ANUGERAH DIPERTEMUKAN LELAKI MISTERIUS DARI KETURUNAN UTSMAN BIN AFFAN


ANUGERAH DIPERTEMUKAN LELAKI MISTERIUS DARI KETURUNAN UTSMAN BIN AFFAN

Oleh : Gr. DR. H. Miftah el-Banjary, Lc, MA

“Adapun atas nikmat Rabb-mu, maka ceritakanlah..”

Sekedar “Tahadduts binni’mah… Kejadian ini pernah saya alami sekitar 22 tahun yang silam. Ketika itu, usia saya masih kisaran 18 tahun.

Dengan izin Allah, pada usia itulah awal kali saya diberangkatkan oleh orang tua saya menunaikan ibadah haji bersama saudara saya.

Pada usia itulah, untuk pertama kalinya, saya menerima sanad dan ijazah Dalail Khairat dari seorang pengamal Dalail Khairat dan mengkhatamkan Dalail Khairat sekaligus pertama kalinya ketika wukuf di Padang Arafah.

Berawal dari perjumpaan dengan seorang kakek misterius yang berwajah cahaya dan mengenali nama saya, sebelum saya memperkenalkan nama yang ternyata masih keturunan dari sahabat Nabi Ustman bin Affan, hingga selanjutnya dipertemukan dengan para pengamal thariqah dari keturunan kerabat Nabi; Ibnu Abbas radhiyallah ‘anhum.

Tidak sampai di sana, sampai akhirnya saya dipertemukan dengan orang-orang Maroko yang merupakan keluarga dari kalangan Alawiyyin; cucu baginda Rasulullah Saw dari jalur Sayyidina Hussien yang kemudian berlanjut kisahnya sampai ke Tanah Air. Nanti insya Allah, saya akan ceritakan satu persatu secara bersambung.

Baik, saya akan memulai kisah ini sebagaimana kisah ini juga pernah saya terbitkan pada salah satu judul buku saya, “Cinta Seribu Dirham.” Begini kisahnya..

Masjid Nabawi, Madinah, 2001.

Setelah usai melaksanakan wukuf di Padang Arafah, singkat cerita kami menuju Madinah untuk melaksanakan shalat Arba’ien.

Pada awal pada malam Jum’at perdana di Madinah itu, saya ingin menghabiskan membaca shalawat di Masjid Nabawi.

Namun berbeda dengan kondisi di Masjid Haram ketika itu, masjid Nabawi pada malam hari dikunci semua pagarnya pun di kunci, sehingga tidak memungkinkan untuk tetap tinggal di pelataran masjid.

Kerinduan saya belum lagi terpuaskan. Saya tak ingin jauh dari makam Rasulullah. Usai melakukan shalat sunat saya berjalan menuju pintu keluar melewati makam kekasih yang mulia.

Saya melambaikan tangan penghormatan sebagai bukti kecintaan dan kerinduan yang mendalam. Saya ucapkan shalawat dan salam. Berharap beliau juga membalas dengan senyuman.

Di hadapan Kubbatul Khadra itu, saya tertunduk terpesona, maka saya susun bait-bait puisi kerinduan kepada al-Habib al-Musthafa.

“Duhai Nabi akhir zaman pembawa kemuliaan.
Kelahiranmu membawa rahmat bagi sekalian alam.

Kelembutan dan ketinggian akhlakmu menjadi panutan.

Untaian kata-katamu menjadi obat dan nasehat nan menyejukkan.

Duhai Nabi yang kami rindukan…
Adakah engkau tahu ..

Betapa hati ini menyimpan cinta mendalam.
Mengharap perjumpaan.

dan menatap wajah tampan seindah rembulan.
Adakah bagiku secercah senyuman pengobat kerinduan?”

Usai mengucapkan salam, saya berlalu menjauh makam dan keluar melewati pintu “Babu Jibril”.

Di dalam masjid juga tidak bisa berlama-lama, karena para ‘askary penjaga kubah itu terus menerus mendesak para penziarah agar segera meninggalkan dan mengosongkan masjid. Mereka masih memberikan sedikit kesempatan bagi jama’ah wanita untuk berziarah ke makam Nabi Saw.

Para petugas masjid sibuk memasang batas pembatas di tiang-tiang masjid. Para penziarah wanita juga hanya boleh dan dibatasi melewati batas yang sudah ditentukan.

