Berkah Karena Syari’ah


Karena kita bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, maka konsekuensinya: kita tidak menyembah kecuali Allah ‘Azza wa Jalla dan tidak berhukum kecuali dengan hukum Allah Ta’ala. Karena kita bersaksi bahwa Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan-Nya, nabi penutup seluruh nabi dan tidak ada lagi risalah sesudahnya, maka tidaklah kita mengambil panduan kecuali apa-apa yang diturunkan Allah Ta’ala kepadanya beserta seluruh titah maupun perbuatannya sebagai contoh kongkrit. Sebab, tidaklah Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam bertindak kecuali dengan bimbingan dan pengawasan-Nya. Tidaklah nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam bertutur dengan mengikuti hawa nafsu, bahkan untuk urusan pribadi. Maka, apa pun yang dikerjakan nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam adalah contoh. Kita bukan saja patut, lebih dari itu seyogyanya mencontoh apa yang dikerjakan oleh Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam, kecuali yang merupakan kekhususan bagi beliau.

 

Jadi, begitu kita bersyahadat, maka bersamaan dengan itu kita menyatakan kesediaan untuk menerima, menghormati, mengingini dan bersedia hidup sesuai dengan aturan-aturan yang ditetapkan dalam syari’ah. Tanpa itu, kita belum berserah diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Padahal, tatkala kita menyatakan diri untuk berislam, salah satu hal penting yang harus ada pada diri kita adalah kesediaan untuk berserah diri, yakni berserah kepada apa yang telah Allah Ta’ala tuntunkan dan perintahkan.

 

Sebagian dari kita –dan bahkan sebagian besar kita—belum mampu hidup dengan benar-benar sesuai syari’at Islam. Tetapi sangat berbeda orang yang hidup tidak sesuai syari’at Islam karena ketidakmampuannya menjalankan secara penuh, atau karena tidak ada jalan untuk menerapkannya dengan baik, dengan mereka yang memang secara sengaja menolak. Mereka yang tidak mau menerima syari’at secara i’tiqadiyyah, maka rusak syahadatnya. Mungkin mereka sukses meraup dunia, tetapi tak ada barakah di dalamnya.

 

Apa pentingnya barakah? Apakah hidup yang barakah akan terbebas dari kesulitan? Tidak! Tetapi dalam kehidupan yang penuh barakah, selalu ada kebaikan yang mengalir di dalamnya. Jika kita menghadapi kesulitan, maka ia mengantarkan kita pada kebaikan dan kemuliaan yang lebih tinggi. Sesungguhnya bersama satu kesulitan, ada beberapa kemudahan (inna ma’a al-‘ushri yushran). Jadi kemudahan-kemudahan itu justru melekat pada kesulitan yang kita hadapi dengan sabar dan kita selesaikan dengan sungguh-sungguh, sehingga apa yang hari ini menjadi kesulitan, pada waktu-waktu berikutnya tidak lagi merupakan kesulitan.

 

Apakah barakah itu? Secara sederhana, barakah sering dimaknai sebagai kebaikan yang sangat banyak. Kerapkali kali juga diartikan sebagai kebaikan yang bertambah-tambah.

Jika sebuah pernikahan penuh barakah –sebagai contoh—maka kesulitan yang mereka jumpai akan menjadi sebab lahirnya kebaikan yang besar. Bersebab kesulitan itu mereka memperoleh jalan kemuliaan. Sebaliknya setiap kemudahan dan kegembiraan, mengantarkan kita kepada pintu-pintu kebaikan. Bukan melenakan.

 

Apakah pernikahan yang tidak barakah sulit meraih bahagia? Saya tidak menemukan dalil yang menunjukkan bahwa tidak mungkin ada kebahagiaan bagi pernikahan yang tidak barakah. Tetapi dalam barakah ada keselamatan. Selebihnya, kita bisa belajar dari sejarah betapa banyak orang yang tampaknya hidup penuh kebahagiaan meski nyata-nyata menolak syari’at. Tetapi tiba-tiba saja semuanya berubah karena sebab-sebab yang tak terduga sebelumnya.Nikmati Jalan Dakwah, Sebagai Apapun atau Tidak Sebagai Apapun Kita

 

Jadi, bukan sekedar apa yang kita lakukan. Lebih dari itu kita perlu memperhatikan apa yang menggerakkan kita untuk bertindak dan mengambil sebuah keputusan. Tatkala Anda mengambil keputusan untuk menikah dengan seorang perempuan yang baik akhlaknya dan tinggi ilmu diennya. Tetapi apakah yang menggerakkan Anda untuk memilihnya? Apakah karena pertimbangan keberagamaannya (dzat ad-dien) ataukah karena pertaruhan harga diri? Jika pilihan Anda karena keberagamaannya, kita bisa berharap barakah Allah Ta’ala akan turun berlimpah. Tetapi jika sebab yang menggerakkan terutama karena perkara dunia, maka apa yang tampaknya merupakan kebaikan boleh jadi menjadi pintu kekecewaan. Selebihnya, ada yang perlu diperhatikan dalam proses.

 

Bagaimana dengan rezeki? Tanpa memperhatikan halal haram, harta berlimpah bisa kita raih. Tetapi harta yang tidak barakah akan membawa kita pada jalan yang penuh dosa. Setidaknya, berat langkah kita membelanjakan harta itu pada jalan yang Allah Ta’ala sukai. Boleh jadi kita seakan-akan menginfakkan di jalan Allah, tetapi tidaklah kita melakukannya kecuali ada perkara yang tidak patut di dalamnya.

 

Sungguh, jika dunia yang menjadi tujuan, maka dien akan menjadi alat. Jika kaya yang menjadi impian, maka surga yang menjadi agunan. Jika menolong agama Allah yang menjadi kegelisahan dan tekad kuat kita, maka kita akan siap berletih-letih untuk berjuang, termasuk mengumpulkan harta yang banyak agar dapat mengongkosi perjuangan dakwah kita fiLlah, liLlah, ilaLlah.

 

Nah.

Leave a comment