Desember 1874 dapat melaksanakan operasi militernya. Salah satu sasarannya adalah

Kampung Lueng Bata, yang jaraknya menurut garis lurus tidak sampai dua kilometer

dari keraton ke arah hulu. Di tempat itu terdapat Masjid Lueng Bata, tempat yang

terpenting, yang menjadi pusat mukim dengan nama yang sama. Di sini pula tempat

kediaman kepala mukim yang sangat berpengaruh, Imam Lueng Bata namanya.

Imam Lueng Bata adalah salah seorang tergolong ‘raja pemilih’ dan dalam tahap

perjuangan rakyat Aceh ini, ia menjadi jiwa perlawanan terhadap Belanda. Sesudah

sultan mangkat, bersama Panglima Polim kepala sagi Mukim XXII dan dengan

Teungku Hasyim, dia tampil sebagai wali sultan terpilih yang baru.

Kini pun para hulubalang pemilih menetapkan bahwa yang menjadi sultan adalah

seorang anak, yaitu Tengku Muhammad Daud yang masih berusia tiga tahun, cucu salah

seorang bekas sultan. Ketiga wali ini, dengan tidak adanya Perdana Menteri

Abdurrahman Al Zahir, yang bermukim di luar negeri, kelompok yang memimpin di

Aceh, yaitu Imam Lueng Bata, Panglima Polim dan Teungku Hasyim.

Sejauh mana pel setepatnya mengetahui kedudukan imam Lueng Bata, tidaklah dapat

dipastikan. Satu hal yang dia tahu pasti dari ketiga orang pemimpin perlawanan;

seorang berada di pedalaman yang tidak dapat terjangkau yaitu Panglima Polim, yang

kedua yakni Teungku Hasyim tidak ditemui, dan hanyalah yang ketiga menjadi pusat

kekuasaan yang mudah terjlangkau, yaitu Imam Leung Bata.

Pada tanggal 1 April 1875 akhirnya operasi militer Belanda, benar-benar dapat

dilaksanakan. Pukul lima pagi pasukan telah dikumpulkan di depan suatu pasukan mobil

diam bivak dekat keraton. Dinas mereka telah mulai tengah malam dan malahan lebih

dahulu lagi waktunya bagi kompi-kompi yang harus datang dengan berjalan kaki dari

tempat pendaratan, Olehleh.

Mereka terdiri dari sebuah batalyoa infanteri atau menurut pembagian ketika itu dua

paruh batalyon yang melakukan operasi tersendiri, satu bateri tembakan medan, dua

bagian mortir; dan satu kompi anggota yang melakukan pekerjaan zeni. Semuanya kirakira seribu orang pasukan militer, sebagian besar terdiri pasukan Eropa, yang lebih

dipercayai untuk melakukan jenis operasi mihter ini daripada pasukan ‘bumiputra’.

Menurut rencana, pertempuran dibentuk tiga pasukan kecil. Yang dua akan

menyeberang langsung melalui lapangan, yang ketiga akan berbaris sepanjang sungai

yang tinggi, sehingga di Lueng Bata pasukan dapat bersatu kembali.

Pada hari-hari belakangan ini air agak menurun, tetapi sawah semuanya masih

tergenang air dan pematang-pematang sawah, yang seharusnya digunakan sebagai jalan,

menjadi alur lumpur. Kendati demikian, pasukan Belanda berbaris menurut cara biasa

seakan-akan menempuh jalan dari Meester Cornelis ke Buitenzorg (Jatinegara ke

Bogor), bukan pematang sawah. Jadi, seebanyak mungkin terkumpul, meriam lapangan

di tengah-tengah kolonne, dan panji di depan sekali. Lebih baik rasanya dengan

menggunakan pakaian seragam serba-biru, kaus panjang putih dan senapan-senapan

panjang tidak praktis menjadi sasaran bagi jago-jago tembak pasukan Aceh.

Pasukan Belanda bukan main takutnya terhadap kelewang Aceh. Dengan parang yang

begitu tajamnya, seorang Aceh yang tangkas –dan kebanyakan mereka ini tangkastangkas– dengan sekali ayun bisa membelah bahu orang miring sampai ke jantungnya.

Menghadapi serangan kelewang, pasukan Belanda tidak dapat berbuat lain selain

mempergunakan sangkurnya yang tidak praktis terpasang pada senapan panjangnya

yang lebih tidak praktis.

Pada setiap rumpun bambu, di belakang setiap pematang sawah, pasukan Aceh

berkelompok sambil duduk untuk menembak. Berkali-kali mereka mendekati kolonnekolonne itu dengan teriakan perang (Allahu Akbar) yang seram dan mengayunkan

kelewang serta rencong dekat sekali. Pejuang-pejuang muslim yang fanatik, yang

sekarang pun ingin memasuki syurga sebagai syahid, dengan pakaian putih-putih

menyerbu dengan menari-nari dan dengan hasrat ingin mati syahid menghadapi

sangkur-sangkur pasukan Belanda kafir. Semenjak subuh para mujahidin muslim ini di

masjid telah bersiap mati syahid dan berada dalam kondisi mental yang tinggi.

Dalam medan yang demikian, tidak mungkin pasukan Belanda kafir untuk melepaskan

tembakan gencar yang beraturan dari pematang sawah. Meriam lapangan yang dengan

susah payah dihela oleh dua pasang kuda, tidak bisa cepat-cepat dipasang untuk segera

ditembakkan bila pasukan gerilya muslim Aceh datang menyerang berlompatan melalui

pematang.

Kedua kolonne darat itu merambat maju sendiri-sendiri dengan susah payah dan hilang

dari pandangan masing-masing, dari pukul lima pagi sampai pukul setengah tiga petang,

dalam panas yang menyengat, mereka sampai pada satu titik yang jarak garis lurusnya

hanya kira-kira dua kilometer jauhnya dari keraton. Sebagian besar waktu

sesungguhnya hilang karena meriam-meriam itu berulang kali meluncur ke dalam

sawah karena licin. Pasukan perintis terus-menerus menebas membuat jalan menerobos

pagar-pagar, belukar lebar berduri yang melingkari setiap pasang rumah. dan mengitari

sawah.

Mestinya pasukan Belanda sudah tiba di Lueng Bata, tetapi entah di mana mereka

sekarang. Pada suatu saat kolonne-kolonne darat mendengar kolonne sungai meniup

isyarat terompet Wilhelmus van Nassauwe. Kedua komandan ini masing-masing

menyimpulkan bahwa rekannya telah berhasil mencapai Leung Bata dengan menyusuri

sungai. Karena mereka (kedua kolonne darat ini) tidak melihat kemungkinan sampai ke

situ dan beranggapan bahwa tujuan gerakan telah tercapai, kemudian untuk kembali ke

keraton.

Tetapi isyarat itu lain sekali artinya. Komandan kolonne sungai –dua kompi infanteri

tidak lengkap dan dua peleton zeni– menyuruh meniup terompet untuk memberitahukan

bahwa mereka berada dalam kesulitan. Batalyonnya memang dapat jauh lebih cepat

maju daripada yang lain-lain. Kira-kira tengah hari mereka telah mencapai Masjid

Lueng Bata dan mendudukinya, dan ada perintah lewat kurir untuk terus bergerak

menuju sebuah benteng tidak jauh dari situ. Dengan mencari-cari tujuannya, beberapa

kilometer, selanjutnya mereka tiba di Kampung Lhong yang diperkuat, yang diserbunya

dengan melakukan pertempuran hebat.

Ketika sang Komandan pasukan Belanda telah kehilangan sepuluh orang tewas dan lima

orang luka-luka berat dari kira-kira 150 orang anggotanya, sedangkan tidak seorangpun

yang luput tanpa cedera, dekat dari situ terdengar olehnya suara tembakan mendatang.

Pikirnya tentu salah satu kolonne darat berada di sekitar tempat itu. Di Lhong

keadaannya lebih sulit lagi. Dengan meniup isyarat Wilhelmus van Nassouwe serta

memancangkan bendera Belanda di pohon yang tertinggi dalam kampung itu, dia ingin

minta perhatian dan minta komandan-komandan rekannya membantu dia.

Alangkah terperanjatnya ketika dia mendengar orang meniup sebagai jawaban isyarat

“Batalyon X kembali Pulang”. Dari cepatnya suara tembakan-tembakan menjauh dapat

disimpulkan bahwa kolonne darat itu merasa kira-kira jauh lebih gembira harus pulang

kembali daripada terus.

Namun, tampaknya masih belum gawat. Sebagian dari kolonne sungai tertinggal di

Masjid Lueng Bata, dan tentunya akan datang membantu. Akan tetapi peleton yang

tinggal ini setengah mati keadaannya di masjid itu, bahkan ditembaki dengan lila, yaitu

meriam kecil Aceh yang dapat dibawa ke mana-mana.

Pukul setengah enam komandan pasukan Belanda di Lhong menganggap posisinya

tidak dapat dipertahankan lagi. Bayangan harus bermalam di kampung yang terkepung

ini sangat berbahaya, diputuskannya untuk pulang kembali ke masjid, tapi dalam

kebingungan dia mengambil jalan lain daripada yang ditempuhnya pagi-pagi. Sesudah

dilalui beberapa ratus meter ternyata jalan ini buntu.

Betul-betul panik mereka dan lari pontang-panting ketika kelompok kecil ini masuk ke

dalam sawah. Dengan dikelilingi pasukan Aceh yang bertakbir menghabisi pasukan

Belanda yang telah jatuh terluka, pelarian-pelarian ini mencoba menyelamatkan

nyawanya. Beberapa orang yang luka, bunuh diri atau memohon pada teman-temannya

agar menembak mati mereka. Yang lain-lain, di antaranya seorang mati tenggelam di

dalam rawa.

Hanya dengan susah payah sebagian pasukan Belanda dari Lhong dapat mencapai

masjid Lueng Bata untuk bergabung dengan teman-teman mereka yang masih tinggal di

sana. Markas besar pasukan Belanda, segera mengirimkan bala bantuan, karena kolonne

sungai yang tidak pulang-pulang. Baru kira-kira pukul enam petang, bala bantuan

datang.

Dengan bala bantuan baru itu, pasukan Belanda baru dapat kembali pada malam yang

pekat, disertai dengan iringan pasukan gerilya muslim Aceh, yang setiap saat

menyerang pasukan Belanda yang sedang jalan kembali pulang. Serangan-serangan

gerilya semacam ini jauh lebih berbasil, karena pasukan Belanda yang kecapaian, sulit

untuk melakukan serangan balasan terhadap gerilya, sehingga kematian biasanya jauh

lebih besar dibandingkan dengan pasukan yang bergerak maju.

Tahun 1876, akhir Perang Aceh kedua ini, memecahkan semua rekor. Kekuatan

pasukan Belanda di Aceh rata-rata terdiri dari tiga ribu pasukan Eropa, lima ribu

pasukan pribumi, dan 180 orang pasukan Afrika. Sebagai tukang-pikul dan pekerja

diturut-sertakan tiga ribu narapidana, dan lima ratus orang kuli lepas. Pada tahun itu

meninggal dunia 1.400 orang anggota militer dan 1.500 orang narapidana kerja paksa.

Karena sakit atau luka tidak kurang dari 7.599 orang militer harus diungsikan ke Padang

atau Jawa. Jadi dalam satu tahun diperlukan tujuh belas ribu orang militer untuk memelihara suatu kekuatan pasukan yang terdiri dari delapan ribu orang. Dan masih lagi

kekuatan ini seluruhnya terikat pada lima puluh benteng besar dan kecil dalam

lingkungan terdekat sekitar Kutaraja.

Di kota-kota terpenting di Jawa dibentuk depot narapidana kerja paksa. Gubernur

Jenderal memberi kuasa bagi semua bangunan pekerjaan umum, yang hingga sekarang

ini dikerjakan dengan bantuan tenaga narapidana, untuk mengambil kuli-kuli lepas.