Di luar masjid sudah agak lengang. Meskipun masih banyak terlihat ada sebagian kecil orang yang masih melakukan shalat di beranda. Saya memutuskan untuk tidak segera meninggalkan masjid.

Akhirnya, saya berjalan berkeliling di sekitar beranda masjid saja. Kemudian saya melangkah berjalan menuju ke arah makam Baqi’e membelakangi Qubbatul Khadra (Kubah Hijau Nabi).

Saya berjalan melewati orang-orang yang sedang beribadah. Sejurus pandangan saya tertuju ke salah seorang lelaki tua bersurban yang sedang duduk bersimpuh di salah satu pojok dinding di beranda masjid Nabawi itu.

Dari wajah dan penampilan orang itu jelas beliau orang Arab. Namun, ada sesuatu yang menurut saya berbeda lain dari yang lain.

Saya bisa memperkirakan wajah orang itu sekitar 60 tahunan. Namun, saya melihat ada pancaran aura yang bersinar menyejukkan di wajahnya. Boleh dikatakan, wajah beliau tampak lebih muda dari tubuhnya. Tubuh ringkihnya terlihat saat beliau berdiri melakukan shalat. Badannya sudah membungkuk ke depan.

Lelaki tua berparas muda itu tampak sedang khusuk berdo’a. Saya berkeyakinan beliau adalah seorang lelaki yang tampak dari aura wajahnya. Terbesit keinginan untuk mengetahui lebih jauh siapakah sesungguhnya syekh berwajah cahaya tersebut?

Akhirnya, saya pun mengambil jarak sekitar lima meter dari lelaki tua itu. Saya tertarik mengamati keasyikan beliau beribadah. Cukup lama juga lelaki shaleh itu bermunajat. Sangat khusuk sekali.

Selang beberapa menit kemudian, syekh itu beranjak dari sajadahnya. Bukan untuk pergi meninggalkan tempat itu, melainkan beliau kembali larut dalam gerakan-gerakan shalatnya. Tampaknya begitu terasa nikmat dan saya pun serasa menikmatinya pula.

Ada keanehan lainnya yang saya rasakan, syekh itu tampaknya tidak sedikit pun merasa terusik oleh ‘askary; polisi penjaga masjid Nabawi yang memburu keluar orang yang masih tersisa di beranda Masjid Nabawi.

Dan lebih anehnya lagi, keberadaan beliau juga sama sekali menjadi perhatian para ‘askary itu, sehingga saya pun merasa aman duduk berdampingan dengan lelaki misterius itu.

Walhasil, semakin kuatlah rasa keinginan untuk menyingkap siapakah sesungguhnya lelaki shaleh misterius itu?


Beranda Masjid Nabawi lengang. Hampir-hampir tak ada seorang pun yang tampak, kecuali hanya saya dan lelaki misterius yang sedang khusuk bermunajat itu. Jam sudah menunjukkan pukul 08.30 malam. Saya masih memusatkan perhatian kepada lelaki shaleh itu.

Nun tampak dari kejauhan di sekeliling qubbatul khadra; di depan makam Nabi yang mulia itu beberapa orang ‘askary sedang berjaga dan menyisir pekarangan Masjid Nabawi. Mereka berjalan mondar-mandir untuk memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang masih tersisa di sekitar masjid. Beruntung, mereka tidak mendekati kami.

Pintu-pintu pagar masjid pun dikunci, kecuali beberapa gate utama. Hampir 45 menit, lelaki shaleh itu shalat dan berdo’a, hingga akhirnya beliau pun beranjak dari tempat duduknya.

Saya agak sedikit lega. Sedari tadi, saya was-was sekiranya saya diusir oleh para ‘askary sebelum sempat saya berkenalan dengan lelaki shaleh itu.

Seakan tak menyadari keberadaan saya yang terus menerus mengawasinya, syekh itu berjalan perlahan menuju kubbatul khadra, makam Rasulullah Saw. Saya pun beranjak mengikuti dari belakang, sembari tetap mengambil jarak agar tidak kentara.

Tak jauh dari Al-Baqie Gate atau Babul Baqie No. 41 yang berdampingan dengan kubah Nabi Saw, syekh itu berhenti dan berdiri memberi salam.

