KEHADIRAN EMPAT MADZHAB MENURUT IBNU RAJ


Muhammad Fajri

KEHADIRAN EMPAT MADZHAB MENURUT IBNU RAJAB AL HAMBALI

Ketika membaca karya Ibnu Rajab Al Hambali yang berjudul :

الرد على من اتبع غير المذاهب الأربعة

(Bantahan bagi siapa saja yang mengikuti selain empat madzhab)

Ada tiga point besar yang menjadi sorotan Ibnu Rajab al Hambali rahimahullaah

Point Pertama : Al Kitab (Al Qur’an)

Di zaman nubuwah Al Qur’an terjaga melalui hafalan di dada-dada para sahabat radhiyallaahu ‘anhum

Ada yang menghafalnya dengan sempurna, ada yang sebagian dan ada yang lebih dikit dari itu

Sebagian sahabat berusaha menuliskan Al Qur’an namun hanya di lembaran-lembaran terpisah hingga tiba di masa kepemimpinan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu Al Qur’an dihimpun menjadi satu mushaf

Mushaf tersebut bertahan hingga beberapa tahun kedepan. Puncaknya pada masa kepemimpinan Utsman radhiyallaahu ‘anhu adanya informasi terkait bacaan Al Qur’an sebagian sahabat yang berbeda-beda yang dapat menimbulkan perselisihan dan perpecahan kaum muslimin sehingga Utsman radhiyallahu ‘anhu mengumpulkan para huffadz untuk menyatukan kembali Al Qur’an dalam satu rasm serta meninggalkan berbagai qiroat yang tidak masyhur periwayatannya. Mushaf ini yang kemudian kita kenal dengan mushaf utsmani

Point Kedua : As Sunnah (Al Hadits)

Pada awal-awal generasi sahabat setelah wafatnya Nabi shallaahu ‘alaihi wasallam perhatian para sahabat terhadap hadits tidak sebagaimana pada Al Qur’an baik dalam penulisannya serta periwayatannya. Bahkan beberapa riwayat menjelaskan adanya larangan dari sahabat-sahabat senior seperti Abu Bakar dan lainnya akan periwayatan hadits yang dikhawatirkan terjadinya perselisihan

روى الحافظ الذهبي في تذكرة الحفاظ : أن الصديق جمع الناس بعد وفاة نبيهم فقال إنكم تحدثون عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أحاديث تختلفون فيها والناس بعدكم أشد اختلافا فلا تحدثوا عن رسول الله شيئا فمن سألكم فقولوا بيننا وبينكم كتاب الله فاستحلوا حلاله وحرموا حرامه

“Al Hafidz adz Dzahabi meriwayatkan dalam Tadzkiratul Huffadz : Bahwasannya Abu Bakar as Shiddiq pernah mengumpulkan manusia sesudah wafanya Nabi dan berkata : Sesungguhnya kalian meriwayatkan hadits-hadits rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wasallam yang mana kalian sendiri berbeda-beda di dalamnya sedang generasi sesudah kalian akan lebih berbeda-beda lagi. Maka janganlah kalian meriwayatkan sedikitpun dari rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Jika ada yang bertanya kepada kalian akan suatu hukum maka katakan : Antara kami dan kalian ada kitabullah, maka halalkan apa yang ia (Al Qur’an) halalkan dan haramkan apa yang ia (Al Qur’an) haramkan.

Setelah generasi sahabat, bertebaran sdkelompok ahli bid’ah yang berbicara agama berdusta atas nama Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam

Menyikapi kondisi tersebut tidak sedikit ulama yang memberikan perhatian khusus terhadap sunnah (hadits) Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam.

Mereka kemudian mengembangkan ilmu hadits hingga meletakan ilmu khusus yang baku yang kemudiannya dikenal dengan sebutan ilmu mushtholah al hadits.

Dari madrasah ini lahirlah karya ulama dalam bidang hadits seperti shahih Bukhari dan shahih muslim yang dikemudian hari menjadi sandaran generasi selanjutnya.

Kedua kitab diatas menjadi kitab yang diunggulkan dalam bidang hadits dari pada kitab-kitab hadits yang lain. Hal ini disebabkan syarat periwayatan yang ditetapkan oleh al Bukhari dan Muslim sangat tinggi sampai-sampai para ulama mengatakan bahwa tidak ada kitab yang paling shahih setelah Al Qur’an kecuali Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.

Meskipun demikan ada karya lain yang menghimpun hadits-hadits shahih namun derajatnya masih dibawah shahihain.