Siapa yang bernasib sial bagi narapidana pada Perang Aceh mendapat hukuman

tambahan untuk melakukan kerja paksa di luar daerah tempat tinggalnya, tinggal mati

sajalah. Besar sekali kebutuhan pengangkutan tenaga manusia. Kecuali jalan dari kota

pelabuhan Olehleh ke Kutaraja, yang mempunyai jalan trem kecil, semua pengangkutan

harus dilakukan oleh tukang pikul. Baik tenaga pasukan maupun tenaga narapidana

kerja paksa Jawa tidak dapat terus-menerus mengantar penyediaan yang diserap oleh

Aceh.

Salah seorang korban perang Aceh adalah Kolonel Pel sendiri, yang kemudian

pangkatnya dinaikkan menjadi Mayor Jenderal. Dia meninggal dunia pada bulan

Februari 1875, sebelum ia memperoleh kesempatan melaksanakan rencananya untuk

menutupi seluruh Lembah Aceh dengan deretan pos ganda dari laut. Memang terus juga

diperintahkan untuk membangun benteng lagi, dengan titik terjauh sembilan kilometer

dari Kutaraja, tetapi dengan demikian kekuatan pasukan Belanda menjadi terpecahpecah. Bila pos-pos ini seminggu sekali harus dibawakan perbekalan, maka kolonnekolonne yang bertugas harus bertempur merintis jalan menuju benteng-benteng yang

terkepung itu.

Tidak lama sebelum Pel meninggal, telah iewas 45 dari 60 orang pasukan pengawal

dekat keraton pada pengangkutan demikian. Banyaknya korban yang jatuh pada

peristiwa-peristiwa demikian di kalagan para tukang pikul, telah biasa terjadi.

Berbatalyon-batalyon lengkap di kirim ke benteng-benteng yang terjauh letaknya untuk

melindungi pengangkutan dan `masih juga terjadi kolonne ini harus kembali dengan siasia.

Kian menjadi jelas bahwa pasukan Aceh tidak lagi bertindak liar sewaktu-waktu, tetapi

mereka beroperasi secara teratur. Orang yag mengatur segalanya ini adalah Habib

Abdurrahman A1 Zahir.

Setelah usaha diplomatik yang diusahakan semenjak awal Perang Aceh tidak berhasil,

terutama untuk mendapatkan bantuan senjata dari Turki, maka Habib Abdurrahman A1

zahir, dengan mencukur jangkut dan rambut kepalanya, dan mengenakan pakaian orang

Keling, ia menyamar masuk ke Aceh. Dengan menyamar demikian, dia berlayar dengan

sebuah kapal uap kecil pada awal tahun 1875 ke seberang di pantai Aceh. Di tengah laut

kapalnya ditahan; tetapi ternyata surat-suratnya beres, dan Habib tidak dikenali,

walaupun semua kapal blokade Belanda telah diberitahu akan kedatangannya di negeri

pantai Aceh yang kecil, Idi, yang ditujunya, tidak suiit orang mengenalnya.

Kedatangannya kembali ke Aceh merupakan suatu kemenangan. Lebih dari dua tahun

dia menghilang, tetapi tidak dilupakan. Di Pedir (Pidie), negeri terbesar dari konfederasi

Aceh, dihimpunnya sebuah tentara yang terdiri dari ribuan orang, dan dibawanya ke

Indrapuri melalui pegunungan, sebuah kota dalam Sagi Mukim XXII di hulu sungai

Aceh. Di mana-mana di tengah jalan orang-orang bersenjata menggabung padanya,

dengan memberikan uang dan hadiah kepadanya. Pada suatu pertemuan para

hulubalang, dia diangkat menjadi panglima besar Perang Aceh.

Bantuan yang lebih penting untuk memperkokoh pasukannya adalah datangnya dari

pihak ulama, terutama Teungku di Tiro yang termasyhur bersama pasukan pengikutnya,

sesudah Habib Abdurrahman Al Zahir menetapkan markas besarnya di Montasik, yang

letaknya hanya kira-kira dua belas kilometer dari Kutaraja. Teungku di Tiro berasal dari

pusat Islam Tiro di Pidie tempat keluarga-keluarga Aceh sejak dahulu mengirimkan

puteranya untuk memperdalam ajaran agama Islam. Ia besar pengaruhnya, juga di luar

Pidie. Turut sertanya dalam perjuangan menentang Belanda kafir ini mengabsahkan

sifat suci perang ini, yaitu perang suci (perang sabil) terhadap kaum kafir kepada para

pejuang yang melakukan perjuangan menurut ketentutan-ketentuan Islam, apabila wafat

berhak menjadi syuhada.

Teungku di Tiro dan para ulama yang lain memberikan gambaran terinci kenikmatankenikmatan yang diberikan kepada seorang yang mati syahid. Di Aceh beredar tulisantulisan suci, anjuran-anjuran perang, dengan uraian panjang lebar dan terinci: pada

waktu tiba di akhirat sejumlah bidadari dengan tubuhnya yang putih bagaikan pualam

dan mata yang jeli bagaikan mata kijang, tetirah beberapa hari di taman syurgawi

dengan pepohonan rimba dan pancuran sejuk, akhirnya mencapai penyempurnaan

nikmat.

Dengan semangat perang sabil yang maksimal, pasukan Habib Abdurrahman Al Zahir,

yang disokong sepenuhnya oleh apara ulama, mampu menggerakkan satuan-satuan

gerilyanya menyusup terus sampai dekat Kutaraja.

Pada pertengahan tahun l877 Jenderal K. van der Heijden diangkat menjadi Gubernur

militer Aceh. Gerakan Pertamanya, ia melakulaan operasi militer dengan mengerahkan

tiga ribu pasukan tentara dan sepuluh kapal perang dan kapal pengangkut untuk

menyerbu daerah Samalanga. Daerah ini merupakan wilayah yang makmur dengan tiga

puluh ribu orang penduduk di pantai timur laut. Para pemimpinnya pada tahun 1876 dan

1877 telah melarang mengerjakan sawah, agar semua laki-laki dapat digunakan untuk

pertempuran di Aceh Besar. Bagi Jenderal K. van der Heijden sangat menjengkelkan,

karena daerah-daerah pesisir sama saja keadaannya, peperangan yang berlangsung jauh

dari daerah yang mereka alami, tidak sampai menyulitkan mereka untuk mengirimkan

ribuan pejuang gerilya Aceh ke Aceh Besar guna menyerang Belanda.

Pendaratan pasukan militer yang besar itu –yang sama besarnya dengan seluruh

pasukan penyerbuan Perang Aceh I– tidak banyak mengalami rintangan. Sesudah

melakukan pertempuran seru dalam waktu singkat di wilayah pesisir, pemimpin

Samalanga menandatangani Ikrar Panjang, yang terdiri atas delapan belas pasal, yang

memuat pengakuan akan kedaulatan Belanda. Walau begitu Van der Heijden tidak dapat

merebut Batu Iliek (Batee Iliek), walau berulang kali diadakan serbuan ke sana.

Batu Iliek merupakan pusat kerohanian, kira-kira dapat disamakan dengan Tiro di Pidie.

Benteng ini dipertahankan oleh para santri yang penuh dengan ruhul jihad memimpin

Samalanga tidak bisa banyak berbuat apa-apa. Dengan daerah pedalaman yang

demikian, tidaklah mengherankan bila ia sama sekali tidak mempedulikan pelaksanaan

Ikrar Panjang dalam praktek. Pada tahun 1880 dikirim lagi pasukan militer Belanda

untuk kedua kalinya menyerang Batu Iliek, tetapi kali ini Jenderal K. van der Heijden

sendiri yang kena hajar. Dia sendiri kehilangan sebelah matanya dalam pertempuran ini,

sehingga kemudian dalam cerita rakyat Aceh ia disebut Jenderal Mata Sebelah.

Operasi-operasi militer di Aceh Besar yang diiakukan oleh Jenderal K. van der Heijden

lebih berhasil. Pada tahun 1878 pasukan Habib Abdurrahman Al Zahir memasuki

mukim XXV. Di sini terjadi pertempuran yang sengit dan seru, sehingga Gubernur

Jenderal Van Lansberge mengirimkan empat batalyon bala bantuan dari Batavia untuk

membantu Van der Heijden, yang sedang kewalahan menghadapi pasukan Habib

Abdurrahman Al Zahir.

Van Lansberge menginstruksikan kepada Jenderal van der Heijden, yang bunyinya

antara lain: “Serbuan dalam Mukim XXV merupakan tindakan permusuhan yang begitu

berat, sehingga tidak boleh tidak harus dilakukan penghukuman yang tiada taranya. Hal

ini pada mulanya telah begitu rupa mengguncangkan prestise kita dan kepercayaan pada

kekuatan kita, sehingga tidak cukup bagi kita hanya melakukan penghukuman, tetapi

mutlak haruslah ditaklukkan seluruhnya kepada kita bagian Aceh Besar yang bermusuhan sikapnya, sekiranya kita tidak ingin mempertaruhkan hasil yang telah kita

peroleh dengan begitu banyak mengorbankan harta dan darah.”

Van der Heijden tidak memecah-mecah bala bantuan barunya pada puluhan pos di

lembah itu, yang tidak akan dapat mencegah suatu serangan di bagian yang paling

ditakuti di situ. Dia membentuk kolonne mobile yang kuat, yang terdiri dari dua

pasukan militer dengan seribu orang tukang pikul. Pertama-tama ia membebaskan

Krueng Raba yang terkepung, kemudian maju menuju markas besar Habib

Abdurrahman A1 Zahir di Montasik, yang baru saja direbutnya, sekitar bulan Juli 1878.

Pada bulan-bulan berikutnya Van der Heijden diperintahkan untuk mengejar pasukan

Abdurrahman Al Zahir yang kecil-keci1 yang bersembunyi di Mukim XXII dan XXVI.

Penyerbuan pasukan Belanda ke pusat. pertahanan pasukan Habib Abdurrahman al

Zahir berhasil, di mana pada tanggal 25 Agustus 1878, tiga orang utusan Habib

Abdurrahman muncul di pos Belanda Lam Baro dengan membawa permohonan tertulis

meminta ampun dan minta berunding tentang penyerahan. Dalam hubungan tertulis itu

ternyata Habib Abdurrahman bersedia menghentikan pertempuran, bila ia dan empat

ratus orang anggota keluarga dan pengikutnya diperkenankan berangkat ke Arab dengan

kapal Belanda dan menerima pensiun di sana.

Tuntutan itu tidak kecil. Tetapi Van Lansberge dan Van der Heijden yakin bahwa

penyerbuan Abdurrahman akan membuat peperangan ini lain sekali jalannya. Pada

bulan Oktober 1878 menyusul persetujuan setelah ada izin dari pemerintah Belanda.

Habib Abdurrahman akan diangkut ke Mekah bersama dengan dua puluh orang

pengikut naik kapal Belanda dan di sana menerima pensiun untuk seumur hidupnya

dengan sepuluh ribu ringgit tiap-tiap tahunnya.

Sebelum berangkat pada tanggal 24 Desember 1878, melalui surat tertulis, ia

menganjurkan kepada para pemimpin Aceh untuk menyerah kepada Belanda, tetapi

tidak mendapat tanggapan sedikitpun. Para pemimpin dan ulama Aceh, yang selama ini

telah berperang dengan pasukan Belanda kafir; telah bertekad bulat untuk mengusirnya

dari bumi Aceh. Gabungan para pemimpin dan ulama Aceh dengan Habib

Abdurrahman Al Zahir, pada saat-saat terakhir memang sudah goyah, dan kepercayaan

yang diberikan kepadanya telah hilang, karena sikapnya yang banci.

Oleh karena itu, kesan terakhir di saat ia menyerah kepada Belanda, tidak ada kata lain

yang terbaik, kecuali ‘pengkhianat’.

