[ Memahami Pendapat Jumhur Soal Biaya Pengobatan Istri ]


[ Memahami Pendapat Jumhur Soal Biaya Pengobatan Istri ]

Artikel Fiqih menarik menurut saya adalah yang menguak latar belakang ‘fatwa klasik’ dan mengaitkanya dengan perkembangan zaman. Salah satunya artikel yang dimuat di “www.dar-alifta.org” tentang masalah biaya pengobatan istri. Apakah termasuk nafkah yang wajib atau tidak?

Disebutkan bahwa jumhur (mayoritas ulama terdahulu) tidak memasukkannya ke dalam nafkah yang wajib. Tidak sebagaimana ‘sandang’, ‘pangan’ dan ‘papan’.

Sebenarnya dengan mengembalikan hal ini kepada ‘urf di zaman sekarang sudah jelas hukumnya.

Yang menjadi fokus pembahasan adalah apa latar belakang mayoritas ulama berpendapat demikian?

Pendapat mayoritas ulama tersebut dilatarbelakangi beberapa hal :

  1. Persebaran penyakit di zaman dahulu tidak seperti sekarang.
  2. Biaya pengobatan di zaman dahulu tidak seperti sekarang.
  3. Kebanyakan penyakit kala itu bukan penyakit yang menahun, akan tetapi penyakit yang sifatnya sementara.
  4. Solusi pengobatan di zaman dahulu mudah didapatkan dari lingkungan sekitar ; makanan-makanan dan tanaman-tanaman obat.
  5. Kebanyakan wanita di zaman dahulu memiliki keterampilan dan keahlian dalam pengobatan.

Atas dasar ini dapat disimpulkan pendapat mayoritas ulama tersebut di atas menyesuaikan kondisi yang ada kala itu. Jika demikian maka untuk zaman sekarang biaya pengobatan istri termasuk kewajiban yang harus ditunaikan suami.

Demikian rangkuman penjelasan dari lembaga fatwa resmi Mesir. Menarik dan sesuai kaidah-kaidah Ushul Fiqih.

Syaikh Ibnu Utsaimin termasuk yang berpendapat seperti ini, yaitu mengembalikan kepada ‘urf (tradisi yang berlaku). Bukan mengembalikan kepada hukum berobat itu sendiri.

Barangkali yang lebih penting lagi dibahas adalah “Bagaimana kita mengetahui jika tradisi sekarang “mewajibkannya” atau tidak?”

Jawabannya :

Ini bisa dilihat dari ‘reaksi’ masyarakat sekitar. Jika mereka menganggap suami yang tidak mau membiayai pengobatan istri adalah suami zhalim, maka itu salah satu bukti bahwa menurut tradisi kita hal itu adalah wajib.

Apalagi jika kita masukkan “dalil-dalil umum” yang melarang kezhaliman, atau melarang membahayakan orang lain, maka hukum yang didasari ‘urf tersebut semakin kuat.

Terakhir, ada yang menarik dari buku “Al-Madkhal Ila As-Siyasah Asy-Syar’iyyah” yang ditulis Abdul ‘Aal Ahmad ‘Athwah ; dikatakan bahwa ‘urf (tradisi) merupakan salah satu sebab ulama belakangan berfatwa dengan fatwa yang berbeda dengan ulama terdahulu.

Dicontohkan para ahli Fiqih mazhab Hanafi yang datang belakangan berfatwa bolehnya menerima bayaran dari mengajar Al-Qur’an, padahal ulama mazhab Hanafi terdahulu berfatwa sebaliknya.

Kenapa demikian?

Jawabannya karena kondisi dahulu dan sekarang jauh berbeda. Salah satunya terkait adanya alokasi dana dari ‘baitul mal’ untuk para pengajar Al-Qur’an di zaman dahulu. Dan kondisi-kondisi lainnya.

Wallahu a’lam

| Fajri Nur Setyawan |

Leave a comment