Taldis


Tadlis adalah Informasi yg tidak lengkap di mana salah satu pihak tidak mengetahui informasi yg diketahui pihak lain, kesengajaan tidak meyampaikan informasi sehingga terjadi pembodohan bahkan peyesatan di sebab kan oleh perilaku Tadlis.
Contoh tadlis dalam peruntukan nash dalil :

Allah berfirman :
محمد رسول الله والذين معه أشداء على الكفار رحماء بينهم تراهم ركعا سجدا يبتغون فضلا من الله ورضوانا “سيماهم في وجوههم من أثر السجود
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yg bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang² kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu Lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda² mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud”.
(Qs al Fath:29).

Karena “tadlis” segelintir orang di doktrin bahwa mengukur keshalihan seseorang dari ketebalan kapal hitam yg ada dijidatnya, semakin hitam dan tebal jidat seseorang maka semakin dia dianggap sebagai orang yg ahli sujud.

Kalimat :
سيماهم فى وجوههم من اثر السجود
“Siimaahum fii wujuuhihim min atsaris sujuud” (tanda² mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud). Tanda yg tampak pada wajah mereka adalah keelokan, cahaya, kecerahan dan keramahan”.
Tanda tersebut “bukanlah” berupa tanda hitam di jidat sebagaimana yg segera dipahami saat mendengar firman Allah min atsaris sujud. Yang dimaksud “atsaris sujud” adalah dampak dari ibadah.”
Karena tidak ada satupun tafsir yg menjelaskan bahwa “atsaris sujud” maknanya tanda hitam di jidat, para ulama pun mengingatkan agar berhati-hati. Sebab hal itu bisa menimbulkan riya’.
Pada hari engkau akan melihat orang-orang yg beriman laki-laki dan perempuan, betapa “cahaya mereka bersinar di depan dan di samping kanan mereka”, (dikatakan kepada mereka), “Pada hari ini ada berita gembira untukmu, (yaitu) surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya.
(Qs al Hadid 12).

Mengutip perkataan imam Baghawi (w 516H) seorang ahli tafsir, ahli hadits dan ulama fiqih dari mazhab Syafi’i yg terkenal dengan karya besarnya sebuah tafsir al Qur’an yg berjudul Ma’alimut Tanzil sebagai berikut:
وقال البغاوى: وﻻ يظن من السيما مايصنعه بعض المرائين من اثر هيئة السجود فى جبهة فأن ذالك من سيماالخوارج
“Jangan menyangka sesungguhnya dari tanda-tanda yg dilakukan sebagian orang² yg riya’ (muroo’iin) itu termasuk tanda bekas saat sujud di jidat, karena sesungguhnya hal itu adalah tanda² khowarij.”

Imam Muhammad bin Ahmad as Showi al Maliki, beliau adalah seorang ulama ahli fikih, ushul al fiqh, ahli tafsir sekaligus ahli hadis (muhaddits). Lahir di Baghdad, tumbuh dan menetap di Mesir. berguru kepada Syihabuddin ar Ramly, dan Zakariya al Anshori, meninggal w 1006 H dan dimakamkan di Mesir. Tafsirnya berjudul, majma’ al Bahrayn wa Mathla’ al Badrayn ‘ala Tafsir al Jalalayain, menjelaskan maksud ayat yg berbunyi :
Siimaahum fii wujuuhihim min atsaris sujuud
وليس المراد به ما يصنعه بعض الجهلة المرائين من العﻻمة فى الجبهة، فأنه من فعل الخوارج، وفى الحديث : اني ﻻبغض الرجل واكرهه اذا رايت بين عينيه اثر السجود.
(Tanda-tanda mereka di wajahnya (terlihat) dari bekas sujudnya).
“Dan maksud darinya bukanlah apa yg dilakukan oleh sebagian orang BODOH yg merasa RIYA’ (pamer) dari tanda² di jidat. Maka itu sesungguhnya yg dikerjakan kaum KHAWARIJ”.

Dalam hadits Rosulullah bersabda :
اني لابغض الرجل واكره اذا رايت بين عينيه اثر السجود
“Sesungguhnya aku sangat membenci seseorang apabila aku melihat di antara dua matanya bekas sujud.”