Jenderal Van der Heijden telah berhasil menaklukkan Lembah Aceh Besar, sehingga

pada bulan Januari 1880 kenaikan pangkatnya pun dipercegat menjadi Letnan Jenderal.

Ini merupakan hadiah yang indah, sekiranya dia sebulan sebelumnya tidak menerima

sepucuk surat yang agak aneh dari Gubernur Jenderal van Lansberge yang

memberitakan bahwa dia diberi kuasa oleh Raja “…bila van der Heijden akan berhenti

kelak…” untuk membentuk pemerintahan sipil di Aceh. Karena itu “…ingin saya

mengetahui dari anda, kiranya pada saat mana pada awal tahun depan ini arida merasa

waktu yang sebaik-baiknya untuk meletakkan jabatan anda, hingga saya dengan

demikian dapat mengharapkan diajukannya permintaan berhenti anda…”

Sama sekali Van der Heijden tidak mempunyai rencana ke arah itu. Berlawanan dengan

kehendaknya, bersama dengan residen Palembang, A. Pruys van der Hoeve, dia

diangkat menjadi komisaris untuk penyusunan kembali pemerintahan sipil di Aceh. Dan

Lansberge ingin sekali mengakhiri Perang Aceh semasih dalam masa pemerintahannya.

Secara militer memang Van der Heijden-lah yang menaklukkannya, secara politik

keadaan aman akan diresmikan dengan diberlakukannya pemerintahan sipil biasa.

Ternyata, kedua kesimpulan itu salah perhitungan.

Gubernur Jenderal dapat mengharapkan bahwa penggantinya selambat-lambatnya akan

diangkat pada tahun 1881. Ia mengusahakan dengan cepat menyusun rencana-rencana

perubahan pemerintahan. Pada bulan Oktober 1880 Van der Heijden dan Pruys sudah

memasukkan laporan mereka. Kedua orang itu berpendapat bahwa lama lagi baru Aceh

siap melaksanakan pemerintahan sipil. Paling-paling dalam prinsip pemerintahan

karesidenan di Jawa, yaitu dengan residen dengan kepalanya, tiga orang asisten residen,

dan sepuluh orang kontarolir; tetapi residennya (dalam hal ini dengan pangkat gubernur

langsung di bawah Batavia karena keadaannya yang luar hiasa) haruslah seorang

militer, sekaligus merangkap menjadi komandan angkatan bersenjata setempat. Usul ini

ditolak oleh Gubernur Jenderal di Batavia.

Maka pada tahun 1881 Pruys van der Hoeven dengan resmi diangkat menjadi Gubernur

sipil pertama di Aceh. Ketertiban dan keamanan akan dijaga oleh polisi yang baru. Dia

hanya sedikit memberikan perhatian kepada gangguan-gangguan dan serangan-serangan

yang dilakukan oleh pasukan gerilya Aceh baik yang dilakukan oleh para ulama yang

fanatik maupun oleh kelompok Teuku Umar.

Ketika Pruys van der Hoeven pada bulan Maret 1883 menyerahkan jabatannya kepada

pejabat pemerintahan P.F. Laging Tobias, dia memberikan gambaran yang

menggembirakan tentang keadaan Aceh. Persoalannya, menurut dia, hanyalah

melanjutkan suatu politik yang akan menjamin diperolehnya bantuan para hulubalang

Aceh untuk kepentingan Belanda. “…Para pemuka yang sah harus menduduki tempat

yang menjadi haknya…” daripada kita “…menolak mereka karena tidak sadar akan

bahaya mereka…” Bila suatu kebijaksanaan demikian digabungkan dengan suatu

pengaturan pengawasan yang bijaksana atas pelayaran-pelayaran di negeri-negeri

pesisir, maka seluruh keamanan Aceh hanyalah soal menanti dengan tenang.

Tetapi optimisme yang berlebihan ini, tidak cocok dengan kenyataan, sebab seranganserangan pasukan gerilya Aceh, baik yang dipimpin oleh para ulama maupun para

hulubalang makin hari makin meningkat. Laging Tobias segera menyalahkan

pendahulunya dan meminta bala bantuan militer, karena keadaan di daerah terdekat

dengan Kutaraja saja sudah tidak aman. Jalan perhubungan yang terpenting dari

Kutaraja ke Anenk Galong di perbatasan lembah, praktis tidak dapat digunakan lagi.

Pos-pos polisi sedikit pun tidak ada gunanya.

Pemimpin-pemimpin pasukan Perang Aceh yang baru tampil ada yang terdiri dari

ulama Teungku di Tiro, yang tegar dan fanatik, serta di pihak lain seperti Teuku Umar,

yang berani dan licin, mulai memperoleh tenaga tempur yang baru untuk menghadapi

pasukan kolonial Belanda. Selama tahun 1883 kelihatannya perang Aceh ketiga akan

pecah lagi dengan hebat. Hal ini merupakan kekecewaan besar bagi Gubernur Jenderal

s’ Jacob, yang sempat mengunjungi Aceh pada bulan Agustus 1883 untuk menyelidiki

apakah dengan penyusutan kekuatan pasukan Belanda tidak dapat dilakukan

pengurangan biaya perang secata drastis.

Kekecewaan ini menjadi panik, karena pada tanggal 8 Nopember 1883 kapal uap

Inggeris Nisero kandas di pantai daerah kecil Teunom dekat Kampung Pangah di pantai

barat Aceh. Kapal itu berukuran 1.800 ton dan membawa muatan gula dari Surabaya

menuju Marseille. Awak kapalnya terdiri dari segala bangsa. Sembilan belas orang

Inggeris, dua orang Belanda, dua orang Jerman, dua orang Norwegia, dua orang Italia

dan satu orang Amerika.

Daerah Teunom yang pada tahun 1882 pernah diserang habis-habisan oleh Belanda dari

laut, membuat perhitungan terhadap kapal Nisero yang terdampar di pantainya. Semua

awak kapal Nisero ditangkap dan dibawa ke pedalaman. Pemimpin Teunom melakukan

tekanan besar kepada Belanda, dengan menuntut uang tebusan sebanyak 25.000 ringgit

Spanyol dan jaminan tidak ada lagi blokade oleh Belanda atas pantai Teunom untuk

membebaskan para sandera.

Laging Tobias berpendapat bahwa suatu aksi militer terhadap Teunom akan

memerlukan pasukan militer yang terdiri dari beberapa batalyon, sedangkan ada

kemungkinan para sandera itu sudah terbunuh. Perkara yang menyakitkan hati ini, tetapi

dapat diperhitungkan dengan cukai masuk dan keluar daerah Teunom sendiri.

Dikirimkannya Residen Van Langen dengan 25.000 ringgit Spanyol tunai kepada

pemimpin Teunom. Tetapi sang pemimpin menolak bicara dengan dia dan hanya mau

berurusan dengan perunding-perunding Inggeris. Sia-sia Van Langen kembali ke

Kutaraja. Karena terpaksa, Gubernur menyetujui usul Inggeris dari Singapura, yaitu

sebuah kapal perang Inggeris kecil, disertai oleh dua kapal perang Belanda, dikirim ke

Teunom untuk mengadakan kontak bersama.

Keputusan yang didukung oleh s’Jacob tetapi tidak disetujui oleh Den Haag ini

mempunyai akibat-akibat diplomatik. Sekarang Laging Tobias sendiri turut serta, tetapi

dengan sangat geram ia mengalami nasib buruk, karena sang pemimpin Teunom hanya

mau berbicara dengan orang-orang Inggeris. Ia menaikkan harga tuntutannya menjadi

tiga ratus ribu ringgit dan harus ada jaminan Inggeris tentang berlakunya pelayaran

bebas di pantainya, yang ditandatangani sendiri oleh Ratu Victoria. Perundingan

mengalami jalan buntu.

Pada tahun 1884 pemerintah kolonial Belanda memutuskan untuk bertindak keras

kepada Teunom. Pada tanggal 7 Januari 1884, sebuah detasemen militer Belanda dari

Kutaraja mendarat dekat pantai Teunom, dengan jalan menembaki pantai itu dari laut.

Hasil satu-satunya yang diperoleh dari operasi miiiter Belanda ini ialah bahwa para

sandera diseret lebih jauh ke pedalaman, dan pemimpin Teunom menaikkan uang

tebusannya menjadi empat ratus ribu ringgit.

Sesudah kegagalan ini, dengan tekanan Inggeris yang berat, Belanda menyetujui agar

seorang dewan pemerintah Singapura, Sir Williem Maxwvell menjadi perunding dan

perantara untuk berbicara dengan pemimpin Teunom. Hampir sebulan lamanya dia terus

berbicara dengan pemimpin Teunom dan tidak saja mengenai sandera Nisero, tetapi

juga mengenai pengaturan perdamaian dengan Aceh yang umum dengan jaminanjaminan Inggeris. Dan inilah yang ditakutkan oleh Den Haag. Kekhawatiran Den Haag

benar-benar menjadi kenyataan, sebab pada tanggal 26 April 1884, Menteri luar negeri

Inggris, Lord Granville, memberi nota kepada Den Haag, bahwa Inggris bersedia

menjadi perantara untuk memulihkan perdamaian di Aceh.

Nota Menteri Luar Negeri Inggris ini tidak dijawab oleh Den Haag, karena secara diamdiam Gubernur Laging Tobias telah mengirimkam pasukan militer yang terdiri dari

orang-orang Aceh yang telah bersahabat untuk membebaskan para sandera. Teuku

Umar yang sebelumnya telah menyatakan takluk kepada Belanda telah dipergunakan

untuk memimpin operasi militer ini.

Teuku Umar dengan pasukannya yang dibawa oleh kapal perang Belanda, diperlakukan

sangat tidak enak. Ia harus tidur di geladak sebagai kuli-kuli saja. Rasa dendamnya

dipendamnya selama ia dan pasukannya di kapal Belanda itu. Tetapi begitu Teuku

Umar dengan pasukannya didaratkan oleh sebuah sekoci, maka semua awak kapal dari

sekoci itu dibunuhnya, dan Teuku Umar dengan pasukannya menyatukan diri dengan

rakyat Teunom.

Kegagalan yang ketiga kalinya untuk merebut sandera dari tangan rakyat Teunom,

mendorong Jenderal Van Swieten untuk mengirimkan surat ke dewan menteri Belanda.

Dengan kata-kata singkat diusulkannya agar Inggeris dan Belanda bersama-sama

mengirimkan pasukan penyerbu untuk menghukum rakyat Teunom. Menurut Van

Swieten, ini tidak akan merendahkan prestise Belanda di nusantara, tetapi justru

menaikkannya. Sebab, dengan ini akan ternyatalah bahwa tidak timbul pertentangan

antara Belanda dan Inggeris. “Menurut saya akan merupakan langkah politik jitu bila

panglima skuadron Inggris diminta membuka perundingan atau mengajukan tuntutan.

Maka; dia pun bertindak bagai penuntut yang meminta warga negaranya dibebaskan.”

Usul Van Swieten diterima oleh Dewan Menteri Belanda dan juga oleh Inggris,

sehingga pada tanggal 12 Agustus 1884, skuadron Inggris-Belanda dengan pimpinan

Maxwell dan Laging Tobias mengepung daerah Teunom dan tanpa perdebatan yang

berarti, pemimpin Teunom menyerahkan para sandera dengan imbalan tebusan

sebanyak seratus ribu ringgit dan pelabuhannya tidak diblokade lagi.

Setelah masalah kapal Nisero selesai, pada tanggal 20 Agustus 1884, penguasa kolonial

Belanda memulai memasang Lini Konsentrasi, yang luasnya kira-kira 50 km2 dengan

Kutaraja sebagai jantungnya, dikelilingi oleh suatu lini dengan enam belas benteng,

dalam rangka mengamankan daerah kekuasaannya di Aceh. Jarak antara satu benteng

dengan benteng lainnya satu sampai dua kilometer, dan rata-rata lima kilometer, dari

titik tengah. Keseluruhan bentuknya kira-kira merupakan setengah bulatan dengan

bagian terbuka ke arah laut.

