Argumen Sang Bintang


”Kalau aku adalah mataharimu, maka kamu adalah bintangku. Bukankah engkau berada di luar rumah kala malam tiba”

Laki-laki adalah para bintang, karena laki-laki berada jauh (di atas sana). Laki-laki relatif jauh dengan anak-anak. Laki-laki relatif jauh dengan tetangga. Laki-laki kuasai pendidikan anak tapi laki-laki ada nun jauh di sana. Laki-laki hafal pedoman menata rumah islami, namun laki-laki ada nun jauh di sana.

Laki-lakilah para bintang, karena laki-laki sering berada di luar rumah di malam hari. Baik untuk halaqoh, lembur atau tidak untuk alasan apapun. Laki-lakilah para bintang, karena laki-laki sering merasa tidak cukup dikelilingi oleh satu ‘planet’. Bahkan laki-laki bercita-cita menambah planet yang harus mereka sinari. Laki-lakilah para bintang, karena mereka menunjuki dan membimbing. Di pundak laki-lakilah kewajiban untuk memberikan pengajaran kepada istri dan anak mereka. Laki-lakilah para bintang, karena laki-laki kerap tampak tak mau kalah tinggi dengan lainnya. Juga karena laki-laki kerap malu jika tidak cukup berkilau. Meski sebenarnya kilau mereka memang cuma sebegitu saja, karena jarang mereka menggosoknya. Laki-lakilah para bintang, karena mereka gampang tertutup mendung. Berupa mendung kesedihan, mendung ketidakberdayaan, mendung kemarahan dan mendung egois. Laki-lakilah para bintang, karena laki-laki tak selalu bersinar setiap hari. Laki-laki bukan guru yang baik untuk makna konsistensi. Laki-lakilah para bintang, karena sinar mereka relatif sedikit dibandingkan kebutuhan. Hal ini membuat istri mereka harus pandai berhemat terutama di tanggal-tanggal tua. Laki-lakilah para bintang, karena mereka terbit di malam hari dan terbenam menjelang fajar. Oleh sebab itu perlu dibangunkan istri untuk qiyamul lail. Laki-lakilah para bintang, karena mereka suka ketinggian dan meremehkan hal-hal sepele. Suka hal-hal bersifat konseptual dan meremehkan aplikasi. Suka hal-hal global tapi kurang detil. Merasa hebat dengan hal-hal umum dan tak merasa bersalah jika tidak operasional.

Maaf para sahabatku dari kalangan ummahat, semoga anda tidak memandang ini sebagai peluang upaya ’kudeta tak berdarah’. Ada kerelaan dalam diri ini, jika argument ini digunakan untuk keadilan kepada suami-suami anda. Tapi tidak untuk alasan lainnya. Tidak untuk merendahkan mereka. Laki-laki memang beda. Mungkin tidak sehebat anda di beberapa sisi kehidupan. Sebagaimana anda tidak sehebat mereka di bagian lain dari kehidupan ini.

Kadang di kekuatan kita itulah kelemahan kita yang paling mendasar. Di tarbiyah ini, kekuatan utama kita adalah proteksi. Kita dilindungi, diasuh dan diproteksi oleh tarbiyah. Imunitas tarbiyah juga membuat kita tenang terhadap kehidupan istri. Ada murabbiyah untuk setiap istri kita dan ada murabbi di setiap laki-laki yang menjadi suami anda. Ada sekolah islam di kehidupan anak anak. Ada guru dengan akhlaq yang baik untuk mereka.

Di kekuatan itulah kita kerap terlena. Kemudian kita terkaget kaget ketika mendengar kenakalan anak anak kita. Seperti tidak percaya. Seperti tak mau percaya. Kita kaget dengan sms mesra anak anak dengan kawan sekolahnya. Kita jadi kaget dengan email email mesra yang disaput dengan bahasa dakwah itu. Kita kemudian mempertanyakan imunitas yang ada. Kita menggugat sekolah, guru, kepala sekolah dan menggugat tarbiyah ini. Kita terkaget kaget.

Lalu bagaimana jika kita terkaget dengan kenakalan suami kita? Atau para suami kaget dengan kenakalan istri kita, apa yang akan terjadi? Kurang lebih akan sama. Kita akan menggugat pihak pihak eksternal yang kita andalkan untuk menjaga pasangan kita.

Tentu yang harus dikedepankan dalam topik ini adalah mohon perlindungan dariNya. Jauhkan semua masalah itu dan mudahkan urusan kita. Itu sangat cukup untuk menghadapi ujian hidup ini.

Tapi, apa langkah yang lebih dekat? Apa langkah yang lebih preventif?
Saya hanya bisa menganjurkan untuk mempelajari lagi tanggung jawab kita sebagai suami, tanggung jawab anda sebagai ibu, dan tanggung jawab kita sebagai orang tua. Kita punya peran penting yang tidak bisa tergantikan.

Semoga dengannya kita tidak kerdil ketika Allah uji kita dengan anak anak kita, dengan istri istri kita dan dengan suami suami kita.
Semoga Allahu mudahkan urusan ini. Amin.
================)I(=======================
Taujih Ustadz Eko Novianto dengan sedikit editan…

Leave a comment