Hadits yg dikemukakan oleh Imam As Showi bermula setelah perang Hunain, umat Islam mendapat harta rampasan (ghanimah) yg banyak, kemudian dibagi-bagi di Ja’ronah. Namun, baru kali ini Nabi membaginya secara aneh, para sahabat Nabi yg senior tidak mendapat bagian. Hanya para muallaf (orang yg baru masuk Islam) yg mendapatkannya. Pembagian yg dilakukan Nabi tersebut, meski tidak dipahami sahabat, mereka memilih diam karena semua tahu itu perintah Allah subhanahu wata’ala.
Nabi selalu dibimbing wahyu dalam tindakannya. Tiba², ada orang yg maju ke depan melakukan protes. Orang tersebut perawakannya kurus, jenggot panjang, “JIDATNYA HITAM”, namanya Dzul Khuwairis
Dia menhardik :
“I’dil (berlaku adillah) ya Muhammad, bagi² yg adil Muhammad,” (protesnya).
“Celakalah kamu. Yang saya lakukan itu diperintahkan Allah,” tegas Nabi Muhammad.
Orang itu kemudian pergi…
Nabi Muhammad mengatakan, nanti dari umatku ada orang seperti itu. Dia bisa membaca al Qur’an, tapi tidak tidak paham. Hanya di bibir dan tenggorokan. “Saya tidak termasuk mereka. Mereka tidak termasuk saya,” ungkap Nabi Muhammad.
Dalam hadits riwayat Muslim, Rasulullah bersabda :
“Dari kelompok orang ini (orang² seperti Dzul Khuwaishirah dari Bani Tamim An Najd), akan muncul nanti orang² yg pandai membaca al Qur`an tetapi tidak sampai melewati kerongkongan mereka, bahkan mereka membunuh orang² Islam, dan membiarkan para penyembah berhala; mereka keluar dari Islam seperti panah yg meluncur dari busurnya. Seandainya aku masih mendapati mereka, akan kumusnahkan mereka seperti musnahnya kaum ‘Ad (umat Nabi Hud as).”

Tahun 40 H Sayiydina Ali bi Abi Thalib dibunuh bukan oleh orang kafir, melainkan orang Muslim, namanya Abdurrahman bin Muljam At-Tamimi, dari suku Tamimi. Pembunuh itu ahli tahajud, puasa, dan penghafal al Qur’an.
Ali dibunuh karena “dianggap” kafir. Pasalnya Ali dalam menjalankan pemerintahannya tidak dengan hukum Islam, tapi hukum musyawarah. Sang pembunuh menggunakan ayat Waman lam yahkum bi ma anzalallahu fahuwa kafirun sebagai sandaran perbuatannya.

Kalimat “mereka yg membaca al Qur’an tetapi tidak sampai melewati kerongkongan atau tenggorokan” adalah kalimat “majaz” (lafad yg penggunaannya diletakan pada makna yg bukan sebenarnya dalam pembicaraan karena ada keterkaitannya), “Tidak melewati kerongkongan” kiasan dari “tidak sampai ke hati”.
Artinya membaca al Qur’an, tapi tidak menjadikan mereka berakhlakul karimah. Padahal Rasulullah bersabda :
“Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.”
(Hr Ahmad).

Begitu pula kalimat yg artinya tidak sampai melewati batas tenggorokan adalah kalimat majaz. “Tidak sampai melewati batas tenggorokan” kiasan dari “tidak sampai ke hati” artinya tidak mencegah perbuatan keji dan mungkar.
Dari asbabul wurud hadist diatas maka jelas kaitanya ayat al Fath 29 korelasinya dengan hadist² tersebut diatas “prediksi” dari Rasulullah terbukti dari era Khalifah Ali bin Abi Tholib ra hingga sekarang, mengenai ciri² orang² yg “Berjidat Hitam.”

Abdullah bin Umar dikenal sebagai sahabat yg paling banyak meneladani Rasulullah, bahkan pada hal-hal yg sebenarnya tak berarti. Ia selalu memperhatikan apa yg dilakukan beliau, dan kemudian ditirunya dengan cermat dan teliti. Misalnya ia melihat Nabi shalat di suatu tempat, maka di tempat yg sama, ia akan melakukan shalat seperti beliau. Jika Nabi berdoa dengan berdiri, ia juga akan berdoa dengan berdiri di tempat tersebut. Pernah di suatu tempat di Makkah, ia melihat Nabi berputar dua kali dengan untanya sebelum turun dan shalat dua rakaat. Maka setiap kali ia melewati tempat itu, ia akan memutar unta-nya dua kali, kemudian turun dan shalat dua rakaat seperti yg pernah dilakukan Nabi. Padahal bisa saja unta Nabi itu memutar sekedar untuk mencari tempat yg tepat untuk berhenti dan beristirahat. Kesetiaannya dalam mengikuti jejak langkah Nabi, sehingga Ummul Mukminin Aisyah pernah berkata :
“Tak seorang pun mengikuti jejak Rasulullah di tempat² pemberhentian beliau, seperti yg dilakukan oleh Ibnu Umar….”
Hampir tidak ada suatu perilaku Rasulullah, yg diketahuinya yg tidak ditirunya. Sedemikian detailnya Ibnu Umar radiyallahu’anhu, tentu beliau tahu Rasulullah secara fisikly penampilan baginda Nabi, jika tdk tentu riwayat Ibnu Umar menegur orang yg berjidat hitam tdk terjadi, artinya jika jidat hitam ciri fisikly Rasulullah tentu Ibnu Umar yg terlebih dahulu ikut sunnah tersebut, sehingga imam Baihaqi meriwayatkan :
عن ابن عمر : أنه رأى أثرا فقال : يا عبْد الله إن صورة الرجل وجهه ، فلا تشن صورتك
Dari Ibnu Umar, beliau melihat ada seorang yg pada dahinya terdapat bekas sujud.
Ibnu Umar berkata : “Wahai hamba Allah, sesungguhnya penampilan seseorang itu terletak pada wajahnya. Janganlah kau jelekkan penampilanmu!”
(Hr Baihaqi).

Sampe sini bisa kita “tangkap” bahaya dari perilaku tadlis…??
والله اعلم

Leave a comment