BERSIKAP ADIL DENGAN MENGIKUTI DALIL : Shalat Raghaib


BERSIKAP ADIL DENGAN MENGIKUTI DALIL

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

1. Shalat Raghaib hukumnya bid’ah madzmumah menurut mayoritas ulama madzhab yang empat termasuk dalam pendapat yang mu’tamad dari kalangan Syafi’iyyah.

Para ulama yang membolehkan shalat ini sekalipun, juga menyatakan jika yang mengerjakannya berkeyakinan bahwa shalat tersebut sumbernya dari Nabi shalallahu’alaihi wassalam, maka hukumnya juga haram.

Jadi yang tetap mau keukeuh mengerjakan shalat Raghaib tak perlu bawa-bawa hadits palsu untuk melegalkannya. Ya karena memang tidak ada hadits yang bisa diterima sebagai dalilnya.

Lalu bagaimana ? Mungkin yakini saja “amal shalih” tersebut dengan pembenaran yang lain.

2. Kita memang tidak sependapat dengan kalangan yang mudah membid’ahkan amalan orang lain. Tapi bukan berarti kita mau mengingkari realita adanya bid’ah madzmumah (yang buruk).

Sebagaimana sunnah itu ada, bid’ah dan kesesatan sudah pasti juga ada dan harus senantiasa diluruskan. Itu mengapa Nabi shalallahu’alaihi wassalam mengingatkan agar umatnya menjauhi bid’ah yang tercela dalam agama.

3. Jangan sampai terbangun kesan, bahwa cara beragama kita ini hanya semaunya dan sesuai selera sendiri. Dalil dipakai hanya sebagai pembenaran atas apa yang sudah menjadi kebiasaan.

Kalau ada dalil, ya dipakai dalil. Kalau nggak ada dalilnya, ya diada-adakan meski dengan cara melibatkan perasaan dan sentimen kepada yang mudah membid’ahkan.

4. ~ “Apa salahnya saya shalat ? Shalat koq dilarang.”

~ Saya suka baca surah tertentu, di waktu tertentu. Kemudian saya rutinkan membacanya. Agar dapat pahala, saya ajak yang lain. Lho koq jadi bid’ah ?”

Di atas adalah contoh kalimat yang nampak logis tapi sebenarnya sarat dengan muatan dan luapan perasaan.

Ya sederhana saja kalau begitu. Kira-kira untuk apa ulama membangun kerangka kaidah usul fiqih untuk meramu hukum dengan pijakan dalil naqli dan akli kalau ujung-ujungnya perasaan yang dipakai.

Seseorang pernah mengerjakan shalat yang tidak dituntunkan oleh Nabi shalallahu’alaihi wassalam, lalu ditegur oleh imam Sa’id bin Musayyib. Tapi si orang ini mencoba ngeles dengan mengatakan : “Wahai imam, apakah Allah akan mengadzabku karena aku shalat ?!”

Kalau bahasa jelasnya dia mau membantah sang imam dengan mengungkapkan perasaannya : “Kan shalat ini baik. Toh ini juga tidak ada larangannya, koq shalat dilarang ?”

Maka sang imam menjawab tegas :

لا، ولكن يعذبك على خلاف السّنة

“Tidak, Allah tidak akan mengadzabmu karena shalatmu, tetapi Allah akan menyiksamu dengan sebab engkau menyelisihi sunnah.”

5. Jangan sampai setiap kali menyentuh masalah bid’ah, kesan yang terbangun seakan-akan : Selalu yang membagi bid’ah menjadi sayi’ah dan hasanah berposisi membela Bid’ah.

Sebagaimana membid’ahkan yang tidak bid’ah itu keburukan, tidak membid’ahkan yang Bid’ah itu juga bukan kebaikan.

Terlalu keras lagi sempit dalam masalah bid’ah itu keliru, sebagaimana meremahkannya juga perkara yang tidak bisa dibenarkan.

6. Sudah saatnya kita berlaku adil. Anti kepada yang mudah menuding musyrik, bukan berarti membuat kita mentolelir kesyirikan yang memang masih banyak terjadi di masyarakat.

Benci kepada yang gampang membid’ahkan, jangan sampai menjadikan kita justru unak kepada penyimpangan dan kesesatan yang dilakukan oleh orang banyak.

Kalau kita tidak menyukai pihak yang sempit dan keras cara beragamanya, kita pun seharusnya juga menjauhi cara beragama yang liberal, sekuler dan yang seenaknya sendiri.

Wallahu a’lam.

Leave a comment