Tampak dari jauh saya memperhatikan gerak-gerik tangan beliau seperti orang yang tengah berbincang-bincang dengan seseorang.

Entahlah, apakah itu memang gaya beliau memberi salam atau memang ada orang tak tampak dalam pandangan kita sebagai orang awam. Wallahu ‘alam.

Bukanlah sebuah kebetulan kalau saya katakan bahwa para ‘askary memang tidak berminat sama sekali untuk mengusik atau mengusir syekh bersurban itu.

Terbukti hampir setiap orang yang masih berada di Masjid Nabawi di atas pukul sebelas malam seperti ini akan diusir dan tidak diperkenankan berlama-lama berada di sekitar beranda masjid. Namun berbeda perlakuan dengan lelaki misterius itu. Tak seorang ‘askary pun memperdulikannya.

Terbesit di hati saya bahwa lelaki pemilik wajah bercahaya itu bukanlah orang sembarangan. Saya tidak mau melewatkan kesempatan berkenalan dengan beliau. Saya bergegas berjalan menyusul.

Meskipun ada sedikit keraguan dan rasa kurang percaya diri untuk menyapanya. Lantaran keinginan kuat menyingkap rasa penasaran saya berusaha menepisnya.

Saya mempercepat langkah mengejar syekh itu. Orang yang saya kejar sudah beranjak dan mulai berjalan pulang. Hanya dalam hitungan jarak beberapa langkah lagi saya pun berhasil menyusul. Saya keraskan ucapan salam,

“Assalamu’alaikum, ya Syekh!”

Ucapan salam saya menghentikan langkah syekh itu. Beliau pun menoleh dan membalikkan badannya seraya membalas salam.

“Walaikum salam warahmatullahi wabarakatuh wa rahmatuh! Ahlaan!

Layaknya dua orang sahabat yang lama tak berjumpa, syekh itu mendekap saya dengan penuh kehangatan dan keramahan.

Senyuman memancar dari wajah beliau yang bersih dan bercahaya. Padahal ini adalah pertemuan dan perkenalan pertama kali.

Hal yang membuat saya terkejut sekaligus takjub, tanpa tendeng aling dan tanpa berbasa basi beliau langsung membalikkan badannya, seperti telah mengetahui bahwa memang dari sedari saya menguntiti dari belakang.

Lelaki shaleh itu mendekap kuat seraya memuji.

“Anta habibullah! Anta habibullah! Anta habibullah! Kamu kekasih Allah! Kamu kekasih Allah!” Ucap beliau berulang-ulang kali. Saya dibuat terheran-heran.

Saya berharap semoga ucapan itu tidak sekedar pujian saja, namun bentuk do’a yang benar-benar diijabah dari keberkahan doa orang yang shaleh. Amin. Saya pun segera menyalami dan mendekap beliau.

Hal ini membuat saya benar-benar takjub dan terkesima.

Usai berpelukan dengan syekh itu saya ingin mencium tangan beliau, namun cepat-cepat beliau menarik tangan beliau. Saya paham hal itu menunjukkan sikap ketawadhuan beliau.

Nah, manakala saya ingin memperkenalkan nama saya, belum sempat saya menyebutkan dengan sempurna, syekh itu sudah mendahuluinya “Ya Miftaaah..! ”

Saya terkesiap.

Aneh! Sungguh aneh! Darimana syekh ini mengetahui nama saya? Seakan beliau telah mengenali nama saya sebelumnya. Padahal saya juga belum mengenalkan nama saya sebelumnya. Masya Allah..

Saya semakin yakin bahwa orang itu bukanlah orang sembarangan. Saya merangkul syekh itu dengan hormat dan takzim.

“Ya ya.. Syekh Ismi Miftah..!!” Jawab saya gagu.

Beliau tersenyum.

“Na’am ya Miftahur Rahman!!”

Kali ini beliau benar-benar fasih dan jelas menyebutkan nama lengkap saya.

“Tidak salah lagi, beliau bukan orang sembarangan,” bathin saya.

Sembari berjalan menggandeng syekh itu, tepat di hadapan Qubbatul Khadra, makam Nabi Saw saya pun menanyakan nama beliau. “Masmukal karim, ya Syekh?”

“Ismi Syaifullah,” beliau menyahut lembut.

“Anta min Indonesia? ” tanya Syekh Syaifullah itu kembali.