Dengan sebab inilah sebagian ulama mengingkari mereka yang mensejajarkan Al-Mustadrak Karya al Hakim dengan shahihain

Setelah kitab-kitab diatas, ada karya lain yang menjadi sandaran kaum muslimin yaitu Sunan Abu Dawud, An-Nasa’i, Ibnu Majah, At Tirmidzi dan lain-lain

Point Ketiga : Ijtihad

Ijtihad sebgaimana pengertiannya adalah :

بذل الجهد في استنباط الحكم الشرعي مما اعتبره الشارع دليلا وهو كتاب الله وسنة نبيه صلى الله عليه وسلم

Mengerahkan seluruh kemampuan dalam menyimpulkan hukum syar’i dara apa yang dianggap oleh Syaari’ sebagai dalil yaitu Al Kitab dan Sunnah NabiNya shallallaahu ‘alaihi wasallam

Namanya mengerahkan kemampuan maka setiap ulama berbeda-beda dalam menetapkan suatu hukum berdasarkan sudut pandang yang ia miliki.

Dalam menetapkan hukum yang berkaitan dengan halal haram maka sudah tidak diragukan lagi bahwasannya para sahabat, tabi’in, dan orang-orang setelah mereka sangat berbeda pendapat dalam banyak masalah. Setiap dari mereka yang dikenal sebagai ahli ilmu akan mengeluarkan fatwa sesuai dengan apa yang tampak di hadapannya.

Pada awal generasi sahabat fatwa-fatwa yang berdasarkan hasil ijtihad sangatlah terbatas. Mereka tidak akan memperluas dalam menetapkan masalah-masalah, bahkan mereka tidak akan berijtihad sebelum terjadinya suatu haditsah (peristiwa).

Generasi selanjutnya sesudah sahabat dan tabi’in memulai proses belajarnya sebagaimana generasi sebelumnya hingga sampai pada puncak tertinggi yakni level ijtihad. Disamping mereka rujuk kepada Al Qur’an dan As Sunnah mereka dihadapkan dengan berbagai macam perbedaan pandangan dikalangan sahabat sehingga merajihkan salah satunya membutuhkan perangkat ijtihad yang mumpuni.

Tidak dapat dipungkiri bahwa ahli ilmu di tiga fase pertama sangatlah banyak, namun berkat rahmat serta izin dari Allah subhanahu wata’ala pintu-pintu kerusakan serta bahaya akan membicarakan agama tanpa ilmu di masa mendatang seakan ditutup dengan hadirnya para imam-imam madzhab yang memiliki kemampuan yang luar biasa sehingga apa yang mereka kaji melalui hasil ijtihadnya menjadi rujukan generasi selanjutnya. Madzhab ini yang dikenal bertahan hingga hari ini dengan kerangka bangunan ushulnya yang serba paten.

Inilah diantara tiga nikmat besar yang Allah karuniakan untuk ummat ini. Mengikuti jalannya para salaf adalah kemuliaan dan selalu berada di jalannya adalah keniscayaan

Melihat sejarah bagaimana hadirnya Mushaf utsmani, Kutub hadist dan empat madzhab merupakan darurat syar’iyyah yang Allah takdirkan untuk menjaga agama ini dari tangan-tangan perusak

Maka sangat tidak layak penuntut ilmu membenturkan-benturkan disiplin ilmu diatas

✍️Barangsiapa yang menulis Al Qur’an dengan tidak mengikuti rasm utsmani maka ia tersesat

✍️Barangsiapa yang mendhoifkan shahihain sedang ilmunya tidak sebanding dengan keduanya maka wajib diingkari

✍️Barangsiapa yang keluar dari empat madzhab lalu merujuk langsung kepada Al Qur’an dan As Sunnah sedang ia bukan ahli Ijtihad maka ia telah keluar dari jalannya para salaf

Olehnya itu ketika penuntut ilmu sekarang menjadikan madzhab sebagai rujukan dalam belajar lalu ada sebagian yang membandingkan “kalau harus madzhab sebagai rujukan maka sahabat lebih layak bahkan sahabat terbaik seperti abu bakar saja tidak membuat madzhab”. Konsep berfikir seperti ini lahir dari mereka yang hakikatnya fanatik dengan pemahamannya sendiri

Kenapa tidak sekalian tinggalkan shahih bukhari, shahih muslim dan lainnya toh sahabat terbaik sekelas Abu Bakar tidak pernah membukukan hadist shahih bahkan ada riwayat Abu Bakar pernah melarang meriwayatkan hadits

Apa mau dibenturkan juga?

Memaksakan manusia dari latar belakang madzhab yang berbeda untuk berada dibawah satu payung pemikirannya yang diklaim sebagai kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah adalah sikap dari fanatisme yang sesungguhnya

Leave a comment