Rel trem menghubungkan benteng-benteng itu yang jumlah penghuninya masingmasing berbeda, dari 160 orang dengan lima perwira dalam benteng terbesar, sampai 60

orang dengan seorang perwira dalam benteng terkecil. Benteng-benteng ini temboknya

tanah dengan pagar kayu runcing-runcing, dan dua meriam atau lebih di baluarti yang

menjorok di pojok-pojok, sehingga baik lapangan depan maupun sebelah temboktembok itu dapat tersapu oleh tembakan meriam.

Pembuatan Lini Konsentrasi ini bersamaan dengan diberlakukannya kembali

pemerintah militer di Aceh dan memakan waktu setengah tahun. Baru pada bulan

Januari 1885, pos-pos yang berada di luar Lini Konsentrasi dikosongkan oleh pasukan

Belanda, tetapi segera diisi oleh pasukan gerilya Aceh.

Sistem Lini Konsentarsi pasukan Belanda ini, dinilai oleh para pemimpin perjuangan

Aceh sebagai suatu taktik kekalahan Belanda. Hal ini merupakan dorongan semangat

untuk melanjutkan perjuangan bagi rakyat Aceh untuk mengusir Belanda kafir.

Teungku di Tiro yang masih tetap tegar dan tidak kenal damai serta beberapa ulama

lainnya; memainkan peranan penting untuk melanjutkan peperangan di Aceh sampai

penguasa kolonial angkat kaki dari bumi Aceh.

Walau sistem Lini Konsentrasi dianggap yang paling aman buat Belanda, tetapi ternyata

masih saja banyak pasukan gerilya Aceh dapat menembus benteng-benteng mereka dan

melakukan serangan, sehingga keamanan semu tidak pernah dicapai.

Di samping itu sistem Lini Konsentrasi menimbulkan kejenuhan bagi pasukan Belanda,

keadaan terkurung dan tidak ada operasi militer yang dapat meningkatkan prestasi,

apalagi sesudah bulan Agustus 1885 setelah beberapa sergapan pasukan gerilya Aceh

dalam lini terjadi, hampir semua lalu lintas dengan luar tertutup dan semua bahan

makanan harus didatangkan dari laut; akibatnya wabah beri-beri yang parah,

pelanggaran disiplin dan desersi besar-besaran menimpa pasukan Belanda.

Pengaruh demoralisasi kehidupan dalam Lini Konsentrasi dengan baik dilukiskan oleh

banyaknya jumlah mereka yang lari. Berapa banyak pasukan Belanda yang berasal dari

penduduk bumi putera yang melakukan desersi tidak diketahui, tetapi pastilah ratusan,

karena semua berita sependapat mengemukakan bahwa jumlahnya jauh lebih besar

daripada pasukan Belanda yang berasal dari Eropa. Sedangkan jumlah seratus untuk

gologgan yang terakhir ini (pasukan asal Eropa) tidak dilebih-lebihkan.

Pada tahun 1896 pasukan Belanda menyerang tempat kediaman Panglima Polim, kepala

sagi Mukim XXII, di Gle Jeung yang terletak di Sungai Aceh. Banyak keterangan yang

mereka peroleh bahwa di sana sudah sejak lama tidak boleh tidak berdiam sekumpulan

desertir (pelarian) dalam jumlah banyak. Bukti yang paling kurang ajar adalah sepucuk

surat dalam bahasa Belanda yang mereka tujukan kepada paaukan Belanda. Dalam surat

itu dimintanya agar detasemen pasukan Belanda bila kembali ke Kutaraja mau

meninggalkan sedikit jenewer.

Dalam kelompok pelarian ini terdapat pula seorang jago tembak bangsa Belanda yang

bernama Carli dari batalyon XVI. Ia pandai berbahasa Aceh dan menggabungkan diri

dengan pasukan Panglima Polim. Pada pertempuran tahun 1896 dan 1897 yang

dilakukan oleh pasukan Panglima Polim, Carli dengan menggunakan senapan Besumon

modern menyerang pasukan Belanda dengan gigih, sehingga pihak belanda menjadi

kewalahan.

Sistem Lini Konsentrasi ternyata tidak menjamin keamanan dan ketenteraman

kedudukan penguasa kolonial Belanda, karena ternyata pasukan gerilya Aceh masih

mampu melakukan serangan sampai ke daerah-daerah yang terdekat dengan Kutaraja.

Untuk mengatasi serangan gerilya Aceh, maka pada tanggal 20 April 1890, seorang

Jaksa pada pengadilan di Kutararja, bernama Muhammad Arif, menasehatkan kepada

Gubernur militer Aceh ketika itu Jenderal Van Teijn, dan kepala stafnya yang bernama

J.B. van Heutsz, untuk membentuk sejumlah detasemen mobil kecil-kecil yang terdiri

dari orang-orang yang cukup berani untuk mencari gerilya dan melawannya dengan

senjata-senjata mereka sendiri. Kontra gerilya sebagai jawaban atas gerilya. Usul ini

diterima. Nama korps baru ini menunjukkan bahwa pada mulanya ia dimaksudkan

sebagai polisi militer.

Pembentukan pertamna korps ini terdiri dari satu divisi yang terbagi dalam dua belas

brigade, yang masing-mssing terdiri dari dua puluh orang serdadu Ambon dan Jawa

dibawah pimpinan seorang sersan Eropa dan seorang kopral Indonesia. Pada iahun 1897

menyusul perluasan sampai dua divisi dan pada tahun 1899 sampai lima divisi;

semuanya berjumlah seribu dua ratus orang. Kemudian ada lagi beberapa kompi yang

berasal dari Jawa; dan pasukan inilah yang kemudian terkenal dengan pasukan Marsose.

Dalam kisah-kisah romantis perang Aceh biasanya digambarkan bahwa seakan-akan

1200 orang Marsose inilah yang membereskan apa yang tidak dapat dilakukan oleh bala

tentera yang sepuluh kali lebih besar dulu. Ini tidak benar! Secara kekuatan efektif,

kekuatan pasukan Belanda seluruhnya di Aceh di bawah van Beutsz lebih besar

daripada kekuatan-kekuatan sebelumnya.

Di bawah pimpinan beberapa orang perwira telah dilakukan kekejaman-kekejaman yang

tidak terlukiskan dengan pasukan-pasukan teror oleh brigade-brigade marsose, yang

mengakibatkan ratusan dan bahkan ribuan orang laki-laki dan perempuan serta anakanak yang terbunuh secara menyedihkan.

Kemandirian brigade merupakan rahasia besar marsose. Persenjataannya adalah sebaikbaik persenjataan pada masa itu, yakni karaben pendek –bukan senapan panjangpanjang, kelewang dan rencong– sepatu dan pembalut kaki untuk semua anggota dan

topi. Memang brigade-brigade ini membawa beberapa narapidana untuk mengangkut

perlengkapan mereka dalam setiap operasi militer, tetapi secara keseluruhan pasukan

marsose adalah hidup berdikari. Semangat pasukan senantiasa dipertinggi dengan

berbagai cara: hadiah, kenaikan pangkat dan upacara.

Pasukan marsose tahun 1890 dapat disamakan dengan anggota pasukan komando,

pasukan payung, dan pasukan-pasukan khusus lainnya di kemudian hari. Merekapun

merasa sebagai pasukan istimewa. Adalah merupakan kehormatan bagi perwira untuk

ditempatkan pada korps ini. Sebagian besar para perwira pribumi yang terkenal dan

yang terjahat berasal dari pasukan marsose, dan mereka sangat disanjung-sanjung oleh

penguasa kolanial Belanda, dengan memberikan berbagai gelar militer kehormatan.

Ketika pada tahun 1912 pasukan marsose di bawah pimpinan Letnan B.J. Schmidt

dibubarkan, setelah kedua brigadenya di Tangse selama tiga tahun mengejar-ngejar

pasukan gerilya dibawah pimpinan ulama Tiro terakhir, keempat puluh satu anggota

pasukannya ini semuanya memperoleh dua bintang Militaire Willemsorde kelas tiga,

sebilah Pedang Kehormatan, tiga Militaire Willemsorde kelas empat, dua Bintang

Perunggu, dan sepuluh pernyataan Kehormatan dalam perintah-perintah harian.

Pada bulan Januari 1891, rakyat Aceh mendapat musibah yang sangat besar. Karena

kedua tokoh utama perjuangan rakyat Aceh meninggal dunia karena sakit, yaitu

Panglima Polim dan Teungku di Tiro. Dengan wafatnya kedua tokoh utama Aceh ini,

maka kekuatan pasukan perlawanan terhadap Belanda menjadi terpecah-pecah, sebab

para penggantinya tidak mempunyai kekuatan moral sebagaimana para pendahulunya.

Dalam situasi seperti itu, Teuku Umar tampil menjadi pemimpin Aceh dengan caranya

sendiri, yang membingungkan setiap penulis sejarah Aceh. Pada tahun 1891, daerah

Mukim VI, sebelah barat Lini Konsentrasi telah diserang oleh pasukan gerilya Aceh

yang dipimpin oleh para ulama. Teuku Umar, yang telah bebilang kali membelot dan

mengkhianati Belanda, menawarkan diri nntuk membantu Belanda guna membasmi

pasukan gerilya yang senantiasa mengancam pasukan Belanda bila pemerintah kolonial

Belanda mengampuninya dan membantu sepenuhnya. Tawaran ini diterima oleh

Gubernur militer, Deijkerhoff di Aceh. Atas seizin Gubernur Jenderal Pijnacker

Mordijk, Deijkerhoff mengampuni Teuku Umar dan memberinya senjata untuk

menumpas pasukan gerilya Aceh, terutama yang beroperasi di sekitar Mukim VI.

Pada bulan Juli dan Agustus 1893 untuk pertama kalinya Teuku Umar tampil dengan

bantuan Belanda untuk membersihkan Mukim XXV dan XXVI dari sarang para gerilya

Aceh. Hasilnya sangat besar. Penduduk yang melarikan diri kembali pulang, dan para

hulubalang penting dari kedua sagi menggabungkan diri dengan Teuku Umar. Pada

tanggal 30 Desember 1893, atas jasa-jasanya, Teuku Umar diangkat menjadi ‘panglima

perang besar’ oleh pemerintah Belanda yang dilaksanakan upacara militer di Kutaraja.

Sebutan geiar yang diberikan kepadanya adalah Teuku Johan Pahlawan.

Pada bulan-bulan terakhir tahun 1893, Teuku Umar telah memiliki dua ribu pasukan

lengkap dengan senjata yang diberikan oleh Belanda untuk melakukan operasi militer

terhadap pasukan perlawanan Aceh. Pada tanggal 30 Oktober 1893, pasukan Teuku

Umar menaklukkan daerah Anenk Galong, pusat kekuatan Panglima Polim (muda).

Keberhasilan Teuku Umar dalam menumpas pasukan perlawanan Aceh, maka pada

tanggal 1 Januari 1894, ia diberi izin untuk membentuk pasukan legiun inti sebanyak

250 orang, yang seluruh biaya, persenjataan dan perlengkapan ditanggung oleh

pemerintah kolonial Belanda. Kolonel Deijkerhoff dinaikkan pangkatnya menjadi

Jenderal. Keadaan Aceh sejak tampil Teuku Umar menjadi Johan Pahlawan membantu

Belanda relatif agak aman dan serangan-serangan gerilya tidak lagi sebesar tahun-tahun

sebelumnya.