“Na’am, ya Syekh! ” sahutku takzim.
“Antum min ayyi bilad, ya Syekh? ” saya kembali mengajukan pertanyaan.

“Ana min Syam! ”
Ya, ternyata Syekh Syaifullah itu berasal dari Syam. Saya tidak tahu di mana tepatnya Syam itu sekarang.

Barangkali yang beliau maksudkan adalah negara Suriah. Karena pada zaman dahulu sebutan Syam tersebut sebenarnya meliputi negara-negara di Jazirah Arab hingga ke Palestina.

Namun, setelah dipecah-pecah oleh para kolonial pada masa perang dunia kedua jadilah nama Syam hanya tinggal nama saja lagi.

Dulunya Syam juga menempati posisi penting dalam sejarah Islam. Karena sebelumnya diangkat menjadi Rasul, Rasulullah Saw pernah berdagang ke Syam bersama pamannya serta membawakan dagangan Khadijah untuk pertama kalinya.

“Enta ziarah walla dirasah hina? ” tanya Syekh Syaifullah lagi kepada saya. Barangkali itu hanya pertanyaan basa-basi saja.

“Bas ana ziarah, ya Syekh! ” sahutku takzim. Syekh Syaifullah menyunggingkan senyum.
Kami terus berjalan menuju pintu pagar utama.

Rasa penasaran siapakah sosok beliau sebenarnya kian meluap-meluap. Ditambah beberapa kejadian-kejadian aneh yang saya saksikan dengan mata kepala sendiri.

Pancaran wajahnya yang putih bersih bercahaya menandakan beliau bukanlah orang biasa. Akhirnya, saya mengajukan sebuah pertanyaan yang paling menentukan dan mendebarkan.

“Afwan, ya Syekh! Hal antum min zuriat Rasulillah? “

Syekh Syaifullah menghentikan langkahnya sembari tersenyum. Barangkali apa yang semenjak tadi beliau sudah mengetahui bahwa pertanyaan itu menjadi teka-tekiku selama ini. Tampaknya beliau sudah menanti-nanti jawaban itu.

Memang semenjak di Makkah, bahkan semenjak di Tanah air saya selalu berdo’a dan berharap dipertemukan orang yang luar biasa dari zuriat Nabi Saw. Bukan apa-apa!

Karena salah satu bukti kecintaan kepada Sang Nabi juga harus diwujudkan dengan kecintaan kepada ahli bait dan keluarganya.

Saya benar-benar menunggu jawaban itu dengan perasaan yang sangat mendebarkan. Bagaimana tidak! Jawaban Syekh Syaifullah akan menyingkap semua misteri tentang sosok beliau sendiri.

Pertemuan singkat yang menakjubkan, sekaligus mendebarkan. Keringat dingin mengucur membasahi dahi dan keningku. Saya menanti jawaban itu.

“Hal antum min zuriat Rasul, ya Syekh?” Saya kembali mengajukan pertanyaan yang sama.

Dengan tenang Syekh Syaifullah menatapku, “Ana min zuriat Utsman Ibnu Affan. ”

Demi mendengar pengakuan mengejutkan itu, serta merta saya pun mendekap Syekh Syaifullah dengan eratnya seraya membaca shalawat nabi penuh kesyukuran tiada tara.

Tak terlukiskan kebahagian pada malam itu. Saya merasakan roh Nabi dan para sahabatnya pun ikut menyaksikannya.

Bukankah Utsman bin Affan merupakan sahabat sekaligus khalifah ketiga Khulafaur Rasyidin?

Beliau adalah menantu Rasulullah Saw yang mendapatkan gelar Dzu An-Nurain (pemilik dua cahaya), karena beliau menikahi dua putri Rasulullah Saw, Ruqayyah dan Ummu Kultsum.

Dan dengan izin Allah, kini saya dipertemukan dengan salah seorang keturunan beliau yang shaleh. Alhamdulillah, doa saya selama ini diijabah oleh Allah.

Walhasil, malam Jum’at itu adalah malam yang paling berkesan, malam sejuta kisah di kota Madinah itu terjdi bertepatan di depan Qubbatul Khadra, makam Sayyidil Musthafa pada bulan Maret 2001 yang lalu.

Sampai saat ini kisah itu tetap menjadi kenangan indah yang tak terlupakan.

Leave a comment