HADITS DHOIF DAN IKHTILAF


Jika di era modern Aswaja dari Madzhab Syafei punya as Syeikh Muhammad Said Ramadhan al Buthi seorang ilmuwan Suriah yg menjemput Syahid tahun 2013 di Damascus, terbunuh saat memberi pengajaran ilmi di masjid oleh serangan bom Isis yg berfaham wahabi jihadi.

“Maka dari kalangan Aswaja ber madzhab Hanafi” kita punya as Syeikh Abd al Fattaḥ ibn Muḥammad ibn Bashir ibn asan Abu Ghuddah adalah Cendekiawan Muslim Sunni “bermadzhab Hanafi”. Ia lahir pada tahun 1917 di Aleppo (suriah) wafat 12 Februari 1997 (usia 79) dimakamkan di Jannat Al-Baqi’ , Madinah.

Abu Ghuddah lahir dan besar di Aleppo, belajar di Akademi Studi Islam di Aleppo dan kemudian menerima pelatihan lanjutan di bidang psikologi dan pendidikan di Universitas al Azhar di Kairo, Mesir. Garis keluarga beliau jika ditelusuri kembali ke Khalid bin Walid radiyalahu’anhu. Beliau mempuyai “murid” yg banyak meriwayatkan berbagai hujjah As Syeikh Abdul Fattah Abu Ghuddah kepada tokoh² wahabi di era beliau seperti kepada albani, bin baz, utsaimin.
Murid beliau tersebut syaikh Muhammad Awwamah, ahli hadits yg juga bermadzhab Hanafi. Ulama kenamaan di era 90-an yg murid muhaddits termasyhur Syaikh Abdul Fattah Abu Ghuddah, pernah mengatakan bahwa kitab kitab hadits dari kalangan salaf ditulis dengan tujuan tujuan tertentu dari penulisnya.

Untuk dipahami bersama :
Imam Bukhari misalnya, beliau menulis banyak kitab selain Sahih Bukhari. Ada kitab Al Adab-ul Mufrod, at Tarikh-ul Kabir dan sebagainya.
“Dalam kitab Al Adab-ul Mufrod beliau memasukkan hadits hadits dhoif, dan tak membatasi diri dengan hadits hadits shohih saja”.

Imam at Tirmidzi, dalam pengantar kitab Sunan beliau, dengan tegas menyatakan bahwa beliau menulis kitab beliau untuk amal. Beliau mengatakan bahwa semua hadits yg beliau tulis di dalam Sunan beliau diamalkan ulama’ (ya jelas ulama’ salaf, karena beliau wafat 279 H di masa salaf), kecuali dua hadits saja.
Imam Abu Dawud juga menjelaskan metode beliau dalam Risalah beliau pada penduduk Makkah. Hal yg sama dapat kita temui dalam Sunan Nasai, ad Darimi atau Ibn Majah.

Para imam salaf ini adalah nuqqod (kritikus hadits) terkemuka sepanjang zaman. Mereka pasti mampu untuk memilih hanya yg shohih saja, namun kenyataannya mereka juga memasukkan hadits dhoif dalam kitab² mereka.
Walhasil, ulama’ ulama’ salaf sebenarnya tak membatasi riwayat mereka dengan yg sahih saja, namun dalam fadhoil a’mal, persoalan adab, persoalan afdholiyyah, bahkan terkadang sebagai pertimbangan hukum, mereka juga memperhatikan riwayat riwayat yg dhoif, dengan syarat syarat yg dikenal dalam ilmu Mustholah.

Itulah kenapa Imam Nawawi sampai menyatakan bahwa mengamalkan hadits dhoif dengan syarat syarat dalam ilmu hadits, adalah kesepakatan di kalangan ulama’ alias ijma’.

Lalu, datanglah manhaj wahabi yg memecah mecah kitab² hadits dan sunan para salaf menjadi sahih dan dhoif.
Muncullah kitab Shohih Sunan Abi Dawud dan Dlo’if Abi Dawud, Shohih Adabil Mufrod, Shohih Targhib wat Tarhib dll.
Lalu dibuatlah kampanye dengan selubung salaf, untuk hanya mengamalkan yg shohih, dan menggabungkan hadits dloif dalam kelompok hadits palsu. Sebuah manhaj jahil dengan kemasan salaf.
Jadi, siapakah pengikut salaf sebenarnya ?.

Lanjut… Syekh Muhammad Awwamah sedang mengajar materi Tarikh Tasyri’ al-Islami di tahun 1970. Seorang muridnya bertanya, “Bagaimanakah pendapat Anda tentang usaha menyatukan mazhab² serta mendorong seluruh manusia untuk mengikuti satu mazhab saja?”

Syekah Awwamah menjawab : “Usaha tersebut melawan kehendak Allah di dalam syariatNya dan melawan RasulNya, para sahabat, generasi salaf setelah mereka, serta bertentangan dengan akal sehat. Bukankah Allah Swt telah mengetahui sejak zaman asali bahwa bangsa Arab akan menggunakan lafal qur’un untuk dua makna, yaitu haid dan suci?”

Sang murid menjawab, “Iya.”

Syekh Awwamah berkata, “Bukankah Allah telah mengetahui sejak zaman azali bahwa akan ada seorang sahabat Rasul Saw bernama Zaid bin Tsabit dan ada sahabat satunya lagi bernama Abdullah bin Mas’ud? Dan Zaid akan mengatakan bahwa makna lafal qur’un adalah suci, sementara Abdullah akan berbeda dengannya dengan mengatakan bahwa makna lafal qur’un adalah haid?”
(Masyhur Zaid bin Tsabit merupakan sahabat nabi yg luas ilmunya sebab beliau salah satu pencatat wahyu, sedang Ibnu Mas’ ud merupakan sahabat yg paling tahu letak dimana wahyu turun).