Namun demikian, kebijaksanaan Deijkerhoff masih mendapat kecaman pedas dari

seorang penasehat Guber nur Jenderal di Batavia, yaitu C. Snouck Hurgronye. Kecaman

pedas yang dilakukan oleh C. Snouck Hurgronye, bertitik tolak dari hasil penelitiannya

di Aceh yang diselenggarakaa pada tanggal 16 Juli 1891 sampai 4 Februari 1892.

Menurut Snouck dalam ‘Laporan Politik Agama’ yang disampaikannya kepada

Gubernur Jenderal di Batavia, bahwa di Aceh ada tiga kekuatan yang saling

mempengaruhi rakyat Aceh untuk menentang pemerintah kolonial Belanda.

Dari ketiga pihak ini, pihak sultan adalah pihak yang bisa disisihkan dan pihak adat

adalah pihak yang bisa diajak kompromi. Sedangkan pihak ulama, adalah pihak yang

paling tidak kenal damai dan paling tegar. Karenanya harus dipukul habis, agar tidak

tumbuh kembali menjadi kekuatan potensial menentang pemerintah kolonial Belanda.

Sebab menurut ajaran Islam, demikian Snouck, setiap muslim diwajibkan untuk

menentang kekuasaan kafir yang bersifat menjajah, selama kaum muslimin masih

mempunyai kekuatan dan keberanian untuk menghadapi musuh.

Pada awal tahun 1896 tampillah di Aceh seorang komandan lini baru, yaitu Letnan

Kolonel F.W. Bisschof van Heems kerck. Di markasnya yang berkedudukan di benteng

Lam Baro dengan 150 orang anggota pasukannya, dirasakannya bahwa optimisme

Jenderal Deijkerhoff tentang politik Teuku Umar sangat berlebihan.

Sebab hampir setiap hari pos-pos pasukan Belanda, terutama yang berada di luar Lini

Konsentrasi, seperti sagi Mukim XXII, yang pernah dibersihkan oleh pasukan Teuku

Umar, senantiasa ditembaki pasukan gerilya Aceh. Bila pos yang terjauh seperti Anenk

Galong (bekas pusat pertahanan Teuku di Tiro) akan diberi perbekalan, maka untuk itu

diperlukan pengawalan dengan satu kolonne yang kuat. Sebab kaum gerilya Aceh yang

terampil menggunakan senjata-senjata modern mampu menembak jitu pengawalpengawal perbekalan tersebut.

Pada tanggal 7 Maret 1896 jatuhlah giliran patroli pertama kepada Kapten R.F.T.

Blokland. Bolehlah dikatakan seluruh kekuatan operasi militer Anenk Galong

dikerahkannya untuk berangkat. Baru saja patroli maju beberapa ratus meter, lalu ada

tembakan dari kampung yang pertama sekali, yaitu Klieng. Segera sesudah itu beberapa

puluh pasukan gerilya Aceh menyerang patroli Belanda dengan kelewang. Pasukan

Belanda yang telah lama tidak berperang karena hanya menjaga saja di Lini

Konsentrasi, menjadi tidak terampil dan menjadi panik, sehingga lari pontang-panting.

Ketika Kapten Blokland memeriksa anak buahnya sewaktu pertempuran berhenti

sebentar, ternyata sisa-sisa pasukannya yang masih tinggal hanya dua belas orang asal

Eropa dan sepuluh orang asal Indonesia. Beberapa puluh orang yang mati dan luka-luka,

sedangkan sebagian terbesar melarikan diri masuk ke markas mereka.

Peristiwa ini merupakan tamparan yang hebat terhadap Jenderal Deijkerhoff, yang

selama ini dianggap telah berhasil mengamankan daerah Aceh. Namun, ia tidak segera

untuk menghukum Teuku Umar sebagai Johan Pahlawan, malah dia meminta agar

Teuku Umar mengamankan daerah-daerah yang selama ini telah dinyatakan aman itu.

Permintaan Deijkerhoff tidak mudah disanggupi oleh Teuku Umar, sebab memang sejak

sebelum peristiwa 7 Maret 1896, kegiatan para gerilya Aceh dibawah pimpinan para

ulama mulai aktif secara mencolok. Pos-pos Belanda pernah diserang dengan meriam

lapangan, empat buah granat telah dilemparkam ke dalam benteng di Lam Raya.

Dalam keadaan yang demikian, Teuku Umar menjadi bimbang untuk melaksanakan

tugas yang telah diminta oleh Jenderal Deijkerhoff. Untuk mengelakkan tugas itu, ia

meminta diperlengkapi lagi persenjataannya, dengan alasan, bahwa senjata-senjata yang

dimilikinya tidak cukup untuk melakukan operasi militer secara tuntas. Dan ternyata

tuntutan Teuku Umar untuk memperoleh perlengkapan dan persenjataan dipenuhi oleh

sang Jenderal. Pada tanggal 26 Maret 1896, Teuku Umar telah menerima 380 senapan

kokang modern dan 500 senapan lantak kuno, 25.000 butir peluru, 500 kilo mesiu,

120.000 sumbu mesiu dan 5.000 kilo timah, ditambah dengan uang operasi sebanyak

l8.000 ringgit Spanyol.

Setelah Teuku Umar menerima tambahan perlengkapan dan persenjataan untuk

memulai operasi militer, sebagaimana yang dimintakan oleh Deijkerhoff, terbetik berita

bahwa ia akan melakukan pembelotan kepada pasukan perlawanan Aceh. Berita ini

terbukti tidak benar, sebab pada tanggal 28 Maret 1896 Teuku Umar hadir dalam

konferensi Gubernur yang diselenggarakan di Kutaraja.

Kehadirannya dalam konferensi gubernur itu, membuat pemerintah kolonial Belanda

menjadi lega, tetapi besoknya tanggal 29 Maret 1896, Teuku Umar membuat satu

kejutan yang membelalakkan mata Jenderal Deijkerhoff, disana ia menyatakan secara

resmi menanggalkan jabatannya sebagai “Panglima Perang Besar Teuku Johan

Pahlawan”, menolak melaksanakan perintah-perintah Deijkerhoff, dan wakil-wakil

panglimanya pada hari itu juga memanfaatkan dengan baik senjata-senjata barunya

untuk melakukan pertempuran terhadap pasukan Belanda.

Pada tauggal 30 Maret 1896, dari tempat kediamannya Lampisang, Teuku Umar

mengirimkan sepucuk surat kepada Gubernur dengan pemberitahuan bahwa ia harus

beristirahat sementara waktu. Dia mengeluh tentang perlakuan penghinaan yang

dilakukan oleh pejabat-pejabat pangreh praja dan perwira-perwira Belanda terhadap

dirinya dan dia menyarankan Deijkerhoff agar menyuruh mereka saja menaklukkan

mukim-mukim Lam Krak.

Di Kutaraja terjadi panik setelah tersebar berita-berita tentang pembelotan itu. Orang

khawatir kota akan diserbu besar-besaran, dan bersiap-siap menghadapinya. Serangan

itu tidak terjadi. Tetapi memang beberapa hari kemudian hampir semua hulubalang

yang berada di luar Lini Konsentrasi membelot ke pihak Teuku Umar.

Teuku Umar dengan pasukannya membentuk garis pertahanannya di sebelah timur Lini

Konsentrasi dengan markas besarnya bertempat di Lam Pisang, tempat kediamannya

sendiri. Daerah ini sangat strategis, karena letaknya dalam sebuah lembah yang sempit.

Hanya dalam beberapa hari saja di Aceh Besar keadaannya telah berubah menjadi

daerah yang mencekam dan menakutkan.

Gubernur Jenderd Van der Wijck, setelah mendengar laporan tentang pembelotan

Teuku Umar, secepat mungkin memberhentikan Deijkerhoff dan menggantikannya

dengan Jenderal Vetter. Diperintahkannya secara telegrafis bala bantuan dari Padang ke

Kutaraja, diberangkatkannya satu baterai meriam lapangan dari Jawa dan

dipersiapkannya dua buah baterai meriam yang lain, dan ditempatkannya sejumlah

besar perwira sementara untuk Aceh, diantaranya Letnan Kolonel Van Heutsz. Operasi

militer besar-besaran, dengan lebih dari dua ribu anggota militer dan seratus perwira,

pada tanggal 7 April 1896 telah berada di Kutaraja.

Jenderal Vetter tidak ingin kehilangan waktu untuk segera melakukan serangan terhadap

pasukan Teuku Umar. Komandan militernya Kolonel J.W. Stemfoord, pada tanggal 8

April 1896 telah bertolak dengan sebuah kolonne yang kuat terdiri dari seribu orang

pasukan, yang sebagian besar terdiri dari pasukan asal Eropa. Tugas utamanya adalah

untuk membebaskan pos-pos luar yang telah dikepung oleh pasukan Teuku Umar.

Semua hubungan dengan sebagian besar pos ini telah putus, kawat-kawat telepon telah

diputuskan, jalan-jalan dirusakkan oleh pasukan Teuku Umar. Vetter dan Stemfoord

sependapat bahwa pos-pos di luar lini sebanyak enam belas buah harus dibebaskan dan

kemudian dihancurkan. Dalam waktu satu minggu usaha pembebasan pos-pos ini

berhasil. Jembatan besi indah yang menghubungkan Anenk Galong dengan Montasik di

seberang sungai Aceh, harus diledakkan sendiri oleh pasukan Belanda.

Kian lama pengosongan berlangsung, kian besar perlawanan Aceh. Pada tanggal 17

April 1896, pos Anenk Galong, Lam Sut, Senelop dan Lam Barik mendapat serangan

pasukan Teuku Umar dan gerilyawan Aceh lainnya; walau dipertahankan oleh empat

batalyon infanteri, delapan brigade marsose dan dua baterai meriam lapangan. Operasi

pembersihan yang dilakukan oleh pasukan Belanda pada hari itu, tidak lebih dari jarak

tiga kilometer di luar lini dengan kerugian delapan orang tewas, lima puluh orang lukaIuka, tiga ekor kuda mahal, sebuah meriam, sebuah mortir, sebuah mitralyur dan

berpeti-peti peluru jatuh ketangan pasukan gerilya Aceh.

Pada tahun 1896 dan awal 1897, Vetter dengan pasukannya telah melakukan

penghancuran total terhadap lembah di Aceh Besar itu, yang paling sempurna dibumihanguskan ialah tempat kediaman Teuku Umar. Di pos lini Lam Jau dipasang sebuah

baterai meriam khusus dengan dua belas meriam dan delapan mortir berat, yang selama

enam belas hari enam belas malam nonstop memuntahkan pelurunya ke Lam pisang,

pusat pertahanan Teuku Umar, sehingga pada tanggal 24 Mei 1896 Lam Pisang jatuh ke

tangan pasukan Belanda dalam keadaan hancur total.

Atas perintah Jenderal Vetter, rumah kediaman Teuku Umar diledakkan dan puingpuingnya dibakar hangus. Di seluruh daerah Mukim VI dan daerah-daerah di luarnya

dibakar menjadi abu. Kampung Lamasan diratakan lumat. Dengan perlindungan

sepuluh kompi infanteri, dua seksi zeni, delapan ratus orang narapidana kerja-paksa dan

empat ratus orang kuli Cina, mulai tanggai 30 Mei sampai tanggal 3 Juni 1896 sibuk

untuk melakukan pekerjaan ini. Ketika itu semua rumah dan bangunan lainnya seperti

mushalla, masjid, madrasah diratakan dengan tanah, semua pohon ditebang, kuburankuburan digali. Siapa yang mencari daerah Lamasan pada tanggal 3 Juni 1896 hanya

akan mendapatkan tempat hangus besar di tanah gundul. Tidak pernah lembah di Aceh

Besar ini timbul lagi.

Peristiwa pembelotan Teuku Umar memberikan kesan yang sangat menghancurkan di

negeri Belanda. Bagaimana besarnya rasa ketakutan dan kebencian terhadap Teuku

Umar, tampak dari lagu-lagu yang diciptakan saat itu dan sempat bertahan sampai lebih

dari setengah abad lamanya. Lagu itu antara lain berbunyi: “Teuku Umar mesti

digantung. Gantung di tali, gantung di tali, Teuku Umar dan isteri.”

