membela hadits-hadits tidak jelas dalam kitab semisal kitab “Durratun Nashihin”


Tanpa bermaksud meremehkan atau merasa lebih pengalaman, saya melihat tulisan (artikel) kawan-kawan yang membela hadits-hadits dalam kitab semisal kitab “Durratun Nashihin” secara absolut (tanpa memerinci apakah mampu menilai hadits palsu atau tidak) tidak memiliki bobot argumentasi yang bagus dan ilmiyah dari sisi ilmu hadits atau ilmu kritik hadits. Tampak dari tulisan tersebut sepertinya mereka kurang dalam membaca kitab-kitab kritik hadits atau musthalah hadits dengan baik. Memang mereka memiliki basic debat dan kompetensi dalam bahtsul masail fiqhiyah yang cukup baik, akan tetapi jika tidak dibarengi dengan pengetahuan terhadap literatur ilmu kritik hadits, maka tulisan mereka akan tampak kering dan kurang mengena dalam manhaj ulama muhadditsin. Oleh karena itu, nukilan-nukilan yang mereka bawakan kebanyakan bukan dari kitab-kitab kritik hadits atau takhrij hadits, tapi dari istilah-istilah fiqih dan usul atau logika-logika lompatan yang tidak diterima dalam kajian ilmu kritik hadits. Menurut saya, sebagai awalan kita bisa membaca kitab-kitab tulisan Syaikh Abdul Fattah Abu Ghuddah, Fatwa dan Rasail Sayyid Alawi al-Maliki (ayahanda Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki), Kasyful Khafa’, Tanzihus Syari’at, atau kitab-kitab lain yang ditulis oleh ulama’ Ahlussunnah yang mengetengahkan tentang tata cara melakukan kritik sanad hadits.

Yang perlu digaris bawahi lagi, kritik kepada satu kitab bukan berarti benci atau merendahkan mushonnif atau penulisnya. Boleh jadi penulis tersebut adalah waliyullah karena amal shalihnya. Dan menilai palsu hadits yang dibawakan oleh seorang mushonnif kitab juga bukan berarti kita menuduh mushonnif tersebut sebagai pemalsu hadits atau pendusta. Yang demikian sangat maklum jika kita membaca kitab-kitab ilmu hadits.

Kemudian jika kita mau melakukan kritik atau pembelaan kepada satu kitab terkait hadits-haditsnya, sebaiknya kita juga mengetahui jawaban ulama’ hadits terkait dengan pertanyaan-pertanyaan berikut:

1. Apa hukum hadits yang tidak ditemukan dalam kitab-kitab hadits ulama’?

2. Apakah semua hadits yang diriwayatkan sudah ditulis oleh ulama’ hadits tanpa sisa?

3. Apakah hadits yang diterima via kasyaf auliya’ bisa diamalkan? Lalu bagaimana cara meriwayatkan hadits via kasyaf jika itu terjadi?

4. Apakah boleh melakukan penilaian hadits melalui kasyaf auliya’? Dan apa statusnya dalam ilmu hadits terhadap hal tersebut jika itu terjadi?

5. Apa hukum mengamalkan hadits tanpa sanad dari kitab yang penulisnya bukan terkenal sebagai pakar hadits dan kritikus hadits?

6. Apa status hadits yang tidak ditemukan sanadnya dalam kitab-kitab hadits dan bagaimana pula hukum mengamalkannya?

7. Sejauh mana hadits yang dikuatkan syawahid dan tawabi’ atau al-Qur’an, as-Sunnah, kaidah kulliyah, diterima oleh ulama’ dalam fatwa dan amal, dikuatkan ijma’ dan lain-lain?

Jika pertanyaan-pertanyaan diatas bisa dijawab secara ilmiyah dengan nukilan dari ulama’ hadits terkemuka, maka insha Allah kita akan lebih berhati-hati dan tidak serampangan dalam menghukum, menilai atau membela hadits yang beredar dan tidak memiliki sanad.

Leave a comment