📌 MEMAHAMI TEKS DENGAN TELITI!


📌 MEMAHAMI TEKS DENGAN TELITI!

Karena saya ditag di bagian komentar pada sebuah postingan. Kemudian saya disebut “Tidak paham mahallun niza'” dalam pembahasan “Mihnah Khalqil Qur’an” oleh saudara kita, Ustad Abu Usaid Al-Munawy.

Maka saya putuskan untuk membuat postingan ini. Dalam gambar ini sudah saya tambahkan kotak-kotak dan panah-panah supaya Ustad Abu dkk bisa dengan mudah memahami apa maksud dari teks yang ustad kutip, dan tidak salah paham lagi terhadap apa yang ustad kutip.

🔵 YANG SAYA PAHAMI:

KALAM ALLAH DAN BUKAN MAKHLUK dalam penjelasan teks dalam gambar itu adalah kembali kepada الذي (SESUATU YANG…) yang dijabarkan oleh teks-teks berikutnya, yaitu:

👉 YANG DIHAPALKAN didada-dada
👉 YANG DIBACA di lisan-lisan
👉 YANG DITULIS di mushaf-mushaf dan papan-papan

“SESUATU YANG DI…” itulah Kalam Allah dan bukan makhluk.

Barangsiapa meyakini bahwa “SESUATU YANG DI…” tersebut sebagai makhluk maka orang tersebut telah kafir pada Allah.

Jadi… Yang Kalam Allah dan bukan makhluk bukanlah hapalan yang ada di dada, bukan pula bacaan yang ada di mulut dan bukan tulisan yang ada di kertas. Bukan! Bukan itu!

Disini pentingnya kita memahami perbedaan antara KITAABAH (Tulisan) dan MAKTUUB (Yang Ditulis).

🔵 Coba perhatikan teks berikut!

👉 “Adapun الله YANG DIBACA di lisan-lisan, YANG DITULIS di kertas-kertas dan YANG DIHAPALKAN di dada-dada adalah PENCIPTA ALAM SEMESTA.”

Mari kita perjelas! Perhatikan teks di atas!

🟩
Apa YANG DIBACA di mulut? الله (Allah).
Apakah Allah Sang Pencipta ada di mulut? Tidak!
Apa yang ada di mulut? Bacaan kita!
🟩
Apa YANG DITULIS di kertas? الله (Allah).
Apakah Allah Sang Pencipta ada di kertas? Tidak!
Apa yang ada di kertas? Tulisan kita!
🟩
Apa YANG DIHAPALKAN di dada? ألله (Allah).
Apakah Allah Sang Pencipta ada di dada? Tidak!
Apa yang ada di dada? hapalan kita!

🔵 Nah, begitu pula ketika misalnya saya berkata:

👉 “Saya membaca Al Qur’an di mulut”

Apa YANG DIBACA di mulut? Al Qur’an.
Apakah Al Qur’an ada di mulut? Tidak!
Apa yang ada di mulut? Bacaan kita!

👉 “Saya menulis Al Qur’an di kertas”

Apa YANG DITULIS di kertas? Al Qur’an.
Apakah Al Qur’an ada di kertas? Tidak!
Apa yang ada di kertas? Tulisan kita!

👉 “Saya menghapal Al Qur’an di dada”

Apa YANG DIHAPALKAN di dada? Al Qur’an.
Apakah Al Qur’an ada di dada? Tidak!
Apa yang ada di dada? Hapalan kita!

📌 Jika masih bingung dalam membedakan antara “TULISAN” dan “YANG DITULIS”. Saya akan berikan contoh yang sering saya gunakan:

👉 “Saya melukis pohon di kertas”

Apa YANG DILUKIS di kertas? Pohon.
Apakah YANG DILUKIS (yaitu pohon) ada di kertas? Tidak!
Apa yang ada di kertas? Lukisan!

Wallahu a’lam. Ust Saiful Anwar

ASY’ARIYAH TIDAK MEMBATASI SIFAT ALLAH PADA JUMLAH 20

Tidak masalah seseorang mengaku baru tahu. Namun yang jadi masalah adalah ketika baru tahu, dia tak berusaha mencari tahu, terus jadi sok tahu. Terkadang sudah dikasih tahu, tapi tetap tak mau tahu. Ini lebih bermasalah lagi. Apa dikasih tempe saja 🙂

Asy’ariyah dia tuduh membatasi sifat Allah hanya dua puluh. Selain sifat dua puluh tidak ada. Inilah di antara kesalahpahaman kelompok sok tahu atau merasa paling tahu ini.

Asya’irah yang mengajarkan sifat 20 bukan berarti hanya membatasi sifat Allah pada jumlah itu. Sifat 20 adalah sifat-sifat utama, yang sifat-sifat lain pasti akan berhubungan dengannya. Sifat 20 secara jelas memiliki dalil naqli dan ‘aqli. Sementara Asya’irah memiliki adab untuk membahas sifat Allah yang memiliki dalil naqli tersebut, lalu diberi penjelasan secara ‘aqli.