Perang Aceh yang dimulai sejak tahun 1873 sampai tahun 1896, bagi pemerintah

kolonial Belanda telah menderita kerugian sebanyak lima ratus juta gulden, kira-kira

sepuluh ribu pasukan militer Belanda yang tewas, lima belas ribu orang narapidana

kerja-paksa yang mati. Sedangkan di pihak pasukan perlawanan Aceh diperkirakan tiga

puluh lima ribu orang menjadi syahid, sekarang pada tahun 1896 harus dimulai baru

lagi.

Tindakan-tindakan biadab pasukan Belanda-kafir di lembah Sungai Aceh telah

mengakibatkan kehancuran yang tidak terlukiskan. Aceh Besar begitu dihabisi

penduduknya, sehingga puluhan tahun kemudian para pengunjung dari luar masih

merasa heran mendapati kampung-kampung yang ditinggalkan dan sawahsawah yang

tidak dikerjakan, pengairan yang tidak bisa lagi diperbaiki.

Tidak kurang dari sepuluh ribu sampai dua puluh ribu orang Aceh meninggalkan

kampung halamannya sesudah tahun 1896, dan bermukim di Pinang dan Malaka. Dan

puluhan ribu yang lain keluar dari Aceh Besar menuju daerah-daerah pantai. Daerah

ketiga sagi, yang dulu merupakan salah satu wilayah makmur di Aceh, telah menjadi

salah satu wilayah yang paling miskin. Tidak pernah daerah ini pulih dari pukulan yang

dideritanya.

Sampai kemana buasnya pasukan kolonial Belanda dalam menghadapi pasukan

perlawanan Aceh, secara tepat dilukiskan oleh sebuah tanda kenangan yang dipajang di

beranda belakang rumah sakit tentara Belanda, di Kutaraja, pada tahun I897. Ada

sebuah stoples besar berisi alkohol, dan di dalamnya terapung kepala Teuku Nya

Makam. Pemimpin gerilya Aceh ini, pada tahun 1896 tertangkap oleh pasukan Belanda

dalam keadaan sakit parah. Dia diletakkan di atas tandu dan bersama

dengan.keluarganya dihadapkan pada komandan kolonne Letnan Kolonel Soeters.

Perwira ini menyuruh melemparkannya dari tandu serta diperintahkannya agar dia

ditembak mati di tempat. Di hadapan isteri dan anak-anaknya, kepalanya pun

dipancung. Kolonel Stemfoort menyuruh memajang kepala Teuku Nya Makam ini

sebagai tanda kenangan. Seorang saksi mata yang tersayat hatinya menulis:

“Kebiadaban ini dan yang semacamnya tidaklah membantu menaklukkan dan

mengamankan Aceh, sebaliknya pasukan Belanda akan memperoleh ribuan dan ribuan

musuh yang tidak kenal damai.”

Lembah Aceh memang bisa saja dihancurkan dan ditaklukkan, tetapi yang jelas perang

di luar Aceh besar tidak akan berakhir. Snouck Hurgronye menganjurkan kepada

Gubernur Jenderal Van der Wijck agar melakukan penyerbuan yang besar ke pedir

(Pidie), dengan

argumentasi bahwa orang yang dapat menaklukkan negeri ini yang dapat menjajah

daerah Aceh seluruhnya. Usul Snouck Hurgronye ini disetujui oleh Van der Wijck

sehingga ia memerintahkan Van Vliet untuk menyerang Pidie dengan kekuatan batalyon

lewat laut dan dua batalyon lewat darat dari Selimun.

Di samping itu Van der Wijck juga menginstruksikan kepada Van Heutsz untuk

membantu serangan ke Pidie ini melalui pantai utara, dengan diperlengkapi satu baterai

meriam gunung dan satu skuadron kavaleri. Bukan dua minggu waktu yang diperlukan,

sebagaimana yang direncanakan oleh pasukan Belanda, tetapi tiga bulan diperlukan

untuk bertempur melawan pasukan gerilya Aceh.

Penyerbuan ke Pidie yang dimulai pada tanggal 1 Juni 1898, yang langsung dipimpin

oleh Van Heutsz dan didampingi Snouck Hurgronye, adalah merupakan penyerbuan

terbesar yang luar biasa dari seluruh perang Aceh. Dari Selimun dan Sigli berangkat dua

kolonne yang semuanya berjumiah 7500 orang pasukam. Dibawa 15 km rel kereta api

kecil untuk memasang lintasan (line) trem sementara dari Sigli ke pedalaman. Semua

anggota militer diberi senjata modern Mauser, dan marsose diberi karaben mauser lima

puluru, dengan diperlengkapi makanan dalam kaleng.

Tidak banyak terjadi pertempuran sengit antara pasukan Belanda dengan pasukan

gerilya Aceh. Tetapi harapan dan khayalan Belanda untuk sekali pukul dapat

menyingkirkan Panglima Polim, Teuku Umar dan Sultan, lenyap sama sekali. Sebab

tokoh-tokoh perlawanan yang diduga berada di daerah Pidie, ternyata tidak dijumpai

sama sekali. Berbulan-bulan waktu yang diperlukan oleh pasukan Belanda untuk bisa

menghancurkan pasukan gerilya Aceh.

Akhirnya, pada tanggal 10 Februari 1899, Van Heutsz menyerang tempat yang

dipergunakan oleh Teuku Umar sebagai markasnya, yang berada di sekitar Meulabohe.

Dalam pertempuran ini, pasukan Belanda berhasil dipukul mundur oleh pasukan Teuku

Umar. Tetapi korban dari pasukan Teuku Umar cukup banyak, bahkan ia sendiri tewas.

Tetapi isterinya, Cut Nya Dien, bersama-sama pasukan yang masih tinggal, melanjutkan

perjuangan suaminya, Teuku Umar, dengan cara bergerilya di daerah pedalaman pantai

barat, selama lebih dari enam tahun.

Pada tahun 1905, Cut Nya Dien terserang penyakit rematik, matanya setengah buta dan

lumpuh. Walau dalam keadaan begitu, ia tidak pernah berniat untuk menyerah kepada

Belanda. Karena pengkhianatan seorang panglimanya, yang bernama Pang Lot, pasukan

Belanda mengetahui dan menyergap tempat persembunyian Cut Nya Dien. Dia

ditangkap dan kemudian dibuang ke Jawa sampai meninggal, tanpa sesaatpun berdamai

dengan pasukan Belanda kafir

Setelah Teuku Umar tewas dan pasukannya mulai cerai-berai, Belanda merasa bahwa

mereka telah berhasil untuk menaklukkan seluruh Aceh, padahal masih terlalu banyak

daerah-daerah yang masih secara utuh dikuasai oleh pasukan gerilya Aceh, dan pasukan

Belanda belum mampu untuk menjejakkan kakinya di sana. Salah satu daerah itu adalah

Samalanga, di mana terdapat sebuah benteng gunung. Batu Ilieq.

Jenderal Heijden, yang dinobatkan menjadi Jenderal Mata Sebelah oleh orang Aceh,

karena matanya buta terkena peluru pasukan santri Batu Ilieq, telah berulang-ulang

tidak berhasil menaklukkan benteng tersebut. Bahkan sesudah daerah Samalanga dapat

takluk kepada Belanda, tetapi benteng Batu Ilieq masih tetap berfungsi sebagai pusat

perlawanan rakyat Aceh terhadap Belanda.

Batu Ilieq adalah sebuah desa, di mana terdapat pusat pendidikan pondok pesantren

yang dipimpin oleh para ulama dengan ratusan santrinya. Di desa inilah didirikan

benteng-benteng pertahanan yang mengambil lokasi di puncak gunung yang

dihubungkan oleh terowongan-terowongan perlindungan. Benteng Batu Ilieq ini sepenuhnya dipertahankan oleh pasukan santri.

Pada tahun 1901 pasukan Belanda di bawah pimpinan Van Heutsz menyerbu benteng

Batu Ilieq dengan menggunakan meriam-meriam kapal jarak jauh dan howitzer berat.

Peluru-peluru meriam dan howitzer berat itu dimuntahkan ke mulut-mulut benteng Batu

Ilieq ini secara nonstop berhari-hari, tetapi tidak dapat merobohkan benteng dari

pasukan santri, tidak bergeming sedikitpun.

Oleh karena itu serangan harus langsung dilakukan dengan cara menaiki bukit melalui

lapangan depan yang ditaburi ranjau, dan menentang arus batu dan gumpalan-gumpalan

karang yang digelindingkan oleh pasukan santri yang bertahan di benteng. Belum lagi

disebut tentang tembakan-tembakan yang terbidik baik dari senapan-senapan mauser

yang begitu tangkas digunakan para santri, selancar mereka membaca ayat-ayat AlQur’an.

Penyerangan harus dilakukan oleh Belanda, pasukan marsose yang berasal dari Ambon

menerobos ke dalam benteng yang dihadang oleh pasukan santri dengan gagah perkasa,

sehingga pertempuran sengit terjadi. Tetapi, karena kekuatan yang tak seimbang antara

pasukan Belanda dengan pasukan santri, benteng Batu Ilieq sebagian telah jatuh ke

tangan Belanda. Dalam keadaan kritis semacam itu, seorang ulama tua yang berjanggut

putih, dengan obor menyala meledakkan tempat persediaan mesiu, sehingga benteng itu

ambruk. Dalam pertempuran sengit ini, pasukan Belanda yang mati berjumlah lima

orang dan yang luka-luka berat berjumlah 27 orang, sedangkan di pihak santri dan

ulama seluruhnya berjumlah 71 orang menjadi syuhada, tak satu pun yang masih hidup.

Jatuhnya benteng Batu Ilieq, tidak berarti perlawanan rakyat Aceh telah berhenti, sebab

hampir setiap daerah baik di pantai maupun di pedalaman, yang belum sempat dijelajah

oleh pasukan Belanda, masih tetap mengkonsolidasikan diri dengan benteng-benteng

pertahanan, untuk setiap saat menghadapi serangan pasukan Belanda. Para hulubalang

terutama para ulama di daerah tersebut tetap tegar untuk menentang setiap bentuk

kolonial, walau harus ditempuh dengan pertumpahan darah.

Operasi militer yang dilakukan oleh Van Heutsz senantiasa mendapat perlawanan dari

rakyat Aceh, walau akhirnya kemenangan diperoleh pasukan kolonial. Dalam posisi

terdesak, maka pada tanggal 10 Pebruari 1903 Sultan menyerah. Dan pada tanggal 6

Desember 1903 Panglima Polis menyerah pula.

Van Heutsz, setelah diangkat menjadi Gubernur Militer Belanda di Aceh, pada bulan

Februari 1904, telah memerintahkan Letnan Kolonel G.C.E. Van Daalen memimpin

pasukan marsose untuk menyerang Tanah Gayo dan Alas, yang letaknya di tengahtengah pegunungan Aceh. Serangan pertama direncanakan ke Gayo Laut, kedua ke

Gayo Linge, ketiga ke Gayo Lues dan serangan keempat ke Tanah Alas.

Daerah Gayo dan Alas dapat dianggap merupakan benteng terakhir rakyat Aceh, dan

daerah terakhir dalam perang terbuka yang dilancarkan oleh pasukan Belanda, dalam

sejarah perang kolonial dalam usahanya untuk menjajah seluruh Aceh.

Serangan pasukan Belanda ke daerah Gayo dan Alas pada tahun 1904 ini, dilancarkan

setelah perang Aceh berlangsung selama 31 tahun, sejak meletusnya Perang Aceh pada

tahun 1873. Vaan Heutsz ingin cepat-cepat menaklukkan daerah Gayo dan Alas, daerah

yang selama ini masih utuh dikuasai oleh rakyat Aceh, agar kekuasaan Belanda benarbenar merata di Aceh, selama ia masih menjadi gubernurnya.

