Pendidikan Seksual (Tarbiyah Jinsiyah) Dalam Agama Islam


Pendidikan Seksual (Tarbiyah Jinsiyah) Dalam Agama Islam

Oleh Kiki Barkiah

Ada perbedaan yang sangat mendasar antara pendidikan seksual ala barat dengan pendidikan seksual dalam pandangan islam. Dalam pendidikan seksual ala barat, kurang lebih tujuan akhirnya adalah mengajarkan bagaimana aktivitas seksual yang sehat atau bahkan memfokuskan bagaimana melakukan hubungan seksual itu sendiri. Hal ini sangat berbeda dengan pendidikan seksual (tarbiyah jinsiyah) dalam pandangan islam. Metode dan pembahasan pendidikan seksual ala barat justru cenderung membangkitkan syahwat anak dan mengeruhkan otak ana. Sementara pendidikan seksual atau tarbiyah jinsiyah dalam Islam, dilakukan secara bertahap agar anak didik dapat menyalurkan syahwat sesuai syariat Islam.

Tarbiyah jinsiyah harus bermula dari kesadaran anak akan perbedaan identitas gender.

“……dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan…” Al Imran 36

Sejak pertama bayi terlahir ke dunia, terdapat perlakuan yang berbeda terhadap bayi laki-laki dan perempuan. Sedari lahir air kencing bayi perempuan sudah najis, sementara bayi laki-laki termasuk katagori najis ringan sampai anak sudah memakan makanan selain asi ibunya. Dalam tinjauan fisik, laki-laki dan perempuan sangatlah berbeda. Begitu juga kelak dalam tinjauan kewajiban, amanah, dan peran juga berbeda. Jadi ketika berbicara masalah gender dalam agama Islam, termasuk didalamnya membahas bagaimana pendidikan untuk menjaga dan merawat fitrah seksualitas. Bagaimana pendidikan mampu menjadikan anak perempuan menjadi the real muslimah yang paham dan mampu menjalankan peran sesuai fitrahnya dan menjadikan anak laki-laki menjadi the real muslim yang paham dan mampu menjalankan peran sesuai fitrahnya.

Tarbiyah jinsiyah yang pertama adalah mengajarkan mereka tentang perbedaan laki-laki dan perempuan, terutama perbedaan secara fisik. Termasuk mengajarkan konsep aurat laki-laki dan perempuan. Hal ini penting, karena di usia 3 tahun anak sudah selayaknya mengenali gendernya. Mereka akan melihat bagaimana anak laki-laki dan perempuan berpakaian dan menggunakan asesoris yang khas sesuai gendernya. Bila tanpa sengaja menemukan kejadian yang membuat anak mengetahui lebih spesifik perbedaan anatomi tubuh laki-laki dan perempuan, seperti ketika mempunyai adik bayi yang jenis kelaminnya berbeda, maka responlah rasa ingin tau anak secara wajar tanpa berlebihan agar tidak membangkitkan syahwat yang tidak semestinya.

Kemudian yang selanjutnya adalah memahamkan tentang batasan aurat. Ajarkan bagaimana batasan aurat laki-laki dan perempuan. Terrmasuk juga mengajarkan anak-anak untuk tidak melihat aurat orang lain, tidak menyentuh aurat orang lain dan ajarkan anak-anak agar menjaga auratnya untuk tidak dilihat atau disentuh oleh orang lain. Buat anak sedari kecil merasa “malu” dan “risih” bila auratnya terbuka. Termasuk secara bertahap merapikan penampilan mereka agar lebih sesuai dengan anjuran syariat dengan tidak memberikan fasilitas yang bertentangan dengan syariat.

Seringkali saya menemukan para orang tua yang mengganti pakaian anak di pinggir kolam renang dengan membiarkan aurat mereka terbuka sepenuhnya. Kadang, ada orang tua yang membiarkan anak yang sudah berusia lebih besar untuk mandi bersama saudaranya. Membiarkan hal ini tanpa batasan, membuat anak tidak merasa malu dan risih. Pakaikanlah pakaian yang menutup aurat pada bagian tertentu saat anak bermain air atau mandi bersama saudaranya, minimal aurat utamanya. Aturlah agar anak-anak tetap menutup aurat utama saat terpaksa menggantikan pakaian mereka di samping kolam renang. Meskipun belum berdosa, minimal kita menumbuhkan perasaan “malu” pada diri mereka.

Jika di barat di kenal konsep “your body is yours” maka di Islam kita mengenal konsep bahwa “tubuhku ciptaan Allah” Maka kita perlu memperlakukan tubuh sebagaimana perintah dan keinginan Allah tentang itu. Karena banyaknya kasus pelecehan sexual hari ini, maka kita juga perlu mengajarkan anak-anak melindungi dirinya. Terutama ketika ada orang lain yang berniat buruk dengan menyentuh atau melihat auratnya. Ajarkan mereka tentang 4 bagian sensitif yang sangat tidak boleh disentuh orang lain kecuali oleh orang tertentu dengan keperluan tertentu. Ajarkan juga tentang batasan sentuhan aman dan sentuhan tak aman. Bahkan biasakan mereka sedari kecil untuk tidak menyentuh lawan jenis yang bukan mahram, termasuk ketika bermain.