Sang murid menjawab, “Iya.”

Syekh Awwamah melanjutkan, “Jika demikian, kenapa Allah Swt tidak menurunkan saja ayat tsalatsatu quru’in dengan model redaksi yg tidak memungkinkan bagi timbulnya perbedaan antara Zaid & Abdullah, sehingga Allah bisa mengatakan tsalatsatu haidhin atau tsalatsatu athharin saja?
Dengan demikian, pasti tertutup semua perbedaan dan tidak menyisakan kesempatan untuk berpendapat lain. Hal ini silakan kamu terapkan terhadap seluruh ayat al-Qur’an yg menimbulkan beberapa perbedaan pemahaman.”
“Begitupun perihal hadits² Nabi Saw,” lanjut Syekh Awwamah, “Kita meyakininya bahwa itu semua adalah wahyu dari Allah. Maka mengapa Allah Yang Maha Tahu lagi Maha Mengerti tidak mewahyukan saja kepada Rasulullah agar menyabdakan hadits² beliau dengan memakai lafal yg tidak memberi peluang kepada para sahabat beliau untuk berbeda pendapat?”

Lalu Syekh Awwamah menukil sebuah hadist peristiwa perbedaan pendapat para sahabat:
Usai perang Khandaq, Nabi saw mengumpulkan para sahabatnya. Beliau ingin menyampaikan pengarahan kepada mereka apa yg harus dilakukan berikutnya. Kepada mereka beliau mengatakan:
لا يصلين احدكمْ الْعصر الّا فى بنى قريظة
“Janganlah sekali-kali kalian shalat Ashar, kecuali di Bani Quraizhah”.

Mereka sangat paham kata² Nabi itu, karena dinyatakan dengan bahasa yg jelas dan tegas : “jangan sekali-kali…kecuali”. Ini berarti bahwa shalat Ashar hanya boleh dilakukan di Bani Quraizhah. Tidak ada seorang pun ketika itu yg bertanya.
Maka merekapun berangkat,tetapi di tengah perjalanan mereka melihat ke langit sambil bergumam : “Mega merah saga menjelang datang. Langit dihiasi warna kuning. Bila shalat Ashar di laksanakan di tempat yg diperintahkan Nabi tadi, mega merah saga pasti merebak, memenuhi langit. Ini berarti waktu shalat Ashar menjelang habis. Bila perjalanan dilanjutkan sampai ke Bani Quraizhah, waktu Ashar pasti habis dan masuk waktu shalat Maghrib.”

Mereka bingung, gaduh dan berdebat: “Kita harus shalat Ashar di mana? Di Bani Quraizhah atau di perjalanan?”, begitu pertanyaannya.
Masing² lalu merenung : “Jika ikut perintah Nabi berarti harus di Bani Quraizhah. Tidak bisa tidak. Bukankah perintah Nabi wajib diikuti?. Tetapi akibatnya waktunya sudah habis, lewat, dan kita tidak boleh melaksanakannya di luar waktunya masing². Bukankah al-Qur’an sudah menegaskan hal ini. Akan tetapi jika shalat Ashar dikerjakan di tengah perjalanan, akibatnya tidak menuruti perintah Nabi yg sangat jelas itu. Jadi kita akan mengikuti siapa? Allah atau Nabi?
Lalu apa yg kemudian terjadi? Ada sahabat yg shalat di perjalanan, dan ada yg di kampung Bani Quraizhah, sesuai dengan pendekatan/pemahaman masing².

Manakala kemudian bertemu Nabi, mereka menceritakan kejadian itu, sambil meminta pandangan beliau tentang siapa di antara dua kelompok itu yg benar. Nabi tersenyum, tidak marah dan tidak menyalahkan siapapun. “Kalian telah berpikir keras dan untuk itu semua kalian mendapat pahala”.
Rasulullah, beliau yg agung tak menyalahkan salah satunya. Beliau mengesahkan keduanya.
“Apakah para sahabat dan generasi setelah mereka berbeda pendapat ataukah tidak?” tanya Syekah Awwamah kemudian.
Sang murid menjawab, “Iya, berbeda pendapat.”
“Lalu apakah pikiran manusia itu berbeda-beda?”

Sang murid menjawab, “Iya, berbeda-beda.

“Dan apakah perbedaan pemikiran itu terjdi lantaran di dalam kehidupan manusia ini memang terdapat faktor² yg mengharuskan terjadinya perbedaan tersebut ataukah tidak?”.

(Maksud “faktor-faktor” di sini ialah kondisi & masa yg melingkupi kehidupan setiap kelompom atau umat, yg khas, tak bisa disamaratakan, seperti faktor lingkungan, alam, realitas, pemikiran, budaya, adat, dan sebagainya. Sebut misal faktor khas Teheran tidaklah sama dengan faktor² khas Madinah).

Sang murid menjawab, “Iya, terjadi lantaran terdapat fakto² yg mengharuskan perbedaan² tersebut.”

“Dengan demikian, sangat jelas bahwa usaha menyatukan mazhab² serta mendorong seluruh manusia untuk mengikuti satu mazhab saja adalah sebuah kekacauan.”
(Atsarul Hadits Asy Syarif Fi Ikhtilafil Fuqoha).
والله اعلم

Leave a comment