Pada tanggal 8 Februari 1904, pasukan Belanda di bawah pimpinan Van Daalen

berangkat dari Kutaraja menuju Gayo dan Alas, dengan kekuatan sepuluh brigade

bersenjata lengkap, dibantu oleh 450 orang narapidana kerja-paksa. Pasukan ini

merupakan pasukan ‘induk’ karena masih ada lagi pasukan mobile yang dipimpin oleh

Kapten Creutsz Lecheitmerer dengan kekuatan 150 pasukan tentara yang bergerak dari

arah timur dari Kuala Simpang.

Dengan demikian maka jumlah seluruh pasukan Belanda yang digunakan untuk

menyerbu Gayo dan Alas tidak kurang dari 500 orang pasukan militer bersenjata

lengkap, ditambah dengan kira-kira 1.000 orang tenaga kesehatan, narapidana kerjapaksa dan tukang-tukang pikul perlengkapan perang dan makanan.

Pada tanggal 12 Februari 1904 pasukan Belanda telah tiba di daerah tujuan, yaitu di

daerah Gayo Laut, kira-kira 50 kilometer dari Takengon. Tetapi begitu Belanda

menginjakkan kakinya di desa dekat Ketol, disambut dengan pertempuran sengit yang

pertama, di mana pasukan Belanda mengalami korban, baik mati maupun luka-luka.

Dalam perjalanan menuju Takengon, pasukan Belanda tidak henti-hentinya mendapat

perlawanan, Sampai mereka berhasil membuat markasnya di desa Kung, kira-kira 7

kilometer ari Takengon. Dari markas yang baru didirikan ini, pasukan Belanda

melakukan operasi militer di sekitar Gayo Laut. Walau perlawanan pasukan rakyat

Gayo cukup sengit, dan hampir setiap daerah yang dilalui pasukan Belanda terjadi

pertempuran, tetapi akhirnya daerah Gayo Laut pun jatuh ke tangan pasukan kolonial.

Setelah pasukan Belanda berhasil menguasai daerah Gayo Laut, operasi militernya maju

menuju Gayo Lues, dimana pada tanggal 9 Maret 1904, pasukannya telah mencapai

daerah Kla, yaitu daerah yang merupakan pintu masuk Gayo Lues. Berbeda dengan

pertempuran di Gayo Laut, di sini rakyat memperkuat pertahanannya dengan bentengbenteng yang dibangun dari tanah dicampur batu-batu. Di sekelilingnya dibuat pagar

kayu berduri yang telah dibuat runcing, dan dilapisi pula dengan tanaman hidup bambu

berduri, yang oleh orang Gayo disebut ‘uluh kaweh’ yang berlapis-lapis. Kemudian

dipasang pula bambu runcing dan kayu runcing dalam bentuk ranjau-ranjau.

Di bagian dalam benteng dibuat lobang-lobang perlindungan, lubang pengintaian lubang

penembak di bagian dinding-dinding benteng. Selain itu dibuat pula lubang

perlindungan untuk wanita dan anak-anak di dalam benteng tersebut. Dengan cara ini,

benteng pertahanan rakyat Gayo berusaha menahan serangan pasukan Belanda yang

jauh lebih kuat dan modern.

Benteng-benteng semacam ini tersebar di daerah Gayo Lues dan Alas, serta tidak

kurang dari sepuluh benteng yang besar dan kokoh yang dipertahankan mati-matian

oleh rakyat Gayo, dalam pertempurannya dengan pasukan Belanda.

Salah satu bukti tentang pertempuran benteng yang dahsyat, yaitu benteng Gemuyang,

setelah berhari-hari bertempur, akhirnya baru jatuh setelah rakyat Gayo sebanyak 308

orang tewas : antaranya 168 orang laki-laki, 92 orang wanita dan 48 orang anak-anak.

Sedangkan yang luka-luka sebanyak 47 orang: antaranya seorang pria, 26 orang wanita

dan 20 orang anak-anak. Hanya 12 orang yang tertangkap hidup-hidup, dimana 3 orang

wanita dan 9 orang anak-anak. Sedangkan korban dari pihak pasukan Belanda hanya

dua orang tewas dan 15 orang luka-luka berat.

Pertempuran di benteng Rikit Gaib antara pasukan penyerbu dengan pasukan rakyat

Gayo lebih berimbang, sehingga korban yang jatuh di kedua belah pihak cukup banyak.

Di pihak rakyat Gayo telah meninggal dunia sebanyak 148 orang: antaranya 143 orang

pria, 41 orang wanita dan anak-anak, hanya seorang laki-laki dan dua orang wanita yang

tertangkap hidup-hidup oleh Belanda. Korban di pihak pasukan Belanda: 7 orang mati,

diantaranya 2 orang perwira dan 42 orang luka-luka berat, diantaranya 15 orang

perwira.

Pertempuran dari benteng ke benteng yang tersebar di daerah-daerat Gayo tidak kurang

dari sepuluh buah banyaknya, dengan korban ribuan rakyat Gayo yang mati terbunuh.

Hanya dengan cara itu pasukan Belanda dapat menaklukkan Gayo, sehingga pada

tanggal 2 Juni 1904, Van Daalen berhasil mengumpulkan penghulu-penghulu Gayo

sebanyak dua belas orang untuk memaksa mereka takluk kepada penguasa kolonial

Belanda.

Setelah daerah Gayo berhasil ditundukkan, maka pada tanggal 13 Juni 1904 pasukan

Belanda melanjutkan serangan ke daerah Alas, dengan sasaran utamanya desa Batu

Mbulen dimana tinggal seorang ulama besar bernama Teungku Haji Telege Makar

dengan pondok pesantrennya. Mendengar kedatangan pasukan Belanda mau menyerbu

kaum muslimin, dengan pimpinan para ulama mereka mengosongkan desa tersebut dan

semuanya berkumpul di benteng Kute Reh yang telah disiapkan jauh sebelum pasukan

musuh datang.

Pertempuran dahsyat dan bermandikan darah berlangsung berhari-hari antara pasukan

musuh dengan pasukan kaum muslimin di benteng Kute Reh tersebut. Benteng Kute

Reh jatuh ke tangan pasukan Belanda, setelah 561 orang pasukan yang mempertahankan

benteng itu tewas, diantaranya 313 orang pria, 189 orang wanita, dan 59 orang anakanak. Yang luka-luka sebanyak 51 orang, antaranya 25 orang wanita dan 31 orang anakanak, yang tertangkap hidup-hidup dua orang wanita dan 61 orang anak-anak.

Sedangkan di pihak musuh hanya dua orang mati dan 17 orang luka-luka berat.

Pada tanggal 20 Juni 1904 pasukan Belanda dibawah pimpinan Van Daalen sendiri

melanjutkan penyerbuannya ke benteng Likat. Pertempuran sengit bermandikan darah

berlangsung dahsyat dan ngeri. Sebab pasukan Belanda main bantai tanpa pandang

bulu, sehingga 432 orang mati terbunuh, diantaranya 220 pria, 124 wanita, dan 88 orang

anak-anak. Yang luka-luka berat dan ringan sebanyak 51 orang, diantaranya 2 orang

pria, 17 orang wanita dan 32 orang anak-anak, yang tertangkap hidup-hidup hanya

anak-anak sebanyak 7 orang. Dipihak pasukan musuh yang mati hanya seorang dan 18

orang tentara luka-luka, termasuk Letnan Kolonel Van Daalen dan Kapten Watrin.

Daerah Alas dapat dikuasai pasukan Belanda setelah jatuhnya benteng Lengat Baru

pada tanggal 24 Juli 1904, dengan korban yang sangat besar di pihak rakyat Alas, di

mana 654 orang tewas, diantaranya 338 orang pria dan 186 wanita serta anak-anak 130

orang. Sedangkan yang luka-luka seorang pria, 16 orang wanita dan 32 orang anak

anak. Di pihak musuh hanya 4 orang mati dan 28 orang luka-luka.

Sebagaimana telah terjadi di daerah-daerah lainnya di Aceh, jika pertempuran terbuka

telah tidak mungkin dilakukan, karena kekuatan yang tak seimbang dengan pasukan

musuh, maka ‘perang gerilya’ merupakan satu-satunya jawaban untuk melumpuhkan

pasukan Belanda. Di Gayo dan Alas pun berlaku hal yang sama. Apalagi daerah Gayo

dan Alas adalah daerah bergunung-gunung dan berhutan lebat, sehingga ‘perang gerilya’

yang dilakukan rakyat Gayo dan Alas sangat menguntungkan. Dan sebaliknya pasukan

Belanda tidak pernah bisa tinggal tenteram di daerah-daerah yang didudukinya, karena

mendapat serangan gerilya.

Walaupun perang kontra gerilya dengan pasukan marsose yang dianggap berani dan

kejam, sebagaimana digariskan oleh Van Heutsz, dinilai berhasil dengan gemilang,

tetapi tidak berarti pasukan gerilya muslimin Aceh dianggap pengecut dan senantiasa

kalah. Bahkan terkadang pasukan gerilya muslimin Aceh jauh lebih berani dan lebih

lincah dari pasukan marsose yang paling dibanggakan. Hal ini terbukti dari pengalaman

salah seorang komandan marsose yang paling terkenal, Kapten M.J.J.B.H. Campion,

yang pada tahun 1904 di daerah Meulaboh di pantai barat, dengan kekuatan setengah

divisi melakukan penyerbuan terhadap pasukan gerilya Teuku Keumangan dan

kakaknya, Teuku Johan.

Pada bulan Maret 1904 sebuah kolonne yang terdiri dari enam brigade marsose, yaitu

kira-kira 160 orang tentara, masuk ke dalam jebakan pasukan gerilya muslimin yang

berkekuatan sebanyak 300 orang gerilyawan. Dengan gerak cepat dan ketangkasan yang

luar biasa, pasukan gerilyawan muslimin Aceh ini menyerang dengan kelewang dan

rencong terhadap pasukan marsose yang terjebak itu. Seluruh pasukan Belanda

sebanyak 160 orang tentara mati terbunuh, termasuk Kapten Campion yang mati karena

luka-luka berat.

Pasukan gerilyawan muslimin Aceh masih terus efektif melakukan serangan-serangan

terhadap pasukan Belanda di daerah-daerah seperti Lhong, dimana pada tahun 1925 dan

tahun 1926 dan kemudian pada tahun 1953 telah berkembang menjadi ‘perang terbuka’.

Untuk mengatasi kekuatan gerilyawan muslimin Aceh ini, pemerintah kolonial Belanda

mengumpulkan kembali bekas-bekas pasukan marsose dari seluruh Hindia Belanda.

Operasi-operasi pasukan marsose di sungai atau di darat seringkali terjebak oleh

pasukan gerilyawan muslimin, sehingga dapat dihancurkan secara total. Bahkan bivakbivak rahasia pasukan marsose sering diserang dan dibakar oleh pasukan gerilyawan.

Idola gerilyawan muslimin Aceh terlukiskan dalam person tokoh ulama Aceh Teungku

di Tiro Syeikh Saman. Ia mempunyai lima orang pntera, yang tertua bernama

Muhammad Amin, yang gugur pada pertempuran dengan pasukan Belanda pada tahun

1896. Empat orang putera lainnya dan dua orang cucu semuanya gugur sebagai syuhada

pada pertempuran antara tahun 1904 dan 1911.

Pada bulan Desember 1909, Letnan B.J. Schmidt mendapat perintah untuk menyerang

pasukan gerilyawan muslimin Tiro di daerah Tangse. Menurut taksiran, kekuatan

pasukan gerilyawan muslimin Tiro ini berjumlah 250 orang. Dengan menggunakan dua

brigade pasukan marsose, Schmidt secara sistimatis menyerang dan menangkap pasukan

gerilyawan muslimin Tiro, di mana pada tahun 1909 dan 1911 dapat dikatakan hampir

seluruhnya tertangkap.