Al-Hudhudi dalam Syarh al-Sanusiyah al-Shughra (Ummul Barahin) – karya Imam Muhammad bin Yusuf al-Sanusi (w. 895), salah satu kitab penting tentang akidah Asy’ariyah – menjelaskan:

(فَمِمَّا يَجِبُ لِمَوْلاَنَا جَلَّ وَعَزَّ عِشْرُوْنَ صِفَةً) مِنْ بِمَعْنَى بَعْضٍ فَهيَ لِلتَّبْعِيْضِ أَيْ مِنْ بَعْضِ مَا يَجِبُ، لِأنَّ صِفَات مَوْلَاَنا جَلَّ وَعَزَّ الوَاجِبَةَ لَهُ لاَ تَنْحَصِرُ فِي هَذِهِ العِشْرِيْنَ، إِذْ كَمَالاَتُهُ لاَ نِهَايَةَ لَهَا، وَلَمْ يُكَلِّفْنَا اللهُ إِلاَّ بِمَعْرِفَةِ مَا نَصَبَ لَنَا عَلَيْهِ دَلِيْلاً وَهِيَ هَذِهِ العِشْرُوْنَ.

“Maka di antara sifat yang wajib untuk Allah Jalla wa ‘Azza ada dua puluh sifat. Kata ‘min’ di sini bermakna ‘sebagian’. Artinya dari sebagian sifat yang wajib bagi-Nya, karena sifat Allah Jalla wa ‘Azza yang wajib bagi-Nya tidak terbatas pada dua puluh ini. Kesempurnaan Allah tidak ada batasnya, sedangkan Allah tidak membebani kita kecuali hanya mengetahui yang telah Dia jelaskan dalilnya, yaitu 20 sifat ini.” (al-‘Allamah al-Hudhudi, Syarh al-Hudhudi ‘Ala Ummi al-Barahin – al-‘Aqidah al-Sanusiyah al-Shughra, hal 47).

Keberadaan sifat 20 sebagai sifat utama tanpa menafikan sifat lain dijelaskan pula oleh Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi. Ulama bergelar Syahid al-Mihrab ini menjelaskan:

يَجِبُ أَنْ تَعْلَمَ فِي كَلِمَةٍ جَامِعَةٍ مُجْمَلَةٍ أَنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ مُتَّصفٌ بِكُلِّ صِفَاتِ الكَمَالِ وَمُنَزَّهٌ عَنْ جَمِيْعِ صَفَاتِ النُّقْصَانِ إِذْ إِنَّ أُلُوْهِيَّتَهُ تَسْتَلْزِمُ اتِّصَافَهُ بِالكَمَالِ المُطْلَقِ لُزُوْماً بَيَّناً بِالمَعْنَى الأخَصِّ. ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَعْدَ ذَلِكَ أَنْ نَقِفَ عَلَى تَفْصِيْلِ أَهَمِّ هَذِهِ الصِّفَاتِ، وَنُبَيَّنَ مَعْنَاهَا وَمَا تَسْتَلْزِمُهُ مِنْ أُمُوْرٍ وَمُعْتَقَدَاتٍ. وَقَدْ وَصَفَ اللهُ تَعَالَى نَفْسَهُ فِي كِتَابِهِ الكَرِيْمِ بِصِفَاتٍ كَثِيْرَةٍ مُخْتَلِفَةٍ إِلاَّ أَنَّ جُزْئِيَّات هَذِهِ الصِّفَاتِ كُلَّهَا تَلْتَقِي ضِمْنَ عِشْرِيْنَ صِفَة رَئِيْسِيَّةً ثَبَتَتْ بِدَلاَلَةِ الكِتَابِ وَبِالبَرَاهِيْنِ القَاطِعَةِ) اهـ.

“Wajib kau ketahui mengenai kalimat inklusif secara global bahwa Allah ‘Azza wa Jalla memiliki sifat-sifat sempurna dan bersih dari sifat-sifat yang menunjukkan kekurangan. Allah sebagai Tuhan pasti bersifat sempurna secara mutlak – absolut jelas dengan makna yang paling khusus. Kemudian setelah itu kita wajib memahami rincian sifat-sifat ini yang paling penting. Kita jelaskan maknanya serta dampaknya pada berbagai hal dan keyakinan. Allah Ta’ala telah memberikan sifat untuk-Nya dalam al-Qur’an dengan sifat-sifat yang banyak. Namun satuan-satuan sifat-sifat itu semuanya terkumpul di bawah 20 sifat utama yang telah terbukti melalui senarai dalil al-Qur’an dan bukti-bukti konklusif.” (al-Buthi, Kubra al-Yaqiniyat, hal 108).

Dalil naqli dari al-Qur’an dan hadits oleh Asya’irah dilengkapi penjelasannya dengan dalil ‘aqli, di mana dalil ‘aqli ini ibarat mata yang mampu menangkap pemahaman berbagai hal. Al-Qurthubi menjelaskan:

فَمِثَالُ الشَّرْعِ الشَّمْسُ، وَمِثَالُ الْعَقْلِ الْعَيْنُ، فَإِذَا فُتِحَتْ وَكَانَتْ سَلِيمَةً رَأَتِ الشَّمْسَ وَأَدْرَكَتْ تَفَاصِيلَ الْأَشْيَاءِ . تفسير القرطبي 10/ 294

“Permisalan syariat adalah matahari dan permisalan akal adalah mata. Jika mata itu membuka dan memang normal, ia akan mampu melihat matahari dan memahami penjelasan-penjelasan rinci tentang berbagai hal.” (al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, Vol 10, 294)

Pemahaman semacam ini kita dapatkan dalam kitab-kitab Asya’irah, terutama saat membahas rincian sifat 20. Maka sangat naif bila dikatakan Asya’irah hanya membatasi sifat-sifat pada jumlah itu.

Kalau belum tahu itu bertanya, bukan mendebat. Kan ayatnya jelas 🙂

Ust Faris Khairul Anam

Leave a comment