Kampanye “your body is yours” memang sering berkaitan dengan upaya melindungi diri dari kejahatan atau kekerasan seksual. Tapi konsep ini termasuk melegalisasi kemerdekaan memperlakukan tubuh sesuai dengan keinginan sendiri. Berbeda dengan konsep “tubuhku ciptaan Allah”, kita diajak untuk mensyukurinya dengan mempergunakan ciptaan tersebut untuk beribadah kepada Allah dan digunakan sesuai dengan rambu-rambu yang diberikan oleh Sang Pencipta.

Pemahaman aturan Allah terkait tubuh akan lebih mudah diterima anak ketika sedari kecil mereka melekat konsep “malu”. Tentu akan lebih sulit diterapkan pada keluarga yang ayah dan ibunya tidak berpakaian sesuai syariat, dan menyediakan fasilitas yang bertentangan dengan anjuran syariat terkait aurat. Mereka akan melihat hal itu sebagai hal yang biasa, sehingga semakin luntur perasaan malu yang merupakan bagian dari keimanan.

Kemudian yang selanjutnya, di dalam Al-qur’an secara tegas mengajarkan tentang adab masuk ke kamar orangtua. Di dalam Al-Qur’an surat An-Nur diajarkan bagaimana anak-anak yang belum baligh harus meminta izin dalam 3 waktu ketika masuk ke kamar orang tuanya. Kemudian anak-anak yang sudah baligh harus meminta izin dalam setiap waktu ketika masuk kedalam kamar orang tuanya. Hal ini adalah tindakan preventif untuk anak, supaya anak tidak melihat orangtuanya dalam keadaan auratnya terbuka.

Kemudian yang selanjutnya adalah perintah tentang memisahkan saudara laki-laki dan perempuan pada saat tidur ketika berusia 10 tahun. Bahkan saudara yang berjenis kelamin sejenis pun, dilarang untuk tidur dalam selimut yang sama.

Ketika mereka masuk ke usia baligh, pendidikan sex juga terkait dengan mengajarkan mereka tanda-tanda baligh sekunder dan primer serta konsekuensi baligh sebagai seorang mukallaf. Termasuk didalamnya mengajarkan materi fiqih thoharoh, bagaimana mereka bisa membersihkan dan mensucikan diri dari hadas kecil dan besar.

Sebelum masuk pada fasa baligh, di usia 7-14 tahun kita memiliki tugas untuk merawat, membangkitkan dan menjaga fitnah seksualitas anak-anak. Supaya anak laki-laki, betul-betul kita hantarkan menjadi seorang laki-laki sejati, yang memiliki kepribadian layaknya seorang laki-laki dan siap menanggung beban, tanggung jawab serta peran sebagai laki-laki. Maka dibutuhkan peran laki-laki untuk mendidik anak laki laki, dengan cara ala laki-laki, agar ia tumbuh menjadi lelaki muslim sejati. Begitu juga dengan perempuan, fitrah seksualitas ini perlu dibangkitkan dan dirawat supaya anak perempuan tumbuh menjadi muslimah sejati, yang memiliki kepribadian layaknya seorang perempuan dan siap menanggung beban, tanggung jawab serta peran sebagai perempuan. Maka dibutuhkan peran perempuan untuk mendidik anak perempuan dengan cara ala perempuan agar ia tumbuh menjadi muslimah sejati. Dewasa ini, banyak anak-anak yang secara fisik adalah laki-laki tetapi cara dia menyelesaikan masalah, cara dia berfikir dan bertindak, cara dia bertanggung jawab, tidak menunjukan maskulinitas. Begitu juga banyak perempuan yang kemudian tidak melewati fasa pendidikan yang menjaga fitrah seksualitasnya, kemudian menjadikan perempuan ini tidak siap untuk menanggung amanah sebagai perempuan. Mereka tidak Ridho atau tidak siap terhadap amanah-amanah khusus yang Allah berikan kepada kaum perempuan. Atau tidak memiliki kadar femininitas yang cukup agar menjalankan peran sesuai dengan fitrahnya.

Kemudian setelah masa baligh tiba, kita dapat mulai memberikan pendidikan yang menyiapkan anak laki-laki untuk menjadi ayah dan suami, serta menyiapkan anak-anak perempuan untuk menjadi istri dan ibu. Sejalan dengan usia mereka, kita mengarahkan anak-anak untuk siap menanggung beban pernikahan. Termasuk mengenalkan ilmu seputar pernikahan, ilmu menjadi suami dan istri serta ilmu menjadi orang tua. Di masa-masa dimana syahwat anak mulai bergejolak namun belum mampu untuk menikah, kita pun dapat mengarahkan mereka untuk memperbanyak shaum dan menyibukkan diri dalam aktivitas amal sholeh yang produktif.

Mulai menjelang pernikahan, lebih detail kita bisa memberikan ilmu terkait dengan sunnah-sunnah seputar awal pernikahan, termasuk didalamnya mempelajari adab dan fiqh yang berkaitan dengan aktivitas yang berhubungan dengan hubungan suami-istri.

Semoga dengan pengarahan yang benar dan tepat sesuai tahapan, syahwat anak dapat di kendalikan dan disalurkan sesuai dengan jalan syariah. Wallahu a’lam

Leave a comment