Keberhasilan pasukan Belanda dalam menumpas pasukan gerilyawan muslimin Tiro ini

karena pengkhianatan orang-orang Aceh sendiri, yaitu para kaum bangsawan yang

menjadi kolaborator Belanda. Tetapi tidak seorang pun dari pimpinan gerilyawan

muslimin Tiro ini yang menyerah hidup-hidup. Akhirnya keturunan Syeikh Saman,

tokoh gerilyawan muslimin Tiro, tinggal seorang lagi, seorang pemuda remaja yang

terus bergerilya menyerang pasukan Belanda kafir.

Letnan Schmidt meminta bantuan tokoh-tokoh Aceh untuk bisa membujuk tokoh

pemuda-remaja gerilyawan muslimin Tiro ini supaya menyerah dengan jaminan oleh

Gubernur Jenderal tidak akan dijatuhi hukuman. Hasilnya, tidak mungkin menyerah.

Hidup mulia atau mati syahid itulah semboyan gerilyawan muslimin Tiro.

Pada bulan Desember 1911, perwira Marsose dengan pasukannya bernama Nussy

menyerang tempat persembunyian gerilyawan muslimin Tiro yang terakhir, yang

tinggal tiga orang saja lagi. Dalam serangan ini, dua orang dari tiga gerilyawan

muslimin Tiro ini tewas menjadi syuhada, dan ternyata yang seorang itu bernama Cit

Ma’az (Ma’at), adalah keturunan terakhir dari Syeikh Saman, tokoh utama perang Aceh.

Dengan wafatnya Cit Ma’az, yang baru berusia lima belas tahun, maka berarti tiga

generasi Teuku di Tiro di abadikan di dalam Perang Aceh.

Perang gerilya yang berkepanjangan tidak hanya dilakukan oleh gerilyawan muslimin

Tiro, tetapi juga dilakukan oleh pasukan gerilyawan Teuku di Mata Ie, Teungku di

Barat dan Pang Naggru di daerah-daerah sekitar Lhok Seumawe dan Lhok Sukon.

Daerah medannya yang berubah-ubah dari gunung-gunung sampai ke laut, sangat

memungkinkan pasukan gerilyawan muslimin ini dapat melakukgn gerakan yang sulit

untuk diketahui dan dikejar oleh pasukan Belanda.

Pasukan gerilyawan dibawah pimpinan Pang Nanggru , masih aktif sampai tahun 1910,

pasukan gerilyawan Teungku di Barat aktif sampai tahun 1912. Sedangkan pasukan

gerilyawan Teungku di Mata Ie masih terus aktif sampai tahun 1913, dan wafat pada

tahun 1917 karena luka-luka kena peluru.

[top]

Perang Aceh tidaklah berakhir pada tahun 1913 atau 1914. Dari tahun 1914 terentang

benang merah sampai tahun 1942, alur perlawanan di bawah tanah. Perang gerilya, yang

pada tahun 1925, tahun 1926, sampai tahun 1933 berkembang menjadi perlawanan

terbuka lagi.

Dengan demikian perang Aceh berlangsung mulai sejak tahun 1873, terus sambungmenyambung sampai tahun 1942, dimana Belanda angkat kaki untuk selama-lamanya,

adalah perang terlama di dalam sejarah perang kolonial Belanda di Indonesia. Perang

Aceh yang melanda hampir setiap daerah Aceh, dari mulai pantai sampai ke puncakpuncak gunung, dengan pertempuran tanpa henti dan lelah, adalah bentuk perang yang

spesifik bagi Aceh.

Keberanian, pengorbanan dan daya tahan yang mengagumkan bagi setiap orang yang

mempelajari sejarah Perang Aceh, adalah berkat keyakinan yang kokoh terhadap ajaran

Islam, yang telah dimiliki sejak kelahiran Kesultanan Aceh pada tahun 1507.

———————————————————————————————————-

PENUTUP

Demikianlah data dan fakta sejarah tentang Perang Sabil yang dilakukan oleh umat

Islam penuh heroisme yang tak mengenal takut, bahkan ingin mati syahid di medan

pertempuran. Dengan semboyan hidup mulia atau mati syahid, umat Islam berperang

tak mengenal lelah dan menyerah. Selama 300 tahun lamanya, dari generasike generasi,

dari ujung paling timur sampai ujung paling barat, dari Ternate sampai Aceh, darah

syuhada membasahi persada Indonesia.

Sebaliknya, Perang Salib yang dilakukan oleh penjajah Portugis dan Belanda-Kristen,

licik-tengik, kejam-sadis bagaikan iblis yang buas, menyebabkan bangsa Indonesia 350

tahun hidup melarat-sengsara, bodoh terhina.

Apakah Perang Sabil dan Perang Salib akan berulang kembali di Indonesia? Gejalanya

telah ada! Peristiwa Ketapang-Jakarta, Banyuwangi-Jawa Timur, Kupang, PosoSulawesi Tengah, Ambon-Maluku, Sambas, Aceh. Kemungkinan sejarah berulang lagi,

dan umat Islam diminta darah syahidmu demi Islam!

———————————————————————————————————-

DAFTAR KEPUSTAKAAN

AG. Pringgodigdo: Ensiklopedi Umum; Kanisius, Jakarta, 1973.

Hamid Algadri: C. Snouck Hugronye, Potitik Belanda Terhadap Islam dan Arab; Sinar

Harapan, Jakarta, 1984.

HAMKA: Ayahku, Uminda, Jakarta., 1982.

HAMKA: Sejarah Umat Islam IV, Bulan Bintang, Jakarta, 1976.

Helius Sjamsuddin: Antasari, Balai Pustaka, Jakarta, 1982.

Mardjani Martamin: Tuanku Imam Bonjol, P dan K, Jakarta, 1985.

Muhammad Radjab: Perang Paderi; Badai Pustaka; Jakarta, 1964.

Mustafa Kamal, Chusnan Yusuf, A. Rosyad Sholeh: Muhammadiyah Sebagai Gerakan

Islam;. Persatuan Yogya, 1976.

Nugroho Notosusanto: Sejarah Nasional Indonesia II, Baiai Pustaka, Jakarta, 1997.

Paul Van’ T Veer: Perang Aceh (terjemahan); Grafitipers, Jakarta, 1985.

Peter Carey: Changing Javanese Perceptian of the Chinese Communities in Central

Java, 1755-1825; Cornell, 1984.

R. Soesilo: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; Politea, Bogor 1964.

R. Tresna: Asas-Asas Hukum Pidana; Tiara, Jakarta, 1959.

Sagimun M.D.: Pahlawan Diponegoro; Gunung Agung, Jakarta, 1986.

Saifuddin Zuhri: Sejarah Kebangkitan Islam di Indonesia; Al-Ma’arif, Bandung, 1981.

Th. Lebdoto dan Soendhoro: Sejarah, Bahagia; Jakarta, 1976.

Th. Muller Kruger: Sejarah Gereja di Indonesia; BPK, Jakarta, 1959.

TK Ismail Yakub: Cut Meutia; Faizan, Semarang, 1979.

Y. Wiramiharja dan Djuhaeni: Sejarah I-B; Binacipta, Bandung, 1977.

TENTANG PENULIS

Abdul Qadir Djaelani dilahirkan di Jakarta (putera Betawi) pada tanggal 20 Oktober

1938, dari kalangan keluarga sederhana yang taat beragama. Pendidikan tingkat dasar

diperolehnya melalui Sekolah Rakyat 6 tahun dan Madrasah Diniyah 6 tahun (1947 –

1953). Pendidikan tingkat lanjutan pertama ditempuh di Pendidikan Guru Agama

Pertama Negeri 4 tahun (1953-1957), kemudian dilanjutkan ke Pendidikan Guru Agama

Atas Negeri selama dua tahun yang berhasil diselesaikannya pada tahun 1959.

Setelah menamatkan pendidikan tingkat lanjutan ini, Fakultas Hukum dan Pengetahuan

Masyarakat ditekuninya sampai tingkat Doktoral II akhir, yaitu pada tahun 1959 hingga

1963. Namun cita-citanya untuk menyelesaikan Sarjana Hukumnya terpaksa terhenti,

karena dirinya ditahan oleh Pemerintah Orde Lama selama lebih dua setengah tahun.

Aktivitasnya dalam organisasi, selain pernah menjadi Ketua Umum Pelajar Islam

Indonesia (PII) Jakarta tahun 1960-1961, Sekretaris Jenderal Pengurus Syarikat Tani

Islam Indonesia (STII) pada tahun 1967-1972, Ketua I Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda

Islam (GPI) antara 1972-1975, Ketua Umum PP GPI tahun 1976 hingga 1996, Ketua

Umum Komite Kewaspadaan Nasional Muslimin Indonesia (KOWASNAMI), Ketua

Yayasan Pengkajian Islam Madinah Al-Munawwarah Jakarta, juga Ketua Parta Bulan

Bintang (PBB).

Aqbdul Qadir Djaelani beberapa kali keluar masuk penjara. Pada tahun 1960-1961,

karena menyebarkan pamflet tuntutan pembubaran PKI di seluruh Indonesia, mengikuti

jejak pembekuan PKI di selatan (Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi

Selatan), menyebabkan ia harus mendekam di tahanan militer Jakarta Raya.

Pada tahun 1963-1965, karena anti komunis dan dituduh menggagalkan pesta olehraga

Ganefo di Jakarta, kembali kehidupan tahanan dilaluinya di tahanan Badan Pusat

Intelijen (BPI) selama lebih dari dua setengah tahun.

Peranannya sebagai pemimpin demonstrasi meentang masuknya Aliran Kepercayaan,

Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4) dan Komite Nasional Pemuda

Indonesia (KNPI) ke dalam GBHN pada Sidang Umum MPR tahun 1978, menyebabkan

ia kembali menghirup udara tahanan selama dua setengah tahun, antara 1978-1981.

Terakhir, karena memelopori menentang Asas Tunggal Pancasila dan Rancangan

Undang-undang Keormasan dalam Siang MPR RI tahun 1983, ia masuk penjara dalam

waktu yang relatif lama, yaitu sembilan tahun, antara 1984-1993.

Dalam bidang profesi, dunia pendidikan rupanya menjadi pilihannya. Terbukti sejak

1959 ia telah mengajar di SD, SLTP dan SLTA, kemudian pada tahun 1969-1970 ia

aktif mengajar di Pondok Pesantren.

Pengalaman sebagai dosen luar biasa pada bidang studi agama Islam di Institut

Pertanian Bogor (IPB), antara tahun 1970-1978 dilanjutkan sebagai dosen pada

Perguruan Tinggi Da’wah Islamiyah (PTDI) Jakarta dan Perguruan Tinggi Islam

Assalafiyah (PTIA) Jakarta pada tahun 1981-1984, Rektor PTDII Jakarta merupakan

bukti besarnya minat di dunia pendidikan, disamping aktivitasnya sebagai mubaligh

sejak tahun 1959.

Dalam ikut mengisi khasanah perpustakaan Islam di negeri ini, tak kurang delapan judul

buku telah ditulis dan diterbitkan, antara lain:

— Pemuda Islam Menggugat

— Studi Islamica (karya bersama dengan dosen-dosen IPB)

— Strategi Perjuangan Umat Islam Indonesia Menjelang Tahun 2000

— Cendekiawan Muslim dan Perjuangan Kebenaran

— Analisa Politik Dekade Delapan Puluhan

— Peran pelajar Islam Indonesia dalam Kebangkitan Orde Baru

— Sistem Pendidikan Pondok Pesantren

— Musuh-musuh Islam Melakukan Ofensif Terhadap Umat Islam Indonesia

^ Kembali ke atas ^

Leave a comment